"Tri, bukannya itu suaminya kakak ipar kamu?" celetuk Eva.
Jemari lentiknya menunjuk ke arah sebuah toko perhiasan yang ada di seberang cafe yang baru saja kami kunjungi. Di dalam toko perhiasan yang tidak terlalu ramai itu, aku bisa melihat dengan jelas suami dari Mbak Dina sedang bersama wanita lain. Sesekali mereka saling kecup pipi tampak mesra sekali."Kamu nggak mau ngambil bukti untuk ditunjukkan sama kakak ipar kamu?" tanya Eva." ... "Saking fokusnya aku menatap dua sejoli yang tampak bahagia itu, sampai-sampai aku tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Eva baru saja."Woy, kenapa kamu malah bengong aja?" tegur Eva sembari menyeret lenganku agar bergeser sedikit menjauh dari ambang pintu cafe."Hah? Apa kamu bilang?" tanyaku pada Eva.Terlalu fokus memergoki insiden perselingkuhan di depan mata membuatku melamun cukup lama."Kamu nggak mau ngambil bukti untuk ditunjukkan sama kakak ipar kamu?Kesibukanku berbelanja dan memilih barang-barang yang bagus untuk ulang tahun Danis nanti telah membuatku terlupa sejenak dari masalah mengenai Mbak Dina dan perselingkuhan suaminya. Dan hal ini terus bertahan sampai aku tiba di rumah. Sekembalinya ke rumah, aku menemukan rumah dalam kondisi sepi. Bapak dan ibu jelas sedang berada di sawah. Sementara Wisnu, dia sudah meminta izin padaku untuk membawa Danis bermain di sawah. Alhasil sekarang aku sendirian. Namun, hal ini tidak membuatku berpangku tangan. Aku bergegas ke dapur untuk membuat makan siang untuk semua orang. Rencananya aku akan menyusul mereka semua ke sawah setelah ini. Sudah lama aku tidak melihat kondisi sawah yang aku beli dan sedang dikelola oleh bapak dan ibu. Mungkin ada di antara kalian yang bertanya-tanya, kenapa aku membiarkan bapak dan ibuku yang mengerjakan sawah itu? Apa tidak kasihan pada mereka yang sudah tua? Aku tidak bermaksud untuk membuat-buat alasan. Tapi aku ti
Sisa hari itu tetap berlangsung seperti biasa. Bapak dan ibu akan kembali dari sawah ketika waktu menunjukkan beberapa jam lagi menjelang maghrib. Sementara Wisnu yang saat ini sedang menganggur mulai rutin berlari sore di taman yang tak jauh dari rumah. Tentu saja diikuti oleh keponakannya yang tidak ingin lepas dari sang paman. Adapun aku, ketika sore menjelang, aku sibuk memasak untuk makan malam semua orang. Selesai dengan rutinitas itu, aku masih memanfaatkan waktu untuk memikirkan alur cerita yang sedang aku garap. Masalah mengenai Mbak Dina dan suaminya telah lama terlempar jauh ke belakang kepala. Aku tidak lagi dibuat risau oleh masalah itu. Sampai malam menjelang dan waktunya bagi kami untuk tidur. Aku memiliki kebiasaan untuk mengobrolkan perihal hari ini dengan Mas Ruslan. Dalam kondisi kamar yang gelap gulita dan kepalaku bersandar di bahunya. Untuk malam ini, kebetulan Danis lagi-lagi tidak ada di antara kami. Putra kecilku itu l
[Bukan urusan kamu!][Lagipula, apa maksud kamu dengan mengirimkan foto dan video itu saat ini?][Sebenci itukah kamu padaku sampai menggunakan momen bahagia keluargaku untuk mengirimkan hal-hal tidak berguna ini?!][Hapus sekarang juga!]Itu adalah pesan balasan yang aku terima dari Mbak Dina. Saat itu juga aku menyimpulkan bahwa Mbak Dina adalah tipe kedua dari yang disebutkan oleh Eva kemarin. "Aduuh, Astri. Ini akibat dari kamu nggak nurut sama suami sih!" rutukku pada diri sendiri. Ponsel pipih itu lalu aku ketuk-ketukkan pada dahi. "Gimana nih?" tanyaku untuk diri sendiri. Jantungku tiba-tiba mulai berdebar dan aku menjambak rambut yang terselubung di balik jilbab yang membalut kepalaku dengan frustrasi."Ibu! Ibu kenapa?" Suara sapaan Danis yang entah sejak kapan telah kembali dari lari-lari sore bersama dengan pamannya menyadarkan aku dari tindakan yang baru saja aku lakukan. "Eh,
'Bagaimana? Apa kamu sudah siap menerima hukuman?'Pertanyaan Mas Ruslan yang satu ini terus berputar di dalam benakku untuk waktu yang lama. Kakiku pun sudah lemas dan tak sanggup lagi menyangga tubuh. Jika tidak ada Mas Ruslan, barangkali aku sudah jatuh meluruh di atas lantai yang dingin. "Tadinya aku cuma bercanda, tapi suasananya terlalu mendukung," bisik Mas Ruslan. Aku mendecakkan lidah dengan keras di dalam hati karena bisikan bertele-tele Mas Ruslan ini. Ingin aku mengambil kendali, tapi gengsi. Mas Ruslan akan menjadikanku bulan-bulanan keesokan harinya jika aku sampai mengambil tindakan pertama malam ini. Di tengah lamunanku, Mas Ruslan akhirnya memagut bibirku. Dan akupun tidak sungkan untuk membalas. Lenganku refleks melingkar pada lehernya. Mataku pun terpejam rapat untuk mulai menikmati cumbuan ini. Tok tok tok! Suara ketukan pintu yang bergema dari samping membuat mataku langsung membelalak lebar. Debaran jan
Sejak hari itu, Mbak Dina terus menghubungiku. Dan akupun terus menghindarinya. Antara sengaja dan tidak. Karena acara ulang tahun Danis juga sudah memasuki hari-H. Aku disibukkan oleh segala persiapan acara yang membuatku tidak memiliki waktu untuk memikirkan benda pipih itu. "Ibu, Danis ulang tahun?" tanya Danis dengan senyum ceria di wajahnya. "Iya!" balasku sambil menebarkan senyuman yang sama. "Yaayy!!" sahut Danis kegirangan sambil melompat-lompat kecil. Ini adalah pengalaman pertama Danis merayakan ulang tahunnya. Di wajahnya yang 80 persen mirip Mas Ruslan itu, ada kegirangan yang jarang terlihat. Jika berada di rumah mertua, Danis akan bersikap dengan begitu hati-hati. Bahkan secara tidak sadar, dia juga akan meminimalisir aura keberadaannya. Terlalu sering mendengarku dimarahi dan dibentak oleh mertua membuat Danis menjadi seperti pria dewasa kecil. Tidak seperti kanak-kanak pada umumnya. "Sayang, ibu mau bikin k
"Ibu cepat! Cepat! Acara mau dimulai!"Aku yang sedang berdandan di dalam kamar dibuat tergesa oleh suara panggilan Danis. Dari balik pintu yang terbuka setengah, aku dapat melihat tubuh anak itu menggelinjang tidak sabar. "Iya, sayang. Ibu dandan dulu sebentar," ujarku sambil membubuhkan bedak pada wajahku yang mulus. "Teman-teman Danis sudah datang, Bu!" seru anak itu lagi kian tidak sabaran. Wajah kecilnya bahkan mengkerut tidak puas menatap ke arahku yang hanya meliriknya dari sudut mata. "Iya, sayang. Sebentar lagi," ujarku. Kali ini aku sambil menorehkan lipstik berwarna peach di bibirku sebagai sentuhan terakhir. "Ibu. Lama sih!" keluh Danis semakin menjadi-jadi. Aku hanya menggelengkan kepala melihat tingkahnya. "Iya. Ayo! Ayo!" ucapku setelah selesai berdandan.Sembari menggandeng tangan Danis, kami melangkah menuju ruang tamu yang sudah terdengar hiruk-pikuk oleh tamu yang datang. Melihat orang-orang baru
Pagi ini aku dan Mas Ruslan terpaksa harus kembali ke rumah mertua. Terus menerus diwanti-wanti sejak semalam membuat kami tidak punya pilihan lain. Bahkan jika Danis menangis karena masih ingin terus tinggal di sini, tapi kami hanya bisa membujuknya. "Minggu depan kita ke sini lagi kok, sayang!" bujukku. "Danis tidak suka di rumah Nenek Ipah!" seru Danis dengan air mata berlinang. "Sayang, jangan ngomong begitu dong. Ibu jadi sedih dengarnya," ujarku. "Nenek Ipah, nggak sayang Danis. Nenek bisanya marah-marah sama Danis! Nenek cuma sayang sama Kak Aldi. Danis nggak suka Nenek Ipah!" teriak Danis dengan sedih. Wajahnya terlihat sangat muram. "Danis! Nggak boleh ngomong gitu, sayang!" ujarku menasehati dengan lembut. Bahkan meskipun aku juga memiliki rasa sensi pada ibu mertua, tapi aku tidak ingin Danis mengeluarkan kata benci semudah ini untuk kerabatnya. "Huhuhu!"Air mata semakin bergulir jatuh dari pe
"Kenapa sih pagi-pagi sudah ribut?!" Bentak bapak mertua ke arah kami yang masih berada di garasi rumah. Wajah tuanya terlihat merah padam karena amarah. "Kamu juga, Astri. Kenapa kalau ada kamu di rumah ini, pasti tidak pernah ada kedamaian!" lanjutnya. Aku tidak lagi terkejut jika disalahkan seperti ini. Tapi tetap saja aku tidak terima. Rasa empati yang sempat aku miliki pada Mbak Dina hanyut sudah mendengar kata-kata ketus bapak mertua. "Yang marah-marah duluan itu Mbak Dina loh, Pak. Aku ini baru sampai rumah. Lepas helm aja belom!" timpalku sambil mengetuk helm yang masih bertengger di kepalaku. "Lalu apa lagi sekarang yang kalian ributkan?" tanya bapak mertua dari balik gigi yang terkatup repat. Terlihat jelas kalau beliau sedang berusaha menahan amarah yang lebih besar lagi. "Bagaimana, Mbak? Mbak pagi-pagi datang ke sini mau apa?" tanyaku dengan dagu terangkat tinggi sedikit menantang. Sepasang netra hitam Mbak Din