Share

Membangkang

"Rosa. Kamu belum masak jam segini? Saya sudah lapar," teriak Ibu dari lantai satu yang suaranya sampai kedengaran ke kamarku yang berada di lantai dua.

Setelah selesai memakai sepatu aku segera turun untuk berangkat kerja. Hari ini terpaksa aku harus berangkat kerja lagi. Karena Devan akan ke luar kota untuk beberapa hari. Jadi aku belum dibolehkan untuk mengambil cuti sampai dia kembali. Bagiku tidak masalah, biar rumah ini diurus oleh Ibu saja. Siapa suruh dia memecat Bik Minah.

"Kok nanya aku sih, Buk. Kalau lapar ya masak sendiri lah!" balasku sambil turun dari tangga. Terlihat Ibu sedang berkacak pinggang menatapku nyalang.

"Jangan kurang ajar ya kamu. Ngomong sama mertua kok tidak ada sopan santunnya sama sekali," bentak Ibu lagi yang emosi mendengar jawabanku barusan.

"Salah sendiri, siapa suruh Ibuk memecat Bik Minah," jawabku dengan santai agar emosi Ibu semakin menjadi. Setelah kejadian Ibu memfitnahku kemarin, aku benar-benar ingin membuat Ibu tidak betah tinggal di sini.

"Harus berapa kali saya jelasin. Kalau Bik Minah sengaja dipecat biar kamu bisa ngerti kerjaan rumah. Kamu itu istri, ingat kodrat kamu di sini melayani keluarga dengan baik," geram Ibu yang membuatku ikutan emosi.

"Selalu saja mengatasnamakan kodrat, terus kodrat anak Ibu sebagai suami apa?" tanyaku membalas tatapan Ibu. Mendengar pertanyaanku barusan membuat Ibu sedikit pias. Aku tau kali ini Ibu pasti akan membela anaknya lagi. Dasar keluarga egois, benalu.

"Kamu kalau diajarin selalu aja menyanggah. Heran," gerutu Ibu sambil membuang nafas kasar.

"Terserah," jawabku sambil berlalu pergi ke arah dapur. Rencananya aku akan meminum sedikit air untuk mengganjal perut. Biarlah di kantor saja aku sarapan.

"Astaga, apa sih ini ribut pagi-pagi. Rosa, kamu bisa nggak sih kalau ngomong sama Ibuk nggak kasar!" bentak Mas Dito yang tiba-tiba sudah ada di antara kami. Mas Dito masih menggunakan baju tidur dan terlihat belum membasuh wajahnya. 

Di saat istrinya ini mau siap-siap berangkat kerja, dia masih tidur jam segini. Mau jadi apa rumah tangga kami kedepannya.

"Istri kamu ini, Dito. Ibu kan cuma berusaha untuk memberikan saran kalau sebelum berangkat kerja. Seharusnya dia beres-beres rumah dulu. Apalagi dia belum memasak hari ini," terang ibu sambil menunjukkan wajah memelas.

"Ya ampun, Rosa. Apa susahnya sih kamu menuruti permintaan Ibu. Lagian itu semua kan memang tugas kamu. Jangan mangkir dari pekerjaan rumah. Mau makan apa kami kalau kamu tidak masak," bentak Mas Dito sambil berkacak pinggang. Mendengar itu Ibu tersenyum sinis sambil melihat ke arahku.

Semenjak Ibu tinggal di sini, aku merasa Mas Dito tidak pernah lagi berbicara lembut padaku. Seharusnya kan dia bisa jadi penengah di antara aku dan Ibunya. Tapi dia malah membela Ibunya saja.

"Kok aku ngerasa kayak pembantu ya di rumah ini," ucapku sambil menatap Mas Dito tajam. Jujur saja aku sangat kecewa dengan sikapnya beberapa hari ini.

"Apa maksud kamu," tanya Mas Dito dengan suara yang mulai melemah.

"Padahal ini rumahku, Mas. Aku sudah tinggal dari kecil sampai sekarang di sini. Tapi semenjak Ibu kamu datang, aku malah merasa kayak numpang di sini," sindirku sambil tersenyum menyeringai.

"Ini juga rumah kita bersama, Rosa. Buka rumah kamu aja. Aku tahu memang rumah ini pemberian dari orang tua kamu. Tapi semenjak kita menikah, bukankah ini sudah menjadi harta bersama," sahut Mas Dito yang membuatku ingin tertawa.

"Benar yang dikatakan sama Dito barusan. Kalian kan udah nikah, jadi semua harta yang kamu punya. Juga ada hak Dito di sana, jadi jangan sekalipun kamu berniat untuk mengusir saya Ibunya," timpal Ibu lagi. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa lagi. Karena aku merasa tertekan tinggal di rumah sendiri.

"Cuman gara-gara masalah sepele seperti ini. Jangan sampailah kita bertengkar, malu didengar sama tetangga," ucap Mas Dito lagi sambil duduk di sofa.

"Sepela kata kamu Mas?" tanyaku dengan nada kecewa.

"Kamu bilang malu sama tetangga kalau mereka dengar kita bertengkar. Terus sekarang aku tanya, kamu nggak malu sampai saat ini masih dinafkahi sama istri?" sindirku sambil tersenyum mengejek. 

Mendengar pertanyaanku barusan membuat Mas Dito bangkit dan berjalan ke arahku. Dia memegang pergelangan tanganku dengan sangat kuat. Sampai aku merasa sangat nyeri.

"Kamu nyindir aku. Hah!" teriak Mas Dito tepat di depan wajahku.

"Lepas, Mas. Sakit tahu nggak," ucapku sambil berusaha melepaskan cekalan tangan Mas Dito. 

"Makanya kalau suami ngomong itu didengar. Rasakan itu," sahut Ibu yang semakin memanas-manasi keadaan.

"Tapi memang kenyataannya seperti itu. Selama Kania lahir, Mas Dito sudah tidak bekerja sampai sekarang. Bukankah itu sangat zalim?" teriakku membalas ucapan Ibu barusan. 

Aku menendang kaki Mas Dito dengan cukup kuat. Sehingga dia berteriak kesakitan dan cekalan tangannya terlepas. Mas Dito meringis kesakitan sambil terduduk di lantai. Aku yakin rasanya itu pasti sangat sakit sekali. Karena aku memakai sepatu high heels. Ibu dengan tergopoh-gopoh mendatangi Mas Dito dan membantunya berdiri.

"Kurang ajar kamu, Rosa. Berani kamu nyakitin anak saya!" teriak Ibu menatapku nyalang.

"Salah sendiri. Siapa suruh menyakitiku," ucapku membalas tatapan Ibu. Setelah mendengar fitnah Ibu kemarin itu. Aku mulai sadar jika aku tidak boleh diam saja. Mereka sudah sangat keterlaluan memperlakukan Aku di rumah ini.

"Ingat, Mas. Jangan pernah menyentuhku sedikit saja. Karena aku akan membalasnya dengan lebih kejam," ancamku sambil menunjuk-nunjuk ke arah Mas Dito.

"Kamu nggak takut dosa, Rosa!" bentak Ibu bangkit dari duduknya. Mas Dito juga ikut berdiri sambil dibantu oleh Ibu.

"Jangan bicara dosa deh, Bu. Karena aku rasa lebih dosa Mas Dito yang mengabaikan nafkah pada aku dan Kania. Jadi sebaiknya perbaiki diri dulu, baru menceramahi orang tentang dosa," sahutku sambil melenggang pergi dari hadapan mereka.

Rencananya aku akan menitipkan Kania pada Ibu dan ayah saja. Aku tidak mungkin membiarkan Mas Dito dan Ibunya merawat Kania. Bisa-bisa anakku mati kelaparan di tangan mereka.

"Kamu mau ke mana, Rosa. Kami mau makan apa kalau kamu tidak masak," ucap Mas Dito setengah berteriak.

"Kalau lapar itu makan, dan kalau mau makan itu masak. Kalian berdua punya kaki dan tangan," jawabku tanpa melihat ke arah mereka. Aku terus saja berjalan menuju ke kamar Kania. 

"Setidaknya tinggalkan uang sedikit saja untuk kami. Jangan seperti kemarin, kami mau beli apapun tidak bisa," balas Mas Dito lagi tanpa tau malu.

"Kalau mau uang itu kerja!" seruku yang masuk ke dalam kama Kania dan langsung menutup pintu dengan keras.

Dasar keluarga tidak tahu diri, mereka mau memanfaatkan aku. Enak saja, setelah Devan pulang dari luar kota. Aku pastikan akan memberikan mereka pelajaran yang berharga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status