Share

BAB 3

"Astri!"

Nada peringatan yang menggema di udara kali ini meluncur dari bibir bapak mertua yang biasanya selalu diam. Namun, aku tidak gentar. Karena aku tidak merasa ada yang salah dalam ucapanku.

Jika bukan karena tuntutan untuk berbakti pada orang tua, aku dan Mas Ruslan sudah lama hengkang dari rumah ini. Dan bukannya kami tidak pernah mencoba, tapi ibu mertua berulah dan membuat kami terpaksa kembali lagi ke sini.

Tahu apa yang dilakukan ibu mertua?

Beliau mogok makan selama 2 hari dan berakhir diopname di rumah sakit. Saat kami datang menjenguk beliau kala itu, ibu langsung menuding Mas Ruslan sebagai anak durhaka.

Kami jadi tidak punya pilihan selain kembali ke rumah ini lagi. Aku masih ingat kata-kata ibu mertua waktu itu. Bahwa sampai bapak dan ibu mertua meninggal, Mas Ruslan dilarang keras untuk pergi dari sisi mereka.

Apakah karena mertua terlalu sayang pada Mas Ruslan?

Aku rasa tidak!

Aku sendiri justru berpikir kalau mertuaku ini hanya memanfaatkan kata berbakti pada orang tua untuk membelenggu kehidupan Mas Ruslan. Tapi apa yang membuat mereka melakukan hal ini? Kenapa hanya Mas Ruslan yang selalu diperlakukan dengan tidak adil? Apakah Mas Ruslan pernah melakukan kesalahan yang tak termaafkan?

Hingga kini, pertanyaanku ini belum menemukan jawaban.

"Kalau kamu ingin bergabung makan di sini, duduk diam saja di sana. Jangan bicara yang tidak-tidak!" seru Pak Ridwan selaku bapak mertuaku.

Aku menggulung mata dengan terang-terangan kemudian memutuskan untuk bungkam. Bukannya aku tidak ingin terus berdebat. Tapi untuk saat ini, aku belum merasa perlu.

"Maaf, semuanya. Mari dinikmati makanannya," ujar pak Ridwan mempersilakan tamu terhormatnya untuk mulai menyantap makanan yang telah terhindang di atas meja makan.

"Mari ... Mari ... " ujar ibu mertuaku turut mempersilakan para besannya itu.

Setelah semua orang mulai menyendok nasi mereka, aku juga tidak mau ketinggalan. Aku sendok tiga centong nasi ke atas piring Mas Ruslan, dan tiga centong nasi juga ke atas piringku.

Aku tidak membiarkan Danis makan sendiri karena takut baju barunya akan belepotan dengan makanan. Untungnya Danis juga memilih bersikap patuh dan tidak ngotot untuk makan sendiri.

"Mas Ruslan ini kerja dimana sekarang?"

Di tengah suapan sunyi semua orang, sebuah pertanyaan tiba-tiba terdengar menyapa. Aku spontan menolehkan kepala ke arah sumber suara.

Namun, sebelum aku maupun Mas Ruslan sempat menjawab pertanyaan ini, pak Ridwan telah lebih dulu membuka mulut untuk menjawab.

"Kebetulan keluarga kita punya peternakan sapi yang sudah dijalankan turun temurun. Sekarang Ruslan bertugas untuk menjalankan usaha ini," ungkap pak Ridwan.

Orang yang bertanya sebelumnya menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti.

"Ruslan ini, lulusan mana sebelumnya?" tanya seorang pria tua yang aku ketahui sebagai ayah dari istri Dimas itu.

"Ruslan cuma lulusan SMA," jawab pak Ridwan dengan suara lirih terdengar rendah hati.

"Loh, kok cuma dia yang lulusan SMA? Dina sama Dimas bukannya lulusan S2?" tanya pria tua itu terdengar heran.

"Maklumlah, Pak Rusdi. Ruslan ini memang agak lain dari saudara-saudaranya. Dia nggak suka belajar. Makanya begitu lulus SMA, dia lebih memilih untuk membantu bapak di peternakan," pungkas ibu mertuaku.

Aku yang mendengar jawaban ini hampir menyemburkan amarah. Mas Ruslan tidak suka belajar? Bukankah mereka yang memaksa Mas Ruslan untuk berhenti sekolah demi membiayai Mbak Dina dan Dimas?

Sebelum aku sempat mengajukan protes, Mas Ruslan telah lebih dulu meremas tanganku yang ada di bawah meja. Mencegahku untuk mengucapkan sepatah katapun.

"Katanya Ruslan yang bantu membangun rumah ini dan membantu biaya kuliah Dina dan Dimas ya? Bagus juga memiliki saudara yang pengertian yang mau membantu saudaranya yang lain. Kamu hebat Ruslan!" puji Pak Rusdi.

Aku yang tidak tahu apakah pujian ini tulus atau tidak, memilih untuk melemparkan dengusan sinis. Ketika semua orang di meja ini menatap ke arahku, aku tidak terus mengatakan apapun. Hanya mengendikkan bahu dengan acuh tak acuh.

"Apa yang dibilang Papa benar. Kamu itu hebat Mas Ruslan!"

Aku kembali mengalihkan pandangan pada wanita cantik yang pertama kali membuka topik pembicaraan ini. Dialah Tatiana Rejasa, istrinya Dimas.

Melihat wanita cantik di seberang yang sedang menatap Mas Ruslan dengan mata berbinar cemerlang itu, membuat sudut mataku berkedut tak suka. Aku lantas melirik garang pada Mas Ruslan yang tampak acuh tak acuh dengan lingkungan sekitarnya.

"Hm," balas Mas Ruslan dalam gumaman singkat sebagai tanggapan atas pujian istri Dimas itu.

Sorot mataku semakin tajam tertuju ke arah Mas Ruslan. Tapi suamiku itu ternyata lebih memilih untuk kembali fokus pada makanan di piringnya, sambil sesekali menyuapi anak kami makanannya.

Pemandangan ini membuatku tentu saja sangat puas. Lantas, aku lemparkan tatapan penuh kemenangan ke arah wanita itu yang sedang tidak memperhatikan ke arahku.

'Dasar wanita kegatelan!' makiku dalam hati saat melihat tatapan wanita itu yang terpaku lurus pada Mas Ruslan.

Akan tetapi, meski hatiku merasakan kecemburuan, aku tidak dengan sengaja menegur wanita yang akrab dipanggil Tiana ini. Untungnya Tiana juga tidak terus menatap ke arah suamiku dengan pandangan lapar. Sebab, kini topik pembicaraan telah berubah arah menjadi topik tentang Dimas selaku suaminya.

"Selamat, Dim. Akhirnya kamu resmi menjadi pegawai negeri sipil juga. Kamu sudah berkerja keras!" puji Pak Rusdi pada menantunya. Senyum kebapakan tersemat di wajahnya yang tampak teduh.

"Terima kasih, Pa!" pungkas Dimas dengan senyum yang tak kalah lebar.

"Sekarang setelah kamu punya kerjaan tetap, kamu harus merawat putri saya dengan baik. Awas kalau kamu berani menyakitinya. Terutama sekali, awas kalau kamu berani selingkuh!" pungkas Pak Rusdi itu memberi peringatan pada Dimas.

"Papa jangan khawatir. Aku akan menjaga Tiana dengan baik. Aku pastikan, aku tidak akan pernah mendua!" sahut Dimas menimpali perkataan mertuanya dengan penuh keyakinan dan percaya diri.

"Pegang kata-kata kamu itu dengan baik!" ujar pak Rusdi mewanti-wanita.

"Iya, Pa. Jangan khawatir!" balas Dimas.

Di detik berikutnya, aku memilih untuk menyimak obrolan yang terdengar semakin riuh ini dengan tenang. Pembicaraan yang orang-orang ini lakukan melompat dari topik satu ke topik lainnya. Mereka semua terlihat akrab kecuali aku dan Mas Ruslan. Keberadaan kami seperti eksistensi tak kasat mata bagi mereka.

Namun, aku tidak terganggu dengan hal ini. Karena sebenarnya aku pun lebih suka menjadi pendengar. Apalagi ketika mendengar mertuaku mengeluarkan lelucon untuk membanggakan Mbak Dina serta Dimas setinggi langit. Tetapi secara tersirat menjelekkan Mas Ruslan.

Ketika waktu menjelang maghrib, para tamu ini mulai berpamitan satu demi satu. Begitu semua orang telah pergi, aku dan Mas Ruslan masih dengan baik hatinya membereskan piring-piring kotor ini.

"Tri..." panggil Mbak Dina dari arah belakang.

Aku menghentikan sementara kegiatan mencuci piringku sebelum kemudian berbalik menghadap kepada Mbak Dina.

PLAAAKK,

Tamparan renyah tiba-tiba mendarat begitu saja di pipiku.

* * *

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Waty Rosilawaty
Ya Tri balas duakali jangan sampai kamu di injak2 oleh iparmu sendiri, kurang tuh mbak Dina, awas mbak tunggu karma menghampirimu
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
balas dong Tri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status