Share

Mereka Tidak Datang

Author: saffaghania
last update Last Updated: 2023-05-04 17:18:56

"Bang! Kok Ibu sama Bapak gak kelihatan? Mereka kemana? Kamu udah kasih tahu mereka kan, kalau Mama meninggal?" tanyaku.

"Sudah Abang kasih tahu, Kok! Malah Bapak bilang agak sore mau kesini katanya." Sahut Bagaskara.

Tak lama setelah itu, nampak Bapak di depan teras menyalami saudara-saudaraku. Rupanya Bapak hanya sendirian tidak ditemani Ibu.

"Assalamualaikum." Salam Bapak.

"Waalaikumussallam," jawab Papa dan Bang Bagas.

 

"Maaf Pak Rendra, saya baru datang." Bapak duduk di samping Papa.

"Kenapa sendirian? Bu Aini gak ikut? Saudaranya Bagas?" tanya Papa menoleh pada besannya.

"Maaf istri dan anak-anak saya sepertinya gak bisa datang,  karena ada keperluan lain." Tutur Bapak merasa tidak enak.

 

"Oh ya sudah, tidak apa-apa Pak Alan, itu hak mereka." Sindir Papa melirikku.

"Naya! Buatkan Bapakmu minum!" titah Papa.

"Iya, Pa!" sahutku.

Aku melangkahkan kakiku menuju dapur, seraya memanggil Bang Bagas yang sedang menyelesaikan pekerjaannya di laptop. 

"Bang! Sudah dulu kerjanya, ajak Bapak ngobrol, kasihan, kayaknya Bapak malu gara-gara Ibu sama saudara-saudaramu  gak datang." Titahku menutup laptopnya.

 

"Iya, Sayang! Abang kesana!" jawabnya melangkahkan kakinya duduk di samping Bapak.

Bang Bagas duduk bersila seperti Papa dan Bapak, mereka bertiga duduk beralaskan karpet menyalami para pelayat. Di antara banyaknya para tamu yang datang, hanya Bu Minah-tetanggaku yang kepo, yang bertanya tentang Ibu.

"Neng Naya! Ini Bapak mertuanya?" tanyanya bersuara nyaring. 

"Iya, Bu Min." Jawabku malas.

"Ibunya kemana, Neng? Kok Bapaknya sendirian aja, nanti dikira duda gimana? Apalagi Bapaknya Bang Bagas mah masih cakep aja meskipun sudah tua, hehe." Kekehnya tanpa dosa.

"Sst, Bu Min! Jaga lisannya, jangan ngawur!" sahut Bu Juju yang berada di sampingnya.

Aku dan Bang Bagas saling menoleh, tak ingin menanggapi perkataan Bu Minah, di mataku dia itu masih tukang gibah yang belum pensiun, sukanya kepoin hidup orang.

Papa tersenyum sinis, begitu juga Bapak yang merasa tertampar dengan perkataan Bu Minah. 

"Bapak malu, Gas! Tetangga Naya hebat banget nyindirnya!" keluh Bapak berbisik pada Bagaskara. 

 

"Lagian kenapa Bapak sendirian? Harusnya Ibu dan yang lainnya kesini dong, Pak! Kasih support buat Naya." Protes Bagaskara.

"Bapak gak mau debat sama Ibu. Malas, Gas! Kalau Bapak kasih tahu, Ibu sukanya nyolot, apalagi Hana sepertinya hilang sopan santunnya tuh anak!" keluh Bapak lagi sesekali melirikku, seolah malu terdengar olehku.

"Memangnya mereka kemana, Pak!?" tanya bagaskara kesal.

"Katanya sih ada keperluan darurat, mertua Hana sakit keras, katanya sedang kritis." 

"Pantas, Hana kan anak Ibu, kakaknya mereka, sementara Bagas cuma anak pungut. Bagas baru dianggap anak kalau Bagas kasih duit sama Ibu." Ungkap Bagaskara sedih.

"Jangan begitu, Nak! Bapak kan gak seperti Ibu, nanti  bapak nasihatin lagi Ibu sama saudara-saudaramu!" Jawab Bapak menenangkan suamiku.

"Uhm, Bang! Gimana kalau Bapak dan Papa diajak makan dulu, biar Papa semangat. Kasihan dari tadi gak fokus, ngelamun terus." Ajakku menarik tangan suamiku.

"Oya, Pak! Ayo makan dulu, biar Papanya Naya semangat." 

"Iya, Gas!" 

Bapak mertuaku terus berada di samping Papa, memberi Papa dukungan dan menghiburnya. Bukan hanya itu, Bapak juga masih berada di rumahku hingga malam tiba. Mereka berbincang menghabiskan waktu, syukurlah ... kesedihan Papa sedikit terobati berkat kehadiran Bapak.

Waktu menunjukkan pukul 20.10. terdengar nada dering dari ponsel Bapak yang berbunyi berkali-kali. Lalu Bapak merogoh ponsel dari saku jaketnya, dilihatnya di layar monitor ponselnya, rupanya Ibu menelepon.

"Pak! Kenapa gak ada di rumah! Ini sudah malam loh!" ketus Ibu.

"Kamu enggak mikir ya, kamu gak punya malu, Bu! besan meninggal, malah di rumah Hana terus sama anak-anakmu, kalian sama saja!" 

baru saja kehilangan Ibunya." 

"Terserah kamu, Pak! Dia menantu kesayanganmu kan!"

Bapak menutup panggilan Ibu dengan raut kecutnya. Bapak tidak mau bertengkar dengan Ibu di depan kami. Aku sangat memahami itu.

"Jangan pernah singgung, atau tanya tentang Ibu, mau apa Ibu atau yang lainnya, oke Bang!" pintaku berbisik.

"Memangnya kenapa kalau Abang tanya tadi Ibu mau apa?" 

"Kamu ini ya, Bang! Nanti mereka bertengjar lagi, Bapak jadi kesel lagi dong!" ketusku memelototinya.

"Iya, Oke! Jangan marah dong, Yang!" sahutnya mencubit daguku.

"Habis kamu suka telmi jadi orang!" 

"Telmi apaan, Yang?!" tanyanya polos.

"Telat mikir! Faham?!" kesalku.

Bagaskara tertawa kecil menjabaniku, dia terus berusaha menggodaku. Mungkin, dia ingin menghiburku supaya alu tidak berlarut dalam kesedihan. Di saat seperti ini, inginnya mertua dan ipar-iparku datang mendukungku, menghiburku bahkan memberikan pelukan hangat untukku, akan tetapi rasanya mustahil bagiku.

Aku sama sekali tidak terkejut ketika Ibu dan ipar-iparku tidak datang seperti saat ini. Toh ketika di pelaminan saja, mereka  berani meninggalkan anaknya sendiri, maka bukan tidak mungkin ketika mereka tidak datang ketika Mama meninggal, yang meninggal kan Mamaku. Mungkin  bagi mereka, segala sesuatu yang berhubungan dengan Bang Bagas itu tidaklah penting. Berbeda dengan Kak Hana, segala sesuatu yang berhubungan dengannya, pasti mereka selalu gerak cepat menanggapinya. 

Apalah artinya aku yang hanya menantu terasing dalam hidup mereka?

Beberapa menit kemudian nada dering dari ponsel Bapak berbunyi lagi berulang kali. "Malam begini, siapa yang sibuk telepon, Bang?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mertua Bengis dan Pilih Kasih   Wanita Yang Bersama Arkan

    "Aku yang harus mengakhiri semuanya, dan mulai saat ini aku berjanji akan menutup lembaran lama itu, dia sudah ikhlas kehilanganku begitu juga aku, maka tak ada alasan bagiku untuk terus berada dalam bayang masa lalu." Ungkap batinku. Saat malam tiba, suamiku-Bagaskara, pulang membawakan oleh-oleh untuk kami. Raut bahagia nampak jelas di wajahnya, sementara hatiku masih diselimuti perasaan bersalah padanya, aku masih merasa berdosa. "Bang! Bikin kaget aja! Aku kira siapa tadi!" aku terkejut saat suamiku membuka pintu kamar. "Loh! Kok kamu kaget? Kan emang udah biasa Abang pulang ucap salam sambil buka pintu, gak ada yang aneh! Kamu pasti lagi ngelamun, ya!" ujarnya tersenyum melihat raut wajahku. "E-enggak, kok!" dan aku pun menyahutnya dengan senyuman tanpa dosa. "Ini Abang bawakan kamu kalung perak, tadi Abang nukar uang ke toko perak lalu lihat ada kalung yang cakep banget, Abang rasa cocok buat kamu!" ujarnya gembira. Seketika aku merasa terkejut dan kikuk, tak tahu apa yang

  • Mertua Bengis dan Pilih Kasih   Cinta Tak Harus Memiliki

    "Kanaya!" panggil seorang lelaki bersuara berat mirip Rizky.Aku menoleh ke belakangku, dan rupanya ... kekhawatiranku nyata. Dia, yang menepuk pundakku adalah Rizky, seseorang yang selama ini kuhindari."Mau apa kamu kesini!" ketusku."Gak boleh aku kesini?" tanyanya membalas."Jelas gak boleh! Kita sudah bukan siapa-siapa lagi, dan kamu terus saja datang menggangguku!" aku melangkahkan kakiku menuju teras rumah sambil buru-buru menutup pintu ruang tamu."Tunggu!" Rizky menahan dorongan pintu yang kutekan semakin kuat.Rupanya lelaki itu bersikeras ingin menemuiku, apa hendak dikata, aku tak sanggup melawan bantahannya, hingga akhirnya aku menyerah dan memberinya ruang untuk berbincang denganku."Please Kanaya! Kasih aku waktu sebelum aku pergi!" Rizky berteriak sambil mendorong pintu."Ya sudah, masuk! Aku gak punya banyak waktu, to the point aja!" ketusku lagi."Oke," Akhirnya aku dan Rizky berbicara satu sama lain, saling menyalahkan. Ia menjelaskan bahwa saat ia meninggalkanku a

  • Mertua Bengis dan Pilih Kasih   Dia datang lagi dan lagi

    Suamiku segera ambil sikap, memantau dan memgambil ponselku yang tergeletak di atas ranjang. Aku ingin merebutnya dari tangannya, tapi aku tidak mau ia mencurigaiku. Aku tidak ingin menjadi orang bersalah dimatanya, karena jujur saja ... bukan aku yang memulai. "Mamin?" Suamiku mengernyitkan dahi sambil bertanya heran memantau layar ponselku. "Yang! Telepon dari Mamin!" teriak suamiku. "Iya! Sebentar, Bang!" sahutku seolah tak tahu apa-apa. "Sudah kuduga, itu pasti dia! Untung saja aku menamai dia Mamin!" batinku. Ya, Mamin. Itu adalah sebuah nama panggilan akrabku untuk Rizky ketika kami pacaran, nama itu kusematkan tanpa sengaja, mengalir begitu saja, dan aku beruntung, suamiku tidak sampai mencurigaiku karena nama itu. Apa yang akan terjadi jika aku sematkan nama Rizky yang sesungguhnya? Tentu saja ia akan murka. "Nay! Sayang! Biasanya jam segini gak ada yang telepon kamu, kecuali darurat. Lah, yang tadi siapa, Yang? Temen kamu?" tanyanya menoleh ke arahku. "Iya, teman kuliah

  • Mertua Bengis dan Pilih Kasih   Cinta Lama Bersemi Lagi

    "E-enggak kok, Bang! Kami tuh sahabatan bertiga, waktu kita nikah aku gak undang dia karena gak tahu harus hubungin dia kemana, soalnya kontak dia hilang, dianya juga ngilang, gak ada yang tahu dia kemana." Ungkapku menoleh pada suamiku. "Oh, gitu ya!" jawabnya ragu. Suamiku nampak tak bahagia. Raut wajah yang biasanya ramah dan selalu tersenyum, tiba-tiba tanpa ekspresi, seolah ia memikirkan sesuatu, tentang aku dan Rizky. Mungkin sudah saatnya aku jujur padanya, tapi aku ragu apakah aku sanggup? "Yang! Rizky sekampus sama kamu gak?" tanyanya lagi. "Enggak, Sayang! Dia itu beda kampus, aku sama dia kenal karena sempat magang di kantor yang sama." Jawabku. "Kenapa soh, Bang! Tanya-tanya dia terus?" "Abang masih penasaran pengin tahu banyak tentang dia. Waktu dia natap wajah kamu, kok kayaknya ada yang beda, cara dia bicara dan memperlakukan kamu Abang rasa seperti bukan hanya teman." Katanya lagi. "Abang bakal sakit sendiri kalau mikirin dia terus, dan aku gak akan tanggung ja

  • Mertua Bengis dan Pilih Kasih   Dia yang Tiba-tiba Datang

    "Abang gak tahu, Nay!" sahut suamiku. "Siapa malem-malem begini datang bertamu? Gak tahu apa? Kalo aku lagi capek banget pengin ngaso!" aku bergumam sambil berjalan menuju pintu utama. "Ri-rizky?" aku terkejut sambil menutup mulutku yang terbuka dengan telapak tangan kananku. "Hai, kamu masih inget aku, kan?" tanya dia. Aku mengangguk sambil berpikir, benarkah yang kulihat itu? Benarkah dia? Mantan kekasihku yang tiba-tiba pergi dan menghilang kala itu? Antara terkejut dan takut. Takut karena mengkhawatirkan perasaan suamiku dan takut berdosa pada Sang Khalik. "Hei, georgeous! Kamu kok bengong terus sih?" ia bertanya sambil menatap fokus mataku dan melambai-lambaikan tangannya memeriksa sepasang mataku yang tak fokus. "I-iya, silakan duduk! Maaf kita gak bisa ngobrol di dalam ya," aku menjawabnya pelan sambil menengok ke dalam, memastikan suamiku ada di sana atau tidak? "Ka-kamu hamil? This is realy you?" tanyanya. "Iya, aku lagi hamil anak kedua, dan aku bakalan panggil suami

  • Mertua Bengis dan Pilih Kasih   Ibu Marah

    "Maksud Bagas jangan terlalu sering kemari, Bu! Bagas gak enak, kan di sini Bagas jualan, bukan lagi pameran, Bu!" keluh suamiku lagi."Kamu berani bilang begitu sama Ibu? Gak boleh Ibu datang lihat usaha kamu, Gas? Ibu cuma gak mau kamu lupa diri, sudah sukses istrimu makin sombong!" sindir Ibu mertuaku."Bagas belum sesukses itu, Bu! Ini Bagas masih ngerintis, alhamdulillah ramai terus pelanggan, itu juga berkat doa Ibu, tapi Bagas juga kecewa sama Ibu, karena Ibu gak pernah ngertiin Bagas. Dan Bagas mohon sama Ibu, jangan pernah mengatakan Kanaya sombong, karena dia tidak seburuk yang Ibu pikirkan, Ibu sudah kena hasut Si Hana! Maaf kalau Bagas bicara begini sama Ibu." Ungkap suamiku.Sejak saat ibu mertuaku menyinggung namaku dalam perdebatan mereka, aku memilih pergi perlahan membawa Ishana dan Malik ke luar toko, mencari udara segar, daripada mendengar mereka, seakan aku ikut campur. Meski terkadang aku merasa wajib membela diri."Mungkin kamu yang kena hasut istri kamu, Gas! Ib

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status