Share

Mertua Pilih Kasih, Kubuat Gigit Jari!
Mertua Pilih Kasih, Kubuat Gigit Jari!
Penulis: YuRa

Hutang Emak

"Bu, saya mau menagih hutang!" Terdengar suara yang lantang mengagetkanku. Tanpa basa-basi langsung saja menagih hutang

"Eh Bik Lena! Ada apa Bik?" tanyaku pada perempuan itu. Aku kaget dengan kehadirannya, karena aku merasa tidak punya hutang dengannya.

Bik Lena adalah seorang rentenir di kampungku. Dia meminjamkan uang dengan bunga yang cukup tinggi, sekitar dua puluh persen. Ia tidak segan-segan mengambil barang yang ada di rumah, jika orang tersebut tidak mampu membayar hutangnya.

"Begini Bu, Minggu lalu Mak Amir meminjam uang sama saya. Janjinya hari ini mau dibayar. Terus tadi saya menagihnya, katanya saya disuruh minta uang sama Bu Nova" Bik Lena menjelaskan dengan suara tidak segarang ketika datang tadi.

Mak Amir adalah ibu mertuaku. Bapak mertua bernama Amir, jadi ibu mertua dipanggil Mak Amir. Emak, biasa aku memanggil mertuaku, selalu bermasalah dengan uang. Beliau termasuk orang yang hobi berhutang demi terlihat kaya dan dipuji-puji orang lain.

"Kok Emak nggak bilang sama saya ya? Maaf Bik Lena, saya nggak tahu kalau Emak ada hutang dengan Bik Lena." Aku menjawab dengan jujur, karena memang Emak tidak bilang sama aku.

"Waduh gimana, ya Bu? Saya hanya disuruh minta uang kesini," jawab Bik Lena.

"Ayo Bik, kita ke rumah Emak!" ajakku pada Bik Lena.

"Baik Bu," kata Bik Lena sambil berjalan mengikutiku.

Aku segera ke rumah Emak yang berada di sebelah rumahku.

"Assalamualaikum, Mak." Aku mengucapkan salam.

"Waalaikumsalam, ada apa Nova?" jawab Bapak mertua.

"Emak ada, Pak?" tanyaku pada Bapak.

"Ada di belakang. Masuk saja!" sahut Bapak sambil tetap asyik nonton televisi.

Aku mempersilahkan Bik Lena untuk duduk dulu di ruang tamu. Aku berjalan menuju ke dapur, ada Emak yang sedang makan.

"Mak, apa Emak ada hutang sama Bik Lena?" Aku bertanya dengan sopan.

"Iya, tolong dibayar, ya Nova?" jawab Emak sambil tetap makan.

"Hutang untuk apa Mak? Apa uang yang Nova beri tidak cukup?" aku bertanya lagi pada Emak.

"Untuk ulang tahun Sheila kemarin! Kasihan bapaknya jauh, ia ingin ulang tahun dirayakan. Sebagai neneknya apa salahnya kalau Emak merayakannya?" sahut Emak.

"Mak, kalau hanya untuk ulang tahun, kan nggak harus dirayakan. Apalagi kalau tidak punya uang. Itu namanya memaksakan diri!" Aku memberi pengertian pada Emak.

"Kamu itu, jadi orang jangan pelit! Nanti rezekimu sempit. Uang cuma segitu saja kok diributkan." tiba-tiba Emak jadi emosi.

"Memangnya Emak punya hutang berapa sama Bik Lena?" Aku masih bertanya dengan suara yang tenang, sambil tetap menahan emosi yang mulai naik.

"Lima juta, sama bunganya jadinya enam juta!" Emak menjawab dengan ketus.

"Mak, enam juta itu banyak!" jawabku dengan nada kaget.

"Pokoknya Emak nggak mau tahu, kamu harus membayar hutang itu!" cecar Emak.

"Saya dapat uang darimana, Mak?"

"Ada apa ini ribut-ribut!" tiba-tiba suara Bapak terdengar.

"Nova itu menantu paling pelit. Disuruh bayar hutang tapi tidak mau. Dasar menantu durhaka!" Emak mengadu pada bapak.

"Maaf Pak, saya merasa tidak berhutang! Jadi saya tidak mau membayar hutang sebanyak itu!" aku membela diri.

"Yang berhutang siapa?" tanya Bapak.

"Aku yang berhutang, untuk merayakan ulang tahun Sheila kemarin." sahut Emak.

"Terus kok Nova yang disuruh membayar hutangnya?" cecar Bapak.

"Kalau bukan Nova, aku minta uang sama siapa?" Emak membalas dengan sengit.

"Bapak pikir, kemarin Emak merayakan ulang tahun Sheila karena memang punya uang. Ternyata Emak berhutang ya? Mak, Emak ini nggak ada kapok-kapoknya berhutang ya?" ungkap Bapak.

"Sudahlah Pak? Nggak usah marah-marah. Yang penting sekarang hutangnya dibayar!" sahut Emak dengan wajah yang kesal.

"Yang mau bayar siapa?" tanya Bapak lagi.

"Nova sama Johan!" kata Emak sambil melirik ke arahku. Aku hanya terdiam sambil menghela nafas.

"Mak, uang segitu Nova nggak ada!" tegasku pada Emak.

"Dasar kamu pelit. Kamu punya usaha warung makan itu, ada di tanah Emak! Anggap saja kamu membayar sewanya!" bentak Emak.

"Astaghfirullahaladzim, Mak! Tanah itu kan jatahnya Johan, terserah dia mau ditempati untuk usaha atau tidak. Nggak ada istilah sewa dengan anak sendiri!" teriak Bapak.

Aku kaget mendengar teriakan Bapak, karena Bapak jarang berbicara dengan nada keras. Mungkin Bapak sudah tidak tahan, mendengar ucapan Emak yang seenaknya saja. Karena itu Bapak berteriak.

"Bapak selalu membela mereka, jadinya mereka melawan sama Emak!" Emak berkata dengan nada merajuk.

"Ada apa ini?" tanya Mella, ibunya Sheila yang baru muncul dari kamarnya.

Mella merupakan istri dari Deni, adiknya Bang Jo suamiku. Deni bekerja sebagai sopir di perusahaan sawit, jadi tidak setiap saat ada di rumah. Mella masih tinggal bersama mertuaku, tapi pintar sekali mencari muka dan selalu mengadu domba.

"Tuh, Nova nggak mau membayar hutang Emak pada Bik Lena." Emak mengadu pada Mella.

"Mbak, jangan terlalu pelit dengan Emak. Ingat Mbak, kita ini menantu Emak. Sebisa mungkin membahagiakan Emak, jangan selalu menang sendiri! Masih mending kita bisa tinggal bersama Emak. Kalau disuruh mengontrak, sudah habis berapa banyak uangnya. Mbak kan punya uang, kenapa nggak dibayar saja hutang Emak." Mella berkata seolah-olah menasehatiku, padahal hanya mencari muka di depan Emak dan Bapak. Kulihat Emak tersenyum bahagia, mendengar pembelaan dari menantu kesayangannya.

"Maaf Mella, Emak berhutang untuk merayakan ulang tahun Sheila. Jadi kamu yang harus membayar hutangnya," ucapku pada Mella.

"Nggak bisa dong! Yang berhutang kan bukan aku!" teriak Mella.

"Sama! Yang berhutang juga bukan aku!" sahutku lagi dengan tersenyum.

"Sudah-sudah, berapa semua hutangnya?" Bapak menengahi perdebatan kami.

"Enam juta sudah beserta bunganya!" jawab Emak.

"Apa? Enam juta? Wajar saja kalau Nova keberatan membayarnya! Emak benar-benar keterlaluan!" Bapak berkata dengan nada kesal.

"Mak Amir, Bu Nova? Gimana nih hutangnya." Tiba-tiba Bik Lena muncul di dapur.

"Berapa semua hutang Emak, Bik?" tanyaku pada Bik Lena.

"Enam juta!" sahut Bik Lena.

"Saya hanya punya uang satu juta!" kataku sambil mengeluarkan uang dari saku celana. Padahal uang ini akan aku pakai untuk belanja keperluan warung.

"Kurang dong, Bu." sahut Bik Lena.

"Mau dibayar nggak? Kalau nggak mau ya sudah!" kataku sambil pura-pura memasukkan uang ke saku.

"Iya deh, saya terima saja daripada tidak dibayar," kata Bik Lena dengan tangan mengambil uang yang ada di tanganku.

"Ini ada uang dua juta! Sisanya nanti kalau saya punya uang!" kata Bapak yang keluar dari kamar. Aku tidak tahu kapan Bapak masuk ke kamarnya kok tiba-tiba sudah keluar dari kamar.

"Pak, Bapak punya uang ya?" tanya Emak.

"Bapak mengambil di laci lemari!" sahut Bapak dengan santainya.

"Itu uangku, Pak!" teriak Emak dengan marah.

"Ya sudah untuk membayar hutang saja," kata Bapak sambil menyerahkan uang pada Bik Lena.

"Terimakasih Pak Amir. Masih kurang tiga juta lagi ya, Pak?" kata Bik Lena dengan wajah berseri-seri karena menerima uang.

"Iya, nanti sisanya biar Emak yang membayarnya!" sahut Bapak.

"Permisi, saya mau pulang!" Bik Lena pulang dengan senang hati karena hutangnya dibayar walaupun hanya setengah saja.

"Dasar menantu durhaka, pelit dengan mertua. Emak doakan usahamu bangkrut!" teriak Emak seperti orang yang kesurupan.

Aku syok mendengar kata-kata Emak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status