Share

Ambil Saja Gaji Anakmu, Bu!

Mertua Jahat Tak Tahu Aku Kaya (4)

Pagi ini usai melakukan solat subuh bergegas aku menuju dapur untuk melakukan rutinitas seperti biasanya, memasak.

Sebelum berangkat kerja, Mas Alvin memang biasanya sarapan dan minum teh panas dulu. Itu sebabnya aku bergegas ke dapur sebelum hari semakin terang dan terlambat menyiapkan hidangan.

Aku membuka kulkas dan mengeluarkan potongan ayam yang tadi malam sudah kucuci bersih. Rencananya akan kumasak menjadi ayam bumbu kesukaan suamiku itu.

Kukeluarkan tiga potong lalu merebusnya bersama bumbu ayam yang sudah diblender. Nanti kalau sudah kering airnya baru digoreng bareng bumbunya supaya gurih.

Sengaja aku masak pas-pasan, hanya untuk makan pagi ini saja. Aku tak mau lagi masak banyak-banyak karena rasanya percuma saja, hanya akan habis disikat Mbak Yuni dan anak-anaknya.

Masih enak Mbak Yuni tidak mengataiku yang tidak-tidak dan berterima kasih sudah bisa numpang makan gratis di rumah ini, ini sudah dimasakkan, malah memfitnahku yang tidak-tidak. 

Mengatakan aku pemalas dan menghabiskan waktu dengan bermain ponsel saja, padahal tak ada satupun pekerjaan rumah yang tidak kukerjakan setiap harinya.

Dia menuduhku pemalas, padahal justru rumahnya yang tak pernah bersih dan rapi. Sampah sisa jajan anak-anaknya bertebaran di depan rumah. Bukan itu saja, baju-baju mereka dan suaminya juga jarang disetrika karena ia lebih suka menghabiskan waktu dengan bergosip di rumah tetangga. 

Aku sudah sering mendengar ia menggosipkan dan mengolok-olokku bersama tetangga kanan kiri. Katanya aku dapat rejeki nomplok karena menjadi istri Mas Alvin, sementara Mas Alvin ketiban sial karena sudah memilihku menjadi istri.

Sakit hati kalau mendengar gosip yang ia edarkan ke sekeliling kompleks perumahan ini. Ingin rasanya membalas, tapi aku belum menemukan cara yang paling tepat untuk itu. Selain kurang suka keluar rumah dan kumpul tetangga bergosip ria, aku juga belum punya sesuatu yang bisa dijadikan senjata untuk menyerang balik dirinya tanpa mampu mengelak lagi.

"Vir, masak apa kamu? Kok cuma seuprit begitu? Nanti kalau Dea dan Deo mau ikut sarapan di sini mau dikasih makan apa? Disuruh ngeliatin kamu makan aja?" celetuk ibu mertua yang tiba-tiba sudah berdiri di pintu dapur lengkap dengan tatapan sinis dan senyum mengejek.

Mendengar ucapan ibu yang menyakitkan telinga, aku menyahut dengan nada ringan.

"Dea dan Deo 'kan punya orang tua, Bu. Punya rumah. Kenapa giliran makan harus datang ke sini, sih? Bukan tanggungjawab aku 'kan, Bu ngurusin makan mereka? Kenapa jadi kebalik-kebalik?" ucapku tanpa tedeng aling-aling.

Ya, dibalas dengan kalimat menohok saja kadang ibu tidak mengerti, apalagi jika dibiarkan begitu saja. Bisa makan hati sendiri aku nanti.

"Vira! Kamu kalau jawab pertanyaan orang tua, jangan kurang ajar ya. Diomongin  baik-baik malah nyolot! Dengar ya mantu sialan, Dea Deo itu cucuku. Wajar aja mereka makan di sini. Mau sekalian dihabisin juga nggak masalah, tinggal masak lagi. Dasar kamu aja yang malas, makanya begini aja jadi masalah!" ibu mertua berkacak pinggang dengan mata melotot padaku.

"Maaf ya Bu, yang pemalas itu siapa? Setiap hari habis solat subuh aku masak buat suami. Coba ibu tanya Mbak Yuni pagi-pagi masak dulu nggak buat Mas Bowo? Kalau masak, kenapa anak-anaknya pada sarapan kesini? Nggak papa sih, Bu kalau Mbak Yuni bisa menghargai aku, tapi yang ada tiap hari aku cuma dijelek-jelekkin ke tetangga. Sakit, Bu. Coba ibu yang jadi aku, apa ibu mau diam aja?"

"Lha kalau yang dia omongin kenyataan, ngapain kamu nggak terima? Dengar ya, kamu itu beruntung banget jadi istri Alvin, hidup kamu enak dan terjamin. Coba lihat sekeliling sini. Istri-istri para tetangga banyak yang harus nyambi kerja ini itu buat nutup kebutuhan bulanan, tapi kamu enggak. Tinggal ngabisin duit Alvin aja belagu!"

"Bu, ibu pikir gaji Mas Alvin berapa sih, Bu? Cuma lima juta, Bu. Satu juta sudah untuk bayar kredit perbulan, lima ratus buat listrik, lima ratus buat transportasi Mas Alvin ke kantor, lima ratus ribu buat ngasih ibu, sisa dua setengah juta buat kebutuhan makan dan yang lain, Bu. Jadi, jangan dikira aku senang-senang dikasih uang segitu, yang ada aku pusing ngaturnya supaya cukup untuk makan kita satu bulan, apalagi ada mbak Yuni yang hampir tiap hari makan di sini! 

"Dua juta setengah sedikit? Dasar istri nggak bersyukur! Kalau kamu ngerasa itu sedikit, biar ibu saja yang pegang dan ngelola. Biar kamu tahu ibu bisa ngapain aja dengan uang segitu!"

"Ibu yakin? Baik, kalau emang soal gaji Mas Alvin yang diserahkan ke Vira yang terus jadi masalah, mulai bulan depan, ibu aja yang pegang gaji Mas Alvin. Tapi ingat ya, Bu kalau kurang, jangan salahin Vira!" usai berucap begitu aku membalikkan tubuh hendak meninggalkan ibu tetapi sodok Mas Alvin tiba-tiba muncul dari ruang tengah.

"Ada apa ini ribut-ribut? Ibu? Vira? Ada apa?" tanya Mas Alvin dengan kening berkerut dan tatapan penuh tanya.

"Ini, Vin. Istri kamu, bawaan nyolot terus kalau dikasih tahu. Ibu tanya sarapan buat Dea dan Deo aja ngomongnya bukan tugas dia. Gini ini bawaan orang kampung, nggak punya sopan-santun. Ibu sudah muak punya menantu dia, mana nggak hamil-hamil lagi, jangan-jangan mandul! Udah Vin, ceraikan aja dan nikah sama Ayu, biar hidup kamu lebih enak, nggak harus kerja keras, duit udah ngalir dari mertua!" cerocos ibu tanpa merasa malu membandingkan aku, menantunya sendiri dengan perempuan lain yang belum tentu sesuai dengan dugaannya.

"Bu, jangan ngomong gitu dong. Alvin 'kan udah memilih Vira jadi istri, tolong dong ibu hargai pilihan Alvin, jangan sebut-sebut Ayu lagi, Bu. Kalau masalah Vira belum juga hamil, mungkin memang belum saatnya dikasih Allah, Bu." ucap Mas Alvin menengahi. 

Sejauh ini Mas Alvin memang selalu bisa menjadi penengah, berusaha meredam kebencian ibu padaku yang entah dari mana asalnya. 

Aku juga masih mencoba bertahan karena sikap Mas Alvin yang masih menghargaiku sebagai istri, kalau tidak, mungkin aku sudah pergi dari rumah ini. Tak tahan rasanya harus menerima ejekan dan sindiran yang setiap hari selalu ibu dan Mbak Yuni alamatkan padaki. Daripada jadi gila dan depresi, lebih baik aku pulang ke rumah orang tua.

"Udahlah, Mas. Aku tahu kenapa ibu selalu marah sama aku, apalagi masalahnya kalau bukan karena gaji yang mas berikan padaku selama ini. Jadi,  mulai bulan depan mas kasih aja penghasilan mas ke ibu, biar ibu nggak selalu menyalahkan aku terus. Aku capek mas, dituduh ngabisin duit kamu. Mending aku cari duit lain aja ketimbang makan hati begini," sahutku sembari berlalu dari dapur usai meletakkan ayam yang tadi sudah digoreng ke atas meja.

Ya, mulai bulan depan aku akan meminta Mas Alvin memberikan saja gajinya pada ibu biar beliau yang mengurus kebutuhan di rumah ini. Jadi aku bisa fokus menulis agar bisa mendapatkan penghasilan dan hidup dari sana. 

Aku sudah tak sabar menunjukkan pada ibu dan Mbak Yuni kalau tanpa gaji dari mas Alvin aku juga bisa makan dan hidup kecukupan.

***

Aku menatap deretan angka yang tertera pada jumalah royalti yang akan aku terima beberapa hari lagi. Sejumlah angka yang nominalnya hampir dua kali lipat dari jumlah gaji Mas Alvin setiap bulannya.

Aku mengulum senyum di bibir. Tunggu saja, Bu saatnya menantu miskinmu ini beraksi, apa ibu masih bisa menghinaku kalau sekarang aku juga punya uang bahkan nominalnya lebih besar daripada gaji Mas Alvin tiap bulan.

Aku mau tahu apa ibu dan Mbak Yuni masih bisa menghinaku jika aku bisa membeli apa saja yang kuinginkan tanpa uang dari Mas Alvin????

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status