"Assalamualaikum, Nova." Suara seorang laki-laki yang sangat kukenal. Aku langsung menoleh ke arah suara itu berasal."Bapak!" Aku kaget dan segera beranjak dari duduk, mendekati Bapak. Ya, Bapak kandungku datang. Aku mencium tangan Bapak, Bapak mengelus kepalaku. Bapak datang berdua dengan Manto, anak buah bapak. Aku duduk menemani bapak dan Manto. Bapak tinggal di kecamatan yang berbeda denganku. Dengan jarak sekitar dua jam perjalanan.Bapak dan ibuku bercerai ketika aku masih kelas satu SMA. Karena dulu bapak berselingkuh dengan mantannya. Aku benar-benar kacau saat itu, tapi beruntung aku tidak terjerumus pada hal-hal yang negatif. Aku ikut nenek dari pihak bapak, ibu dan adikku satu-satunya ikut nenek dari pihak ibu. Bapak sudah menikah lagi, tapi tidak dengan selingkuhannya. Ternyata selingkuhannya itu hanya ingin memanfaatkan Bapak saja. Ibu Sis, begitu aku memanggil istri bapak yang bernama Siska. Dari pernikahan itu, lahirlah Anissa.Ibuku juga sudah menikah lagi, dan memi
Tiba-tiba Bang Jo memelukku dari belakang."Maafkan, Abang. Abang tidak bermaksud menyudutkanmu. Abang tetap mendukung setiap tindakanmu. Abang percaya padamu, Dek." Bang Jo semakin erat mendekapku, aku merasa sangat bahagia.Aku menghapus air mataku."Terima kasih atas kepercayaan Abang padaku," kataku dengan tersenyum. Semoga Bang Jo selalu mendukungku dalam susah ataupun sedih. "Abang nggak tahu kalau Emak berkata begitu. Tadi Emak bercerita dengan sedih tentang Deni dan Mella. Makanya Abang jadi ikut bersedih. Jangan khawatir, ada Abang disampingmu." Bang Jo menenangkan ku."Mella benar-benar keterlaluan, bisa-bisanya ia punya hutang dimana-mana. Pantas saja kalau Deni sangat marah. Aku jadi kasihan sama Deni.""Mereka sudah sama-sama dewasa. Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kita nggak perlu ikut campur," kataku pada Bang Jo. Bang Jo hanya mengangguk.***Aku baru pulang dari kantor, masuk ke warung. Minah membisikan sesuatu padaku. Aku kaget mendengar ucapan Mina
"Oh, mau menginap sama anak-anak, ya? Betul kata Nova tadi, bawa sekalian tasnya!" perintah Bapak.Mbak Narsih menatapku dengan wajah tidak suka. Aku tersenyum penuh kemenangan. Bapak memang selalu berada dipihakku.Dewi dan ibunya berjalan mengikuti Bapak. Tinggallah aku dan Bang Jo. Nayla dan Intan sudah pergi entah kemana. Bang Jo melihatku dengan tatapan aneh, mungkin dia marah. Aku pura-pura tidak mengerti kalau dia marah."Sudah makan, Bang?" tanyaku.Tidak ada jawaban darinya."Sudah ngopi?" tanyaku lagi.Masih tidak ada jawaban."Oh, ternyata sudah ngopi dengan ibunya Dewi, ya? Ya sudah kalau tidak mau menjawab. Nanti tidak bisa bicara sungguhan baru tahu rasa," ucapku sambil berjalan pergi meninggalkannya dan menuju ke warung.Minah sedang melayani pembeli. Warti masih mencuci piring di belakang."Bu, tidak Ibu rekam ya kejadian tadi?" tanya Minah ketika selesai melayani pembeli."Kejadian apa?" tanyaku pura-pura tidak paham."Tadi tuh, ada Pakwo di depan, terus saya panggil.
Aku diam saja, malas menanggapi. Kulihat Minah agak kesal mendengar ucapan Mbak Narsih."Diajak ngomong tuh jawab," seru Mbak Narsih."Memangnya Mbak tadi ngomong sama aku ya?" jawabku."Ya iyalah," sahut Mbak Narsih."Mbak kan nggak menyebut nama, jadi nggak tahu siapa yang diajak bicara," lanjutku dengan kesal.Muncul Bang Jo bersama dengan Nayla yang sudah kelihatan wangi."Anak Ibu sudah mandi ya?" tanyaku pada Nayla."Iya Bu, wangi nggak?" jawab Nayla."Wangi sekali, sudah minum susu?""Sudah, tadi Ayah yang buat."Bang Jo kelihatan gugup, mungkin mau menyapa Mbak Narsih tapi tidak berani. Mbak Narsih memandang Bang Jo tanpa berkedip. "Mas, sudah sarapan?" tanya Mbak Narsih."Sudah," jawab Bang Jo."Ayah, katanya tadi mau jemput Mbak Intan. Ayo!" ajak Nayla sambil mendekati Bang Jo."Iya, sebentar lagi," sahut Bang Jo."Ayo, Yah!" rengek Nayla sambil menarik tangan Bang Jo. "Mau jemput Mbak Intan ya? Tante boleh ikut?" tanya Mbak Narsih pada Nayla."Motornya nggak muat, Tante.
"Jangan suudzon gitu, Mak. Dosa." Bang Jo menimpali."Kenapa sih dari tadi kamu membela dia terus. Ingat, dia itu bukan lagi istrimu. Dia yang dulu meninggalkanmu, disaat kamu sedang terpuruk. Sekarang giliran kamu mulai menanjak lagi, dia malah datang. Apa kamu nggak curiga? Selama ini dia kemana? Apakah dia ingat sama anak-anaknya? Jangankan datang berkunjung, menelpon menanyakan kabar saja tidak pernah," teriak Emak.Aku kaget mendengar penuturan Emak. Benar juga yang dikatakannya. Selama lima tahun aku menikah dengan Bang Jo, baru beberapa kali ia menjenguk anaknya. Wah, aku harus waspada ini."Mak, jangan bicara sembarangan. Siapa yang sudah menghasut Emak? Apakah Nova yang melakukannya?" tanya Bang Jo."Tidak ada yang menghasut Emak. Pokoknya Emak tidak mau tahu. Malam ini tidak boleh menginap di rumah Emak." Kudengar langkah kaki, aku segera berlari menuju warung. Langsung aku duduk di kursi kasir dengan terengah-engah. Aku menarik nafas panjang. Warti yang melihatku tampak ke
Bang Jo muncul lagi, wajahnya tampak kusut. Mungkin dia juga bingung memikirkan semua ini."Mas, gimana? Boleh, kan?" tanya Mbak Narsih."Tanya sama Nova," sahut Bang Jo. Mbak Narsih diam, sepertinya ia gengsi meminta izin padaku. Kita lihat saja, berani nggak ia meminta izin padaku."Nova, aku menginap disini. Boleh kan?" tanya Mbak Narsih."Maaf, Mbak. Nggak boleh," tegas kujawab permintaannya."Aku masih kangen sama anak-anak," lanjutnya lagi."Alasan saja.""Dek!" seru Bang Jo."Kenapa? Mau membelanya? Semua itu cuma alasannya saja. Kalau mau tidur disini, ajak Dewi dan Intan tidur disini juga. Kan kangen sama anak-anak!" kataku."Bu, Intan nggak mau tidur sama Ibu itu," tiba-tiba Intan muncul bersama Nayla. Aku kaget."Intan, nggak boleh ngomong sama ibumu seperti itu!" teriak Bang Jo."Tadi malam Intan sama Mbak Dewi tidur sama Ibu itu. Tapi Ibu itu hanya diam saja, nggak ngajak kami ngobrol, hanya sibuk dengan ponselnya saja. Mending tidur sama Makwo." Intan segera berlari pul
"Nova, kamu jadi istri kok keterlaluan sekali. Suami pulang nggak dibukakan pintu. Tengah malam gedor-gedor pintu rumah Emak," cerocos Emak yang datang tiba-tiba, ketika aku sedang di dapur bersama Bik Sarni.Emak ini memang kebiasaan suka tidak bisa lihat situasi dan kondisi. Apa salahnya kalau dia mau marah, pas nggak ada orang. Kalau kayak gini, kan nggak enak sama Bik Sarni. Untung Bik Sarni sudah paham wataknya Emak, jadi dia cuek saja seolah-olah tidak mendengar ucapan Emak. Bik Sarni tetap melanjutkan pekerjaannya tanpa melirik aku atau Emak."Emak, saya nggak tahu Abang pulang jam berapa. Soalnya nggak manggil-manggil atau gedor pintu. Abang pergi kemana, saya juga nggak tahu. Pergi nggak pamit," jawabku dengan suara selembut mungkin. Berharap Emak bisa memahami aku."Emak juga nggak tahu pergi kemana. Tahu-tahu tadi malam gedor pintu. Tuh, sekarang masih tidur," sahut Emak.Aku diam saja mendengar ocehan Emak, semakin ditanggapi akan semakin ramai. Aku sudah pusing masalah Ba
"Belum," jawabku singkat."Kenapa?""Biasanya kan Abang yang bayar ke bank. Aku nggak ada waktu untuk ke bank, sibuk di warung.""Apa salahnya ke bank sebentar. Di warung kan ada Minah dan Warti."Aku langsung menoleh ke arahnya."Kenapa bukan Abang yang pergi ke bank? Abang kan nggak sibuk.""Abang nggak ada uangnya.""Kenapa nggak ngomong sama aku? Abang terlalu sibuk ngurusin mantan, sampai-sampai istri sendiri diabaikan. Begitu berharganya sang mantan, selalu dibela di depan istri. Sikap Abang itu sangat melukai perasaanku.""Abang kan ngomong tentang hutang bank kok merepet sampai masalah Narsih.""Abang tuh punya otak apa enggak sih! Gara-gara mantan datang, semua berantakan. Sampai hutang bank lupa dibayar. Yang di pikiran hanya ada Narsih, Narsih dan Narsih. Aku nggak mau bayar hutang bank itu. Biarlah rumah ini disita, toh bukan rumahku. Aku disini kan hanya numpang," ketus aku menjawab ucapan Bang Jo. Aku sudah sangat kesal dengannya. Dia tidak merasa melakukan kesalahan. L