Share

Tanggal 25, Ada Apa?

"Mungkin Ibu, biasanya ibu suka bawel kalo Bapak belum pulang, apalagi selarut ini." Sahut Bagaskara sembari menggulung karpet yang berada di ruang tamu.

Aku menggelengkan kepala lalu menoleh pada bapak. Kemudian  Bapak mengambil benda pipih itu sembari memantau siapa nama yang tertera di layar monitor ponselnya dengan malas, beliau tekan tombol berwarna hijau dengan mode loudspeaker.

"Ada apa telepon terus! Gak usah telepon!" 

"Kamu dimana ini! Malah ceramahin aku! Lekas pulang! Sudah malam, Pak!" 

"Ini di rumah Naya, mau apa memangnya! Aku gak akan pulang, mau bermalam disini temani Bagas!"

"Bagaskara itu sudah dewasa, Pak! Lelaki yang sudah menikah, kenapa minta ditemani! Macam anak-anak saja!" 

"Dia enggak minta ditemani, akunya saja yang gak mau pulang, kasihan Kanaya, baru saja kehilangan Ibunya." 

"Terserah kamu, Pak! Cuma dia mantumu, ya!"

Tak banyak bicara lagi, Bapak segera menutup panggilan dari Ibu sebelum ibu selesai dengan kalimatnya, bapak merasa tidak enak karena beliau berpikir,pasti aku mendengar percakapannya dengan ibu.

Aku kecewa, akan tetapi bagaimana lagi, begitulah ibu mertuaku.

Suamiku kemudian menoleh padaku yang tengah membantunya menggulung karpet di ruang tamu, kemudian dia bertanya, "Kamu denger tadi ibu bilang apa?"

Aku anggukkan kepalaku lalu diam. "Jangan ambil hati, kamu kan tahu ibu." Bagaskara menyahut lagi.

Di ruang tengah, bapak masih berbincang dengan Papa. Bang Bagas berjalan mendekati bapak lalu meminta bapak istirahat.

"Pak! Istirahat dulu,dari tadi bapak ngobrol terus sama Papa, takutnya Papa atau bapak cape, nanti sakit lagi! Gak usah begadang, Pak!" pinta Bagaskara.

"Iya, Gas! Kasihan Pak Rendra kelelahan menerima tamu sejak tadi pagi."

"Oya! Lain kali bapak jangan kerasin suaranya kalau lagi teleponan sama ibu, Naya denger Pak, Bagas jadi gak enak." Protes Bagaskara pelan.

"Iya, maafin bapak, Gas!"

Bapak memang tidak seperti yang lain, dibandingkan ibu beliau lebih perhatian padaku, hanya saja terkadang Bapak tidak tegas pada kakak dan adik-adik Bang Bagas. 

"Daripada capek mikirin Ibu, mendingan aku fokus sama Papa, gak usah nyesel gara-gara ibu sama iparku gak pada datang, anggap saja aku gak punya mereka, beres!" gumamku merapikan ruang tamu.

"Sayang, gak usah pikirin Ibu ya, pikirkan saja keluarga aku yang baik sama kamu, misalnya bapak! Biar kamu gak sakit hati." Bang Bagas tiba-tiba berada di belakangku lalu memelukku.

"Santai aja, Bang! Sekarang aku sudah mulai terbiasa kok dengan Ibu." Jawabku tersenyum.

Tak mau menambah kesedihanku, aku memilih untuk tak peduli dengan keluarga suamiku. Papa lebih membutuhkanku saat ini.

 

Hari demi hari berlalu, akhirnya aku menjalani hidup tanpa Mama yang selama ini selalu mengerti dan memahamiku, seperti apa pun diriku saat ini, aku harus berpikir logis, menerima kenyataan bahwa Mama sudah tiada. 

 

Singkat cerita, aku mulai bekerja di Bank swasta yang kemarin menghubungiku, menjalani proses sebagai karyawan training. Semua itu adalah hal yang patut kusyukuri sepeningal Mama.

"Aku masih beruntung, Tuhan kasih aku pekerjaan. Dia lebih tahu gimana jadinya kalau aku masih nganggur, sementara Mama sudah gak ada." Ujarku berjalan menyusuri trotoar bersama suamiku.

"Iya, sekarang Mama sudah tenang di sana, kamu tinggal fokus kerja dan perhatiin Papa. Kamu tenang aja, Abang bakal bantuin kamu." Ungkap Bagaskara menggandeng tanganku.

Bang Bagas selalu setia mengantar dan menjemputku bekerja, karena kami belum memiliki momongan, kami lebih bebas pergi kemana pun tanpa ada beban. Seperti saat ini, dia berencana mengajakku ke suatu tempat, entah kemana.

"Makasih ya, Bang! Kamu gak pernah bosen dan capek antar jemput aku, dan sekarang motor kamu masuk bengkel, kita jadinya naik angkot, kalau kayak gini mendingan aku pulang sendiri aja daripada susahin kamu, Bang! Lucu, suka ada-ada aja deh kamu!" tuturku menatap wajahnya sambil tersenyum.

"Ya, gak apa-apa juga kali, kan biar kamu ada temen, Yang!" kekehnya tertawa kecil.

"Kita mau kemana sekarang, Bang?" 

"Udah, kamu diem aja, aku mau kasih kamu surprise." Sahutnya memberhentikan angkutan umum yang melintas di hadapan kami.

"Kita udah sampai, Honey!"

"Waah, makasih banget, Bang! Kok kamu tahu kalau aku  udah lama pengin banget makan steak di sini?"

"Ya pasti tahu lah, Abang selalu tahu apa yang kamu mau, tapi maaf, untuk saat ini Abang baru bisa kabulkan keinginan kamu kesini." Katanya duduk memberikan pilihan menu padaku.

Aku tersenyum mengusap pipinya, kami duduk bersama menikmati keindahan tempat ini yang begitu nyaman dengan konsep outdoor. Namun, ditengah kebahagiaanku pikiranku menerawang menatap awan biru di langit.

"Seandainya ibu manjain aku, baik banget sama aku, jadiin aku temen curhat, ajak aku ke Mall bareng atau sekadar masak-masak di rumah, apalagi sekarang mama udah gak ada, pasti gak bakalan sesedih ini kehilangan Mama." Batinku sedih.

"Tapi itu semua cuma mimpi, hidupku tak seindah khayalanku!" gumamku.

"Hey! Stop ngelamunnya, ayo kita makan!"

"Kamu ngelamunin apa sih?"

"Enggak, bukan apa-apa!" sanggahku.

"Oya! sekarang tanggal berapa, Bang? Aku lupain sesuatu kayaknya." Aku terperanjat tiba-tiba teringat akan satu hal.

"Tanggal 25, Yang! Kenapa?" 

"Ya ampun, kenapa bisa lupa hal sepenting itu, kamu gak inget Bang? Kalau udah tanggal segini kita mesti ngapain?"

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status