"Inilah akibat dari kata-kata nggak penting kamu itu. Maksud kamu apa sih ngomong kalau rumah ini dibangun sama Ruslan? Mana bawa-bawa gelar segala. Malu-maluin aja!" hardik Mbak Dina.
Akibat dari tamparan keras yang mendarat di pipi, aku hanya bisa berdiri diam. Butuh beberapa lama bagiku untuk mencerna apa yang baru saja terjadi."Lagian kenapa sih dulu Ruslan mau-maunya menikah sama anak petani miskin kayak kamu!" cibir Mbak Dina sinis.Kalimat yang menusuk disertai rasa panas dan kebas yang mulai menjalar di pipi membuatku segera tersadar. Sebelum memutuskan untuk menimpali Mbak Dina, aku mengerjakan mata beberapa kali. Setelah sekian tahun hidup, ini pertama kalinya aku merasakan bagaimana rasanya ditampar."Mulai sekarang, jangan kurang ajar. Kamu bukan siapa-siapa di rumah ini. Kalau ibu minta Ruslan untuk menceraikan kamu detik ini juga, dia nggak akan pernah berpikir dua kali untuk menolak!" ujar Mbak Dina lagi.Nafasku membuncah naik turun dengan cepat saat mendengar rangkaian ucapan kakak iparku ini. Kata-katanya tidak membuatku gentar sama sekali. Tapi membuatku sangat marah!Sembari meraba pipi yang terkena tamparan, aku menatap tajam ke arah Mbak Dina. "Huh!" Aku mendengus dingin."Mbak bilang aku sama Mas Ruslan malu-maluin? Bagian mananya sih yang malu-maluin? Apa karena kata-kataku benar? Atau karena kalian cuma tidak mau mengakui usaha keras Mas Ruslan? Secara aja nih, gelar di belakang nama kalian itu 'kan ada andil dari seorang saudara yang cuma lulusan SMA. Saudara yang dipaksa berhenti sekolah demi bisa membiayai pendidikan kalian. Makanya malu, gitu?" cerocosku tidak mau kalah.Sepanjang aku mengutarakan untaian kalimat ini, bola mata Mbak Dina terlihat semakin melebar penuh amarah. Aku simpulkan bahwa apa yang baru saja aku katakan ada benarnya. Bahwa mereka memang tidak ingin mengakui adanya andil besar Mas Ruslan dalam hidup mereka."Apa kamu bilang? Dasar kurang ajar!" geram Mbak Dina sambil melambaikan tangannya hendak memukulku lagi.Aku sudah siap menangkis tangannya, tapi Mas Ruslan yang muncul dari arah belakang Mbak Dina sudah lebih dulu menahan pergelangan tangan kakaknya."Mbak Dina apa-apaan? Kok mau main fisik begitu?" tanya Mas Ruslan dengan keningnya yang berkerut rumit."Mas!" panggilku dengan nada merajuk."Pipi kamu kenapa, Tri?" tanya Mas Ruslan seraya melepaskan pergelangan tangan Mbak Dina.Dia lantas menghampiriku dan langsung merengkuh kedua sisi wajahku dengan lembut. Aku lalu menurunkan telapak tanganku dari pipi yang terasa bengkak. Tidak lupa aku juga menatap Mas Ruslan dengan sorot mata ingin menangis."Pipi kamu kenapa merah bengkak begini?" tanya Mas Ruslan." ... "Aku sengaja tidak menjawab. Sebab, jawabannya begitu mudah untuk ditemukan bahkan meski aku tidak mengatakannya."Mbak Dina nampar kamu?" tanya Mas Ruslan membuat tebakan.Nada suara Mas Ruslan sedikit terangkat. Terdengar seperti orang yang tidak menyangka kalau kakaknya sendiri bisa bertindak begitu bar-bar." ... "Melihat aksi diamku, Mas Ruslan segera berbalik menghadap Mbak Dina yang masih berdiri di samping kami."Mbak Dina nampar Astri? Kenapa?" tanya Mas Ruslan."Kenapa? Kamu mau belain dia? Lan, kamu harus segera menceraikan istri kurang ajar kamu ini. Kalau tidak, keluarga kita bisa hancur karena mulut embernya!" ujar Mbak Dina.Mas Ruslan menghela nafas pelan. "Mulut ember bagaimana?" tanyanya tidak mengerti."Kamu dengarkan 'kan tadi dia ngomong apa? Apa maksudnya mengatakan kalau rumah ini dibangun sama kamu? Ingat ya Lan, rumah ini dan gelar di belakang nama aku dan Dimas itu adalah hasil dari peternakan bapak. Bukan karena kamu doang!" seru Mbak Dina."Tapi Mas Ruslan yang kerja dan mengelola peternakan itu dari hulu ke hilir!" timpalku tidak mau kalah. Benar-benar menjengkelkan!"Tapi itu tetap peternakan punya bapak 'kan? Bukan punya Ruslan. Jadi, kamu nggak usah sok ngaku-ngaku deh!" balas Mbak Dina dengan nada yang lebih sengit lagi." ... "Untuk yang satu ini, aku sama sekali tidak bisa membantah. Karena peternakan itu memang milik bapak mertua. Mas Ruslan hanya bertugas untuk mengelola. Hanya keringatnya yang terus mengucur, tapi hasil jerih payah itu hampir tidak pernah masuk kantongnya. Sebagian besar mengalir ke saku Mbak Dina dan juga Dimas. Sungguh suatu ketidakadilan!"Apa lagi sih yang kamu tunggu, Lan? Cepat-cepat aja ceraikan wanita model si Astri ini, terus cari wanita lain yang bisa lebih patuh kalau dibilangin!" seloroh Mbak Dina."Pernikahan bukan mainan. Aku tidak akan menceraikan Astri hanya karena masalah ini, Mbak!" jawab Mas Ruslan dengan tegas. Sudut bibirku berkedut membentuk seulas senyum karena kata-kata Mas Ruslan ini."Ruslan!" sentak Mbak Dina dengan marah karena keinginannya tidak terwujud."Mbak Dina!" balas Ruslan dengan suara yang tidak kalah menggelegarnya."Kamu berani membentak, Mbak?" Mbak Dina menatap Mas Ruslan dengan sorot mata berpendar tak percaya.Namun, sebelum Mas Ruslan sempat menyahut, sosok bapak dan ibu sudah lebih dulu tiba di dapur setelah mendengar suara perdebatan keras mereka."Ada apa ini?" tanya bapak dengan wajah keruh tidak senang. "Ini sudah waktunya solat maghrib. Kenapa bukannya solat, kalian malah teriak-teriakan di sini?!" bentak bapak mertua.Mbak Dina tidak menanggapi pertanyaan penuh amarah dari bapak mertua. Kakak iparnya itu justru mengalihkan tatapannya pada sang ibu."Bu, mending ibu suruh Ruslan untuk menceraikan Astri deh. Dia sudah membuat malu keluarga kita tadi. Ibu dengar 'kan dia bilang apa. Katanya rumah ini dibangun sama Ruslan. Padahal rumah ini 'kan hasil dari peternakan bapak!" cibir Mbak Dina.Sambil menyilangkan tangannya di depan dada, Mbak Dina kemudian memindai tubuhku dari atas ke bawah dengan sorot mata menghina. "Karena Ruslan yang mengurus peternakan itu, kelihatan banget kalau si Astri ini pasti merasa memiliki atas peternakan itu!" lanjut Mbak Dina dengan nada yang lebih memprovokasi.Mataku seketika terbelalak mendengar fitnah yang dikatakan secara terang-terangan ini."Astri bukan orang yang seperti itu, Mbak!" ujar Mas Ruslan membelaku.Mbak Dina mendecih sarkastik. "Cih. Siapa tahu!" cibirnya.Mendengar kata-kata Mbak Dina, seluruh tubuhku bergetar karena marah. Semua kata makian rasanya ingin aku keluarkan dari mulut ini. Tapi Mas Ruslan meremas tanganku dengan kencang. Seperti biasa, mencegahku untuk melawan kata-kata Mbak Dina. Suamiku ini tahu dengan pasti kalau aku sangat gampang tersulut emosi karena keluarganya."Ruslan, didik istri kamu dengan benar. Kasih pemahaman sama dia kalau peternakan itu bukan milik kamu. Tugasmu hanya mengelola peternakan itu dengan baik. Jangan buat istri kamu salah paham dan mengharapkan apa yang tidak menjadi miliknya!" pungkas ibu mertua dengan sinis."Dengerin tuh!" seloroh Mbak Dina dengan nada penuh kemenangan."Iya, Bu!" jawab Mas Ruslan dengan patuh.Sementara itu, aku merasakan amarah yang semakin membuncah menguasai jiwa raga. Jemariku pun tanpa sadar terkepal erat di kedua sisi tubuh. Aku menyempatkan diri untuk melirik ke arah Mas Ruslan yang terlihat santai. Tidak tampak adanya gejolak emosi yang berarti terpancar di wajahnya.Namun, aku sendiri tidak tahan. Hidup serumah dengan mertua yang berperilaku seperti ini membuatku muak. Terlebih lagi, aku lelah bertanya apa yang salah pada Mas Ruslan sehingga ibunya sendiri memperlakukan Mas Ruslan seakan beliau memiliki dendam kesumat!"Kenapa?!" sentakku dengan keras untuk menghentikan pergerakan ibu dan bapak mertua serta Mbak Dina yang hendak beranjak pergi."Kenapa ibu selalu bersikap tidak adil sama Mas Ruslan? Kenapa cuma Mas Ruslan yang diperlakukan dengan berbeda? Bukankah Mas Ruslan juga anak kandung ibu?!" cecarku tanpa bisa ditahan lagi. Nada suaraku naik satu oktaf lebih tinggi hingga urat biru di leher tampak menonjol.Mbak Dina dan juga mertuaku segera berbalik menatap ke arahku yang sedang menyalurkan amarah." ... ""Apa Mas Ruslan punya kesalahan yang tidak bisa kalian maafkan? Apa selama hamil dan melahirkan Mas Ruslan, sesuatu yang buruk pernah menimpa keluarga ini? Jadi, kalian secara otomatis membenci Mas Ruslan karenanya? Atau apakah Mas Ruslan sebenarnya bukan anak kandung dari keluarga ini?" tanyaku berentetan penuh emosi."Jangan sembarangan bicara kamu!" bentak bapak mertua dengan marah."Lalu kenapa?" tanyaku dengan nada menuntut. "Kenapa Mas Ruslan selalu diperlakukan dengan berbeda? Tinggal di rumah ini tidak pernah diperlakukan dengan baik. Keluar dari rumah ini pun tidak diperbolehkan. Kalian Seakan-akan ingin mempenjara Mas Ruslan di sini. Sebenarnya apa sih yang kalian inginkan?!" Aku hampir meraung mengatakan untaian kalimat ini. Tidak lagi aku pedulikan sopan santun dan tata krama ketika sedang berbicara dengan orang tua."Bukan urusan kamu!" balas ibu mertua yang hampir membuatku frustrasi. "Kalau kamu ingin keluar dari rumah ini, keluar saja sendiri. Pokoknya haram hukumnya bagi Ruslan untuk keluar dari rumah ini sampai kami mati!" lanjutnya dengan sengit.* * *"Kalau kamu ingin keluar dari rumah ini, keluar saja sendiri. Pokoknya haram hukumnya bagi Ruslan untuk keluar dari rumah ini sampai kami mati!" Kalimat terakhir yang dikatakan ibu mertua terus bergema berulang kali di dalam kepalaku. Tidak lagi bisa didefinisikan bagaimana kacaunya perasaanku sekarang. Rasanya ingin berteriak sejadi-jadinya. Namun, segalanya harus serba aku tahan. "Jangan terlalu dipikirkan," bisik Mas Ruslan seraya mengelus puncak kepalaku. "Bagaimana aku tidak memikirkan ini, Mas? Ibu cuma mau memeras manfaat dari kamu!" ujarku dengan frustrasi. "Tri, bukankah Mas sudah pernah bilang, kalau Mas sudah mati rasa untuk ini? Mas sudah lelah bertanya kenapa hanya Mas yang diperlakukan berbeda. Jika memang kita perlu tahu alasannya, semesta akan menunjukkan jalannya," ujar Mas Ruslan dengan lemah lembut. "Tapi, Mas... ""Tetap tinggal di rumah ini, dan mengurus peternakan untuk keluarga ini, hanya itu bakti tersisa yang ingin Mas berikan pada bapak dan ibu. Jika me
Ibu mertuaku tampak berjengit tidak suka ketika mendengar kalimat yang baru saja meluncur dari bibirku. "Kenapa? Kamu tidak suka Dimas dan Tiana tinggal di sini? Kamu masih berpikir kalau rumah ini milik suami kamu seorang? Hanya karena Ruslan yang membantu merenovasi rumah ini?" cecar mertuaku dengan garang sambil tangannya berkacak pinggang. " ... "Aku terdiam tidak menimpali, tapi mataku mengerjap beberapa kali. Mungkin inilah yang disebut-sebut sebagai firasat wanita. Sejak melihat tatapan cemerlang yang ditujukan wanita itu pada Mas Ruslan, aku tiba-tiba merasakan alarm berbahaya berdering di kedalaman hati. Agak tidak masuk akal untuk memikirkan ini. Biar bagaimanapun, wanita itu belum genap setahun menjadi istrinya Dimas. Tapi aku juga yakin bahwa apa yang aku lihat waktu itu tidak salah. Sorot mata Tiana menunjukkan ketertarikan pada Mas Ruslan! "Bukan begitu. Tapi seingatku, awalnya Tiana nggak mau tinggal di rumah ini karena tidak bisa berpisah dengan orang tuanya. Tapi
"Mbak Tri, kita pakai mobil aja ya ke sananya? Aku nggak biasa pakai sepeda motor," pinta Tiana."Nggak, aku mau pakai motor!" jawabku dengan tegas. "Tapi kasian Danis kepanasan," "Danis baik-baik aja kok," balasku. "Bu~" Tiana memanggil ibu mertua yang sedang berdiri di teras rumah. Sedang melepas kepergian sang menantu kesayangannya. "Tri, apa salahnya sih pakai mobil. Ini panas banget loh. Gimana kalau kulitnya Tiana nanti terbakar?" tegur mertuaku itu. Aku mendecakkan lidah dengan terang-terangan. "Nggak mau!" jawabku dengan mantap. "Aku udah telat nganter makan siang buat Mas Ruslan. Kalau kamu nggak mau pakai motor, besok aja kamu perginya sama Dimas!" seruku seraya menaiki sepeda motor milikku. Pada akhirnya, wanita ini mau mengalah dan ikut denganku menggunakan sepeda motor. Aku sama sekali tidak mau peduli dengan wajahnya yang terlihat jelas memberengut tak suka. 'Siapa suruh kamu sok-sokan mau ikut segala!' batinku dalam hati. Peternakan milik bapak mertua berada di
"Mas Ruslan~"Aku dan Mas Ruslan spontan saling lirik. Kami tidak perlu menoleh ke arah sumber suara untuk mengetahui siapa gerangan pemilik suara tersebut. Dengan mata sedikit membola, aku menatap lekat ke arah Mas Ruslan. Bibirku berkomat-kamit tanpa suara, membentuk seuntai kalimat tanya. 'Dia tidak mendengar apa-apa 'kan?' Namun, Mas Ruslan mengendikkan bahu pelan sebagai tanda bahwa dia juga tidak tahu. Gelombang kekesalan yang datangnya entah darimana, tiba-tiba menelusup ke dalam hatiku. Apalagi saat di detik berikutnya, Tiana mendorong pintu ruangan Mas Ruslan hingga menjeblak terbuka. Kami bahkan belum sempat mempersilakan wanita ini untuk masuk! "Ih, Mbak Astri. Kenapa nggak bilang kalau Mas Ruslan udah datang sih~" ujar Tiana dengan nada merajuknya. Mungkin di mata suaminya, nada suara merajuk centil seperti ini akan terdengar lucu. Tetapi bagiku, nada suara ini terdengar menyebalkan. Terutama sekali setelah Tiana datang di waktu yang tidak tepat. "Kamu 'kan ke sini ma
Dikarenakan desahan lega dan ucapan penuh syukur Tiana itu, aku tidak lagi memiliki niat untuk menguping lebih lanjut pembicaraan mereka. Cukup tahu saja alasan kenapa Tiana sampai ingin tinggal di rumah ini segala. "Selama tidak mendekati Mas Ruslan, bodo amatlah kalau dia mau menguasai rumah ini dan juga peternakan itu," gumamku pada diri sendiri. Aku lalu menutup pintu kamar tidur kami dan menggiring Danis untuk mencuci tangan dan kaki sebelum tidur siang. Sambil berbaring di atas ranjang, aku menyempatkan diri untuk menekuri pekerjaanku. Sejak empat tahun lalu, saat usia Danis masih beberapa bulan, aku memulai profesi sebagai penulis. Awalnya aku hanya iseng untuk mengisi waktu luang sekaligus ingin mengeluarkan unek-unek. Siapa yang menyangka bahwa profesi ini bisa mendatangkan rezeki yang melimpah untukku pribadi. Kemudian dari hasil menulis itu, aku sudah bisa membeli sawah yang luasnya sekitar 5 are. Sawah itu letaknya di kampung halamanku dan dikelola oleh orang tuaku. Ti
"ASTRI!"Raungan marah ibu mertua bergema bersaing dengan suara azan di masjid yang tak jauh. Gelegar teriakan itu menarik semua penghuni rumah untuk berdatangan. "Ada apa ini?" tanya bapak mertua yang muncul tergesa dari dalam rumah dengan diikuti oleh Tiana. Bahkan Dimas yang baru saja tiba bergegas menghampiri ibunya. "Bu, ada apa? Kok teriak-teriak?" tanya Dimas. "Ini loh Dim, kakak ipar kamu!" seru ibu mertua seraya menunjuk ke arahku dengan jari telunjuknya yang sudah berkerut. "Ada apa lagi dengan Mbak Astri, Bu?" tanya Dimas dengan lembut. Ibu mertua menggelengkan kepala tampak tidak berdaya. Beliau juga meremat kain daster yang ada di bagian dadanya dengan dramatis. "Ibu nggak sanggup lagi, Dim!" ujar ibu mertua. Suaranya terdengar serak dan amat lesu. "Kenapa?" tanya Dimas lagi. Setitik air mata tak terduga perlahan jatuh menitik dari sudut mata tua wanita paruh baya ini. Aku dan Mas Ruslan yang menjadi tersangka otomatis saling melempar lirikan. "Apa salah jika ibu
"Kamu sungguh berhati dengki, Mbak!" Di sepanjang acara makan malam tadi, kata-kata Tiana itu terus bergema di dalam kepalaku. Hal itu sampai membuatku kehilangan nafsu makan. Bukannya aku tidak tahu bahwa apa yang aku lakukan ini memang sesuai dengan apa yang dituduhkan Tiana padaku. Akan tetapi, menyadari sendiri dan ditegur oleh orang lain itu rasanya sungguh berbeda. Kata-kata Tiana itu berhasil menohok jantungku! "Kalau terus begini, aku bukan hanya akan menambah penyakit hati. Tapi juga menambah dosa!" gumamku. Saat ini, aku dan Mas Ruslan sedang bergelung di atas ranjang kami dan hendak bersiap untuk tidur. Kusandarkan kepala pada bahu suamiku, dengan lengan kananku menggurita di atas perutnya yang keras. Sementara tangan kanan Mas Ruslan tersampir di bahuku, sambil jemarinya bermain-main dengan ujung rambutku. "Kamu memikirkan kata-kata Tiana tadi?" tanya Mas Ruslan yang paling bisa mengerti aku. Akupun tidak ragu untuk menganggukkan kepala membenarkan. "Mas, capek bange
"Tri, kamu... ""Kenapa bisa anak sekecil Aldi bisa menyebut sepupunya sendiri sebagai pengemis? Ini pasti karena Mbak Dina nggak bisa mendidik anak dengan baik 'kan?!" Aku meraung dengan marah hingga menyela perkataan ibu mertua yang hendak menegurku karena telah membuat cucu kesayangannya menangis. "Jangan sembarangan kamu ya!" balas Mbak Dina tidak kalah marahnya. "Terus kenapa Aldi bisa menyebut Danis sebagai pengemis? Dan ini bukan yang pertama kalinya loh. Apa selama ini Danis pernah minta-minta sama Aldi? Ini pasti ajaran kamu nih, Mbak!" seruku terus menyudutkan Mbak Dina. "Astri, diam kamu!" jerit ibu mertua dengan suaranya yang melengking tinggi. "Kenapa aku disuruh diam?!" Aku semakin mengamuk tidak terima."Karena kamu sudah membuat Aldi menangis!" balas ibu mertua tidak mau kalah. Perdebatan ini menyebabkan suasana di ruang tamu seketika menjadi seperti minyak panas yang dipercikkan air. Aku lantas melirik garang ke arah Aldi yang masih sesenggukan sambil bersembunyi