Share

BAB 5

"Kalau kamu ingin keluar dari rumah ini, keluar saja sendiri. Pokoknya haram hukumnya bagi Ruslan untuk keluar dari rumah ini sampai kami mati!"

Kalimat terakhir yang dikatakan ibu mertua terus bergema berulang kali di dalam kepalaku. Tidak lagi bisa didefinisikan bagaimana kacaunya perasaanku sekarang. Rasanya ingin berteriak sejadi-jadinya. Namun, segalanya harus serba aku tahan.

"Jangan terlalu dipikirkan," bisik Mas Ruslan seraya mengelus puncak kepalaku.

"Bagaimana aku tidak memikirkan ini, Mas? Ibu cuma mau memeras manfaat dari kamu!" ujarku dengan frustrasi.

"Tri, bukankah Mas sudah pernah bilang, kalau Mas sudah mati rasa untuk ini? Mas sudah lelah bertanya kenapa hanya Mas yang diperlakukan berbeda. Jika memang kita perlu tahu alasannya, semesta akan menunjukkan jalannya," ujar Mas Ruslan dengan lemah lembut.

"Tapi, Mas... "

"Tetap tinggal di rumah ini, dan mengurus peternakan untuk keluarga ini, hanya itu bakti tersisa yang ingin Mas berikan pada bapak dan ibu. Jika mereka meminta lebih dari ini, mungkin Mas tidak akan mewujudkannya," pungkas Mas Ruslan.

"Mas~"

"Tri, hanya kamu dan Danis yang paling penting untuk Mas. Selama kamu dan Danis ada di sisi Mas, semuanya akan baik-baik saja. Percayalah!" ujar Mas Ruslan.

Disertai dengan bibir mencebik, aku menatap mata Mas Ruslan dalam-dalam. "Selama kamu tidak selingkuh dan main tangan, aku sama Danis akan selalu ada di samping kamu, Mas!" ujarku mantap.

"Mas janji itu tidak akan pernah terjadi!" balas Mas Ruslan dengan penuh tekad dan percaya diri.

"Pegang kata-kata kamu ya, Mas!"

Mas Ruslan lantas mengangguk dengan mantap. Obrolan singkat ini sedikit berhasil membuat kerusuhan yang terjadi di dalam hati menjadi tenang.

"Ayo, kompres dulu pipi kamu," ujar Mas Ruslan seraya membuka lemari es untuk mengambil beberapa potong balok kecil es batu.

Sembari meletakkan handuk berisi es batu itu di pipi yang bengkak, aku mendengus pelan. "Aku lupa melabrak Mbak Dina perihal anaknya yang seenak jidat menyebut Danis pengemis!" seruku dengan geram.

"Jangan khawatir, kamu punya banyak waktu untuk itu," seloroh Mas Ruslan dengan tenang.

"Ayo pergi solat!" ajaknya kemudian.

Aku melirik bak cuci piring yang masih penuh dengan piring kotor. Sebuah ide tiba-tiba terlintas di dalam benakku.

"Ibu emang mau kita tinggal di rumah ini. Tapi bukan berarti aku juga harus mau-mau aja dibabuin 'kan?" ucapku.

"Terserah kamu. Kalau kamu mau bantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah dengan sukarela, silakan. Kalau tidak juga, silakan!" ujar Mas Ruslan dengan acuh tak acuh.

" ... "

Aku melirik sebentar pada Mas Ruslan. Sikap acuh tak acuh seperti ini memang tidak seharusnya dimiliki oleh seorang anak pada orang tuanya. Tapi aku tidak tahu hal seperti apa yang telah dilalui Mas Ruslan hingga hati yang seharusnya perasa, berubah menjadi mati rasa. Entahlah!

"Kalau kita dimarahi, tinggal didengarkan saja. Kalau kita diusir, tinggal pergi saja!" sambungku seraya menyeret Mas Ruslan meninggalkan dapur yang masih kotor.

"Hm," gumam Mas Ruslan menyetujui.

* * *

Keesokan harinya aku terbangun sesuai dengan jam biologis biasanya. Begitu azan subuh bergema, aku dan Mas Ruslan bergegas menuju masjid yang tak jauh dari rumah.

Biasanya aku akan bergegas pulang ke rumah untuk menyiapkan sarapan bagi semua orang begitu selesai solat berjamaah. Namun, kali ini aku ingin melakukan hal yang berbeda. Bersama Mas Ruslan, kami memutuskan untuk berjalan-jalan pagi. Menikmati udara segar subuh hari yang belum terkontaminasi polusi.

Dengan aku yang masih mengenakan mukena, dan Mas Ruslan yang mengenakan kain sarung, Kami tidak berjalan terlalu jauh. Hanya sampai di ujung jalan kompleks saja.

"Mas, aku nggak mau masak. Kita beli nasi bungkus aja ya?" ujarku.

"Emang kamu bawa uang?" tanya Mas Ruslan.

"Bawa. Aku sudah merencanakan ini," jawabku.

Mengingat bak cuci piring yang pasti masih penuh dengan piring kotor itu membuatku ingin menjauh sebentar dari omelan mertua.

"Ya sudah," jawab Mas Ruslan.

Kami lalu melipir ke arah rumah seorang warga yang memang kesehariannya menjual nasi bungkus. Walau matahari belum kelihatan berkilau di langit. Tapi penjual nasi bungkus itu sudah mulai memajang barang dagangannya.

"Mbok Hindun, beli nasi bungkusnya tiga!" sahutku.

"Loh, Mbak Astri. Tumben nih beli nasi bungkus," celetuk Mbok Hindun.

"Iya nih, mau ganti suasana aja," timpalku dengan asal-asalan.

"Mau nasi putih atau nasi kuning?" tanya Mbok Hindun.

"Mas, kamu mau nasi kuning atau nasi putih?" tanyaku beralih pada Mas Ruslan yang berdiri di samping.

"Cobain nasi kuningnya," jawab Mas Ruslan.

"Mbok, nasi kuningnya satu, yang sepuluh ribuan. Terus nasi putihnya yang tujuh ribuan itu dua," pesanku.

Dikarenakan kami adalah pelanggan pertama, tidak membutuhkan waktu lama bagi kami untuk menunggu pesanan dikemas.

"Sudah lama menikah tapi kalian kelihatannya masih lengket ya. Resepnya apa sih?" goda Mbok Hindun seraya menyerahkan kantong plastik hitam berisi nasi bungkus pesananku.

"Halah, Mbok. Baru juga jalan 5 tahun. Masih kinyis-kinyis-nya nih kita," timpalku dengan santai sambil menyerahkan sejumlah uang pada Mbok Hindun.

Wanita paruh baya itu terkekeh pelan sebagai balasan. Setelah transaksi selesai, aku dan Mas Ruslan langsung undur diri.

Dalam perjalanan pulang, mentari pagi perlahan mulai terlihat pendarnya. Namun, hal itu tidak lantas membuat kami bergegas. Setapak demi setapak jalan menuju rumah kami lalui dengan santai.

Setelah mengucapkan salam yang kemudian dijawab ketus oleh mertua, kami hendak langsung berjalan menuju kamar. Tetapi, teguran sinis ibu mertua menghentikan langkah kami.

"Tri, kamu nggak tahu kalau di dapur ada tumpukan piring kotor?"

"Tahu!" jawabku dengan acuh tak acuh.

"Kalau kamu sudah tahu, kenapa kamu tidak bereskan?!" raung ibu mertua dengan marah.

"Malas!" jawabku sekenanya.

"Apa kamu bilang?!" pekik ibu mertua.

"Malas!" jawabku sekali lagi. Tentu dengan intonasi suara yang lebih tinggi daripada sebelumnya.

"Malas kamu bilang?!"

"Iya. Ibu saja yang bersihkan!" pungkasku seraya melengos pergi. Mas Ruslan lantas mengekori dengan patuh dari belakang.

"Dasar anak dan menantu kurang ajar!" maki ibu mertua.

Akan tetapi, aku tidak peduli. Seperti apa yang aku katakan kemarin. Jika ibu mertua marah-marah, aku hanya perlu mendengarkan. Jika ibu mertua mengusir kami dari rumah ini, kami tinggal pergi. Aku tidak mau lagi ambil pusing.

Benar kata Mas Ruslan, jika memang kami perlu tahu alasan dibalik perawatan ibu mertua pada Mas Ruslan, Mbak Dina dan Dimas itu timpang, maka semesta pasti akan menunjukkan jalanannya untuk mengungkap semua. Tidak perlu terlalu ngotot seperti kemarin.

Aku dan Mas Ruslan menghabiskan sarapan nasi bungkus yang kami beli di dalam kamar. Kami tidak sekalipun keluar kamar hingga waktunya Mas Ruslan berangkat kerja.

"Oh, aku pikir kalian tidak akan pernah keluar dari kamar!" sindir mertua ketika aku dan Danis hendak mengantar Mas Ruslan ke gerbang rumah.

"Mas Ruslan hati-hati di jalan," ucapku seraya mencium punggung tangan suamiku ini. Sindiran sang mertua yang sedang duduk di teras sengaja kami abaikan total.

"Bapak hati-hati di jalan," ujar Danis turut mengikuti tindakanku.

"Hm, kamu baik-baik di rumah," ucap Mas Ruslan sembari mengecup keningku. "Danis juga jangan nakal. Dengerin apa kata Ibu ya," sambung Mas Ruslan menyampaikan pesannya pada sang jagoan kecil. Dia lalu mengecup seluruh wajah putra kami hingga anak itu menggelinjing kegelian.

"Mas berangkat dulu. Assalamu'alaikum!" ucap Mas Ruslan sambil mulai menyalakan mesin sepeda motor bututnya.

Setelah menjawab salam dari Mas Ruslan, aku dan Danis melepas kepergian Mas Ruslan dengan lambaian tangan ringan hingga bayangannya tidak lagi tampak di depan mata.

"Huh, lebay!" dengus mertuaku. "Nih, daftar belanjaan hari ini. Jangan ada bahan yang terlewat satupun. Tiana sama Dimas mau pindah ke sini hari ini," perintah ibu mertuaku dengan seenaknya.

Akan tetapi, fokusku tidak ada pada daftar belanjaan yang disodorkan, melainkan pada informasi terakhir yang baru saja diucapkan mertua.

"Apa?!" Aku memekik. "Dimas dan Tiana mau tinggal di sini?!" seruku dengan mata membelalak.

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status