Share

Aku Juga Bisa Hidup Sendiri, Bu!

Mertua Jahat Tak Tahu Aku Kaya (5)

"Kamu yakin biar ibu saja yang pegang gaji, Mas? Mas khawatir ibu kesulitan mengelola mengingat sekarang semua serba mahal, lho Vir?" ucap Mas Alvin sesaat setelah pulang kerja.

Hari ini tepat tanggal satu, tanggal di mana Mas Alvin gajian.

Biasanya amplop gaji berikut struk-nya diserahkan padaku untuk membiayai kebutuhan kami selama satu bulan, tetapi karena ibu selalu protes sebab Mas Alvin selalu menyerahkan gajinya seutuhnya padaku hingga benci dan selalu mencari perkara untuk menyusahkanku, maka aku pun meminta mulai bulan ini semua penghasilan Mas Alvin diserahkan saja pada ibunya.

Biar ibu saja dibantu Mbak Yuni yang mengelola kebutuhan rumah tangga selama satu bulan. Aku mau istirahat dulu dari pusingnya menghitung pengeluaran rumah tangga yang ada-ada saja kurangnya. 

Lagipula aku juga penasaran, bisa bertahan berapa hari di tangan ibu uang sebesar itu mengingat beliau orang yang boros dan senang membeli barang-barang yang tidak penting.

Buktinya uang pegangan sebesar lima ratus ribu rupiah yang kuberikan pada ibu setiap bulan tak pernah bersisa meski kebutuhan makan dan lainnya sudah dipenuhi. Uang sebesar itu bahkan sudah habis di minggu pertama untuk sesuatu yang tidak urgen.

Jadi, jika diserahkan semua gaji Mas Alvin pada beliau, dapatkah pengeluaran rumah tangga selama satu bulan ini bisa dipenuhi?

"Berikan saja, Mas. Aku nggak mau terus menerus disalahkan ibu, dituduh makan duit suami sendirian, dituduh senang-senang sendirian. Aku capek, Mas selalu dihina dan disalahkan. Makanya biar saja aku mengalah, berikan uang gaji kamu sama ibu biar ibu puas bisa ngatur keuangan kamu, Mas." sahutku dengan hati nyeri mengingat semua perlakuan ibu padaku selama ini.

"Tapi ibu 'kan sudah tua, Vir. Mana bisa ngatur belanjaan dan yang lainnya sendirian. Nanti malah belum akhir bulan sudah habis. Mau cari tambahan buat nombok di mana kalau uang itu sudah habis sebelum gajian lagi?" tanya Mas Alvin dengan wajah cemas, khawatir ibu tak bisa mengalokasikan uang sebagaimana mestinya. "Tolong, Vir, pertimbangkan lagi, jangan diambil hati omongan ibu. Ibu saja yang nggak tahu kalau kebutuhan rumah tangga itu memang besar. Kamu saja yang ngatur ya, plis...." sambung Mas Alvin dengan raut wajah mengiba, tetapi demi mengingat ejekan dan hinaan ibu setiap saat, aku menggelengkan kepala dengan terpaksa.

"Nggak Mas, beri ibu kesempatan untuk mengatur keperluan di rumah ini, biar ibu tahu dan ke depannya nggak asal bicara lagi sama aku, Mas, oke?" 

Sejalan denganku, aku pun sebenarnya juga merasa khawatir dapatkah ibu mengatur keperluan rumah tangga dengan baik. Selama ini sudah super hemat saja, masih saja aku kesulitan mengalokasikannya. Apalagi ibu yang cenderung boros. Tapi, sudahlah toh ada Mbak Yuni yang pasti bisa membantunya. 

Ya, kalau semua pengorbanan yang kulakukan justru dianggap ibu sebagai sebuah kesia-siaan, menganggap aku hanya senang-senang sendiri dengan uang itu, padahal setiap bulan harus memutar otak memikirkan agar semua bisa tercukupi, lebih baik aku resign saja jadi bendahara di rumah ini.

Mulai hari ini beban pikiranku juga akan berkurang karena tidak perlu lagi repot mengurusi keperluan rumah tangga.

Lebih baik aku fokus pada pekerjaan baru yang bisa kulakukan sembari ngadem di rumah saja yang alhamdulillah justru menghasilkan pendapatan lumayan besar yang bisa kugunakan untuk membeli apa saja semauku. 

Dan ibu serta Mbak Yuni tentu saja tak bisa mengganggu gugat hal itu.

***

Aku memandang wajah sumringah ibu dan Mbak Yuni saat Mas Alvin akhirnya memberikan uang gajinya pada beliau.

Dengan lirikan mata meremehkan dan mengejek karena ibu dan Mbak Yuni mungkin mengira sudah berhasil memenangkan pertarungan ini dengan sikap mengalah yang pura-pura kutunjukkan, mereka menerima amplop yang diserahkan Mas Alvin dengan senyum riang.

Berkali-kali ibu menimang-nimang amplop itu dan tersenyum lebar. Tak bisa disembunyikan rasa girang karena akhirnya bisa menguasai penghasilan Mas Alvin.

Aku tersenyum tipis dengan hati miris. Tertawa sendiri melihat sikap norak yang ibu dan Mbak Yuni tunjukkan. Mungkin bagi mereka uang lima juta itu besar sekali, padahal Alhamdulillah saat ini aku sudah bisa mencapai penghasilan sebesar itu bahkan hanya dalam jangka waktu setengah bulan saja.

Tanpa banyak bicara aku masuk menuju kamar. Jujur, hatiku justru merasa jauh lebih plong dari sebelumnya. Hilang sudah satu beban yang selama ini kutahan-tahan karena mulai hari ini ibu dan Mbak Yuni tentu tak lagi punya alasan untuk mencari masalah denganku, karena keinginan untuk menguasai gaji Mas Alvin sudah terlaksana.

Aku tersenyum riang. Ya mulai hari ini aku akan memenuhi kebutuhan hidupku sendiri dengan uang yang kucari sendiri sebab aku tak yakin ibu mertua yang culas itu akan memenuhi keperluanku dari penghasilan Mas Alvin yang sekarang mereka kelola. 

Perlahan aku membuka lemari dan mengeluarkan kartu ATM serta buku tabungan dari bawah tumpukan baju. Dengan perasaan lega kubuka lembaran hasil cetak tabungan beberapa hari lalu dan tersenyum puas menatap digit angka yang tertera di sana.

Alhamdulillah, setelah kerja keras siang malam, meski kata ibu dan Mbak Yuni kerjaku hanya main hp saja, akhirnya pundi-pundi royalti memenuhi isi rekeningku juga.

Aku kemudian membuka ponsel dan meng-klik kolom pencapaian royalti bulan ini yang tertera di aplikasi tempat aku menulis dan kembali tersenyum melihat deretan enam buah angka nol yang tertera di sana.

Royalti yang sebentar lagi insyaallah juga akan segera aku terima dengan nominal yang lebih fantastis. 

Rencana nanti aku akan mengambilnya untuk membiayai hidupku setelah tak lagi mengelola gaji Mas Alvin. 

Selain itu juga akan kugunakan untuk membeli perhiasan. Di samping untuk berhias, juga bisa dijadikan tabungan untuk masa depan.

Ya, pelan tapi pasti aku akan membuktikan pada orang-orang yang sudah menghinaku bahwa aku bukanlah anak kampung dan miskin yang cuma bisa numpang hidup pada suami.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status