Share

Mereka Tidak Datang

"Bang! Kok Ibu sama Bapak gak kelihatan? Mereka kemana? Kamu udah kasih tahu mereka kan, kalau Mama meninggal?" tanyaku.

"Sudah Abang kasih tahu, Kok! Malah Bapak bilang agak sore mau kesini katanya." Sahut Bagaskara.

Tak lama setelah itu, nampak Bapak di depan teras menyalami saudara-saudaraku. Rupanya Bapak hanya sendirian tidak ditemani Ibu.

"Assalamualaikum." Salam Bapak.

"Waalaikumussallam," jawab Papa dan Bang Bagas.

 

"Maaf Pak Rendra, saya baru datang." Bapak duduk di samping Papa.

"Kenapa sendirian? Bu Aini gak ikut? Saudaranya Bagas?" tanya Papa menoleh pada besannya.

"Maaf istri dan anak-anak saya sepertinya gak bisa datang,  karena ada keperluan lain." Tutur Bapak merasa tidak enak.

 

"Oh ya sudah, tidak apa-apa Pak Alan, itu hak mereka." Sindir Papa melirikku.

"Naya! Buatkan Bapakmu minum!" titah Papa.

"Iya, Pa!" sahutku.

Aku melangkahkan kakiku menuju dapur, seraya memanggil Bang Bagas yang sedang menyelesaikan pekerjaannya di laptop. 

"Bang! Sudah dulu kerjanya, ajak Bapak ngobrol, kasihan, kayaknya Bapak malu gara-gara Ibu sama saudara-saudaramu  gak datang." Titahku menutup laptopnya.

 

"Iya, Sayang! Abang kesana!" jawabnya melangkahkan kakinya duduk di samping Bapak.

Bang Bagas duduk bersila seperti Papa dan Bapak, mereka bertiga duduk beralaskan karpet menyalami para pelayat. Di antara banyaknya para tamu yang datang, hanya Bu Minah-tetanggaku yang kepo, yang bertanya tentang Ibu.

"Neng Naya! Ini Bapak mertuanya?" tanyanya bersuara nyaring. 

"Iya, Bu Min." Jawabku malas.

"Ibunya kemana, Neng? Kok Bapaknya sendirian aja, nanti dikira duda gimana? Apalagi Bapaknya Bang Bagas mah masih cakep aja meskipun sudah tua, hehe." Kekehnya tanpa dosa.

"Sst, Bu Min! Jaga lisannya, jangan ngawur!" sahut Bu Juju yang berada di sampingnya.

Aku dan Bang Bagas saling menoleh, tak ingin menanggapi perkataan Bu Minah, di mataku dia itu masih tukang gibah yang belum pensiun, sukanya kepoin hidup orang.

Papa tersenyum sinis, begitu juga Bapak yang merasa tertampar dengan perkataan Bu Minah. 

"Bapak malu, Gas! Tetangga Naya hebat banget nyindirnya!" keluh Bapak berbisik pada Bagaskara. 

 

"Lagian kenapa Bapak sendirian? Harusnya Ibu dan yang lainnya kesini dong, Pak! Kasih support buat Naya." Protes Bagaskara.

"Bapak gak mau debat sama Ibu. Malas, Gas! Kalau Bapak kasih tahu, Ibu sukanya nyolot, apalagi Hana sepertinya hilang sopan santunnya tuh anak!" keluh Bapak lagi sesekali melirikku, seolah malu terdengar olehku.

"Memangnya mereka kemana, Pak!?" tanya bagaskara kesal.

"Katanya sih ada keperluan darurat, mertua Hana sakit keras, katanya sedang kritis." 

"Pantas, Hana kan anak Ibu, kakaknya mereka, sementara Bagas cuma anak pungut. Bagas baru dianggap anak kalau Bagas kasih duit sama Ibu." Ungkap Bagaskara sedih.

"Jangan begitu, Nak! Bapak kan gak seperti Ibu, nanti  bapak nasihatin lagi Ibu sama saudara-saudaramu!" Jawab Bapak menenangkan suamiku.

"Uhm, Bang! Gimana kalau Bapak dan Papa diajak makan dulu, biar Papa semangat. Kasihan dari tadi gak fokus, ngelamun terus." Ajakku menarik tangan suamiku.

"Oya, Pak! Ayo makan dulu, biar Papanya Naya semangat." 

"Iya, Gas!" 

Bapak mertuaku terus berada di samping Papa, memberi Papa dukungan dan menghiburnya. Bukan hanya itu, Bapak juga masih berada di rumahku hingga malam tiba. Mereka berbincang menghabiskan waktu, syukurlah ... kesedihan Papa sedikit terobati berkat kehadiran Bapak.

Waktu menunjukkan pukul 20.10. terdengar nada dering dari ponsel Bapak yang berbunyi berkali-kali. Lalu Bapak merogoh ponsel dari saku jaketnya, dilihatnya di layar monitor ponselnya, rupanya Ibu menelepon.

"Pak! Kenapa gak ada di rumah! Ini sudah malam loh!" ketus Ibu.

"Kamu enggak mikir ya, kamu gak punya malu, Bu! besan meninggal, malah di rumah Hana terus sama anak-anakmu, kalian sama saja!" 

baru saja kehilangan Ibunya." 

"Terserah kamu, Pak! Dia menantu kesayanganmu kan!"

Bapak menutup panggilan Ibu dengan raut kecutnya. Bapak tidak mau bertengkar dengan Ibu di depan kami. Aku sangat memahami itu.

"Jangan pernah singgung, atau tanya tentang Ibu, mau apa Ibu atau yang lainnya, oke Bang!" pintaku berbisik.

"Memangnya kenapa kalau Abang tanya tadi Ibu mau apa?" 

"Kamu ini ya, Bang! Nanti mereka bertengjar lagi, Bapak jadi kesel lagi dong!" ketusku memelototinya.

"Iya, Oke! Jangan marah dong, Yang!" sahutnya mencubit daguku.

"Habis kamu suka telmi jadi orang!" 

"Telmi apaan, Yang?!" tanyanya polos.

"Telat mikir! Faham?!" kesalku.

Bagaskara tertawa kecil menjabaniku, dia terus berusaha menggodaku. Mungkin, dia ingin menghiburku supaya alu tidak berlarut dalam kesedihan. Di saat seperti ini, inginnya mertua dan ipar-iparku datang mendukungku, menghiburku bahkan memberikan pelukan hangat untukku, akan tetapi rasanya mustahil bagiku.

Aku sama sekali tidak terkejut ketika Ibu dan ipar-iparku tidak datang seperti saat ini. Toh ketika di pelaminan saja, mereka  berani meninggalkan anaknya sendiri, maka bukan tidak mungkin ketika mereka tidak datang ketika Mama meninggal, yang meninggal kan Mamaku. Mungkin  bagi mereka, segala sesuatu yang berhubungan dengan Bang Bagas itu tidaklah penting. Berbeda dengan Kak Hana, segala sesuatu yang berhubungan dengannya, pasti mereka selalu gerak cepat menanggapinya. 

Apalah artinya aku yang hanya menantu terasing dalam hidup mereka?

Beberapa menit kemudian nada dering dari ponsel Bapak berbunyi lagi berulang kali. "Malam begini, siapa yang sibuk telepon, Bang?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status