Share

Muak

Setelah membangunkan Kania dan mempersiapkan semuanya. Aku menggandeng tangannya dan berjalan keluar. Di tanganku sudah ada tas Kania yang berisi mainan dan bajunya. Aku akan menitipkannya di rumah Ibu dan Ayah. Mereka pasti akan sangat senang jika Kania datang.

"Kamu mau bawa kemana, Kania?" tanya Mas Dito yang masih duduk di sofa bersama Ibu. Aku sangat heran melihat tingkah Ibu yang sangat malas. Padahal stok makanan di kulkas itu masih sangat banyak. Seharusnya dia bisa berinisiatif sendiri untuk memasak. Apalagi dia melihatku sangat sibuk dan kerepotan dengan kerjaan dan Kania.

"Aku mau bawa dia ke rumah Ibu dan Ayah. Aku takut kalau dia di sini, dia akan mati kelaparan," jawabku sambil berjalan pelan ke arah pintu luar.

"Terserah kamu, Rosa. Tapi yang jelas kamu tidak bisa pergi kerja begitu saja. Apalagi kamu tidak meninggalkan uang untuk kami di rumah," sahut Mas Dito lagi lantang. 

"Dito benar. Kalau kamu mau pergi kerja dan tidak mau memasak. Setidaknya tinggalkan uang biar kami bisa memesan makanan dari luar," timpal Ibu lagi yang ikut berdiri dan berjalan ke arahku.

"Kan aku udah bilang dari tadi. Kalau Ibu dan Mas Dito mau uang, kerja. Bukan malah memeras istri seperti ini," sanggahku. 

Sepertinya Mas Dito dan Ibu tidak terima ketika aku mengatakan seperti itu. Terbukti mereka langsung menghampiriku yang akan keluar dari rumah. Aku segera menyuruh Kania untuk menungguku di mobil saja. Aku tidak mau dia mendengar pertengkaran kami.

"Kamu tahu sendiri kan, kalau nyari kerjaan itu susah banget, Rosa. Setidaknya kamu beri aku waktu untuk mencari kerja," jawab Mas Dito yang kini sudah berada di hadapanku.

"Kamu itu udah pengangguran selama empat tahun, Mas. Kamu butuh waktu berapa lama lagi untuk mencari pekerjaan?" tanyaku yang membuat Mas Heri salah tingkah. Dia terlihat kikuk ketika aku memberikan pertanyaan seperti barusan.

"Terserah. Pokoknya Ibu nggak mau masak dan membersihkan rumah. Kamu itu jangan jadi menantu yang jahat sama mertua. Saya ini masih terhitung beberapa hari tinggal di sini. Masa kamu udah nyuruh saya untuk melakukan pekerjaan rumah," ucap Ibu tanpa rasa malu sedikitpun.

"Oh ya? Bukankah kemarin Ibu yang mengatakan pada semua Ibu-ibu komplek di sini. Kalau aku menjadikan Ibu seperti pembantu di rumah ini. Nah sekarang aku mengabulkan semua kata-kata Ibu kemarin," jawabku yang mengalihkan pandangan ke arah Ibu.

"Maksudnya apa ya?" tanya Mas Dito penasaran.

"Tanya aja sama Ibu kamu sendiri, Mas," jawabku sambil tersenyum sinis ke arah Ibu. 

"Bu. Apa benar itu?" tanya Mas Dito yang ikut menatap ke arah Ibunya.

"Fitnah apa. Ibu bahkan tidak pernah jumpa sama orang-orang di sini. Jangan asal nuduh kamu, Rosa," sanggah Ibu membela diri.

Aku sampai menghembuskan nafas panjang mendengar jawaban Ibu barusan. Aku tidak menyangka jika Ibu akan pintar bersandiwara seperti ini. Wajahnya sama sekali tidak terlihat pias ataupun panik. Dia terlihat biasa saja di depan Mas Dito. Sepertinya aku memang harus benar-benar waspada. Aku sangat menyesal sudah tidak mau menuruti ucapan Ayah dulu.

Karena aku tidak menyangka jika ada manusia dengan sifat seperti ini. Aku mengira semua manusia itu akan mempunyai rasa malu walaupun sedikit. Tapi nyatanya itu tidak berlaku untuk Ibu mertuaku.

"Aku pusing tahu nggak. Pagi-pagi gini bukannya sarapan tapi malah melihat kalian bertengkar," ucap Mas Dito sambil menggaruk kepalanya. Dia terlihat sangat frustasi dengan keadaan dan situasi ini.

"Kamu pikir aku nggak pusing, Mas? Semenjak Ibu kamu itu datang ke sini, dan ngatur-ngatur semuanya. Kalau nggak kita tuh berantakan tau nggak," jawabku yang sengaja menyindir kedatangan Ibu.

"Jadi maksud kamu itu, saya beban gitu?" tanya Ibu sambil berkacak pinggang.

"Iyalah. Andai aja Ibu datang seperti layaknya Ibu pada biasanya. Mungkin aku akan senang hati menyambut. Tapi kali ini Ibu datang, dan mengatur semuanya. Ibu merubah semua peraturan yang ada di rumah ini. Tanpa memikirkan akibat kedepannya seperti apa," jawab aku berusaha menjelaskan agar Ibu mengerti.

Karena jika aku tidak menjelaskan seperti itu. Ibu tidak akan sadar dengan kesalahannya beberapa hari ini. Aku hanya berharap Ibu bisa memperbaiki sikapnya itu.

"Saya itu ngatur karena ini juga rumah anak saya. Saya juga ngatur-ngatur gitu biar kamu bisa menjadi istri yang serba bisa. Nggak hanya kerja tapi mengabaikan anak dan suami," sanggah Ibu membela diri. Rupanya Ibu tidak menyadari kesalahannya sama sekali.

"Ibu benar, Rosa. Dia cuman mengarahkan kamu aja, biar bisa menjadi istri idaman. Ini itu sebagian dari ibadah biar kamu bisa masuk surga kelak," sambung Mas Dito yang membuatku syok. Ya ampun, kenapa selama ini aku tidak pernah menyadari. Jika sifatnya Mas Dito sama seperti Ibunya.

"Jangan sok alim kamu, Mas. Salat aja nggak pernah. Malah ngomongin surga," jawabku mengejek.

"Kalau kamu mau keluarga kita baik-baik aja, dan kembali seperti dulu. Kamu suruh Ibu kamu ini pulang," sambungku lagi yang membuat kedua bola mata Mas Dito melotot. 

Ibu juga terlihat terkejut mendengar ucapanku barusan. Mungkin mereka berdua tidak menyangka, jika aku akan mengusir Ibu secara terang-terangan seperti ini. Tapi aku memang benar-benar tidak tahan lagi dengan sikap Ibu.

"Kamu lihat sendiri kan, Dito. Istri kamu ini benar-benar kurang ajar. Dia tega ngusir Ibu dari rumah kamu," sahut Ibu yang membuat keadaan semakin memanas.

"Kamu tidak bisa mengusir Ibuku, Rosa. Setelah aku pikir-pikir, ucapan Ibu tadi ada benarnya. Kita kan sudah menikah dan juga sudah mempunyai anak. Jadi semua harta yang kamu miliki, juga ada hakku. Jadi kamu tidak bisa mengusir kami begitu saja dari rumah ini," ucap Mas Dito tenang. Dia sama sekali tidak memakai otaknya saat berbicara.

"Oh ya. Dari mana kamu dapat dalil kalau harta istri ada hak suami di dalamnya. Makanya ngaji, Mas. Nggak ada hak suami di hartanya istri. Yang ada malah sebaliknya," sanggah aku cepat.

"Aku tidak peduli. Yang intinya kamu tidak bisa mengusir Ibuku dari rumah ini," jawab Mas Dito yang membuat emosiku semakin memuncak.

"Terserah. Jangan sampai aku menggugat cerai kamu ke pengadilan, Mas. Kalau kamu tidak bisa menjadi penengah yang baik. Maka aku akan berpikir dua kali untuk bertahan sama kamu," ucapku yang membuat Mas Dito terkejut.

"Kamu bercanda kan, Rosa. Jangan cuman gara-gara masalah sepele seperti ini. Kamu menggadaikan rumah tangga kita."

"Makanya jadi orang itu punya sedikit manfaat. Jangan malah jadi benalu di rumah orang," jawabku dengan menekan kata benalu. Terserah mereka mau menilaiku bagaimana. Yang jelas kali ini aku tidak akan diam jika Ibu menyuruhku ini dan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status