"Astri!"
Nada peringatan yang menggema di udara kali ini meluncur dari bibir bapak mertua yang biasanya selalu diam. Namun, aku tidak gentar. Karena aku tidak merasa ada yang salah dalam ucapanku.Jika bukan karena tuntutan untuk berbakti pada orang tua, aku dan Mas Ruslan sudah lama hengkang dari rumah ini. Dan bukannya kami tidak pernah mencoba, tapi ibu mertua berulah dan membuat kami terpaksa kembali lagi ke sini.Tahu apa yang dilakukan ibu mertua?Beliau mogok makan selama 2 hari dan berakhir diopname di rumah sakit. Saat kami datang menjenguk beliau kala itu, ibu langsung menuding Mas Ruslan sebagai anak durhaka.Kami jadi tidak punya pilihan selain kembali ke rumah ini lagi. Aku masih ingat kata-kata ibu mertua waktu itu. Bahwa sampai bapak dan ibu mertua meninggal, Mas Ruslan dilarang keras untuk pergi dari sisi mereka.Apakah karena mertua terlalu sayang pada Mas Ruslan?Aku rasa tidak!Aku sendiri justru berpikir kalau mertuaku ini hanya memanfaatkan kata berbakti pada orang tua untuk membelenggu kehidupan Mas Ruslan. Tapi apa yang membuat mereka melakukan hal ini? Kenapa hanya Mas Ruslan yang selalu diperlakukan dengan tidak adil? Apakah Mas Ruslan pernah melakukan kesalahan yang tak termaafkan?Hingga kini, pertanyaanku ini belum menemukan jawaban."Kalau kamu ingin bergabung makan di sini, duduk diam saja di sana. Jangan bicara yang tidak-tidak!" seru Pak Ridwan selaku bapak mertuaku.Aku menggulung mata dengan terang-terangan kemudian memutuskan untuk bungkam. Bukannya aku tidak ingin terus berdebat. Tapi untuk saat ini, aku belum merasa perlu."Maaf, semuanya. Mari dinikmati makanannya," ujar pak Ridwan mempersilakan tamu terhormatnya untuk mulai menyantap makanan yang telah terhindang di atas meja makan."Mari ... Mari ... " ujar ibu mertuaku turut mempersilakan para besannya itu.Setelah semua orang mulai menyendok nasi mereka, aku juga tidak mau ketinggalan. Aku sendok tiga centong nasi ke atas piring Mas Ruslan, dan tiga centong nasi juga ke atas piringku.Aku tidak membiarkan Danis makan sendiri karena takut baju barunya akan belepotan dengan makanan. Untungnya Danis juga memilih bersikap patuh dan tidak ngotot untuk makan sendiri."Mas Ruslan ini kerja dimana sekarang?"Di tengah suapan sunyi semua orang, sebuah pertanyaan tiba-tiba terdengar menyapa. Aku spontan menolehkan kepala ke arah sumber suara.Namun, sebelum aku maupun Mas Ruslan sempat menjawab pertanyaan ini, pak Ridwan telah lebih dulu membuka mulut untuk menjawab."Kebetulan keluarga kita punya peternakan sapi yang sudah dijalankan turun temurun. Sekarang Ruslan bertugas untuk menjalankan usaha ini," ungkap pak Ridwan.Orang yang bertanya sebelumnya menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti."Ruslan ini, lulusan mana sebelumnya?" tanya seorang pria tua yang aku ketahui sebagai ayah dari istri Dimas itu."Ruslan cuma lulusan SMA," jawab pak Ridwan dengan suara lirih terdengar rendah hati."Loh, kok cuma dia yang lulusan SMA? Dina sama Dimas bukannya lulusan S2?" tanya pria tua itu terdengar heran."Maklumlah, Pak Rusdi. Ruslan ini memang agak lain dari saudara-saudaranya. Dia nggak suka belajar. Makanya begitu lulus SMA, dia lebih memilih untuk membantu bapak di peternakan," pungkas ibu mertuaku.Aku yang mendengar jawaban ini hampir menyemburkan amarah. Mas Ruslan tidak suka belajar? Bukankah mereka yang memaksa Mas Ruslan untuk berhenti sekolah demi membiayai Mbak Dina dan Dimas?Sebelum aku sempat mengajukan protes, Mas Ruslan telah lebih dulu meremas tanganku yang ada di bawah meja. Mencegahku untuk mengucapkan sepatah katapun."Katanya Ruslan yang bantu membangun rumah ini dan membantu biaya kuliah Dina dan Dimas ya? Bagus juga memiliki saudara yang pengertian yang mau membantu saudaranya yang lain. Kamu hebat Ruslan!" puji Pak Rusdi.Aku yang tidak tahu apakah pujian ini tulus atau tidak, memilih untuk melemparkan dengusan sinis. Ketika semua orang di meja ini menatap ke arahku, aku tidak terus mengatakan apapun. Hanya mengendikkan bahu dengan acuh tak acuh."Apa yang dibilang Papa benar. Kamu itu hebat Mas Ruslan!"Aku kembali mengalihkan pandangan pada wanita cantik yang pertama kali membuka topik pembicaraan ini. Dialah Tatiana Rejasa, istrinya Dimas.Melihat wanita cantik di seberang yang sedang menatap Mas Ruslan dengan mata berbinar cemerlang itu, membuat sudut mataku berkedut tak suka. Aku lantas melirik garang pada Mas Ruslan yang tampak acuh tak acuh dengan lingkungan sekitarnya."Hm," balas Mas Ruslan dalam gumaman singkat sebagai tanggapan atas pujian istri Dimas itu.Sorot mataku semakin tajam tertuju ke arah Mas Ruslan. Tapi suamiku itu ternyata lebih memilih untuk kembali fokus pada makanan di piringnya, sambil sesekali menyuapi anak kami makanannya.Pemandangan ini membuatku tentu saja sangat puas. Lantas, aku lemparkan tatapan penuh kemenangan ke arah wanita itu yang sedang tidak memperhatikan ke arahku.'Dasar wanita kegatelan!' makiku dalam hati saat melihat tatapan wanita itu yang terpaku lurus pada Mas Ruslan.Akan tetapi, meski hatiku merasakan kecemburuan, aku tidak dengan sengaja menegur wanita yang akrab dipanggil Tiana ini. Untungnya Tiana juga tidak terus menatap ke arah suamiku dengan pandangan lapar. Sebab, kini topik pembicaraan telah berubah arah menjadi topik tentang Dimas selaku suaminya."Selamat, Dim. Akhirnya kamu resmi menjadi pegawai negeri sipil juga. Kamu sudah berkerja keras!" puji Pak Rusdi pada menantunya. Senyum kebapakan tersemat di wajahnya yang tampak teduh."Terima kasih, Pa!" pungkas Dimas dengan senyum yang tak kalah lebar."Sekarang setelah kamu punya kerjaan tetap, kamu harus merawat putri saya dengan baik. Awas kalau kamu berani menyakitinya. Terutama sekali, awas kalau kamu berani selingkuh!" pungkas Pak Rusdi itu memberi peringatan pada Dimas."Papa jangan khawatir. Aku akan menjaga Tiana dengan baik. Aku pastikan, aku tidak akan pernah mendua!" sahut Dimas menimpali perkataan mertuanya dengan penuh keyakinan dan percaya diri."Pegang kata-kata kamu itu dengan baik!" ujar pak Rusdi mewanti-wanita."Iya, Pa. Jangan khawatir!" balas Dimas.Di detik berikutnya, aku memilih untuk menyimak obrolan yang terdengar semakin riuh ini dengan tenang. Pembicaraan yang orang-orang ini lakukan melompat dari topik satu ke topik lainnya. Mereka semua terlihat akrab kecuali aku dan Mas Ruslan. Keberadaan kami seperti eksistensi tak kasat mata bagi mereka.Namun, aku tidak terganggu dengan hal ini. Karena sebenarnya aku pun lebih suka menjadi pendengar. Apalagi ketika mendengar mertuaku mengeluarkan lelucon untuk membanggakan Mbak Dina serta Dimas setinggi langit. Tetapi secara tersirat menjelekkan Mas Ruslan.Ketika waktu menjelang maghrib, para tamu ini mulai berpamitan satu demi satu. Begitu semua orang telah pergi, aku dan Mas Ruslan masih dengan baik hatinya membereskan piring-piring kotor ini."Tri..." panggil Mbak Dina dari arah belakang.Aku menghentikan sementara kegiatan mencuci piringku sebelum kemudian berbalik menghadap kepada Mbak Dina.PLAAAKK,Tamparan renyah tiba-tiba mendarat begitu saja di pipiku.* * *"Inilah akibat dari kata-kata nggak penting kamu itu. Maksud kamu apa sih ngomong kalau rumah ini dibangun sama Ruslan? Mana bawa-bawa gelar segala. Malu-maluin aja!" hardik Mbak Dina. Akibat dari tamparan keras yang mendarat di pipi, aku hanya bisa berdiri diam. Butuh beberapa lama bagiku untuk mencerna apa yang baru saja terjadi. "Lagian kenapa sih dulu Ruslan mau-maunya menikah sama anak petani miskin kayak kamu!" cibir Mbak Dina sinis. Kalimat yang menusuk disertai rasa panas dan kebas yang mulai menjalar di pipi membuatku segera tersadar. Sebelum memutuskan untuk menimpali Mbak Dina, aku mengerjakan mata beberapa kali. Setelah sekian tahun hidup, ini pertama kalinya aku merasakan bagaimana rasanya ditampar. "Mulai sekarang, jangan kurang ajar. Kamu bukan siapa-siapa di rumah ini. Kalau ibu minta Ruslan untuk menceraikan kamu detik ini juga, dia nggak akan pernah berpikir dua kali untuk menolak!" ujar Mbak Dina lagi. Nafasku membuncah naik turun dengan cepat saat mendengar ra
"Kalau kamu ingin keluar dari rumah ini, keluar saja sendiri. Pokoknya haram hukumnya bagi Ruslan untuk keluar dari rumah ini sampai kami mati!" Kalimat terakhir yang dikatakan ibu mertua terus bergema berulang kali di dalam kepalaku. Tidak lagi bisa didefinisikan bagaimana kacaunya perasaanku sekarang. Rasanya ingin berteriak sejadi-jadinya. Namun, segalanya harus serba aku tahan. "Jangan terlalu dipikirkan," bisik Mas Ruslan seraya mengelus puncak kepalaku. "Bagaimana aku tidak memikirkan ini, Mas? Ibu cuma mau memeras manfaat dari kamu!" ujarku dengan frustrasi. "Tri, bukankah Mas sudah pernah bilang, kalau Mas sudah mati rasa untuk ini? Mas sudah lelah bertanya kenapa hanya Mas yang diperlakukan berbeda. Jika memang kita perlu tahu alasannya, semesta akan menunjukkan jalannya," ujar Mas Ruslan dengan lemah lembut. "Tapi, Mas... ""Tetap tinggal di rumah ini, dan mengurus peternakan untuk keluarga ini, hanya itu bakti tersisa yang ingin Mas berikan pada bapak dan ibu. Jika me
Ibu mertuaku tampak berjengit tidak suka ketika mendengar kalimat yang baru saja meluncur dari bibirku. "Kenapa? Kamu tidak suka Dimas dan Tiana tinggal di sini? Kamu masih berpikir kalau rumah ini milik suami kamu seorang? Hanya karena Ruslan yang membantu merenovasi rumah ini?" cecar mertuaku dengan garang sambil tangannya berkacak pinggang. " ... "Aku terdiam tidak menimpali, tapi mataku mengerjap beberapa kali. Mungkin inilah yang disebut-sebut sebagai firasat wanita. Sejak melihat tatapan cemerlang yang ditujukan wanita itu pada Mas Ruslan, aku tiba-tiba merasakan alarm berbahaya berdering di kedalaman hati. Agak tidak masuk akal untuk memikirkan ini. Biar bagaimanapun, wanita itu belum genap setahun menjadi istrinya Dimas. Tapi aku juga yakin bahwa apa yang aku lihat waktu itu tidak salah. Sorot mata Tiana menunjukkan ketertarikan pada Mas Ruslan! "Bukan begitu. Tapi seingatku, awalnya Tiana nggak mau tinggal di rumah ini karena tidak bisa berpisah dengan orang tuanya. Tapi
"Mbak Tri, kita pakai mobil aja ya ke sananya? Aku nggak biasa pakai sepeda motor," pinta Tiana."Nggak, aku mau pakai motor!" jawabku dengan tegas. "Tapi kasian Danis kepanasan," "Danis baik-baik aja kok," balasku. "Bu~" Tiana memanggil ibu mertua yang sedang berdiri di teras rumah. Sedang melepas kepergian sang menantu kesayangannya. "Tri, apa salahnya sih pakai mobil. Ini panas banget loh. Gimana kalau kulitnya Tiana nanti terbakar?" tegur mertuaku itu. Aku mendecakkan lidah dengan terang-terangan. "Nggak mau!" jawabku dengan mantap. "Aku udah telat nganter makan siang buat Mas Ruslan. Kalau kamu nggak mau pakai motor, besok aja kamu perginya sama Dimas!" seruku seraya menaiki sepeda motor milikku. Pada akhirnya, wanita ini mau mengalah dan ikut denganku menggunakan sepeda motor. Aku sama sekali tidak mau peduli dengan wajahnya yang terlihat jelas memberengut tak suka. 'Siapa suruh kamu sok-sokan mau ikut segala!' batinku dalam hati. Peternakan milik bapak mertua berada di
"Mas Ruslan~"Aku dan Mas Ruslan spontan saling lirik. Kami tidak perlu menoleh ke arah sumber suara untuk mengetahui siapa gerangan pemilik suara tersebut. Dengan mata sedikit membola, aku menatap lekat ke arah Mas Ruslan. Bibirku berkomat-kamit tanpa suara, membentuk seuntai kalimat tanya. 'Dia tidak mendengar apa-apa 'kan?' Namun, Mas Ruslan mengendikkan bahu pelan sebagai tanda bahwa dia juga tidak tahu. Gelombang kekesalan yang datangnya entah darimana, tiba-tiba menelusup ke dalam hatiku. Apalagi saat di detik berikutnya, Tiana mendorong pintu ruangan Mas Ruslan hingga menjeblak terbuka. Kami bahkan belum sempat mempersilakan wanita ini untuk masuk! "Ih, Mbak Astri. Kenapa nggak bilang kalau Mas Ruslan udah datang sih~" ujar Tiana dengan nada merajuknya. Mungkin di mata suaminya, nada suara merajuk centil seperti ini akan terdengar lucu. Tetapi bagiku, nada suara ini terdengar menyebalkan. Terutama sekali setelah Tiana datang di waktu yang tidak tepat. "Kamu 'kan ke sini ma
Dikarenakan desahan lega dan ucapan penuh syukur Tiana itu, aku tidak lagi memiliki niat untuk menguping lebih lanjut pembicaraan mereka. Cukup tahu saja alasan kenapa Tiana sampai ingin tinggal di rumah ini segala. "Selama tidak mendekati Mas Ruslan, bodo amatlah kalau dia mau menguasai rumah ini dan juga peternakan itu," gumamku pada diri sendiri. Aku lalu menutup pintu kamar tidur kami dan menggiring Danis untuk mencuci tangan dan kaki sebelum tidur siang. Sambil berbaring di atas ranjang, aku menyempatkan diri untuk menekuri pekerjaanku. Sejak empat tahun lalu, saat usia Danis masih beberapa bulan, aku memulai profesi sebagai penulis. Awalnya aku hanya iseng untuk mengisi waktu luang sekaligus ingin mengeluarkan unek-unek. Siapa yang menyangka bahwa profesi ini bisa mendatangkan rezeki yang melimpah untukku pribadi. Kemudian dari hasil menulis itu, aku sudah bisa membeli sawah yang luasnya sekitar 5 are. Sawah itu letaknya di kampung halamanku dan dikelola oleh orang tuaku. Ti
"ASTRI!"Raungan marah ibu mertua bergema bersaing dengan suara azan di masjid yang tak jauh. Gelegar teriakan itu menarik semua penghuni rumah untuk berdatangan. "Ada apa ini?" tanya bapak mertua yang muncul tergesa dari dalam rumah dengan diikuti oleh Tiana. Bahkan Dimas yang baru saja tiba bergegas menghampiri ibunya. "Bu, ada apa? Kok teriak-teriak?" tanya Dimas. "Ini loh Dim, kakak ipar kamu!" seru ibu mertua seraya menunjuk ke arahku dengan jari telunjuknya yang sudah berkerut. "Ada apa lagi dengan Mbak Astri, Bu?" tanya Dimas dengan lembut. Ibu mertua menggelengkan kepala tampak tidak berdaya. Beliau juga meremat kain daster yang ada di bagian dadanya dengan dramatis. "Ibu nggak sanggup lagi, Dim!" ujar ibu mertua. Suaranya terdengar serak dan amat lesu. "Kenapa?" tanya Dimas lagi. Setitik air mata tak terduga perlahan jatuh menitik dari sudut mata tua wanita paruh baya ini. Aku dan Mas Ruslan yang menjadi tersangka otomatis saling melempar lirikan. "Apa salah jika ibu
"Kamu sungguh berhati dengki, Mbak!" Di sepanjang acara makan malam tadi, kata-kata Tiana itu terus bergema di dalam kepalaku. Hal itu sampai membuatku kehilangan nafsu makan. Bukannya aku tidak tahu bahwa apa yang aku lakukan ini memang sesuai dengan apa yang dituduhkan Tiana padaku. Akan tetapi, menyadari sendiri dan ditegur oleh orang lain itu rasanya sungguh berbeda. Kata-kata Tiana itu berhasil menohok jantungku! "Kalau terus begini, aku bukan hanya akan menambah penyakit hati. Tapi juga menambah dosa!" gumamku. Saat ini, aku dan Mas Ruslan sedang bergelung di atas ranjang kami dan hendak bersiap untuk tidur. Kusandarkan kepala pada bahu suamiku, dengan lengan kananku menggurita di atas perutnya yang keras. Sementara tangan kanan Mas Ruslan tersampir di bahuku, sambil jemarinya bermain-main dengan ujung rambutku. "Kamu memikirkan kata-kata Tiana tadi?" tanya Mas Ruslan yang paling bisa mengerti aku. Akupun tidak ragu untuk menganggukkan kepala membenarkan. "Mas, capek bange