"Hallo putri mama yang syantik. Gimana kabarnya, Sayang? Kamu enggak sakit hati kan tinggal sama mertuamu? Atau … dia pernah bicara kasar? Ih, kamu kok pake baju kayak gini? Gak modis tahu," cerocos besanku. Suaranya yang khas langsung kukenali dari dapur. Aku menghentikan langkah melihat Bu Lilis membolak-balik badan menantuku.
Tidak ada salahnya perhatian pada anak sendiri? Apakah perlu sampai seperti itu? Selalu mertua yang jadi tersangka. Apa aku kelihatan seperti orang yang kasar?
"Aku baik-baik saja, Ma. Gak usah berlebihan deh. Ada apa datang ke sini?" Santi balik nanya. Sepertinya Santi sudah terbiasa berkata kurang sopan sejak masih gadis. Anehnya, besanku malah tertawa.
"Belakangan ini kamu jarang nelpon sama Mama. Wajar dong kalau khawatir. Kamu itu putri ibu satu-satunya," balas besanku. Tak enak melihat mereka masih berdiri di teras, aku menghampiri dengan senyum terkembang.
Aku dan Bu Lilis bisa dikatakan bernasib sama. Dia dan suaminya hanya memiliki Santi, sedangkan aku dan mendiang suami cuma punya Akmal.
"Eh, Bu Lilis. Kapan datang? Mari masuk!" ucapku ramah. Mamanya menantuku tersenyum kecut dan tak membalas ucapanku.
Wanita seumuranku itu masuk dengan gaya jalan seperti orang sedang berjalan di panggung catwalk. Aku menahan tawa agar hatinya tidak tersinggung. Besanku ini memang kelewatan gaya, tapi ya itu, kadang gak sesuai dengan umur kami yang tak muda lagi.
"Mama ih, kok gak jawab pertanyaan mertua Santi? Kalau ditanya itu dijawab loh, Ma," seru menantuku.
"Apa yang terjadi sama kamu, San? Ini mama kamu loh. Apa suami dan mertua kamu ngajarin ngomong gitu sama orang tua? Kamu lupa siapa yang melahirkanmu?" cecar besanku. Baru saja aku mulai sedikit tenang melihat itikad baik dari menantuku, wanita seusiaku itu mau menguji kesabaranku.
Kesabaran itu luas dan tidak ada batasnya. Kemampuanku sebagai hamba Allah yang lemahlah kadang membuat hati ini jengkel dan mengomel dalam hati. Satu pintaku saat marah, jangan sampai bibir ini mengeluarkan sumpah serapah yang akan menyakiti hati siapa pun yang mendengarnya. Aku akan sangat malu pada diri ini. Semakin tua malah semakin kebablasan.
Aku menarik nafas dan mengulas senyum agar tidak kelihatan kalau hatiku mulai tak nyaman dengan ucapan besanku.
"Mana ada sih orang tua yang mengajarkan hal buruk pada anak menantunya, Bu. Santi itu anak Ibu dan jodohnya anak saya. Santi memang menantu saya tapi dia seperti anak perempuan saya, Bu. Saya mengajarkan hal yang baik padanya karena tanggung jawab Bu Lilis mengajarinya sudah selesai. Tidak baik langsung menuduh begitu, Bu!" ujarku.
"Iya, Mama ini kok main tuduh-tuduh saja? Mertuaku baik kok. Aku saja yang mulai banyak kesibukan," timpal Santi, mengerucutkan bibir ke arah mamanya.
"Eeeeh, sibuk apaan? Emangnya suami kamu gak sanggup biayain kamu? Gak sanggup gaji pembantu juga? Kalau begini ceritanya, kamu tinggal sama Mama aja. Dijamin, kamu cuma terima beres," ujar besanku berapi-api.
Aku menghela nafas. Ujian bisa datang dari arah mana saja, tidak terduga sama sekali. Tapi, aku yakin kebahagiaan juga bisa datang dari arah tak disangka. 'Jangan marah, maka bagimu surga.' Semoga aku bisa mengamalkannya.
"Bukannya gak sanggup, Bu Lilis. Kebutuhan putri kita masih bisa dipenuhi. Soal menggaji ART juga insya Allah sanggup. Tapi, mereka belum punya anak dan Santi tidak ada kesibukan. Apa salahnya kalau dia mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya? Pernikahan itu ibadah terlama yang banyak sekali peluang pahala di dalamnya." Aku merespon tuduhannya terhadap Akmalku.
"Beribadah itu kalau sudah tua, Bu Dijah. Mereka masih muda. Jangan dikekang dong! Biarkan mereka bertindak sesuka hati. Main sama teman-temannya yang masih lajang. Ini nih yang aku takutkan kalau nikahnya kecepatan. Sifat asli Akmal dan ibunya belum ketahuan. Saya merasa seperti membeli kucing dalam karung saja," cerocos besanku berapi-api. Aku sampai menjauhkan wajahku agar tidak kecipratan air liurnya.
Sepertinya besanku sedang membicarakan dirinya sendiri. Akmalku-lah yang membeli kucing dalam karung. Santi dan mamanya tidak sebaik yang ia kenal. Namun, sedikit demi sedikit perubahan positif Santi adalah suatu hal yang patut kami hargai. Berbagai hadiah kecil dan juga pujian selalu aku dan Akmal berikan untuknya.
Aku ingin mengembalikan kata-kata besanku, tapi apa gunanya? Santi yang mulai berubah akan tersinggung nantinya. Dia sudah seperti putriku.
"Di tempat Bu Lilis, apa tidak ada orang yang meninggal muda? Usia muda tak menjamin malaikat maut datang bertamu loh, Bu. Yang baru lahir saja bisa berpulang," balasku tetap tersenyum. Bu Lilis mendengkus dan menoleh ke luar di mana mobil anakku baru berhenti.
Bu Lilis bergegas keluar dan menyambut anakku. Lucu sekali. Dia tadi menghina anakku, nyatanya sikapnya sangat ramah pada menantunya itu. Dia bersikap seolah tuan rumah. Padahal, harusnya anakkulah yang mendatangi dia yang statusnya tamu dan juga mertua dari Akmal.
"Mama mertua kapan datang? Kenapa gak kasih tahu tadi sih, Dek? Tahu gini, abang bisa belikan makanan di luar," celetuk Akmal tak enak hati.
"Mama baru datang, Bang. Gak kasih tahu duluan juga. Sini aku bawain tasnya," ujar Santi, mencium tangan suaminya dan membawa tas Akmal ke kamar. Anak lelakiku itu beralih padaku, mencium tangan dan pipi ibunya ini.
Akmal duduk sebentar dan beramah tama dengan besanku, lantas pamit mau membersihkan badan.
"Lebay banget sih. Tiap hari juga jumpa, ngapain mesti cium tangan segala?" cibir besanku. Aku tertawa mendengar ucapan Bu Lilis.
"Kalau mau protes, sama orangnya aja ya, Bu. Oh iya, saya ambilkan minum dulu, ya," ujarku, lalu melangkah ke dapur.
Hmm. Kalau aku kasih teh pakai garam, dosa gak ya? Soalnya besanku itu mulutnya pedas juga.
Aku membuatkan teh manis dengan sedikit gula untukku dan anak menantu yang sudah duduk bersama besanku. Teh dengan dua sedok garam untuk Bu Lilis yang terlihat bahagia sekali bercengkrama dengan anakku. Aku ingin lihat apakah ia akan mengumpat di depan menantunya.
"Ini loh, Akmal. Mama datang ke sini mau minjam uang. Papanya Santi sedang sakit dan butuh biaya berobat," ujar besanku. Ooh, rupanya dia datang ada maksud.
"Ini tehnya, Bu. Minum dulu biar gak kering tenggorokan," ujarku ramah.
"Kok jadi Ibu yang bikin teh. Harusnya aku aja, Bu," celetuk Santi. Ia mengambil teh bagiannya dan Akmal.
"Gak apa-apa, Sayang," balasku, lalu duduk di samping besanku.
"Silakan diminum, Ma! Teh buatan Ibu sangat enak sejak dulu sampai sekarang. Untungnya Santi sudah bisa bikin teh yang lebih enak dari buatan Ibu. Soalnya pakai cinta sih," kekeh Akmal, lantas menyesap tehnya.
Bu Lilis menyeruput tehnya dan seketika wajahnya berubah masam. "Enak kan, Besan?" ujarku, menyenggol pelan lengannya.
"E-enak," balasnya terpaksa, lalu meneguk teh yang rasanya asin. Aku tak menyangka, dia bisa mengendalikan ucapannya jika ada Akmalku di sini. Lelaki yang ia hinakan saat di belakang anakku.
Syukurlah.
"Kami keluar dulu ya, Ma, Bu. Mau cari makanan untuk kita," ujar Akmal, menggandeng tangan Santi. "Yang mama bilang tadi gimana, Akmal? Ada, kan?" tanya besanku, melirik sekilas padaku. "Ada, Bu. Kami sekalian mau beli makanan untuk Papa mertua," ujar anakku. "Eng-enggak usah, Nak Akmal. Tentu akan merepotkanmu. Kamu sudah capek pulang kerja, mama gak mau kalau kamu terlambat kerja besok," elak besanku. Harusnya dia senang kalau menantunya mau menjenguk, ini kok tidak diperbolehkan."Enggak apa-apa, Bu Besan. Akmal ini kan sudah tak punya Ayah. Dia sudah menganggap mertuanya sebagai ayahnya. Santi juga pasti khawatir dengan papanya yang sedang sakit. Walau niat kita agar tidak merepotkan mereka, tapi kita tak boleh menghalangi anak-anak untuk berbakti, Bu," ujarku menimpali."Iya, betul kata mertua Santi, Ma. Santi mau jenguk Papa. Masa karena aku sudah menikah, gak boleh lagi menjenguk Papa yang sakit," ujar menantuku. Bu Lilis tersenyum hambar dan melepas kepergian anak menantu k
"Sejak kapan Ibu punya ponsel kayak gini? Kok Akmal gak pernah lihat, Bu?" cecar anakku, membolak-balik ponsel dengan wallaper fotoku dan Bang Ande berdiri di kiri dan kanan Akmal saat wisuda. "Jangan dibuka, Bang! Itu kan privasi Ibu," larang Santi saat suaminya mulai mengutak-ngatik ponselku. Ah iya, aku baru ingat. Rekaman percakapan Santi saat berniat membuatku pulang kampung itu belum kuhapus. Santiku sudah mulai berubah dan aku tak mau kalau Akmal membenci istrinya. "Loh, kamu sudah tahu, San?" tanya Akmal. Menantuku mengangguk pelan. "Ini sudah lama, Nak. Maaf tidak memberi tahumu. Untuk komunikasi saja dengan teman-teman seangkatan ibu yang kebanyakan sudah PNS. Mereka ditugaskan di berbagai kota dan desa yang jauh. Kami tak bisa reunian lagi. Bisanya ya cuma melalui WA group. Bisalah mengobati kerinduan dengan teman-teman seperjuangan. Mereka kebanyakan sudah punya banyak cucu. Repot kalau mau reunian," jelasku seraya tersenyum.Akmal meletakkan ponsel itu dan memeluk ibu
"Santi? Kenapa kamu masuk kamar, Nak? Jangan takut, San! Om Arman itu orangnya baik. Dia tak akan melukaimu. Ibu juga akan melindungi kamu kok. Tidak akan terjadi apa-apa," ujarku, mengusap kepala menantuku yang meringkuk di atas ranjang. Dia masuk ke kamarnya dan Akmal saat mereka kupestakan di kampung ini. Kamar yang penataannya tak berubah sejak kami tinggalkan. Tidak ada debu yang menempel di sana, pasti karena Lita rajin membersihkan ruangan ini juga. "A-aku takut, Bu. Aku mengaku pernah salah. Ta-tapi aku menyesal, Bu," ujar Santi tergagap. Kesalahan apa yang dilakukan menantuku sampai Arman mengatakan kalau Santi tak punya adab? Kenapa menantuku ini begitu ketakutan? Kupeluk Santi dan mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang. Aku siap memasang badan agar pasangan hati anakku tidak terluka. Arman memang adikku. Kami memiliki pertalian darah. Tapi, Santi itu istri dari anakku. Aku harus bisa berdiri di tengah agar perselisihan mereka tidak menimbulkan kecemburuan. "Santi t
Aku dan Santi pamit pulang karena badan masih butuh istirahat. Tak lupa juga Lita kuajak tidur di rumah. Aku sudah merindukannya. Lita ini suka membaca, tapi kurang suka menulis. Dia lah yang memperkenalkanku dengan platform kepenulisan untuk mengusir kejenuhan. Siapa sangka, qku malah berpenghasilan dari sana. "Kita tidur di kamar ibu aja, ya," usulku. Karena Akmal dulu gak mau pisah tidur sampai remaja, tempat tidur kami yang terbuat dari papan didesain lebih luas. Muat lah untuk tiga orang dewasa."Santi tidur di kamar sebelah aja, Bu. Tadi udah janjian mau nelpon sama Bang Akmal. Nanti Ibu sama Lita terganggu," balas menantuku. Aku tersenyum dan mengiyakan. Mereka masih dimabuk asamara. Wajar kalau saling merindukan.Aku mengajak Lita ke kamar dan malam ini kami bisa bercerita dengan bebas. Aku sempat melihat perubahan ekspresi wajah Lita saat Santi bilang mau menelpon dengan suaminya. Apakah keponakanku ini masih kepikiran abang Akmalnya? "Sayang! Apa benar kamu menyukai Akmal?
"San! Santi! Buka pintunya, Nak!" seruku. Aku menekan gagang pintu dan ternyata tidak dikunci, lantas masuk ke dalam rumah. Santi sedang duduk di kursi rotan yang membelakangi pintu. "Pipimu terluka, San? Ya Allah, maafkan Ibu, San. Ibu akan ambilkan obat," ujarku panik sekaligus merasa bersalah. Sifat buruknya dahulu telah membuatku langsung curiga kalau dia masih angkuh dan licik.Astagfirullah! Wajar saja menantuku tadi langsung menghempaskan tangan Bu Darmi. Ternyata pipi Santi memerah dan sedikit terkelupas kulitnya. "Ibu sayang gak sih sama Santi? Kenapa membentakku di depan orang itu, Bu? Sakit hati ini lebih parah dari ini" ujar menantuku sambil menunjuk pipinya."Ibu minta maaf, Nak. Ibu khilaf dan spontan membentakmu. Mungkin karena melihat Bu Darmi yang sudah tua, ibu langsung terenyuh dan bersimpati padanya. Ibu juga terlalu fokus dengan ucapanmu yang terkesan sombong. Padahal, kamu hanya ingin membela diri," balasku sambil mengoleskan minyak akar tumbuhan ke pipi Santi.
"Sombong banget tuh Bu Khadijah sekarang. Mentang-mentang dia sudah jadi orang kota sekarang. Menantunya salah, dia diam saja. Aku sudah menunggu tadi malam, kirain mereka datang mau minta maaf, sekalian bawain oleh-oleh. Eh, rupanya gak ada," ujar Bu Darmi. Ia sedang sibuk bergosip dengan tetangga yang lain sambil memetik sayur daun singkong milikku. Halaman belakang rumahku lumayan luas dan tanahnya sangat subur. Aku membiarkan warga mengambil berbagai sayur itu untuk dikonsumsi sendiri. Asal jangan di jual saja."Ehem! Rupanya ada yang sudah bergosip pagi-pagi begini ya!" celetukku. "Eh, Bu Dijah. Kirain tadi belum bangun. Biasa kan orang kota malas bangun pagi. Kami jadi belum izin mau ngambil sayur," seru Bu Liana. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak ditutupi apa-apa. Aku melihat dengan jelas, liur basi bahkan masih menempel di dekat bibirnya. "Gak semua orang kota malas bangun dan belum tentu juga orang kampung itu rajin, Bu. Semua tergantung orangnya. Tuh, dengerin! Mena
"Titip rumah ya, Arman! Kalian baik-baik di sini. Dan ingat, jangan jodohkan Lita dengan sembarangan orang. Kalau anak orang sudah berumah tangga, kalian sebagai orang tua jangan menuntutnya harus sama. Emangnya nikah itu lomba lari apa? Yang paling cepat berarti menang. Tidak, kan?" tuturku. "Iya, Kak. Tapi, kita juga takut kalau Lita gak laku-laku. Sebagai orang tua, kami khawatir kalau anak perempuan lama menikah. Beda kalau anak laki-laki," timpal ibunya Lita. "Kakak tahu kekhawatiran kalian. Tapi, dia belum ketuaan kok. Kalau kalian belum menemukan jodoh yang tepat untuknya, biar Akmal yang carikan. Tenang saja! Kita tentu gak mau kalau gadis cantik jelita ini tidak bahagia nantinya," ungkapku, menjawil dagu Lita. "Alhamdulillah. Makasih ya, Kak," balas Rohani. "Makasihnya nanti saja. Kan belum berhasil, iya kan Li? Bibi sama Santi balik ke kota dulu. Titip salam buat Dino, ya!" tandasku. Lita memelukku, lalu menyalami Santi. Ponakanku, adiknya Lita masih mondok dan akan ta
"Kalian berempat, cepat pijiti kaki dan tangan ibu!" titahku masih dengan nafas ngos-ngosan. Mereka yang terlihat khawatir langsung melakukan perintahku. "Kamar ini panas sekali, cepat kipasin Akmal. Ibu gak mau pakai AC," titahku. Akmalku langsung menurut. Aku tertawa dalam hati melihat ketegangan di wajah mereka. Siapa suruh ngagetin orang tua? "Sepertinya kita cuma dikerjai loh.""Iya, ya. Ibu kelihatan menahan senyum.""Ibu! Ibu ngerjain kita ya?" ujar Akmal, lantas menggelitiku. Tak tertahan lagi, aku jadi terpingkal-pingkal."Ampun! Ampun, Akmal! Ini salah kalian. Kenapa bikin kejutan horor begini. Ibu sedih melihat Santi menangis. Untung saja ibu tidak punya riwayat sakit jantung," ungkapku, lalu tertawa."Huuh." Kompak mereka menghela nafas lega, lalu saling berpandangan."Kamu pasti kasih tahu sama Bu Dijah ya, San? Gagal deh rencananya. Gak asyik," ungkap Laura, bersedekap dada. "Eh, jangan salah faham, Gaes! Aku gak ada bilang kalau kalian siapkan kejutan. Kan sudah kub