Share

Enam

"Hallo putri mama yang syantik. Gimana kabarnya, Sayang? Kamu enggak sakit hati kan tinggal sama mertuamu? Atau … dia pernah bicara kasar? Ih, kamu kok pake baju kayak gini? Gak modis tahu," cerocos besanku. Suaranya yang khas langsung kukenali dari dapur. Aku menghentikan langkah melihat Bu Lilis membolak-balik badan menantuku.

Tidak ada salahnya perhatian pada anak sendiri? Apakah perlu sampai seperti itu? Selalu mertua yang jadi tersangka. Apa aku kelihatan seperti orang yang kasar?

"Aku baik-baik saja, Ma. Gak usah berlebihan deh. Ada apa datang ke sini?" Santi balik nanya. Sepertinya Santi sudah terbiasa berkata kurang sopan sejak masih gadis. Anehnya, besanku malah tertawa.

"Belakangan ini kamu jarang nelpon sama Mama. Wajar dong kalau khawatir. Kamu itu putri ibu satu-satunya," balas besanku. Tak enak melihat mereka masih berdiri di teras, aku menghampiri dengan senyum terkembang.

Aku dan Bu Lilis bisa dikatakan bernasib sama. Dia dan suaminya hanya memiliki Santi, sedangkan aku dan mendiang suami cuma punya Akmal.

"Eh, Bu Lilis. Kapan datang? Mari masuk!" ucapku ramah. Mamanya menantuku tersenyum kecut dan tak membalas ucapanku.

Wanita seumuranku itu masuk dengan gaya jalan seperti orang sedang berjalan di panggung catwalk. Aku menahan tawa agar hatinya tidak tersinggung. Besanku ini memang kelewatan gaya, tapi ya itu, kadang gak sesuai dengan umur kami yang tak muda lagi.

"Mama ih, kok gak jawab pertanyaan mertua Santi? Kalau ditanya itu dijawab loh, Ma," seru menantuku.

"Apa yang terjadi sama kamu, San? Ini mama kamu loh. Apa suami dan mertua kamu ngajarin ngomong gitu sama orang tua? Kamu lupa siapa yang melahirkanmu?" cecar besanku. Baru saja aku mulai sedikit tenang melihat itikad baik dari menantuku, wanita seusiaku itu mau menguji kesabaranku.

Kesabaran itu luas dan tidak ada batasnya. Kemampuanku sebagai hamba Allah yang lemahlah kadang membuat hati ini jengkel dan mengomel dalam hati. Satu pintaku saat marah, jangan sampai bibir ini mengeluarkan sumpah serapah yang akan menyakiti hati siapa pun yang mendengarnya. Aku akan sangat malu pada diri ini. Semakin tua malah semakin kebablasan.

Aku menarik nafas dan mengulas senyum agar tidak kelihatan kalau hatiku mulai tak nyaman dengan ucapan besanku.

"Mana ada sih orang tua yang mengajarkan hal buruk pada anak menantunya, Bu. Santi itu anak Ibu dan jodohnya anak saya. Santi memang menantu saya tapi dia seperti anak perempuan saya, Bu. Saya mengajarkan hal yang baik padanya karena tanggung jawab Bu Lilis mengajarinya sudah selesai. Tidak baik langsung menuduh begitu, Bu!" ujarku.

"Iya, Mama ini kok main tuduh-tuduh saja? Mertuaku baik kok. Aku saja yang mulai banyak kesibukan," timpal Santi, mengerucutkan bibir ke arah mamanya.

"Eeeeh, sibuk apaan? Emangnya suami kamu gak sanggup biayain kamu? Gak sanggup gaji pembantu juga? Kalau begini ceritanya, kamu tinggal sama Mama aja. Dijamin, kamu cuma terima beres," ujar besanku berapi-api.

Aku menghela nafas. Ujian bisa datang dari arah mana saja, tidak terduga sama sekali. Tapi, aku yakin kebahagiaan juga bisa datang dari arah tak disangka. 'Jangan marah, maka bagimu surga.' Semoga aku bisa mengamalkannya.

"Bukannya gak sanggup, Bu Lilis. Kebutuhan putri kita masih bisa dipenuhi. Soal menggaji ART juga insya Allah sanggup. Tapi, mereka belum punya anak dan Santi tidak ada kesibukan. Apa salahnya kalau dia mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya? Pernikahan itu ibadah terlama yang banyak sekali peluang pahala di dalamnya." Aku merespon tuduhannya terhadap Akmalku.

"Beribadah itu kalau sudah tua, Bu Dijah. Mereka masih muda. Jangan dikekang dong! Biarkan mereka bertindak sesuka hati. Main sama teman-temannya yang masih lajang. Ini nih yang aku takutkan kalau nikahnya kecepatan. Sifat asli Akmal dan ibunya belum ketahuan. Saya merasa seperti membeli kucing dalam karung saja," cerocos besanku berapi-api. Aku sampai menjauhkan wajahku agar tidak kecipratan air liurnya.

Sepertinya besanku sedang membicarakan dirinya sendiri. Akmalku-lah yang membeli kucing dalam karung. Santi dan mamanya tidak sebaik yang ia kenal. Namun, sedikit demi sedikit perubahan positif Santi adalah suatu hal yang patut kami hargai. Berbagai hadiah kecil dan juga pujian selalu aku dan Akmal berikan untuknya.

Aku ingin mengembalikan kata-kata besanku, tapi apa gunanya? Santi yang mulai berubah akan tersinggung nantinya. Dia sudah seperti putriku.

"Di tempat Bu Lilis, apa tidak ada orang yang meninggal muda? Usia muda tak menjamin malaikat maut datang bertamu loh, Bu. Yang baru lahir saja bisa berpulang," balasku tetap tersenyum. Bu Lilis mendengkus dan menoleh ke luar di mana mobil anakku baru berhenti.

Bu Lilis bergegas keluar dan menyambut anakku. Lucu sekali. Dia tadi menghina anakku, nyatanya sikapnya sangat ramah pada menantunya itu. Dia bersikap seolah tuan rumah. Padahal, harusnya anakkulah yang mendatangi dia yang statusnya tamu dan juga mertua dari Akmal.

"Mama mertua kapan datang? Kenapa gak kasih tahu tadi sih, Dek? Tahu gini, abang bisa belikan makanan di luar," celetuk Akmal tak enak hati.

"Mama baru datang, Bang. Gak kasih tahu duluan juga. Sini aku bawain tasnya," ujar Santi, mencium tangan suaminya dan membawa tas Akmal ke kamar. Anak lelakiku itu beralih padaku, mencium tangan dan pipi ibunya ini.

Akmal duduk sebentar dan beramah tama dengan besanku, lantas pamit mau membersihkan badan.

"Lebay banget sih. Tiap hari juga jumpa, ngapain mesti cium tangan segala?" cibir besanku. Aku tertawa mendengar ucapan Bu Lilis.

"Kalau mau protes, sama orangnya aja ya, Bu. Oh iya, saya ambilkan minum dulu, ya," ujarku, lalu melangkah ke dapur.

Hmm. Kalau aku kasih teh pakai garam, dosa gak ya? Soalnya besanku itu mulutnya pedas juga.

Aku membuatkan teh manis dengan sedikit gula untukku dan anak menantu yang sudah duduk bersama besanku. Teh dengan dua sedok garam untuk Bu Lilis yang terlihat bahagia sekali bercengkrama dengan anakku. Aku ingin lihat apakah ia akan mengumpat di depan menantunya.

"Ini loh, Akmal. Mama datang ke sini mau minjam uang. Papanya Santi sedang sakit dan butuh biaya berobat," ujar besanku. Ooh, rupanya dia datang ada maksud.

"Ini tehnya, Bu. Minum dulu biar gak kering tenggorokan," ujarku ramah.

"Kok jadi Ibu yang bikin teh. Harusnya aku aja, Bu," celetuk Santi. Ia mengambil teh bagiannya dan Akmal.

"Gak apa-apa, Sayang," balasku, lalu duduk di samping besanku.

"Silakan diminum, Ma! Teh buatan Ibu sangat enak sejak dulu sampai sekarang. Untungnya Santi sudah bisa bikin teh yang lebih enak dari buatan Ibu. Soalnya pakai cinta sih," kekeh Akmal, lantas menyesap tehnya.

Bu Lilis menyeruput tehnya dan seketika wajahnya berubah masam. "Enak kan, Besan?" ujarku, menyenggol pelan lengannya.

"E-enak," balasnya terpaksa, lalu meneguk teh yang rasanya asin. Aku tak menyangka, dia bisa mengendalikan ucapannya jika ada Akmalku di sini. Lelaki yang ia hinakan saat di belakang anakku.

Syukurlah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status