š
6 bulan setelah Daffa menikah, putra sulungnya itu jarang ke rumah Gendis. Hanya dua kali dan itu membuat Gendis mulai gemas.
"Yah, aku mau ke rumah Daffa," pamitnya saat Agung hendak berangkat kerja.
"Mau ngapain?" Agung sudah berjalan ke teras rumah diikuti Gendis yang tampak rapi.
"Pingin aja." Jawaban Gendis tak bisa meruntuhkan kecurigaan Agung. Kedua mata menyipit ke arah sang istri. "Iya, iya ... mau cek aja apa mereka baik-baik aja. Kandungan Yasmin juga udah delapan bulan, kan? Dari acara nujuh bulanan kemarin, nggak ada kabar. Mana kita nggak diundang," geram Gendis.
"Yaudah, lah, Bu ... mungkin Yasmin mau sama keluarganya." Agung membuka pintu mobil.
"Ya nggak bisa, lah. Itu kan juga cucuku!" protes Gendis tersinggung.
"Terus kamu ke sana naik apa?" Agung sudah bersiap menghidupkan mesin mobil.
"Taksi aja, biar cepet. Dari sana mampir ke toko, mau meeting launching menu baru." Gendis menyalim punggung tangan Agung, dibalas Agung mencium kening istrinya.
"Hati-hati, Yah!" Lambaian juga senyuman Gendis membuat Agung semangat bekerja.
Mbak Inong diminta Gendis jaga rumah sampai malam baru pulang, sekaligus menemani Nanda yang sibuk try out persiapan ujian akhir sekolah hingga Agung atau Gendis pulang.
Taksi dipesan Gendis, meluncur cepat ke rumah Daffa. Sampai di depan rumah, Gendis melihat Daffa sedang menyapu garasi, ada selang tergeletak di atas rumput pekarangan rumah, lalu daun gugur juga tidak di bersihkan.
"Bang, nggak kerja?"
Daffa terkejut. Ia letakkan sapu ijuk, dengan cepat membuka pagar rumah. Gendis membawa tas besar berisi belanjaan bahan makanan.
"Cuti, Bu. Ibu ke sini kok nggak kasih kabar?" Wajah Daffa tampak panik.
"Emang harus?" sinis Gendis sambil berlalu. Daffa berjalan cepat, ia memanggil Yasmin untuk memberi tau ibu mertuanya datang.
Gendis menahan napas saat masuk dari pintu ruang tamu. Berantakan!
Bantal sofa tak pada tempatnya. Ada sisa plastik camilan, lantai terasa kotor. Gendis semakin masuk ke dalam rumah. Banyak baju belum disetrika teronggok di sofa ruang TV.
Yasmin keluar dari kamar. Ia terkejut dengan kehadiran mertuanya. Gendis berjalan mendekat, ia cium tangan mertuanya yang justru memindai seisi rumah.
"Lagi ngapain?" tanya Gendis lembut. Ia letakkan tas slempang bawaannya di atas meja.
"Lagi ngedrakor, Bu," jawab Yasmin pelan.
"Daffa kok nggak kerja. Cuti apa?" Gendis lanjut ke pertanyaan kedua.
"Daffa ... itu ...." Yasmin menoleh ke suaminya.
"Yasmin butuh bantuan di rumah, Bu, jadi Abang cuti. Kasihan perutnya makin besar, kan? Ibu bawa apa?" Daffa mengalihkan fokus Gendis, ia juga membawa tas berisi bahan makanan ke dapur.
"Bawa bahan makanan," jawab Gendis santai. Dapur juga berantakan, rasanya Gendis risih,ia mau tegur Yasmin pasti dibilang drama oleh Daffa.
"Yasmin masak apa hari ini?" Gendis mengeluarkan bahan makanan, ia duduk melantai.
"Yasmin, beli, Bu."
Gerakan tangan Gendis terhenti sejenak, lalu lanjut mengeluarkan apa yang ia beli.
"Oh, beli apa?" Gendis meraih baskom dari rak piring di dekatnya, meletakkan daging juga ayam segar yang ia beli subuh tadi.
"Beli nasi kuning."
Nasi kuning? Daffa kan tidak suka.
"Bang Daffa juga makan nasi kuning?" Gendis mendongak menatap putranya.
"Abang, bikin mie goreng tadi, Bu."
Gendis dongkol! Rasanya baskom mau dibanting. Tenang ... Gendis tenang.
"Bu, Yasmin mandi dulu, ya, siang ini mau ke toko perlengkapan bayi, masih ada yang belum dibeli." Yasmin masuk ke dalam kamar lagi. Daffa tak enak hati, apalagi saat Gendis berdiri, lalu berkacak pinggang.
"Mie instan?" tekannya dengan suara pelan.
"Yaudah, lah, Bu ... jangan mulai, lah," keluh Daffa.
"Oke." Gendis berjalan melewati Daffa. Ia kepintu samping kulkas, meraih sapu juga pengki. "Kamu masuk ke kamar juga. Jangan keluar sampai Ibu selesai beberes! Rumah kayak kapal pecah. Yasmin ngapain aja, sih?!" cibir Gendis. Daffa tak bisa menjawab, dari raut wajahnya sudah menyiratkan banyak hal yang tak bisa disampaikan.
Tak hanya beberes rumah, Gendis bahkan merapikan isi kulkas, beberes dapur juga memasak saat Daffa dan Yasmin pergi.
Ia sedih, kepalanya tertunduk saat menunggu ikan masak kuah asam pedas matang. "Anakku makan mie buat sarapan?" lirihnya sendu. "Daffa juga kurusan, Ya Allah," desahnya.
Jam satu siang rumah sudah rapi, bersih, wangi, makanan juga tersaji di meja makan.
Gendis memeriksa kamar utama, masa bodo dibilang tak sopan. Saking penasarannya ia harus sidak.
Kamar tak kalah berantakannya, baju-baju bayi masih belum dicuci. Terbungkus rapi di plastik dan dus.
Meja rias berantakan, ada bekas kapas juga tisu bekas membersihkan wajah. Baju kotor penuh di keranjang depan kamar mandi.
Gendis semakin emosi, ia seret keranjang, lalu memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci. Sambil menunggu, ia rapikan kamar. AC dimatikan, tirai juga jendela dibuka supaya udara luar masuk. Meja rias di lap. Lemari pakaian juga ia lipat ulang pakaian anak mantunya.
Endah menelpon, Gendis langsung keluar kamar.
"Halo, Ndah," jawab Gendis buru-buru.
"Kamu di mana?"
"Di rumah Daffa, ada apa, Ndah?" Gendis duduk di kursi meja makan.
"Kamu dicariin tim dari toko, kebetulan aku mampir mau ambil pesenan roti."
Gendis lupa, seharuanya ia rapat membahas menu baru. Tidak akan bisa dan sempat ke sana. Selain jaraknya jauh, laptop juga di rumah.
"Kamu ngapain di rumah Daffa?!" seru Endah heran.
"Hahhh ..., aku sidak dan ya ... tau kalau menantuku nggak urus rumah, apalagi Daffa." Gendis langsung berkeluh kesah.
"Ya ampun, Ndis ... udah dong jangan kamu suka campuri urusan anak-anakmu, apalagi Daffa sudah menikah. Udah, lah, Ndis... nanti kalau istrinya tersinggung apa nggak ribut?" kritik Endah.
"Ini bukan ikut campur, Ndah. Wajar aku nengokin mereka. Yasmin juga mau melahirkan bulan depan, aku mau lihat sejauh mana persiapannya. Nyatanya belum."
Gendis memijat pelipisnya, rasanya jadi stres sendiri.
"Ndis, kita semua paham kamu emang nggak sreg sama Yasmin, apalagi hamil duluan sampai-sampai kamu umpetin tinggal di daerah yang jauh dari kita. Cuma, ini saranku, ya ... jangan berlebihan. Sewajarnya aja."
Gendis tertawa sinis, "enak aja sewajarnya. Kamu harusnya lihat gimana di rumah ini semua nggak wajar. Berantakan. Acak-acakkan. Bahkan anakku sarapan mie instan, Ndah. Apa nggak mumet kepalaku?! Nggak ada sejarahnya anak-anakku sarapan mie. Ini kok istrinya malah mentingin perut sendiri. Di meja makan nggak ada sarapan apa-apa, cangkir bekas kopi, teh, susu, geletak di bak bukannya langsung dicuci. Aku risih, Ndah."
Gendis kaget karena Daffa dan Yasmin berdiri di dekat ruang tamu, menatap ke arahnya mendengarkan semua keluh kesahnya ke Endah.
"Halo, Ndis," panggil Endah.
"Nanti aku telepon ya, Ndah." Gendis berdiri, ia letakkan ponsel di meja makan lalu bersedekap.
"Udah belanjanya?" tegur Gendis.
"Ibu ceritain kondisi rumah ini ke Tante Endah?" ujar Daffa pelan.
"Iya."
Daffa berdecak, "jangan dong, Bu ... sama aja buka aib keluarga Abang," keluhnya sebal.
"Lho, menurut kamu ini aib? Kalau aib harusnya gimana? Dibiarin aja gitu?" tekan Gendis. "Yasmin, kamu hamil, kan? Harusnya mulai rajin beres-beres biar bayimu nggak akan males juga. Bukannya rebahan terus!"
Yasmin menoleh ke Daffa dengan tatapan tak terima.
"Nggak terima Ibu tegur?" tegur Gendis. "Baju bayi belum dicuci, perlak, bedongan, gurita, masih di plastik sama dus besar. Kamu di rumah ngapain aja, Min? Ya ampun," tegur Gendis emosi. Ia tak tedeng aling-aling alias tak basa basi pandang bulu jika menegur kesalahan orang lain.
"Ibu ke dalam kamar?" Kali ini Yasmin bertanya dengan maksud menegur.
"Iya. Ibu penasaran dan lihat kayak kapal pecah! Hamil bukan kendala kamu males, Min. Kehamilanmu sehat, kan? Banyak gerak justru baik. Sampah bekas order makanan di kolong ranjang. Semalas itu kamu beresin, hah?" Gendis menggelengkan kepala saking tak habis pikir dengan menantunya. "Jorok." Kata penutup yang keluar dari bibir Gendis sontak membuat Yasmin meneteskan air mata.
Daffa menegur Gendis, memintanya tidak ikut campur urusan di rumah itu.
Gendis berjalan mendekat ke putranya. "Oh, Bang Daffa udah berani tegur Ibu. Oke, Bang. Ibu begini karena Ibu benar. Kamu cuti kerja karena mau beberes rumah, kan? Ibu tau kamu nggak betah sama yang berantakan, tapi Ibu datang duluan dan lihat semuanya."
Yasmin memalingkan wajah, masih sesenggukan.
"Apa Ibu selama ini minta sesuatu ke kalian? Nggak, kan? Apa susahnya kalian beresin rumah? Terutama kamu Yasmin. Kalau nggak kuat beberes bilang Ibu. Mbak Inong Ibu bawa ke sini buat beresin rumah dua hari sekali nggak apa-apa."
Yasmin sesenggukkan. Ia pegang perutnya.
"Nanti kalau sudah melahirkan, apa nggak semakin kacau rumah ini. Ibu nggak mau cucu Ibu ikutan jorok. Panggil orang tuamu sekalian kalau perlu buat temani kamu nanti kalau kamu nggak senang Ibu bantuin di sini!" tegas Gendis.
Kedua mata Gendis melihat Daffa menatap ponselnya, ia berjalan ke teras rumah untuk menjawab panggilan telepon. Diam-diam Gendis mengikuti ke depan, berdiri di balik jendela ruang tamu.
"Iya, Mas, nanti saya bayar tagihan bulan ini besok pagi."
Tagihan? batin Gendis.
"Lima juta, kan? Nanti saya bayar,ya. Terima kasih infonya." Daffa menyudahi obrolan, ia duduk di kursi, jemarinya mengetik kode masuk ke mbanking, Gendis mengintip dari jendela di dalam.
Kedua mata Gendis terbelalak saat melihat sisa saldo Daffa tinggal tiga ratus ribu rupiah.
Daffa terlihat bersandar lemas sambil mengusap kasar wajahnya.
"Ibu, apa bisa Ibu pulang?" ucap Yasmin dengan wajah sembab. Daffa beranjak, ia kembali masuk.
"Yasmin, kenapa Ibu kamu suruh pulang?!" Daffa terlihat tak terima.
"Aku pikir, Ibu sudah kelewat batas sampai masuk ke kamar kita. Ini rumah tangga kita, kita yang atur, suka-suka kita, kan?!" tekan Yasmin.
"Suka-suka kamu? Saking suka-sukanya sampai saldo di rekening Daffa tinggal tiga ratus ribu?! Gaya hidup kalian seperti apa sih semenjak nikah? Apa biaya lahiran udah ada? Dicover asuransi, nggak?!" Gendis marah-marah. Yasmin dan Daffa saling menatap.
"Setiap hari makan beli terus? Apa ngemal?" cecar Gendis. "Bang Daffa! Ini pilihan kamu, kan? Bukannya seneng Ibu tegur karena Ibu peduli, malah disuruh pulang. Oke, Ibu pulang. Jangan harap Ibu ke sini lagi." Gendis berjalan sengan wajah dingin. Ia sambar tas, lalu memesan taksi melalui aplikasi.
"Oh, Bang Daffa. Bayar utang kamu itu. Jangan minta ke Ibu atau Ayah. Assalamualaikum!" judes Gendis sambil berjalan keluar pagar rumah.
"Ibu, tunggu!" panggil Daffa. "Bu, jangan marah."
"Ibu nggak marah, Bang. Cuma menyayangkan sikap istrimu itu. Lima bulan lagi Raffa nikah. Adinda minta acaranya di rumah aja, undang teman dan saudara dekat. Ibu mau fokus ke mereka karena kamu udah bisa mandiri, kan?!" Gendis tersenyum sinis. Taksi datang, dengan cepat ia buka pintu lalu masuk ke sana.
"Bu," lirih Daffa saat taksi mulai menjauh meninggalkan rumahnya.
bersambung,
Halo, selamat membaca-----Seketika Daffa kepikiran dengan kata-kata Aisyah. Sambil berjalan mengekor sang istri masuk ke dalam rumah, Daffa tak sanggup menegur. Rasanya kalimatnya tertahan di kerongkongan. "Aku mau ke rumah Raffa, kamu mau ikut?" ajak Daffa saat Aisyah duduk di ruang makan menikmati jajanan yang dibeli. Ia hanya menjawab dengan gelengan kepala. Kursi meja makan diseret perlahan, Daffa duduk berjarak dengan Aisyah. "Aku tau Bariq suka sama kamu karena ada informan yang bilang, Syah."Aisyah melirik tajam sebelum kembali menatap layar TV yang menyala. "Aku nggak mau rumah tanggaku hancur lagi." Kepala Daffa sedikit menunduk, ia juga remas kedua jemari tangannya yang diletakkan di atas meja makan. Kembali hanya lirikan yang bisa Aisyah layangkan ke suaminya. Keduanya sama-sama diam bahkan hingga Aisyah selesai makan, tak ada pembicaraan lagi. Daffa beranjak cepat menuju kamar, sedangkan Aisyah menatap kosong ke arah tempat menjemur baju dari jendela dapur. "Mbak A
Aisyah akhirnya makan buah-buahan di rumah juga minum susu ibu hamil supaya asupan untuk bayi yang dikandungnya tetap terjaga. Gendis dan Agung sudah tidur, jadi Aisyah tak perlu cari alasan lagi kenapa makan sendirian. Daffa sendiri sedang keluar rumah, kumpul dengan teman masa kecilnya yang juga Aisyah tau.Ā Setelah Daffa pulang pukul sebelas malam, Aisyah masih terjaga sambil merapikan lemari pakaiannya. "Kenapa belum tidur?" tegur Daffa.Ā "Belum ngantuk." Aisyah melipat beberapa pakaiannya yang kurang rapi. "Tadi aku juga makan buah dulu, laper," sindir Aisyah mencoba memancing perhatian Daffa.Ā "Oh, sekarang udah kenyang?" Daffa merebahkan diri di ranjang.Ā "Lumayan. Belum makan nasi jadi masih sedikit laper." Aisyah bicara tapi sambil melipat pakaiannya.Ā "Mau beli? Aku pesenin biar diantar ojol." Daffa sudah meraih ponsel yang tadi ia letakkan di nakas samping ranjang.Ā "Mau." Aisyah tak menolak. Lalu ia ingat ada hal yang
Hai, maaf ya lama nggak update. Selamat membaca!Perkara niat mau membeli rumah KPR akhirnya Aisyah urungkan sementara karena kurang setuju jika Gendis, sang mertua ikut campur kesekian kalinya. Aisyah diberitahu Daffa jika akan ada acara ulang tahun perusahaan yang diadakan di hotel berbintang yang ada di pusat Jakarta. Sejak dua hari lalu, Daffa sudah memberikan undangannya ke Aisyah, bahkan ada dress code yang diwajibkan. Setelan jas warna coklat muda, kemeja putih, sepatu pantofel coklat tua sudah Aisyah siapkan untuk dipakai Daffa. Sedangkan dirinya, tak punya gaun malam. Lagi pula ia tak pernah mau memakainya karena terlalu ribet juga memperlihatkan lekuk tubuhnya, tak nyaman. Daffa masuk ke dalam kamar setelah selesai membantu Agung menyiram tanaman di depan sambil berbincang sore. Ia melirik ke Aisyah yang berdiri sambil mencari kerudung warna coklat muda senada dengan setelan jas yang akan dipakai Daffa. "Kamu nggak punya gaun pesta?" tegurnya pelan. Aisyah menoleh ke arah
šMengubah sifat manusia itu tidak akan semudah diharapkan. Tiga bulan tinggal bersama mertua, Aisyah dan Daffa masih berada di kondisi yang sama. Ditambah lagi Gendis setiap saat bisa dikatakan selalu bawel tentang banyak hal yang membuat Aisyah mulai tak bisa bergerak bebas. Pagi itu ia bangun lebih awal karena harus mandi besar setelah melayani Daffa malamnya. Daffa tidak kasar atau tergesa-gesa sehingga kandungan Aisyah aman-aman saja. Masih memakai handuk di kepala untuk mengeringkan rambut, Aisyah ingin memasak bekal Daffa kerja. Sedangkan untuk sarapan suaminya terbiasa hanya menikmati bubur gandum, susu dan roti selai kacang karena tak ada waktu jika sarapan berat. Ia harus naik kereta paling pagi sampai ke Bogor. Hal itu sudah dilakukan tiga bulan ini semenjak masa dinas di kota itu entah kepastian berakhirnya kapan. Aisyah menuang air panas ke dalam mangkuk berisi bubuk gandum, diaduk sebentar sebelum ditambah madu dan potongan buah pisang. Setelahnya diletakkan di mej
šKadar hemoglobin Aisyah rendah, hal itu yang menyebabkan ia jatuh pingsan. Hamil muda memang seringnya banyak yang mendadak darah rendah. Infusan dipasang di punggung tangan sebelah kiri. Aisyah masuk kamar rawat bersebelahan dengan kamar Adinda. Perlahan, ia membuka mata. Didapati Daffa duduk di samping ranjang sedang menatapnya intens. "A-ku, pingsan?" lirihnya parau. Daffa hanya menjawab dengan anggukan kepala. "Oh," sambungnya lirih, lantas membuang pandangan ke arah lain. Ditatap seperti itu oleh Daffa rasanya hati Aisyah ketar ketir. "Hemoglobin kamu rendah, masa sampai enam. Kamu nggak minum vitamin dari dokter?" tegur Daffa. "Minum, kok. Kamu aja yang nggak pernah tau." Aisyah menjawab dengan takut-takut tapi jujur. "Semua marahin aku, Syah." Hela napas panjang terdengar, membuat Aisyah mau tak mau menoleh ke arah suaminya. "Mereka bilang aku nggak becus jadi suami, cuek ke kamu."Emang gitu, kan? Baru sadar kamu! batin Aisyah dongkol. "Ibu Laras tau kamu dirawat. Ibu
šMenyambut kelahiran cucu pasti keluarga senang, ya walau ada juga keluarga yang menganggap hal itu biasa saja. Gendis menyuruh suami bibi yang bekerja di rumah memindahkan barang Kirana ke kamar Nanda, lalu mengganti dengan beberapa barang kepunyaan Aisyah dan Daffa yang dibawa dari apartemen. "Bu, hari ini nggak masak, kan?" tukas bibi. "Nggak usah, Bi. Beli aja atau nanti saya minta karyawan rumah makan antar. Bibi lihat Aisyah kemana?" Sedari tadi Gendis memang tak lihat menantunya itu. "Aisyah ke rumah lama, katanya mau lihat aja."Gendis menghela napas panjang, ia tau Aisyah sedih karena rumah itu sudah dibeli orang lain. Laras minta menetap di kota pelajar bersama Nilam, lebih tenang katanya. "Mau saya susulin, Bu?" usul bibi. "Nggak usah. Biarin aja." Gendis memantau suami bibi menggeser meja rias sedangkan bibi merapikan pakaian Daffa dan Aisyah ke dalam lemari. Kirana yang kini tinggal di rumah Henggar bersama kedua mertuanya terlihat disambut dengan baik. Kirana te