"Mak, nggak boleh ngomong begitu!" bentak Bapak.
"Biarlah! Biar jadi miskin sekalian!" sahut Emak dengan nada yang kesal"Alhamdulillah kalau Emak mendoakanku seperti itu! Jadi nanti Emak nggak minta uang sama aku lagi, karena usahaku bangkrut! Boro-boro mau ngasih uang sama Emak, untuk makan saja belum tentu cukup! Jadi nanti Emak minta uang sama Deni dan Mella ya Mak? Mereka kan anak dan menantu kesayangan Emak!" sindirku."Iri bilang, Mbak!" sahut Mella sambil tersenyum penuh kemenangan."Iri? Maaf, nggak ada dalam kamusku iri sama kamu! O ya, hutangmu yang Minggu lalu, besok dibayar ya? Mau aku pakai untuk belanja warung! Jangan lupa, bayar!" kataku sambil berjalan pergi keluar rumah Emak. Sekilas aku lihat wajah Mella merah padam. Bapak tersenyum mendengar ucapanku.Aku keluar dari rumah Emak dengan perasaan yang sangat kesal. Kesal dengan tingkah laku Emak yang tidak pernah kapok-kapoknya berhutang pada rentenir."Dari mana, Dek!" tanya Bang Jo ketika aku kembali ke rumah."Dari rumah Emak, Bang!" jawabku."Ada apa?" tanyanya lagi."Sedikit masalah, tapi sudah diselesaikan," sahutku."Masalah apa?" cecar Bang Jo, sepertinya ia sangat penasaran."Tadi Bik Lena datang kesini, menagih hutang Emak sama aku Bang." aku menjelaskan."Kok bisa?" tanya Bang Jo.Aku menceritakan dari awal sampai akhir kejadian hari ini."Emak memang nggak ada kapok-kapoknya! Entahlah siapa yang menghasut Emak. Kirain kemarin memang punya uang untuk merayakan ulang tahun Sheila. Ternyata berhutang," keluh Bang Jo sambil menepuk dahinya sendiri."Mau kopi, Bang?" aku menawarkan kopi pada Bang Jo."Boleh!" jawab Bang Jo.Aku segera membuatkan kopi sambil mengeluarkan cemilan sebagai teman untuk minum kopi. Terlihat wajah lelah lelaki yang sudah lima tahun menjadi suamiku. Aku menikah dengan Bang Jo yang berstatus duda dengan tiga anak. Anak pertama Dewi kelas sembilan. Anak kedua Angga sekolah di pesantren baru kelas tujuh. Dan anak ketiga Intan, baru kelas empat. Usiaku dan Bang Jo selisih sepuluh tahun.Dewi dan Intan tinggal bersama Emak, Emak tidak memperbolehkan mereka tinggal di rumah kami. Bagi kami tidak masalah, karena rumah Emak dan rumah kami hanya bersebelahan."Bang, aku ke warung dulu ya? Bantuin Minah dan Warti," pamitku pada Bang Jo."Iya, Abang mau istirahat dulu," sahut Bang Jo.Aku segera ke warung yang menempel dengan rumahku. Warung kami bangunannya semi permanen, separuh sudah batu bata dan separuhnya lagi masih papan. Tapi Alhamdulillah, usaha warung kami cukup maju. Mungkin karena seporsi hanya sepuluh ribu. Kalau ada yang bertanya, apa kami dapat untung dengan jualan nasi sepuluh ribu? Alhamdulillah, tentu saja dapat untung. Kalau tidak, sudah lama warung kami tidak beroperasi."Ada pesanan ya? Kok banyak sekali bungkus nasi?" tanyaku pada Minah."Iya Bu, Pak Haji Hadi minta dua puluh bungkus, sepuluh nasi ayam dan sepuluh nasi ikan nila. Minumnya belum dibungkus, Bu," jawab Minah."Oke, biar Ibu yang bungkus minumnya!" jawabku sambil membungkus minum air putih di plastik.Pelanggan kami kurang suka kalau diberi air mineral apalagi air isi ulang, mereka sukanya air yang direbus. Kami merebus air dengan dandang yang sangat besar, kemudian dimasukkan dalam tong air."Bu, minta uang untuk beli es krim!" tiba-tiba Nayla muncul bersama dengan Intan. Nayla anakku dengan Bang Jo, yang berusia empat tahun. Ia cukup akrab dengan Intan."Mau beli es dimana Intan?" tanyaku pada Intan."Di warung Bik Yani, Bu," jawab Intan."Ini uangnya, hati-hati ya ngajak adiknya!" kataku sambil memberikan uang sepuluh ribu pada Intan."Terimakasih, Bu," kata Intan."Iya, sama-sama!" jawabku.Aku melanjutkan memasukkan air minum ke dalam plastik. Akhirnya selesai juga."Ini Bu, uangnya!" kata orang suruhan pak Haji Hadi."Terimakasih Mas," jawabku.Aku membereskan piring-piring yang masih berserakan di meja bekas orang makan. Minah dan Warti belum sempat membereskan karena membungkus nasi dua puluh tadi."Bu, es krimnya Mbak Intan diminta sama Sheila. Kasihan Mbak Intan nggak makan es krimnya," ungkap Nayla yang muncul di hadapanku sambil makan es krim."Sekarang Mbak Intan mana? Panggil kesini!" perintahku pada Nayla.Nayla berlari keluar dan memanggil Intan. Mereka berdua ada dihadapanku sekarang."Intan nggak makan es krimnya?" tanyaku pada Intan."Enggak Bu! Tadi waktu Intan dan Nayla pulang dari warung Bik Yani, ketemu dengan Tante Mella dan Sheila. Tante Mella meminta es krim Intan untuk Sheila. Intan takut sama Tante Mella, jadi Intan kasih es krimnya!" kata Intan dengan nada pelan."Intan mau beli es krim lagi? Ini uangnya!" kataku sambil memberi uang lima ribu pada Intan."Uangnya Intan tabung saja ya Bu, nggak usah beli es krim!" jawab Intan dengan senangnya ketika menerima uang dariku."Terserah Intan, bagus kalau mau ditabung," sahutku pada Intan."Terimakasih ya Bu! ayo Nay, kita main lagi!" ajak Intan pada Nayla.Aku bersyukur memiliki anak tiri seperti Intan, dia penurut, mungkin karena masih kecil. Berbeda dengan Dewi, dia tipe pemberontak! Apalagi sering dihasut oleh Emak dan Mella untuk membenci aku. Kadang-kadang Dewi baik sekali denganku, tapi terkadang juga sangat membenciku. Jiwanya masih labil, jadi gampang dipengaruhi. Kasihan sebenarnya dengan Dewi.Menjelang Maghrib, warung makan kami tutup. Setelah beres-beres, Warti dan Minah pulang dengan membawa nasi dan sayur matang. Mereka termasuk anak yang rajin dan nurut, aku tidak sayang memberi uang tambahan untuk mereka. Pegawaiku ada tiga, yang satunya Bik Sarni. Ia datangnya pagi-pagi sekali. Tugasnya memasak nasi dan membantuku memasak makanan. Tengah hari ia pulang. Kalau Warti dan Minah dari jam delapan sampai sore. Aku gaji mereka setiap hari Sabtu."Ayah, Tante Mella kok jahat ya?" kata Nayla ketika malam hari kami sedang menonton televisi."Jahat gimana Nay?" tanya Bang Jo."Tadi waktu Nay dan Mbak Intan beli es krim, ketemu dengan Tante Mella dan Sheila. Tante Mella meminta es krim mbak Intan untuk Sheila. Kenapa Tante Mella nggak beli sendiri ya? Kan punya uang, soalnya Nay lihat Tante pegang uang!" Nayla menjelaskan pada ayahnya."Sudah, biarkan saja! Kalau orang berbuat jahat, jangan dibalas dengan jahat, tapi balas dengan kebaikan!" jawab ayahnya."Nay nggak ngerti ayah?" kata Nayla dengan bingung."Maksudnya kalau orang jahat dengan kita, kita membalasnya dengan kebaikan. Biarlah Tante Mella jahat sama Nayla, Nay harus tetap baik dengan Tante Mella." Nayla manggut-manggut mendengar penjelasan ayahnya."Ayah, kenapa Makwo membenci Ibu dan Nay?"Deg! Aku kaget mendengar kata-kata Nayla."Kata siapa kalau Makwo membenci Ibu dan Nay?" tanya Bang Jo."Soalnya Makwo sering marah-marah sama Ibu dan Nay. Padahal Nay sudah jadi anak baik. Kalau Sheila selalu disayang Makwo, walaupun Sheila nakal sama Nay." Nayla menjelaskan dengan serius."Nggak boleh bilang seperti itu, Makwo juga sayang kok sama Nay." Bang Jo berusaha memberi pengertian pada Nay. Walaupun sebenarnya ia tahu kalau yang dikatakan Nayla itu benar. Emak memang membedakan perlakuan pada Sheila dan Nayla, pilih kasih. Aku juga sering jengkel dengan perlakuan Emak. Giliran butuh uang, aku dan Bang Jo yang dicari.Nayla hanya diam, sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu atau mungkin mencoba menalar apa yang diucapkan ayahnya. Kemudian Nayla melihat ke arahku."Bu, besok beli kado untuk ulang tahunnya Irsa ya?" pinta Nayla."Nay mau pergi sama siapa?" tanyaku pada Nayla."Sama Mbak Intan. Jangan lupa Mbak Intan dibelikan kado juga. Jadi nanti Nay dan Mbak Intan bawa kado sendiri-sendiri!" Nayla bersemangat sekali
Aku tersenyum menatap Bang Jo, kemudian mengangguk. Bang Jo pasti tahu apa yang aku pikirkan.Hari ini aku tidak pergi ke kantor, karena Bang Jo ada urusan dan tidak bisa menunggu warung. Kesibukan di warung sudah dimulai. Warti dan Minah sudah datang dan menyiapkan semua perlengkapan warung. Sebenarnya capek buka usaha warung makan, tapi yang namanya bekerja itu memang capek. Kalau semua dilakukan dengan ikhlas dan senang hati, insyaAllah capek pun akan tetap senang. Inilah hidup yang harus aku syukuri."Bu, Nayla sudah bangun," kata Warti."O ya?" Aku segera masuk ke kamar, Nayla suka menangis kalau dia bangun tidak ada orang disebelahnya."Bu, Nay mau susu!" kata Nayla."Nay pipis dulu, Ibu bikin susu! Ya?" kataku membujuk Nayla untuk buang air kecil.Nayla bergegas bangkit dari tempat tidur dan segera ke kamar mandi."Nay sudah pipis Bu! Nay mau nonton televisi ya, Bu?" kata Nayla.Aku segera menghidupkan televisi dan mencari acara kesukaan Nayla. Nayla menonton film kartun sambil
"Bu Nova, mau beli daster nggak? Barangnya baru semua lho!" kata Mbak Siti, tukang kredit pakaian keliling. Ia turun dari motornya sambil membawa tas berisi barang dagangannya. Kemudian duduk di balai bambu yang terdapat di teras rumahku. Balai bambu itu sering kami pakai untuk duduk-duduk santai sambil menunggu pembeli yang datang. Bahkan Intan dan Nayla sering tidur-tiduran dan bermain di balai bambu itu."Ayo Bu, silahkan dipilih! Ini warnanya cocok untuk Bu Nova," kata Mbak Siti."Namanya orang dagang, pasti bilangnya cocok. Biar nanti dibeli," kataku sambil memilih-milih daster.Warti dan Minah juga ikut melihat-lihat daster karena kebetulan warung sedang sepi. Jualannya Mbak Siti boleh dibayar dengan sistem kredit atau tunai. Tentu saja harganya berbeda antara kredit dan tunai."Pilihkan satu untuk Bik Sarni!" kataku pada Warti."Ini cocok nggak Minah untuk Bik Sarni!" kata Warti."Terlalu ramai coraknya!" jawab Minah sambil memilih-milih."Kalau ini?" tanya Warti lagi."Nah it
"Ada apa Nay?" tanyaku pada Nayla.Nayla tidak menjawab, hanya menangis terus."Maafkan Intan Bu. Intan lalai menjaga Nayla," kata Intan pelan sambil menunduk. Sepertinya ia ketakutan, kalau aku marah."Memangnya Nayla kenapa?" tanyaku dengan suara lembut."Nayla rebutan mainan sama Sheila. Sheila kalah, dia mencubit Nay dan merebut kembali mainan Nay. Intan nggak bisa mencegah Sheila karena Intan sedang mengambil minum untuk Nay. Maafkan Intan Bu," jawab Intan sambil menunduk.Aku mendekati Intan dan memegang tangannya. "Intan nggak bersalah. Intan sudah jadi kakak yang baik untuk Nayla. Buktinya Intan sedang mengambilkan minum untuk Nayla, ya kan?" kataku pada Intan.Intan mengangguk."Ibu nggak marah sama Intan?"Aku menggelengkan kepala."Sudah, sekarang Intan dan Nayla main di balai bambu saja. Ya?" kataku pada Intan.Nayla sudah berhenti nangisnya."Lihat Bu, tangan Nay yang dicubit Sheila," kata Nayla sambil menunjukkan tangannya yang sedikit lecet karena dicubit Sheila.Seben
"Iya Mak, ada apa?" tanya Bapak."Dicariin dari tadi kok malah kesini, sarapan disini ya? Kayak di rumah nggak dikasih makan, Pak?" gerutu Emak sambil melirik ke arahku. "Memangnya kenapa kalau sarapan disini? Tadi sarapan sama Nayla," jawab Bapak "Nay, kok nggak mau main sama Sheila? Sheila punya mainan baru lho," ucap Emak pada Nayla, untuk mengalihkan pembicaraan."Nggak mau, Sheila pelit! Kalau punya mainan nggak mau minjemin." Nay menjawab dengan ketus."Eh, siapa bilang?" tanya Emak."Nay yang bilang. Emang Sheila pelit kok. Nay pegang mainannya saja nggak boleh.""Tuh, anak diajarin ngomong nggak benar. Adiknya sendiri dikatain pelit!" kata Emak padaku dengan tatapan sinis. Aku menghela nafas sebelum menjawab perkataan Emak."Mak, Emak juga sering bilang kalau aku pelit. Mungkin Nay ikut-ikutan ngomong pelit karena ada yang ditiru." Aku membalas ucapan Emak."Benar itu Mak, anak kecil itu akan meniru omongan orang dewasa." Bapak ikut menimpali."Huh, ngomong sama kalian meman
"Kenapa, Mbak?" Suara Rita mengagetkanku. Sepertinya Rita memperhatikan aku dari tadi."Kamu ini ngagetin aku aja. Nggak apa-apa kok!" Aku berusaha mengatur emosiku."Nggak mungkin nggak apa-apa. Dari tadi aku memperhatikan Mbak Nova. Setelah memegang ponsel, wajah Mbak Nova berubah menjadi seperti marah. Pasti ada sesuatu di ponsel Mbak. Apakah ada yang memberi tahu sesuatu?" selidik Rita, aku yakin kalau dia sangat kepo.Aku menyerahkan ponselku pada Rita, matanya langsung terbelalak menatap layar ponsel."Ini status Dewi?" tanya Rita, sepertinya ia kurang yakin.Aku mengangguk sambil mengatur nafas, yang tadi sempat naik turun karena emosi. Benar-benar keterlaluan, bisa-bisanya Dewi membuat status seperti itu di Facebook."Sudah, Mbak. Nggak usah dipikirin. Biarkan saja. Orang-orang sudah tahu, kalau Mbak Nova nggak seperti itu. Kalau diladeni, nanti malah ramai dan membuat masalah baru." Rita menenangkanku. Kemudian ia membuka ponselnya dan mencari akun Dewi."Iya, aku nggak mau m
"Nova, mana Johan?" tanya Emak yang tiba-tiba datang ke warung."Belum pulang, Mak," jawabku dengan sejenak menghentikan kegiatanku membungkus nasi."Kemana?" tanya Emak lagi."Tadi katanya mau ke sekolah Dewi, sesudah itu mau pergi bersama temannya. Ada apa, Mak?" Aku balik bertanya."Bilangin sama Johan, nanti ponselnya langsung kasihkan sama Dewi. Kasihan Dewi kalau nggak punya ponsel.""Iya, Mak.""Nova, ikut arisan ya? Satu juta sebulan.""Maaf, Mak, saya nggak sanggup terlalu besar. Saya sanggupnya cuma seratus atau dua ratus ribu sebulannya.""Masa kamu kalah sama Mella. Dia ikut lho. Nggak usah pelit-pelit, itu kan uangnya Johan. Emak yakin, Johan tidak akan keberatan kalau kamu ikut arisan itu." Emak semangat sekali mengompori. Aku mulai jengah dengan ucapan Emak."Maaf, Mak.""Hidup numpang saja, belagu!" gerutu Emak.Walaupun Emak berkata pelan, tapi aku masih mendengarnya. Hatiku terasa sangat panas. Warti dan Minah hanya diam saja, aku tahu mereka sebenarnya ingin berkome
"Tuh, menantu kesayangan Emak. Gayanya sok kaya, tapi hutang dimana-mana." Bang Jo berkata sambil tersenyum."Bu, ada yang nyariin Tante Mella," teriak Nayla dari luar."Suruh masuk kesini orangnya, Nay." jawabku spontan. Emak langsung melotot padaku."Assalamualaikum, Bu Nova," sapa orang yang dimaksud Nayla."Waalaikumsalam, eh Bu Lasmi. Mari masuk Bu!" jawabku sambil menoleh ke arah datangnya suara."Terimakasih Bu.""Ada apa ya Bu?" tanyaku."Saya mencari Mbak Mella, barangkali dia ada disini." Bu Lasmi menjelaskan."Ngapain kamu mencari Mella." Emak menimpali ucapan Bu Lasmi."Begini Mak Amir, Mbak Mella ada hutang sama saya, janjinya Minggu lalu mau dibayar. Setiap saya cari selalu tidak ada." Bu Lasmi menjelaskan."Hutang apa, Bu?" tanyaku penasaran."Jam tangan, Bu Nova," jelas Bu Lasmi."Hanya jam tangan saja kok, nanti juga dibayar sama Mella." Emak masih membela Mella."Memangnya berapa harga jam tangannya?" tanya Bapak."Lima ratus ribu." Bu Lasmi menjawab dengan semangat.