Share

Pinjam Uang

"Kata siapa kalau Makwo membenci Ibu dan Nay?" tanya Bang Jo.

"Soalnya Makwo sering marah-marah sama Ibu dan Nay. Padahal Nay sudah jadi anak baik. Kalau Sheila selalu disayang Makwo, walaupun Sheila nakal sama Nay." Nayla menjelaskan dengan serius.

"Nggak boleh bilang seperti itu, Makwo juga sayang kok sama Nay." Bang Jo berusaha memberi pengertian pada Nay. Walaupun sebenarnya ia tahu kalau yang dikatakan Nayla itu benar. Emak memang membedakan perlakuan pada Sheila dan Nayla, pilih kasih. Aku juga sering jengkel dengan perlakuan Emak. Giliran butuh uang, aku dan Bang Jo yang dicari.

Nayla hanya diam, sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu atau mungkin mencoba menalar apa yang diucapkan ayahnya. Kemudian Nayla melihat ke arahku.

"Bu, besok beli kado untuk ulang tahunnya Irsa ya?" pinta Nayla.

"Nay mau pergi sama siapa?" tanyaku pada Nayla.

"Sama Mbak Intan. Jangan lupa Mbak Intan dibelikan kado juga. Jadi nanti Nay dan Mbak Intan bawa kado sendiri-sendiri!" Nayla bersemangat sekali.

"Iya! Besok Ibu beli ya?" kataku pada Nayla.

"Asyik." Nayla bertepuk tangan karena senang. Aku hanya tersenyum melihat kelakuan Nayla.

"Bang, kenapa sih disini kok kebiasaan merayakan ulang tahun anak besar-besaran. Pakai musik segala! Kasihan bagi anak yang orang tuanya nggak mampu, mereka pasti ingin ulang tahunnya dirayakan juga," tanyaku pada Bang Jo.

"Entahlah! Hanya menghamburkan uang demi gengsi. Kayak Emak yang merayakan ulang tahun Sheila. Abang dan Bapak sebenarnya tidak setuju! Tapi Emak bersikeras, katanya pakai uangnya dia kok! Eh nggak taunya urusannya panjang! Mella juga, pintar sekali merayu Emak. Jadi Emak terkena rayuannya Mella." Nada bicara Bang Jo terdengar sangat kesal.

Klunting...klunting, ponsel Bang Jo berbunyi pertanda ada pesan yang masuk. Bang Jo meraih ponselnya dan membuka ponselnya, terlihat wajah Bang Jo sangat serius dengan mengernyitkan keningnya.

"Pesan dari siapa Bang?" tanyaku penasaran.

"Deni!" jawab Bang Jo dengan singkat.

"Ooo, kenapa?" tanyaku lagi, jiwa kepoku meronta-ronta.

"Mau pinjam uang tiga juta untuk Emak. Katanya Emak mau bayar hutang! Pasti untuk membayar utang pada Bik Lena. Ujung-ujungnya kita juga yang membayar hutangnya, huh!" Bang Jo menjelaskan, tapi sepertinya ia masih kesal dengan ceritaku tadi.

Aku hanya diam saja, tidak berkomentar apapun. Biar bang Jo yang mengambil keputusan sendiri. Tak lama kemudian, ponselnya berdering pertanda ada panggilan masuk.

"Aku nggak ada uang!" kata Bang Jo ketika menerima panggilan telepon.

"........."

"Tahu nggak kamu Den, uangnya untuk bayar hutang sama siapa? Untuk bayar hutang sama Bik Lena. Dan kamu tahu nggak, Emak berhutang untuk apa? Untuk merayakan ulang tahun Sheila. Hutangnya ada enam juta. Tadi sudah dibantu Nova satu juta, Bapak ngasih dua juta."

"......."

"Kalau aku kasih pinjam, untuk belanja warung besok pakai uang apa? Mella juga punya hutang sama Nova dua juta, janjinya besok mau dibayar!" jawab Bang Jo dengan suara yang keras.

"......."

"Bukannya pelit, tapi memang uang kami dipakai untuk belanja besok! Kalau warung kami nggak buka, kami nggak punya uang untuk ngasih Emak dan Bapak. Memangnya kamu selalu memberi uang untuk Bapak dan Emak? Enggak kan? Yang ada kamu malah minta uang sama Emak!" Bang Jo menjawab dengan kesal.

"......."

"Sudahlah Den, aku nggak mau berdebat denganmu! Dan maaf, aku nggak bisa membantumu!"

Bang Jo langsung menutup panggilan dari Deni, kemudian menghela nafas panjang.

"Mereka pikir kita ini punya gudang uang, seenaknya ngomong pinjam! Tapi nggak pernah dikembalikan!" gerutu Bang Jo.

Aku memegang tangannya.

"Sabar Bang!" kataku meredam kemarahannya.

Bang Jo menoleh ke arahku dan tersenyum.

"Kata Emak, uangnya Deni banyak. Masa yang tiga juta saja nggak punya?" sindirku.

"Itu kan kata Emak, kenyataannya kita nggak tahu. Sepertinya hidup Deni itu hanya gali lubang tutup lubang. Sudahlah nggak usah memikirkan hidupnya Deni."

***

Adzan Subuh berkumandang, aku segera menghentikan kegiatanku meracik bumbu-bumbu. Aku terbiasa bangun jam empat pagi, kemudian menyiapkan bumbu-bumbu. Aku bermunajat kepada sang pemilik hidup, memohon ampun atas segala kesalahan, dan meminta diberi kesehatan agar bisa melaksanakan aktivitas seperti biasanya.

"Dek, ini belanjaan sudah diantar sama Iwan." Suara Bang Jo mengagetkanku yang sedang melipat mukena.

"O ya Bang, sebentar," jawabku sambil mengambil uang dan menyerahkan pada Iwan sebagai ongkos mengantar belanjaan.

Setiap pagi Iwan selalu mengantar barang belanjaan, jadi aku tidak perlu repot-repot ke pasar pagi. Aku sudah punya langganan belanja, tinggal kirim pesan saja malamnya. Nanti siang mereka mampir ke warung sekalian mengambil uang belanja. Sesekali aku pergi ke pasar juga, jika ingin membeli sesuatu.

Bang Jo membantuku menyiapkan masakan, ada beberapa masakan yang ia masak. Masakan Bang Jo memang enak. Untuk masakan tertentu, aku yang memasaknya.

Jam tujuh pagi, Bik Sarni sudah datang untuk menanak nasi dan membantuku memasak. Bik Sarni orangnya sangat cekatan dalam bekerja. Ia janda dengan dua orang anak. Suaminya meninggal karena sakit.

Sebelum berangkat sekolah, Intan selalu datang ke rumah untuk meminta uang saku.

"Assalamualaikum, Bu." Kudengar suara Intan mengucapkan salam.

"Waalaikumsalam Intan! Ayo masuk dulu." Aku menjawab salam Intan.

"Nay belum bangun, Bu?" tanya Intan.

"Belum, tuh masih tidur," sahutku sambil menunjuk ke arah Nayla yang sedang tidur.

"Eh Intan, sudah sarapan?" tanya Bang Jo.

"Belum, Yah!" jawabnya dengan polos.

"Ini bekal untuk Intan dan ini uang jajan dan uang untuk ditabung. Ini sarapan untuk Makwo ya? Tolong diantar dulu ke rumah!" perintahku pada Intan.

"Iya Bu, terima kasih! Ayah, Ibu, Intan berangkat sekolah ya?" kata Intan sambil mencium tangan ayahnya dan tanganku.

"Iya, Nak! Hati-hati ya?" jawabku dengan tersenyum.

Aku sangat bangga dengan perilaku Intan yang sopan dan penurut.

"Semoga kamu besar nanti jadi orang sukses, Nak," kataku dalam hati.

Tak lama kemudian Dewi datang dengan wajah datar tanpa ekspresi.

"Yah, minta uang saku," kata Dewi.

"Sudah sarapan, Dewi?" tanyaku.

"Sudah," jawabnya dengan pendek.

"Ini uang jajannya ya?" kataku sambil memberikan uang saku pada Dewi. Dewi hanya mengangguk dan langsung pergi tanpa mengucapkan salam, apalagi ucapan terimakasih. Aku sudah maklum dengan kelakuan Dewi dan aku tidak mau menasehatinya. Karena ia akan marah kalau aku nasehati, kemudian mengadu pada Emak. Akhirnya Emak akan merepet panjang padaku. Ah, beda sekali sifatmu dengan Intan.

Aku hanya bisa menghela nafas, berusaha untuk tetap bersikap baik pada Dewi. Sebenarnya sering sakit hati dengan kelakuan dan perkataan Dewi. Karena menurutnya, aku yang menjadi penyebab perceraian kedua orang tuanya. Padahal aku datang dalam kehidupan Bang Jo, ketika ia sudah menjadi duda.

"Yang sabar ya?" Suara Bang Jo mengagetkanku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status