Mertua Jahat Tak Tahu Aku Kaya (3)
"Vira, tadi siang kata ibu kamu ribut sama Mbak Yuni, ya?" tanya Mas Alvin setelah selesai makan malam dan kami menuju ke peraduan.
Aku diam sembari meraih ponsel. Rencana hendak meneruskan menulis cerbung yang sedang kuposting di sebuah aplikasi kepenulisan.
Tekadku sudah bulat ingin segera menambah deretan angka pada pencapaian royalti agar kelak bisa menunjukkan pada ibu dan Mbak Yuni bahwa aku bukanlah perempuan miskin yang hanya bisa menumpang hidup pada anaknya saja.
Aku ingin membuktikan pada ibu dan kakak iparku yang iri dengki itu bahwa walaupun hanya di rumah saja tetapi aku bukanlah ibu rumah tangga biasa. Aku seorang penulis yang memiliki penghasilan lumayan besar dari menulis di platform-platform kepenulisan. Kelak, aku akan membuktikan pada mereka bahwa tanpa penghasilan dari anaknya aku juga bisa hidup lebih dan punya segalanya.
Tidak ada yang tidak mungkin jika aku terus berusaha dan tak patah semangat. Itu sebabnya aku terus berusaha mengembangkan tulisan agar menarik minat pembaca. Dengan begitu penghasilanku terus bertambah hingga target jutaan rupiah mampu kucapai setiap bulannya.
Aku ingin membungkam mulut ibu dan Mbak Yuni yang setiap hari sibuk mempersoalkan kemana kugunakan gaji Mas Alvin sampai-sampai tega menuduhku mengirimi orang tuaku di kampung, uang dari gaji Mas Alvin yang sebenarnya tidaklah banyak.
Ya, berapa sih besarnya gaji lima juta rupiah perbulan untuk ukuran zaman sekarang? Jika tidak hemat, belum tentu kami bisa membangun rumah KPR ini meski setiap bulan masih harus menyicil kreditnya.
Ibu dan Mbak Yuni mungkin mengira gaji Mas Alvin sebesar lima juta rupiah itu begitu besar hingga setiap hari nyaris tak ada hari tenang karena kedua orang itu terus mempersoalkan mengapa Mas Alvin harus menyerahkan uang tersebut padaku setiap bulan sesuai nominal yang tertera pada slip gajinya.
Padahal, aku saja sudah pusing membagi uang tersebut agar cukup dipakai untuk memenuhi kebutuhan kami selama satu bulan yang terus membengkak sejak ibu dan Mbak Yuni masuk ke rumah ini. Ibu yang selalu ingin makan enak dan Mbak Yuni yang setiap hari membawa makanan dari rumah ini diam-diam tanpa sepengetahuanku, memang membuatku mulai pusing kepala mengalokasikan gaji Mas Alvin supaya cukup.
"Vir, ditanya kok diem aja sih? Tadi habis ribut sama Mbak Yuni dan ibu ya? Ngalah saja dong Vir, gimana pun mereka 'kan ibu dan kakakku, harusnya kamu bisa lebih sabar menghadapi mereka, ya?" ucap Mas Alvin dengan tenang dan lembut.
Entahlah, jika bukan karena sikap Mas Alvin yang sangat lembut dan penyayang, mungkin sudah kuakhiri saja pernikahan ini ketimbang makan hati dirong-rong mertua dan kakak ipar, mumpung belum punya anak, jadi kalau harus berpisah dari Mas Alvin tak ada yang harus tersakiti perasaannya.
Ah, andai ibu dan Mbak Yuni tak harus masuk dalam kehidupan kami, tentu kedamaian rumah tangga yang kudambakan itu bisa kembali terwujud seperti dulu.
"Ribut? Emang ibu dan Mbak Yuni nggak cerita kalau mereka sudah ngomongin aku yang nggak-nggak? Emang mereka cerita apa aja sama Mas?" tanyaku sembari mengalihkan pandangan dari layar ponsel dan menatap penuh pada suamiku meskipun sejujurnya tak terlalu tertarik membicarakan perihal ibu dan Mbak Yuni. Nggak penting banget dan cuma menghabiskan energi menurutku, kecuali Mas Alvin bisa memberikan solusi lain sebagai jalan keluar selain aku yang harus mengalah menghadapi mereka.
"Ibu bilang kamu melarang Mbak Yuni makan di rumah ini dan menuduh Mbak Yuni sudah menghabiskan lauk yang kamu masak, apa itu benar?"
Tanpa berusaha mengelak, aku menganggukkan kepala, tanpa beban, tanpa perlu menutup-nutupi kenyataan sebenarnya dari Mas Alvin. Aku tahu aku tidak salah, jadi tak ada yang perlu ditakuti dari Mas Alvin.
"Kenapa sih tidak kamu biarkan saja Mbak Yuni dan anak-anaknya makan di sini, Vir? Kasian mereka. Mas Bowo usahanya lagi sepi. Mungkin itu sebabnya mereka numpang makan di sini. Hitung-hitung sedekah sama saudara lho, 'kan itu dianjurkan agama ...." ucap Mas Alvin kembali berusaha membujukku.
Tapi jangan sebut aku Vira, jika mau begitu saja disalah-salahkan begitu saja. Enak aja ibu dan Mbak Yuni mengarang cerita kalau aku sudah melarang mereka makan di sini, sementara ucapan mereka yang selalu mengataiku menantu pemalas tak pernah diceritakan pada Mas Alvin.
"Mas, aku nggak masalah Mbak Yuni mau makan di sini, atau sekalian Mas Bowo juga. Tapi jangan gitu dong caranya. Giliran habis, aku yang dituduh ibu nggak mau masak, malesan, tiap hari cuma pegang hp doang. Aku punya perasaan, Mas. Aku dapat apa sih jadi istri kamu? Baju baru aja bisa beli setahun sekali karena harus hemat supaya bisa bikin rumah ini. Rumah yang kita tempati sama-sama, bahkan sekarang juga ditempati ibu. Harusnya bersyukur dong aku bisa mengelola keuangan anaknya dengan baik, bukannya malah merongrong dan menghinaku mau senang-senang dengan uang Mas. Ngomong itu harusnya 'kan pake otak Mas, jangan pake nafsu biar nggak ngelantur ujungnya!" tukasku mengemukakan kekesalan pada ibu dan Mbak Yuni yang kurasakan di dalam hati.
Meski aku tahu tak akan banyak gunanya karena sebagai anak laki-laki, Mas Alvin sangat tunduk dan patuh pada ibunya, tetapi Mas Alvin harus tahu bahwa aku tak sejahat seperti yang dituduhkan ibu dan kakak perempuannya itu.
Mertua Jahat Tak Tahu Aku Kaya (4)Pagi ini usai melakukan solat subuh bergegas aku menuju dapur untuk melakukan rutinitas seperti biasanya, memasak.Sebelum berangkat kerja, Mas Alvin memang biasanya sarapan dan minum teh panas dulu. Itu sebabnya aku bergegas ke dapur sebelum hari semakin terang dan terlambat menyiapkan hidangan.Aku membuka kulkas dan mengeluarkan potongan ayam yang tadi malam sudah kucuci bersih. Rencananya akan kumasak menjadi ayam bumbu kesukaan suamiku itu.Kukeluarkan tiga potong lalu merebusnya bersama bumbu ayam yang sudah diblender. Nanti kalau sudah kering airnya baru digoreng bareng bumbunya supaya gurih.Sengaja aku masak pas-pasan, hanya untuk makan pagi ini saja. Aku tak mau lagi masak banyak-banyak karena rasanya percuma saja, hanya akan habis disikat Mbak Yuni dan anak-anaknya.Masih enak Mbak Yuni tidak mengataiku yang tidak-tidak dan berterima kasih sudah bisa numpang makan gratis di rumah ini, ini sudah d
Mertua Jahat Tak Tahu Aku Kaya (5)"Kamu yakin biar ibu saja yang pegang gaji, Mas? Mas khawatir ibu kesulitan mengelola mengingat sekarang semua serba mahal, lho Vir?" ucap Mas Alvin sesaat setelah pulang kerja.Hari ini tepat tanggal satu, tanggal di mana Mas Alvin gajian.Biasanya amplop gaji berikut struk-nya diserahkan padaku untuk membiayai kebutuhan kami selama satu bulan, tetapi karena ibu selalu protes sebab Mas Alvin selalu menyerahkan gajinya seutuhnya padaku hingga benci dan selalu mencari perkara untuk menyusahkanku, maka aku pun meminta mulai bulan ini semua penghasilan Mas Alvin diserahkan saja pada ibunya.Biar ibu saja dibantu Mbak Yuni yang mengelola kebutuhan rumah tangga selama satu bulan. Aku mau istirahat dulu dari pusingnya menghitung pengeluaran rumah tangga yang ada-ada saja kurangnya.Lagipula aku juga penasaran, bisa bertahan berapa hari di tangan ibu uang sebesar itu mengingat beliau orang yang boros dan senang mem
Mertua Jahat Tak Tahu Aku Kaya (6)"Pergi dulu ya, Vir. Baik-baik di rumah," pamit Mas Alvin sebelum menaiki sepeda motornya menuju tempat kerja.Aku tersenyum tipis, mengiringi kepergian suamiku dengan hati yang ... entah.Sepeninggal Mas Alvin, aku kembali masuk ke dalam rumah. Rencananya hendak membereskan sisa makanan bekas sarapan Mas Alvin yang tadi masih ada di meja makan.Namun, langkahku terhenti saat mendengar keriuhan di depan sana. Kulihat Mbak Yuni dan anak-anaknya juga ibu sedang mengelilingi meja makan yang dipenuhi oleh hidangan beraneka macam.Entah kapan ibu atau Mbak Yuni memasaknya. Yang jelas tiba-tiba saja semuanya sudah ada di sana.Padahal barusan Mas Alvin terpaksa membeli nasi uduk sepuluh ribu karena hingga hendak berangkat, belum ada apapun yang terhidang di meja makan."Enak ya, Bu. Makan tinggal pesan go fo*d kek gini. Semuanya enak, nggak kayak biasanya, makan nggak pernah enak karena duit dipegang Vira
Drrt...ddrt...ddrt....Ponsel di atas meja bergetar.Kuhentikan menyuap daging kepiting yang empuk itu lalu membuka notifikasi yang bergulir pada papan layar. Terlihat notifikasi pesan baru pada aplikasi WhatsApp. Sepertinya Mbak Yuni baru saja mengirim pesan.Setelan aplikasi berwarna hijau yang sudah kusetel seolah pesan belum terbaca padahal sudah dibaca itu membuat aku bisa membuka pesan itu tanpa Mbak Yuni mengira jika pesannya sudah dibaca.Aku sengaja melakukan itu karena enggan membalas pesan kakak ipar julid itu.[Vira, kamu lagi di mana???!] Pesan Mbak Yuni dengan tanda tanya panjang dibelakangnya.Aku hanya tersenyum geli dan kembali melanjutkan makan tanpa ingin diganggu dengan pesan itu. [Vira, kamu lagi makan di restoran ya??? Pakai duit tabungan Alvin, iya kan??? Awas ya kalau kamu habiskan duit tabungan adikku!!! Pokoknya aku nggak mau tahu, pulang nanti segera serahkan buku tabungan dan ATM Alvin sama mbak!!!]
Sore ini sepulang dari tempat kerja, ibu dan Mbak Yuni nampaknya sudah menghadang Mas Alvin di depan pintu masuk. Terdengar laporan kedua perempuan beda usia itu pada Mas Alvin yang baru saja datang.Aku sendiri sedari pulang tadi lebih memilih tak keluar kamar karena malas melihat wajah ibu dan Mbak Yuni yang sejak siang memang belum juga pulang, begitu pun Dea dan Deo kedua anaknya yang sibuk nonton televisi sedari tadi.Rumah sudah seperti kapal pecah karena tak ada satupun yang mau membersihkan sampah dan sisa makanan yang bertebaran di mana-mana. Ibu dan Mbak Yuni cuma asyik memesan makanan dan berpesta seperti tak memikirkan hari esok lagi.Jujur, sebenarnya aku khawatir mereka kehabisan uang sebelum akhir bulan tiba, karena aku kasihan memikirkan nasib Mas Alvin, kemana suamiku itu harus mencari tambahan uang jika gajinya yang sekarang dipegang ibu dan mbak Yuni habis sebelum waktunya.Namun, Ibu dan Mbak Yuni sendiri malah tak khawatir dan t
Keluar dari toko perhiasan, aku tak langsung pulang melainkan masuk dulu ke sebuah restoran siap saji. Kupesan ayam goreng kesukaan, jus jeruk dan kentang goreng favorit. Aku makan dengan lahap karena sedari tadi belum ada satu pun makanan yang masuk ke dalam perut meski Mbak Yuni dan ibu sudah membeli aneka lauk pauk dan pesta makan di dapur dengan kedua cucu dan menantunya, Mas Bowo. Sementara karena sudah telat, pagi ini terpaksa Mas Alvin berangkat kerja tanpa sarapan lebih dulu.Entahlah, tumben-tumbenan Mas Bowo, suami Mbak Yuni pagi ini mau sarapan di rumah. Biasanya sih hanya menunggu kiriman makanan yang dibawa Mbak Yuni dari kediaman kami saja. Tapi pagi tadi, mungkin karena merasa sudah bebas lalu lalang bahkan memegang keuangan di rumah ini, Mbak Yuni juga membawa suaminya itu makan di rumah.Aku sih tidak peduli. Mau ngapain aja mereka sebodo amat. Aku sendiri bahkan sudah berpikir hendak pergi dari rumah itu. Rumah yang baru satu tahun dibeli dan ma
Namun, demikian kami tak pernah lepas berkomunikasi. Padanya aku berani bercerita dan mengadukan semua masalahku. Terutama masalah dengan ibu mertua dan Mbak Yuni sejak mereka pindah ke rumah. Jika tak ada tempat berbagi cerita seperti ini barangkali aku tak bisa setenang ini menghadapi masalah yang saat ini menimpaku."Eh, Say... gimana kabar mertua dan kakak ipar kamu? Masih rese juga? Lawan atuh, Vir...eh tapi aku yakin kamu pasti nggak akan diam aja. Vira gitu lho, cewek jagoan yang pernah bikin cowok yang berani macem-macem pingsan di tempat." ucap Dina mengenang masa lalu saat belum menikah. Kami kemudian tertawa bareng mengingat momen itu.Pada Dina kuceritakan tentang keisengan-keisengan yang sengaja kulakukan untuk mengerjai ibu dan Mbak Yuni sebagai balasan setimpal atas perbuatan mereka. Mendengar cerita dariku, Dina pun tertawa cekikikan hingga keluar air mata."Sumpah, aku nggak ngebayangin betapa kesalnya mertua kamu, Vir. Apalagi tahu kamu baru sa
Di depan televisi kulihat sosok Mas Bowo, suami Mbak Yuni sedang menemani kedua anaknya menonton film kartun.Ah, ada apa ya sampai semua orang itu seolah sengaja berkumpul di rumah ini sekarang? Ingin menyambut kepulangankukah? Ingin cari masalah baru lagikah denganku? Ya, Tuhan. Kapan permusuhan dengan ibu mertua dan kakak ipar ini bisa segera berakhir? Aku mulai jenuh dan bosan rasanya, meski jujur ada keseruan saat bisa membalasnya.Sembari menghela nafas, aku mengetuk pintu pelan. Tak lama menunggu, pintu pun terbuka dan sosok mbak Yuni muncul dengan api kemarahan di wajahnya."Hei, ipar sia*an! Pulang juga akhirnya kamu? Dari tadi mbak telpon nggak kamu angkat kenapa? Budek ya?" sentaknya kasar sembari menghempaskan daun pintu saat aku sudah berada di dalam rumah.Mendengar bentakannya, aku menyahut pelan, 'Oh, aku lagi di jalan. Kenapa emangnya, Mbak?" tanyaku dengan tenang. Kuedarkan pandangan ke sekeliling dan menemukan ibu sedang berkacak pinggang dengan mata melotot tajam p