💐
"Ibu kamu kenapa sampai begini ke aku, Daf? Apa hidup kita selalu diawasi Ibu?" Keluh kesah dilontarkan Yasmin. Keduanya berdiri berhadapan.
"Niat Ibu baik, Yasmin. Cuma memang Ibu orangnya begitu, kamu juga nggak mau coba dekati Ibu, kan? Padahal semua ini Ibu yang siapin."
Yasmin tertawa miris, "jadi karena Ibu udah fasilitasi semua, sampai urusan di dalam kamar diatur juga?! Ya nggak gitu, Daf. Aku nggak mau, ya, Ibu ke sini lagi. Terserah kamu mau marah apa nggak. Aku lama-lama kesel sama Ibu!" Nada bicara Yasmin meninggi. Ia masuk ke dalam kamar, meninggalkan Daffa dalam kebingungan.
Kenapa Yasmin begini setelah nikah? Apa karena hormon ibu hamil? batin Daffa seraya menundukkan kepala.
Perkara besok harus bayar cicilan kartu kredit saja ia masih tak tau bayar dari uang apa. Ditambah Yasmin merajuk seperti itu.
Daffa berjalan ke arah meja makan, di atas meja sudah ada masakan ibunya. Walau hanya gulai daging sapi dan tumis sayur selada air.
Senyum Daffa merekah, ia ambil piring, langsung menyendokan nasi juga lauk pauk. Ia makan sendiri, tapi sangat puas bisa merasakan masakan ibunya lagi.
Gendis datang ke toko, akhirnya ia memanggil manajer saja untuk membahas menu baru.
"Maaf ya saya batalin mendadak, tadi ke rumah Daffa. Jadi gimana, bisa minggu depan launching menunya?" Gendis dan manajer duduk di dalam ruang kerja Gendis. Toko roti berlantai dua, tak hanya menjual roti dan pastry, tapi ada kopi, minuman dingin lainnya dan makanan juga. Bisa dinikmati di lantai dua yang ada ruangan VIP juga.
"Bisa, Bu. Saya sudah koordinasi tadi sama chef di dapur. Penjualan kita satu minggu ini juga meningkat karena musim ambil rapot, jadi banyak yang cari kue untuk dibawa ke sekolah."
"Wah, alhamdulillah. Kalau selain roti, kue dan pastry, gimana, Rin?"
Rina menunjukkan grafik penjualan di layar laptop miliknya. Gendis tersenyum karena naik dua persen setelah dua bulan ini membuat promo untuk grup-grup arisan, atau ibu-ibu sekolah, menawarkan paket hemat.
"Bu, kemarin ada yang tanya. Kalau lantai atas di booking untuk acara ulang tahun anak apa bisa? Lalu menunya ada paketan apa aja. Saya bilang kalau akan dijawab secepatnya, saya sudah punya nomer hpnya beliau." Rina lanjut menjelaskan.
"Boleh, bisa, kok. Kita bikin aja empat paket ultahnya, jenis makanan kamu diskusikan ke chef di dapur, untuk harga paketan kalau kamu bingung, bahas sama saya nggak apa-apa sambil saya mikir mau kasih bonus apa."
"Baik, Bu. Kalau gitu saya siapin desain poster, banner dan spanduk menu baru ya, Bu. Supaya bisa dipasang. Yang versi digital juga, biar langsung admin sosmed dan marketing yang urusin."
"Boleh, selamat bekerja, ya. Tolong koordinatorin mereka. Kalau jadi sesuai rencana, tahun depan saya buka cabang baru."
"Baik, Bu. Permisi," pamit Rina keluar ruangan. Gendis mengangguk. Ia diam karena laptopnya di rumah, alhasil ia memilih memantau rumah makan khas sunda miliknya dengan manajer area di sana lewat pesan singkat.
Gendis melepaskan beban pikiran tentang Daffa. Ada banyak kepala yang hidup bergantung padanya, ia biarkan Daffa menjalani hidup sesuai pilihan hatinya, Gendis enggan mencari tau lagi.
***
Raffa dan Kirana, keduanya sudah sarjana juga. Bahkan, bekerja sesuai bidang masing-masing.
Saat ini Raffa sedang pendidikan atas perintah perusahaan di luar negeri, seperti kursus selama empat bulan.
"Halo, gimana di sana?" Gendis duduk di kursi meja makan.
"Baik, Bu. Aman dan lancar. Bu, Bang Daffa hubungin aku sore tadi."
"Ngapain?"
"Bang Daffa lagi kesulitan uang? Bener, Bu?"
Gendis geram karena Daffa pasti minta tolong ke adik-adiknya.
"Mana Ibu tau ... iya kali," sahut Gendis. "Kamu pinjemin ke Daffa?"
"Ya nggak, Bu. Tabungan Raffa udah buat modal nikah. Nggak bisa diutak utik, di sini aja Abang irit-irit banget makan sama jajan. Bagus dapet asrama jadi nggak keluar cost."
"Iya, rejekimu. Yaudah, jaga diri, ya. Adinda udah kamu telepon?"
Raffa tertawa, "nanti lah, Bu, maleman dikit. Jakarta Singapore sejauh apa, sih. Salam buat Ayah, ya, Bu. Jaga kesehatan kalian. Peluk juga buat Nanda."
"Iya, Nak." Gendis memutuskan sambungan telepon. Tak lama Kirana pulang, putri ketiganya langsung menemui Gendis di ruang makan.
"Silakan duduk, ada apa anda ke sini dengan wajah ditekuk?" ledek Gendis.
"Bu, Abang beneran nggak punya uang?"
"Nggak tau. Kenapa nanyanya begini?" Gendis bertopang dagu.
"Bang Daffa pinjem duit Kirana lima juta. Dibayar bulan depan dia gajian. Bu ... ini bukan sekali, lho. Dari habis nikah sampaiiii sekarang. Kirana bingung, Abang kerja gaji dua belas juta, masa iya tiap bulan uang habis terus ditengah minggu."
Gendis hanya tersenyum tipis, enggan merespon omongan Kirana.
"Bu, Bang Daffa nggak pernah boros, lho. Kenapa sekarang begini? Si Yasmin kali ya sumbernya?" Mulai Kirana kepo, Gendis mengedikkan bahu, maksudnya menjawab tak tau.
Agung pulang, suaminya heran melihat istri dan anaknya di meja makan padahal belum masuk jam makan malam.
"Ngapain kalian? Gosipin Bu Sukun ya?"
"Bu Sukun? Dia kenapa?" Gendis mendadak sumringah.
"Tadi Ayah ketemu satpam, katanya Bu Sukun habis ribut sama Bu Juhri, gara-gara Bu Juhri tanya apa bener anaknya Bu Sukun suka pukulin istrinya."
Wah, berita hangat. Gendis mancing-mancing lagi. Bisa dioper ke Soraya, Endah dan Yuni.
"Tuh, kan. Itulah akibatnya suka komenin urusan orang lain, giliran kena batunya, sewot. Bu Juhri wajar tanya, anaknya dia kan tinggal sebelahan sama anaknya si Sukun di komplek itu." Gendis beranjak karena akan menyiapkan makan malam.
"Bu, Ayah!" panggil Nanda. Ia berjalan membawa buku pelajaran bahasa inggris.
"Apa?" sahut Gendis.
"Nanda nggak jadi masuk kedokteran, deh. Jadi guru aja, ya. Ambil jurusan pendidikan."
Semua mata menatap penuh terkejut ke arah Nanda.
"Serius?!" pekik Kirana.
"Iya, Kak. Jadi guru aja deh. Oke nggak, tuh?" Nanda cengar cengir.
"Yaudah. Ayah sih terserah kamu," sahut Agung.
"Ibu juga. Kamu kasih tau Abangmu juga, lah," usul Gendis.
"Ntar aja, Bu. Bang Raffa sibuk belajar, kalau Bang Daffa ... tadi mau pinjem duit ke Nanda. Duit dari mana, Nanda aja duit jajan dijatah Ibu sama Ayah," keluhnya.
"Daffa kenapa? Kok pinjem uang?" Agung langsung duduk di kursi dekat Kirana.
"Udah sering, Yah. Ke Kirana udah tujuh bulan ini, ya walau dibayar tetap aja Kirana heran." Kirana mencepol rambut panjangnya.
"Kok bisa?" Agung menoleh ke istrinya.
"Bisa, lah. Kalau terlalu bodoh turutin kemauan istrinya yang jorok, pemalas, seenaknya sendiri," ketus Gendis.
"Ada apa sih, Bu. Daffa butuh berapa, biar Ay--"
"Eits! Nggak, ya. Ayah diem aja. Kita nggak usah bantu-bantu Daffa. Dia udah pinjem ke Kirana, bulan depan diganti. Biarin, Ibu mau lihat sampai kapan mereka bisa seenaknya sendiri. Sampai ada yang bantuin lagi, awas aja, Ibu marah bener-bener ke kalian!" ancam Gendis. Ia sengaja mengultimatum anggota keluarganya, memberi pelajaran ke Daffa dan Yasmin.
Agung menghela napas panjang, mau apa lagi, kendali di rumah tetaplah Gendis. Kirana dan Nanda juga bisa apa selain menuruti kemauan Gendis yang terus tersenyum penuh makna ke arah suami juga dua anak perempuannya.
bersambung,
Halo, selamat membaca-----Seketika Daffa kepikiran dengan kata-kata Aisyah. Sambil berjalan mengekor sang istri masuk ke dalam rumah, Daffa tak sanggup menegur. Rasanya kalimatnya tertahan di kerongkongan. "Aku mau ke rumah Raffa, kamu mau ikut?" ajak Daffa saat Aisyah duduk di ruang makan menikmati jajanan yang dibeli. Ia hanya menjawab dengan gelengan kepala. Kursi meja makan diseret perlahan, Daffa duduk berjarak dengan Aisyah. "Aku tau Bariq suka sama kamu karena ada informan yang bilang, Syah."Aisyah melirik tajam sebelum kembali menatap layar TV yang menyala. "Aku nggak mau rumah tanggaku hancur lagi." Kepala Daffa sedikit menunduk, ia juga remas kedua jemari tangannya yang diletakkan di atas meja makan. Kembali hanya lirikan yang bisa Aisyah layangkan ke suaminya. Keduanya sama-sama diam bahkan hingga Aisyah selesai makan, tak ada pembicaraan lagi. Daffa beranjak cepat menuju kamar, sedangkan Aisyah menatap kosong ke arah tempat menjemur baju dari jendela dapur. "Mbak A
Aisyah akhirnya makan buah-buahan di rumah juga minum susu ibu hamil supaya asupan untuk bayi yang dikandungnya tetap terjaga. Gendis dan Agung sudah tidur, jadi Aisyah tak perlu cari alasan lagi kenapa makan sendirian. Daffa sendiri sedang keluar rumah, kumpul dengan teman masa kecilnya yang juga Aisyah tau. Setelah Daffa pulang pukul sebelas malam, Aisyah masih terjaga sambil merapikan lemari pakaiannya. "Kenapa belum tidur?" tegur Daffa. "Belum ngantuk." Aisyah melipat beberapa pakaiannya yang kurang rapi. "Tadi aku juga makan buah dulu, laper," sindir Aisyah mencoba memancing perhatian Daffa. "Oh, sekarang udah kenyang?" Daffa merebahkan diri di ranjang. "Lumayan. Belum makan nasi jadi masih sedikit laper." Aisyah bicara tapi sambil melipat pakaiannya. "Mau beli? Aku pesenin biar diantar ojol." Daffa sudah meraih ponsel yang tadi ia letakkan di nakas samping ranjang. "Mau." Aisyah tak menolak. Lalu ia ingat ada hal yang
Hai, maaf ya lama nggak update. Selamat membaca!Perkara niat mau membeli rumah KPR akhirnya Aisyah urungkan sementara karena kurang setuju jika Gendis, sang mertua ikut campur kesekian kalinya. Aisyah diberitahu Daffa jika akan ada acara ulang tahun perusahaan yang diadakan di hotel berbintang yang ada di pusat Jakarta. Sejak dua hari lalu, Daffa sudah memberikan undangannya ke Aisyah, bahkan ada dress code yang diwajibkan. Setelan jas warna coklat muda, kemeja putih, sepatu pantofel coklat tua sudah Aisyah siapkan untuk dipakai Daffa. Sedangkan dirinya, tak punya gaun malam. Lagi pula ia tak pernah mau memakainya karena terlalu ribet juga memperlihatkan lekuk tubuhnya, tak nyaman. Daffa masuk ke dalam kamar setelah selesai membantu Agung menyiram tanaman di depan sambil berbincang sore. Ia melirik ke Aisyah yang berdiri sambil mencari kerudung warna coklat muda senada dengan setelan jas yang akan dipakai Daffa. "Kamu nggak punya gaun pesta?" tegurnya pelan. Aisyah menoleh ke arah
💐Mengubah sifat manusia itu tidak akan semudah diharapkan. Tiga bulan tinggal bersama mertua, Aisyah dan Daffa masih berada di kondisi yang sama. Ditambah lagi Gendis setiap saat bisa dikatakan selalu bawel tentang banyak hal yang membuat Aisyah mulai tak bisa bergerak bebas. Pagi itu ia bangun lebih awal karena harus mandi besar setelah melayani Daffa malamnya. Daffa tidak kasar atau tergesa-gesa sehingga kandungan Aisyah aman-aman saja. Masih memakai handuk di kepala untuk mengeringkan rambut, Aisyah ingin memasak bekal Daffa kerja. Sedangkan untuk sarapan suaminya terbiasa hanya menikmati bubur gandum, susu dan roti selai kacang karena tak ada waktu jika sarapan berat. Ia harus naik kereta paling pagi sampai ke Bogor. Hal itu sudah dilakukan tiga bulan ini semenjak masa dinas di kota itu entah kepastian berakhirnya kapan. Aisyah menuang air panas ke dalam mangkuk berisi bubuk gandum, diaduk sebentar sebelum ditambah madu dan potongan buah pisang. Setelahnya diletakkan di mej
💐Kadar hemoglobin Aisyah rendah, hal itu yang menyebabkan ia jatuh pingsan. Hamil muda memang seringnya banyak yang mendadak darah rendah. Infusan dipasang di punggung tangan sebelah kiri. Aisyah masuk kamar rawat bersebelahan dengan kamar Adinda. Perlahan, ia membuka mata. Didapati Daffa duduk di samping ranjang sedang menatapnya intens. "A-ku, pingsan?" lirihnya parau. Daffa hanya menjawab dengan anggukan kepala. "Oh," sambungnya lirih, lantas membuang pandangan ke arah lain. Ditatap seperti itu oleh Daffa rasanya hati Aisyah ketar ketir. "Hemoglobin kamu rendah, masa sampai enam. Kamu nggak minum vitamin dari dokter?" tegur Daffa. "Minum, kok. Kamu aja yang nggak pernah tau." Aisyah menjawab dengan takut-takut tapi jujur. "Semua marahin aku, Syah." Hela napas panjang terdengar, membuat Aisyah mau tak mau menoleh ke arah suaminya. "Mereka bilang aku nggak becus jadi suami, cuek ke kamu."Emang gitu, kan? Baru sadar kamu! batin Aisyah dongkol. "Ibu Laras tau kamu dirawat. Ibu
💐Menyambut kelahiran cucu pasti keluarga senang, ya walau ada juga keluarga yang menganggap hal itu biasa saja. Gendis menyuruh suami bibi yang bekerja di rumah memindahkan barang Kirana ke kamar Nanda, lalu mengganti dengan beberapa barang kepunyaan Aisyah dan Daffa yang dibawa dari apartemen. "Bu, hari ini nggak masak, kan?" tukas bibi. "Nggak usah, Bi. Beli aja atau nanti saya minta karyawan rumah makan antar. Bibi lihat Aisyah kemana?" Sedari tadi Gendis memang tak lihat menantunya itu. "Aisyah ke rumah lama, katanya mau lihat aja."Gendis menghela napas panjang, ia tau Aisyah sedih karena rumah itu sudah dibeli orang lain. Laras minta menetap di kota pelajar bersama Nilam, lebih tenang katanya. "Mau saya susulin, Bu?" usul bibi. "Nggak usah. Biarin aja." Gendis memantau suami bibi menggeser meja rias sedangkan bibi merapikan pakaian Daffa dan Aisyah ke dalam lemari. Kirana yang kini tinggal di rumah Henggar bersama kedua mertuanya terlihat disambut dengan baik. Kirana te
💐"Yakin mau ikut pindah?" Saat berjalan kaki dengan menenteng bubur ketan hitam, Daffa kembali memastikan kesiapan Aisyah. "Aku bisa aja lama di sana." Aisyah menoleh sejenak sebelum kembali menatap jalanan sepi di depannya. "Mas Daffa nggak suka aku ikut? Bukannya istri harus setia temani suaminya dinas kemanapun? Ya, kecuali kalau kamunya emang nggak mau karena bisa bebas.""Bebas maksudnya?" Daffa menghentikan langkah kakinya. Aisyah memijat pelipisnya sejenak sebelum berkata-kata. "Gini, Mas. Kita sama-sama tau kalau pernikahan ini karena Ibu. Bukan karena perasaan masing-masing kita. Mas Daffa sikapnya juga aneh, punya istri kayak nggak punya. Oke nggak apa-apa kalau emang kamu belum ada perasaan ke aku, tapi kenapa kamu hamilin aku?" tatap nanar Aisyah. Daffa diam saja. "Nggak bisa jawab apa nggak mau jawab apa emang aku dijadiin pelampiasan aja?" Aisyah lanjut berjalan, meninggalkan Daffa yang masih diam mematung. "Syah, aku juga bingung sama perasaan aku!" ujar Daffa sed
💐Pernikahan Kirana dan Henggar tinggal menghitung hari. Keluarga Daffa masih tidak tau jika Aisyah hamil. Rahasia itu tetap tersimpan rapat padahal Kirana gatal ingin membeberkan. "Mas Daffa, besok bisa temenin cek kandungan?" Aisyah menatap penuh kepasrahan. Sorot matanya sayu karena tau jawabannya Daffa apa. "Yah, besok, ya. Aku harus urus cuti dan kerjaan mau nggak mau dikejar. Kamu sendiri aja kayak biasanya bisa, kan? Aku transfer uangnya." Daffa meraih ponsel yang tergeletak di meja makan apartemen, tapi gerakannya ditahan Aisyah dengan tangan. "Nggak usah, Mas. Masih banyak uang dari kamu. Cukup. Mmm, kalau sekarang temenin aku beli makan malam sate padang di depan, mau?" Aisyah mencoba lagi. Daffa menatap sendu lalu menunjuk laptop yang menyala. "Oh, banyak ya kerjaannya. Yaudah nggak apa-apa, aku beli sendiri. Tadi Yasmin telepon, kasih tau kalau Raja nanti langsung ke tempat acara Kirana aja. Nggak bisa kalau nginep karena ada les piano sama renang." Aisyah meraih dom
💐 Agung sampai hampir tersedak saat Gendis cerita keributannya dengan Bu Sukun di tempat penjual bahan brokat dan kain. Sambil membersihkan tetesan kopi yang jatuh di celana pendek santainya dengan tisu, Agung menatap takjub karena istrinya tampak tenang. "Bu, kamu sama Bu Sukun nggak bisa akur sebentar? Ya memang, warga tau siapa dia apalagi banyak yang bilang suka omongin tetangga melulu."Gendis berdecak, "akur sama orang yang lidahnya enteng buat omongin si A, B, C muter lagi begitu-begitu aja nggak bisa dong, Yah. Sesekali kasih pelajaran! " Kalimat penuh penekanan itu dirasa ada benarnya. "Aku udah pernah tegur Pak Sukun, tapi dia nggak bisa apa-apa kecuali pasrah."Gendia tertawa meremehkan. "Itulah, Yah. Kalau suami apa-apa iya aja ke istrinya. Cuma dipake buat jadi sapi perah. Bu Sukun kalau suaminya nggak kasih apa yang dia mau, kan, suka cerita ke Bu Bagiyo sambil melas-melas nangis kayak hidupnya paling menderita sejagad raya. Habis itu, Bu Bagiyo nanti kasih salam tem