Share

BAB 2

"Mas, ayo mandi. Habis itu dandan yang rapi," ujarku seraya menyeret Mas Ruslan ke dalam kamar.

"Kamu ngajak mandi bareng?" tanya Mas Ruslan jahil.

Aku langsung mendelik sebal, lantas Aku cubit pinggang Mas Ruslan dengan keras. Aku sedang sangat serius saat ini, tapi Mas Ruslan malah mengajak bercanda!

"Aku juga mau mandi bareng bapak sama ibu," celetuk Danis yang air matanya telah kering.

Aku kembali melemparkan delikan maut pada Mas Ruslan. Hanya saja pria tampan itu membalas tatapanku dengan wajah cengengesannya.

"Danis mandi sama bapak aja ya," ujarku.

"Kenapa?" tanya Danis dengan mulut mencebik lucu.

"Kamar mandinya nggak muat!" jawabku sekenanya sembari membantu Danis membuka bajunya.

Untungnya Danis bisa menerima alasanku ini dan tidak mengajak berdebat lebih lama. Aku pun segera mendorong Mas Ruslan yang masih menggendong Danis menuju kamar mandi.

"Jangan lama-lama mandinya!" ujarku memperingatkan.

"Iya~" jawab Mas Ruslan dengan patuh dari dalam kamar mandi.

Sementara Mas Ruslan dan Danis sedang mandi, aku sibuk membongkar lemari untuk mencari pakaian terbaik untuk kami kenakan. Aku memilih gamis berwarna dusty pink dengan jilbab berwarna senada. Sementara untuk Mas Ruslan, aku memilih sebuah kemeja batik dan celana kain. Adapun untuk Danis, aku memilih baju kaos lengan panjang berwarna biru yang masih baru.

Begitu Mas Ruslan dan Danis selesai mandi, gantian aku yang bergegas. Aku tidak mau ketinggalan acara syukuran rumah baru ini.

Tadinya aku memang berencana untuk mematuhi saja permintaan ibu mertua agar mengambil jatah lauk berupa paru dan ampela itu. Tapi apa yang dikatakan oleh anak Mbak Dina pada Danis telah membuatku berubah pikiran.

"Ayo, kita keluar!" Aku mengajak anggota keluarga kecilku ini keluar dari kamar begitu kami semua telah tampil rapi.

"Danis nggak mau keluar!" seru putraku itu begitu kami mencapai ambang pintu kamar.

"Loh, kenapa?" tanyaku.

"Nanti Danis dipanggil pengemis lagi sama Kak Aldi," ujar Danis dengan wajah merajuknya.

Aku dan Mas Ruslan saling bertukar tatapan dengan nelangsa. "Kali ini nggak akan dipanggil pengemis lagi kok. Danis kan udah rapi, udah harum, udah ganteng," ucapku merayu dengan suara super lembut.

"Em~" Danis melengos sambil memajukan bibirnya tampak enggan.

"Kalau Kak Aldi ngomong gitu lagi, nanti bapak sama ibu tegur dia!" ujar Mas Ruslan turut membujuk anak kami yang tampaknya memiliki bayangan psikologis setelah dikatai pengemis.

"Bapak beneran?" tanya Danis sedikit sanksi.

"Iya~" jawab Mas Ruslan meyakinkan.

Mendengar janji dari Mas Ruslan, akhirnya Danis setuju agar kami beranjak ke ruang tamu, tempat dimana acara syukuran sedang berlangsung. Akan tetapi, setibanya di sana, acara hampir berakhir. Beberapa tetangga yang telah kami undang bahkan ada yang sudah mulai membubarkan diri.

"Kamu kemana aja sih, Tri?!" tanya Mbak Dina saat melihat kemunculanku dan Mas Ruslan.

"Habis mandi sama ganti baju!" jawabku santai.

"Aku 'kan udah bilang buat jangan malu-maluin keluarga ini. Kamu kenapa pakai acara mandi sama ganti baju segala sih? Kalau aku nggak sigap melayani para tamu, bisa kacau acara ini!" cerocos Mbak Dina dengan gaya congkaknya.

Aku diam-diam menggulung mata dengan dramatis. "Justru kalau aku nggak mandi sama ganti baju, bisa-bisa keadaannya lebih memalukan lagi, Mbak!" Aku membalas dengan acuh tak acuh.

"Kamu tuh ya, nggak bisa banget dibilangin!" hardik Mbak Dina sambil berkacak pinggang.

Bibirku hendak terbuka untuk membalas. Namun, suara ibu mertua datang menginterupsi.

"Semua tamu sudah pergi. Sekarang tinggal giliran keluarga kita makan-makan," seloroh ibu mertua menghentikan perdebatan yang hendak terjadi antara aku dan Mbak Dina.

"Din, kamu ajak keluarga suami kamu ke halaman belakang," ujar ibu mertua pada Mbak Dina.

"Iya, Bu!" jawab Mbak Dina dengan patuh. Dia lantas melengos pergi meninggalkanku dan Mas Ruslan.

"Memalukan!" cibir ibu mertua padaku dan Mas Ruslan yang hanya berdiri diam di belakang.

Setelah mengucapkan kata-kata itu, ibu mertua segera berbalik dan mengikuti langkah Mbak Dina. Aku dan Mas Ruslan saling tatap sambil mengendikkan bahu tak mengerti.

"Mas, sebentar lagi aku akan membuat keadaan menjadi lebih memalukan dari ini buat ibu. Sebaiknya kamu persiapkan hati," ujarku memberi peringatan pada Mas Ruslan.

"Jangan terlalu keras," balas Mas Ruslan memperingatkan.

Aku mendengus dingin. "Ayo ke halaman belakang!" ajakku pada Mas Ruslan.

Tanpa banyak kata-kata, kami pun menyeret tungkai masing-masing menuju halaman belakang. Tempat dimana perjamuan lain hendak diadakan.

Di halaman belakang yang lumayan luas dan cukup asri itu, sebuah meja panjang telah ditata rapi. Berbagai macam makanan hasil masakanku dan Mas Ruslan juga telah terhindang dengan megah. Para anggota keluarga dari suami Mbak Dina dan juga keluarga istri Dimas yang tidak aku kenal telah mengambil tempat duduk masing-masing.

Melihat aku yang berjalan mendekat membuat ibu mertua tampak semakin geram.

"Apa yang kamu lakukan di sini? Ibu 'kan sudah bilang kalau kalian makan terpisah di dapur aja!" geram ibu mertuaku dari balik gigi yang terkatup rapat.

Aku mendengus sinis. "Maaf, Bu. Aku sama Mas Ruslan 'kan bagian dari keluarga ini juga. Kenapa harus makan terpisah di dapur?" balasku tidak lagi sungkan melawan kata-kata mertua.

"Kalian nanti malu-maluin!"

"Aku sama Mas Ruslan udah mandi dan pakai baju yang bagus. Nggak mungkin sih keluarga suami dan istrinya Mbak Dina sama Dimas akan berpikir kalau aku sama Mas Ruslan ini malu-maluin!" timpalku tak mau kalah.

"Kamu itu ya, kalau dibilangin pasti ngeyel,"

Ibu mertuaku mendumel seraya melemparkan tatapan penuh arti pada Mas Ruslan. Mungkin beliau berharap pada Mas Ruslan agar membujukku untuk tidak membuat masalah. Sayang sekali, Mas Ruslan lebih memilih untuk berpura-pura tidak mengerti arti dari tatapan itu.

"Ibu juga jangan kebanyakan marah-marah. Kasian matanya udah mulai keriput tuh," selorohku semakin kesenangan menjawab kata-kata mertua.

Bola mata ibu Saripah seketika melebar garang menatapku. Akan tetapi, beliau tidak bisa melepaskan amarahnya dalam momen seperti ini. Alhasil, beliau hanya bisa mendengus dingin, lalu berlalu pergi untuk mengurus tamu terhormatnya.

"Sekarang apa?" bisik Mas Ruslan di samping telingaku.

Aku menatap halaman rumah yang luas dengan senyum kecil di wajah. Sikap dari keluarga Mas Ruslan pada keluarga kecilku ini terlihat jelas kalau mereka ingin mengabaikan kami.

"Mas, kamu ambil tiga kursi di dalam terus letakkan di seberang tempat duduk Dimas," bisikku pada Mas Ruslan.

Mas Ruslan lantas mengangguk patuh. Dia kemudian menurunkan Danis dari gendongan dan bergegas ke dalam rumah untuk mengambil kursi sesuai dengan permintaanku.

Setelah itu, Mas Ruslan dengan sigap mengatur kursi itu di depan Dimas yang terlihat masih lowong sesuai dengan permintaanku. Perilaku Mas Ruslan ini tentu saja segera mendapat delikan dari anggota keluarganya yang lain. Terutama sekali ibu mertua dan Mbak Dina.

"Apa lagi yang mau kamu lakukan?" desis Mbak Dina dengan matanya yang melotot penuh peringatan.

Aku hanya menatap kakak iparku itu dengan pandangan masa bodoh, lantas memilih untuk mengabaikannya. Aku masih sangat kesal karena anaknya telah memanggil anakku pengemis. Anak-anak jika tidak diajar oleh orang dewasa di sekitarnya, mana mungkin mereka akan berkata seperti itu. Mbak Dina ini pasti sering berkata yang tidak-tidak mengenai diriku di belakang punggung.

"Halo semuanya," sapaku dengan ramah pada semua orang yang telah duduk manis di meja makan.

Tanpa menunggu balasan dari mereka, aku langsung menghempaskan tubuh di kursi yang telah diatur oleh Mas Ruslan.

"Ini siapa? Bukannya dia ini pembantu di rumah ini?" celetuk suara seorang wanita yang tidak aku kenal.

Aku lantas menatap wanita cantik yang tampak angkuh itu dengan senyum lebar di wajah. "Bukan. Aku adalah menantu kedua dari keluarga ini," jawabku dengan nada formal. "Perkenalkan, namaku Astri dan ini suamiku, Mas Ruslan. Ruslandar Hadinata," lanjutku menunjuk pada suamiku dengan bangga.

" ... "

Hening,

Tidak ada seorangpun di meja panjang itu yang menanggapi ucapanku. Tapi aku tidak peduli. Aku hanya senang melihat wajah mertua yang memerah menahan amarah.

"Jadi, ini adalah kakaknya Mas Dimas ya? Mas Dimas kayaknya nggak pernah cerita kalau dia punya kakak lain selain Mbak Dina," suara lembut seorang wanita yang duduk di samping Dimas memecah kesunyian yang terjadi tiba-tiba. Aku tahu wanita ini adalah istri yang baru dinikahi oleh Dimas kurang dari setahun lalu.

"Wah, nggak tahu ya kalau itu, kenapa juga Dimas nggak pernah cerita soal kakak yang sudah membangun rumah ini dan membantu dia punya gelar di belakang namanya," sindirku dengan nada acuh tak acuh.

* * *

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
bagus Astri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status