"Jadi kamu nyalahin ibu? Kamu tahu nggak sekarang semua kebutuhan pokok serba mahal? Nggak cukup gaji Alvin buat makan kita bertujuh selama satu bulan, tahu!" Ibu mulai terlihat marah. Mungkin emosi mendengarku yang hanya santai menanggapi perkataan dan permintaannya barusan.Apa? Makan bertujuh? Jadi, Mbak Yuni dan keluarganya statusnya juga ibu masukkan menjadi orang orang yang harus Mas Alvin tanggung jawabi kebutuhan makannya setiap bulan? Aneh! Pantas saja, beliau nggak pernah protes kalau Mbak Yuni dan keluarganya menghabiskan makanan di rumah ini. Ternyata ini alasannya.Mungkin tidak terlalu menjadi masalah buat Mas Alvin jika gajinya besar. Namun, masalahnya karena gaji Mas Alvin hanya bertengger di angka lima juta tentu saja tidak akan cukup dipergunakan untuk membiayai semua pengeluaran. Lagipula apa gunanya Mas Bowo menjadi suami jika Mbak Yuni dan anak-anaknya harus numpang makan sama Mas Alvin? Bukankah tugas suami adalah menafkahi keluarganya? Sungguh, aku tak mengerti
"Dasar menantu durhaka kamu, suami sama mertua kesulitan, kamu malah mau tutup mata begitu aja! Dasar mantu nggak punya hati! Pergi kamu dari rumah ini sekarang juga kalau kamu nggak mau ikut peduli dengan kesulitan di rumah ini! Ibu juga nggak sudi punya menantu seperti kamu lagi! Menantu nggak ada gunanya. Udah, Vin. Kamu ceraikan saja dia, dan nikah sama Ayu. Ibu 'kan udah bilang, lebih baik kamu nikah sama Ayu daripada sama dia. Ayu anak orang kaya, nggak pelit, nggak perhitungan. Kalau kamu nikah sama dia, pasti dia mau ngasih modal usaha agar hidupmu lebih sukses dari sekarang. Nggak kere seperti ini karena punya istri tidak mau peduli dengan kesulitan suaminya sendiri!""Bener, Vin. Nikah sama Ayu aja biar kita nggak kesulitan uang lagi. Daripada punya istri belagu kayak dia. Baru punya duit dikit aja udah sok-sokan. Dasar miskin, begini nih kalau punya uang, sombong!" timpal Mbak Yuni pula dengan nada sinis."Bu ... Mbak! Jangan ngomong seperti itu sama Vira? Jangan usir dia,
Melihat itu, aku kembali bergegas mengemasi pakaian, lali setelah mengambil barang-barang pribadiku, aku pun segera meninggalkan rumah diiringi tatapan bengis dari ibu dan Mbak Yuni.Meskipun Mas Alvin masih saja memohon-mohon agar aku tidak pergi meninggalkan rumah, tetapi demi menyelamatkan harga diri yang sudah diinjak-injak oleh keluarga Mas Alvin, aku pun membulatkan keputusan untuk segera pergi.Ya, masa depanku masih panjang. Tak mungkin kukorbankan waktu, umur, pikiran dan tenaga untuk menjalani biduk rumah tangga yang sudah di ujung tanduk seperti ini.Selamat tinggal Mas Alvin, semoga kamu bahagia dengan siapa pun wanita yang akan menjadi penggantiku nanti, batinku sebelum meninggalkan halaman rumah dengan roda dua milik pribadiku.***"Vira, kamu kenapa? Kamu pergi dari rumah ya?" tanya Dina kaget saat aku masuk dengan menenteng tas besar juga barang-barang pribadi yang lain.Tanpa langsung menjawab, aku masuk lalu menghempaskan tubuh di sofa ruang tamu. Melepaskan semua b
Aku membuka aplikasi menulis di mana aku bisa menuangkan segala cerita tentang kehidupan di dalamnya itu dengan rasa ingin tahu yang membuncah.Hari ini hari terakhir ditutupnya jumlah pencapaian bagi hasil royalti para penulis platform yang kuikuti itu. Kubuka kolom yang tertera pada aplikasi lalu melihat jumlah akhirnya dengan dada berdebar keras.Alhamdulillah wa syukrulillah.Aku mengucap puji syukur kepada Allah yang maha kuasa. Tertera di sana angka dua di baris paling awal diikuti tujuh angka selanjutnya yang sontak membuat dadaku sesak dipenuhi haru.Akhirnya, setelah kerja keras menguras pikiran dan menjaga mood supaya tetap stabil agar ide cerita bisa tetap mengalir dengan lancar, aku bisa mendapatkan total jumlah royalti fantastik yang insyaallah akan kuterima beberapa hari lagi.D tengah masalah rumah tangga yang saat ini sedang menimpa, Allah berkenan memberikan rezeki berupa materi dari jalan yang tidak disangka-sangka seperti ini. Luar biasa.Ting.Sebuah notifikasi akt
Sebuah cerita yang awalnya memang hanya iseng kutulis. Berawal dari rasa kesal karena berkali-kali harus berseteru dengan ibu dan Mbak Yuni, akhirnya aku menulis semua kekesalan itu dalam sebuah cerita. Tidak disangka saat kupromosikan, ternyata mendulang like dari pembaca lumayan banyak. Selanjutnya mengalirlah kisah mereka dalam episode-episode panjang tentang perjuangan tokoh 'aku' dalam cerita itu untuk bangkit dan sukses mengejar impian, sekaligus membalas perbuatan sang mertua dan ipar julid.Dengan perjuangan yang ia lakukan akhirnya tokoh 'aku' mampu membalas kejahatan mertua dan iparnya dengan telak serta membalikkan posisi mereka dengan tidak diduga-duga. Sang mertua dan ipar jadi kere, sementara menantunya justru menjadi orang kaya yang sukses dengan kekayaannya yang berlipat-lipat.Sebuah kisah balas dendam yang cantik dan mengagumkan.Kisah yang akhirnya juga menginspirasiku untuk bisa sukses, untuk bisa bangkit melawan kesewenang-wenangan dan kezaliman yang diperbuat ole
Siang ini aku dan Dina memutuskan untuk bersantai di Starb**ks, sebuah kedai kopi terkenal asal Amerika yang konon menjadi tempat ngopi paling bergengsi di negeri ini karena harga menunya yang relatif mahal untuk segelas kopi dengan aneka ragam variannya. Ini bukan kali pertama buat Dina nongkrong di sini tetapi buatku memang baru pertama kali. Maklum, di kota ini gerainya juga baru dibuka. Aku menyesap kopi latte pesananku setelah sebelumnya cekrak-cekrek lebih dulu dan meng-upload-nya di story wa saat ponsel yang kuletakkan di atas meja bergetar. Benda pipih segi empat itu memang kupasang mode silent, jadi saat ada panggilan masuk atau notifikasi dari akun media sosial, benda itu hanya akan mengeluarkan getar saja.Kuambil benda itu dan membaca notifikasi pada layar yang menampilkan pesan WhatsApp dari Mbak Yuni yang baru saja masuk. Kubuka pesan itu setelah sebelumnya menyiapkan mental lebih dulu untuk membacanya karena aku tahu seperti apa mantan kakak iparku itu.[Oh, sudah na
"Assalamualaikum...."Terdengar sapaan diikuti ketukan pada daun pintu yang membuat aku, Dina dan, Bu Sumi, ibu Dina yang sedang makan malam serentak menoleh ke arah pintu utama. Sesaat kami saling berpandangan hingga akhirnya Dina bangkit dan membuka daun pintu."Mas Ferdy ... !" seru gadis itu saat akhirnya dia mengenali sosok yang baru saja datang.Ternyata Mas Ferdy, kakak lelaki Dina yang baru saja pulang setelah hampir dua bulan ditugaskan oleh korpsnya ke provinsi lain yang sedang mengalami konflik.Selama ini aku memang jarang bertemu lelaki itu. Meski pun rumah Dina ini sudah kuanggap seperti rumahku sendiri tetapi kesibukan lelaki itu menjalankan tugas sebagai seorang aparat keamanan negara membuat kami nyaris tak pernah bertemu, terakhir bertemu setahun lalu saat aku mengundang kakak sahabatku yang kebetulan sedang ada di rumah itu untuk hadir di acara selamatan pindah rumah yang sekarang kutinggalkan. Sejak itu praktis tak pernah bertemu lagi."Dina, ibu mana?" terdengar s
"Vira, kapan urusan cerai kamu selesai di pengadilan?" tanya Bu Sumi saat kami; aku, Dina dan Mas Ferdy sarapan di pagi hari.Kalau biasanya suasana kebersamaan dengan Mas Ferdy akan diliputi canda dan kemanjaan kami; aku dan Dina, pada sosok lelaki dewasa dan melindungi itu, kali ini aku merasa kikuk sendiri.Ucapan Bu Sumi tadi malam, bukan hanya sukses membuatku tidak tidur semalaman, tetapi juga sukses membuatku salah tingkah sendiri di depan lelaki berwajah tampan dan berahang kokoh itu."Ehm... belum tahu, Bu. Kata Mbak Yuni sih sedang diurus," ucapku dengan suara sedikit bergetar dan kepala menunduk, tak mampu membalas tatapan mata Mas Ferdy yang sesaat tadi menyapu wajahku dengan halus saat Bu Sumi mengajukan pertanyaan."Kenapa kakak ipar kamu yang ngurus? Apa bisa? Bukannya perceraian itu harus diurus sendiri oleh yang bersangkutan ya?" Ibu tampak tak lega mendengarnya.Mendengar pertanyaan ibu, aku menundukkan wajah dengan perasaan tak enak."I-iya sih, Bu. Tapi saya keting