Share

BAB 5

Author: Mokaciinoo
last update Last Updated: 2023-08-15 22:02:45

"Kalau kamu ingin keluar dari rumah ini, keluar saja sendiri. Pokoknya haram hukumnya bagi Ruslan untuk keluar dari rumah ini sampai kami mati!"

Kalimat terakhir yang dikatakan ibu mertua terus bergema berulang kali di dalam kepalaku. Tidak lagi bisa didefinisikan bagaimana kacaunya perasaanku sekarang. Rasanya ingin berteriak sejadi-jadinya. Namun, segalanya harus serba aku tahan.

"Jangan terlalu dipikirkan," bisik Mas Ruslan seraya mengelus puncak kepalaku.

"Bagaimana aku tidak memikirkan ini, Mas? Ibu cuma mau memeras manfaat dari kamu!" ujarku dengan frustrasi.

"Tri, bukankah Mas sudah pernah bilang, kalau Mas sudah mati rasa untuk ini? Mas sudah lelah bertanya kenapa hanya Mas yang diperlakukan berbeda. Jika memang kita perlu tahu alasannya, semesta akan menunjukkan jalannya," ujar Mas Ruslan dengan lemah lembut.

"Tapi, Mas... "

"Tetap tinggal di rumah ini, dan mengurus peternakan untuk keluarga ini, hanya itu bakti tersisa yang ingin Mas berikan pada bapak dan ibu. Jika mereka meminta lebih dari ini, mungkin Mas tidak akan mewujudkannya," pungkas Mas Ruslan.

"Mas~"

"Tri, hanya kamu dan Danis yang paling penting untuk Mas. Selama kamu dan Danis ada di sisi Mas, semuanya akan baik-baik saja. Percayalah!" ujar Mas Ruslan.

Disertai dengan bibir mencebik, aku menatap mata Mas Ruslan dalam-dalam. "Selama kamu tidak selingkuh dan main tangan, aku sama Danis akan selalu ada di samping kamu, Mas!" ujarku mantap.

"Mas janji itu tidak akan pernah terjadi!" balas Mas Ruslan dengan penuh tekad dan percaya diri.

"Pegang kata-kata kamu ya, Mas!"

Mas Ruslan lantas mengangguk dengan mantap. Obrolan singkat ini sedikit berhasil membuat kerusuhan yang terjadi di dalam hati menjadi tenang.

"Ayo, kompres dulu pipi kamu," ujar Mas Ruslan seraya membuka lemari es untuk mengambil beberapa potong balok kecil es batu.

Sembari meletakkan handuk berisi es batu itu di pipi yang bengkak, aku mendengus pelan. "Aku lupa melabrak Mbak Dina perihal anaknya yang seenak jidat menyebut Danis pengemis!" seruku dengan geram.

"Jangan khawatir, kamu punya banyak waktu untuk itu," seloroh Mas Ruslan dengan tenang.

"Ayo pergi solat!" ajaknya kemudian.

Aku melirik bak cuci piring yang masih penuh dengan piring kotor. Sebuah ide tiba-tiba terlintas di dalam benakku.

"Ibu emang mau kita tinggal di rumah ini. Tapi bukan berarti aku juga harus mau-mau aja dibabuin 'kan?" ucapku.

"Terserah kamu. Kalau kamu mau bantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah dengan sukarela, silakan. Kalau tidak juga, silakan!" ujar Mas Ruslan dengan acuh tak acuh.

" ... "

Aku melirik sebentar pada Mas Ruslan. Sikap acuh tak acuh seperti ini memang tidak seharusnya dimiliki oleh seorang anak pada orang tuanya. Tapi aku tidak tahu hal seperti apa yang telah dilalui Mas Ruslan hingga hati yang seharusnya perasa, berubah menjadi mati rasa. Entahlah!

"Kalau kita dimarahi, tinggal didengarkan saja. Kalau kita diusir, tinggal pergi saja!" sambungku seraya menyeret Mas Ruslan meninggalkan dapur yang masih kotor.

"Hm," gumam Mas Ruslan menyetujui.

* * *

Keesokan harinya aku terbangun sesuai dengan jam biologis biasanya. Begitu azan subuh bergema, aku dan Mas Ruslan bergegas menuju masjid yang tak jauh dari rumah.

Biasanya aku akan bergegas pulang ke rumah untuk menyiapkan sarapan bagi semua orang begitu selesai solat berjamaah. Namun, kali ini aku ingin melakukan hal yang berbeda. Bersama Mas Ruslan, kami memutuskan untuk berjalan-jalan pagi. Menikmati udara segar subuh hari yang belum terkontaminasi polusi.

Dengan aku yang masih mengenakan mukena, dan Mas Ruslan yang mengenakan kain sarung, Kami tidak berjalan terlalu jauh. Hanya sampai di ujung jalan kompleks saja.

"Mas, aku nggak mau masak. Kita beli nasi bungkus aja ya?" ujarku.

"Emang kamu bawa uang?" tanya Mas Ruslan.

"Bawa. Aku sudah merencanakan ini," jawabku.

Mengingat bak cuci piring yang pasti masih penuh dengan piring kotor itu membuatku ingin menjauh sebentar dari omelan mertua.

"Ya sudah," jawab Mas Ruslan.

Kami lalu melipir ke arah rumah seorang warga yang memang kesehariannya menjual nasi bungkus. Walau matahari belum kelihatan berkilau di langit. Tapi penjual nasi bungkus itu sudah mulai memajang barang dagangannya.

"Mbok Hindun, beli nasi bungkusnya tiga!" sahutku.

"Loh, Mbak Astri. Tumben nih beli nasi bungkus," celetuk Mbok Hindun.

"Iya nih, mau ganti suasana aja," timpalku dengan asal-asalan.

"Mau nasi putih atau nasi kuning?" tanya Mbok Hindun.

"Mas, kamu mau nasi kuning atau nasi putih?" tanyaku beralih pada Mas Ruslan yang berdiri di samping.

"Cobain nasi kuningnya," jawab Mas Ruslan.

"Mbok, nasi kuningnya satu, yang sepuluh ribuan. Terus nasi putihnya yang tujuh ribuan itu dua," pesanku.

Dikarenakan kami adalah pelanggan pertama, tidak membutuhkan waktu lama bagi kami untuk menunggu pesanan dikemas.

"Sudah lama menikah tapi kalian kelihatannya masih lengket ya. Resepnya apa sih?" goda Mbok Hindun seraya menyerahkan kantong plastik hitam berisi nasi bungkus pesananku.

"Halah, Mbok. Baru juga jalan 5 tahun. Masih kinyis-kinyis-nya nih kita," timpalku dengan santai sambil menyerahkan sejumlah uang pada Mbok Hindun.

Wanita paruh baya itu terkekeh pelan sebagai balasan. Setelah transaksi selesai, aku dan Mas Ruslan langsung undur diri.

Dalam perjalanan pulang, mentari pagi perlahan mulai terlihat pendarnya. Namun, hal itu tidak lantas membuat kami bergegas. Setapak demi setapak jalan menuju rumah kami lalui dengan santai.

Setelah mengucapkan salam yang kemudian dijawab ketus oleh mertua, kami hendak langsung berjalan menuju kamar. Tetapi, teguran sinis ibu mertua menghentikan langkah kami.

"Tri, kamu nggak tahu kalau di dapur ada tumpukan piring kotor?"

"Tahu!" jawabku dengan acuh tak acuh.

"Kalau kamu sudah tahu, kenapa kamu tidak bereskan?!" raung ibu mertua dengan marah.

"Malas!" jawabku sekenanya.

"Apa kamu bilang?!" pekik ibu mertua.

"Malas!" jawabku sekali lagi. Tentu dengan intonasi suara yang lebih tinggi daripada sebelumnya.

"Malas kamu bilang?!"

"Iya. Ibu saja yang bersihkan!" pungkasku seraya melengos pergi. Mas Ruslan lantas mengekori dengan patuh dari belakang.

"Dasar anak dan menantu kurang ajar!" maki ibu mertua.

Akan tetapi, aku tidak peduli. Seperti apa yang aku katakan kemarin. Jika ibu mertua marah-marah, aku hanya perlu mendengarkan. Jika ibu mertua mengusir kami dari rumah ini, kami tinggal pergi. Aku tidak mau lagi ambil pusing.

Benar kata Mas Ruslan, jika memang kami perlu tahu alasan dibalik perawatan ibu mertua pada Mas Ruslan, Mbak Dina dan Dimas itu timpang, maka semesta pasti akan menunjukkan jalanannya untuk mengungkap semua. Tidak perlu terlalu ngotot seperti kemarin.

Aku dan Mas Ruslan menghabiskan sarapan nasi bungkus yang kami beli di dalam kamar. Kami tidak sekalipun keluar kamar hingga waktunya Mas Ruslan berangkat kerja.

"Oh, aku pikir kalian tidak akan pernah keluar dari kamar!" sindir mertua ketika aku dan Danis hendak mengantar Mas Ruslan ke gerbang rumah.

"Mas Ruslan hati-hati di jalan," ucapku seraya mencium punggung tangan suamiku ini. Sindiran sang mertua yang sedang duduk di teras sengaja kami abaikan total.

"Bapak hati-hati di jalan," ujar Danis turut mengikuti tindakanku.

"Hm, kamu baik-baik di rumah," ucap Mas Ruslan sembari mengecup keningku. "Danis juga jangan nakal. Dengerin apa kata Ibu ya," sambung Mas Ruslan menyampaikan pesannya pada sang jagoan kecil. Dia lalu mengecup seluruh wajah putra kami hingga anak itu menggelinjing kegelian.

"Mas berangkat dulu. Assalamu'alaikum!" ucap Mas Ruslan sambil mulai menyalakan mesin sepeda motor bututnya.

Setelah menjawab salam dari Mas Ruslan, aku dan Danis melepas kepergian Mas Ruslan dengan lambaian tangan ringan hingga bayangannya tidak lagi tampak di depan mata.

"Huh, lebay!" dengus mertuaku. "Nih, daftar belanjaan hari ini. Jangan ada bahan yang terlewat satupun. Tiana sama Dimas mau pindah ke sini hari ini," perintah ibu mertuaku dengan seenaknya.

Akan tetapi, fokusku tidak ada pada daftar belanjaan yang disodorkan, melainkan pada informasi terakhir yang baru saja diucapkan mertua.

"Apa?!" Aku memekik. "Dimas dan Tiana mau tinggal di sini?!" seruku dengan mata membelalak.

* * *

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Ayo astri tunjuk kan kekuatan kamu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang   BAB 131

    Untuk yang kedua kali, aku dan keluarga mengunjungi Bali. Kali ini aku berhasil membujuk ayah dan ibu untuk ikut turut serta. Alasannya adalah biar ada yang menemani ibu mertuaku untuk hanya sekedar mengobrol dengan orang seusianya."Kamu yakin semuanya akan baik-baik saja?" tanya ibu ketika kami baru saja tiba di Bali."Kenapa harus nggak baik-baik aja?" tanyaku dengan santai."Ibu mertua kamu benar-benar setuju nggak kalau kami ikut?" tanya ibu masih tidak yakin."Setuju kok. Ibu tenang aja. Ibu mertuaku sekarang baik. Kalau ibu nggak percaya, nanti kita buktikan!" ujarku dengan percaya diri."Kamu yakin?" tanya ibu lagi."Halah ibu ini, kenapa malah jadi kamu yang paranoid?" sambar bapak.Beliau sepertinya risih dengan pertanyaan yang sudah berulang kali diajukan oleh ibu sejak kemarin."Ih, bapak. Ibu kan cuma nanya," protes ibu atas reaksi bapak."Ya habis ibu nanya itu terus. Telinga bapak panas d

  • Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang   BAB 130 | Dina POV

    Dina POV,Berbulan-bulan berlalu, wacanaku untuk menculik Aldi dari ayah kandungnya sendiri selama ini hanya berakhir sebagai wacana. Aku tidak bisa membawa Aldi pergi menjauh dari ayah kandungnya tanpa persetujuan dari anak itu sendiri. Walaupun menyakitkan, aku tetap berusaha untuk menghargai keinginan Aldi."Aku tidak mengharapkan Aldi akan diabaikan oleh ayahnya sih. Tapi aku pikir begitu anaknya si Astuti lahir, fokus si Arifin pasti akan lebih dominan pada istri dan anak barunya," tukas Sadewa yang masih setia tinggal di desa ini untuk menemaniku."So?""Mungkin saat itu kamu bisa kembali merayu Aldi untuk tinggal bersamamu," ujar Sadewa."Hm," gumamku sembari menganggukkan kepala pelan tanpa menoleh ke arah Sadewa yang sedang duduk di balik kemudi.Saat ini, aku dan dia sedang menunggu di depan sekolahnya Aldi. Aku sangat merindukan anak yang beberapa waktu ini menolak untuk menemuiku. Semua ini lantaran dia marah padaku k

  • Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang   BAB 129

    Aku memasak makan siang di bawah pengawasan ibu mertua. Awalnya terasa tidak nyaman, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai melupakan keberadaan beliau dan sepenuhnya fokus pada pekerjaan yang ada di tangan.Setelah sibuk berkutat di depan panci dan wajan, akhirnya masakan yang aku buat matang. Dengan telaten aku mulai menyendok nasi beserta lauk pauknya ke atas piring, lalu menyajikannya di depan ibu mertua."Coba aja kamu melakukan hal seperti ini dari dulu," celetuk ibu mertua.Aku spontan memutar mata. "Ini semua gara-gara ibu sih. Coba kalau ibu nggak keseringan sensi dan marah-marah," timpalku dengan santai."Cih," balas ibu mertua."Ayo makan siang. Setelah ini aku harus kembali kerja," ujarku seraya mengambil tempat duduk di kursi yang berada tepat di hadapan ibu mertua."Hubunganmu dengan Ruslan gimana?" tanya ibu mertua sembari mulai menyendok makanan ke dalam mulutnya."Sangat baik!" jawabku dengan

  • Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang   BAB 128

    Hari demi hari masih berlalu dengan monoton seperti biasanya. Kata-kata bapak masih menghantuiku hingga saat ini, tetapi aku belum memiliki keberanian untuk pergi ke rumah ibu mertua untuk merayunya atau apalah itu.Selentingan kabar mereka diam-diam aku cari tahu melalui akun sosial media yang ada. Dan dari sana aku mengetahui bahwa Arumi dan ibu Sarinah telah kembali ke ibu kota. Ada juga kabar perceraian Dimas dan Tiana, serata kabar perceraian Mbak Dina dan suaminya.Rentetan kabar buruk yang datang satu demi satu menyambangi keluarga Hadinata membuat grup whats*app kompleks diibaratkan layaknya air yang dituangkan ke dalam minyak panas. [Keluarga Hadinata lagi dikasih banyak banget cobaan belakangan ini,][Ho-oh. Aku tidak menyangka umur pernikahan si Dimas bakal singkat banget. Padahal dia kelihatan cinta banget sama istrinya,][Isi dapur orang nggak ada yang tahu,][Memang sih,][Belum lagi si Dina juga bercerai.

  • Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang   BAB 127 | DINA POV

    Dina POV,"Din, hubungan kamu dengan Arifin bagaimana sih sebenarnya?" tanya bapak ketika kami sedang menyantap makan malam." ... "Karena makanan yang masih ada di dalam mulutku, aku tidak langsung memberi jawaban."Kamu juga, Dim. Tiana kemana? Kok dia nggak pulang-pulang?" tukas bapak pada Dimas yang duduk di sampingku."Aku dan Tiana berencana untuk bercerai," jawab Dimas dengan santai."Bercerai? Kenapa?" tanya ibu terdengar cukup terkejut.Dimas mengangkat bahunya pelan seraya berkata. "Sudah tidak ada kecocokan. Kalian masih ingat mengenai dia yang meminjam uang 100 juta untuk menutupi hutang keluarganya?" "Iya, terus kenapa?" tanya ibu dengan sedikit nada mendesak dalam suaranya."Aku tidak bisa membantunya untuk mencari jalan keluar terkait hutang itu. Alhasil dia mendekati banyak pria yang bersedia memberikannya uang secara cuma-cuma," jawab Dimas dengan enteng."What?!" seruku tida

  • Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang   BAB 126

    "Kakek!""Nenek!"Danis berteriak dengan antusias tepat ketika kami baru tiba di rumah orang tuaku. Kebetulan saat ini kami bertemu dengan bapak dan ibu yang baru saja pulang dari sawah tepat di depan pintu gerbang rumah. "Danis, apa kabar? Nenek sama kakek udah lama nggak ketemu Danis," sambut ibuku dengan nada yang dibuat sedih ketika melihat cucunya.Memang beberapa minggu belakangan ini, kami terlalu sibuk mengurus toko yang baru dibuka, sehingga kami tidak bisa datang berkunjung ke rumah orang tuaku ini seperti biasanya."Iya nih. Bapak sama ibu sibuk-sibuk terus!" timpal Danis turut merajuk sambil bibirnya dimajukan beberapa sentimeter."Ayo, ngobrolnya di dalam aja," tukas bapak sembari membuka pintu gerbang untuk kami."Rumah kok sepi, Pak? Wisnu mana?" tanyaku."Di kosnya. Kamu lupa kalau adik kamu itu sudah masuk kuliah?" tukas bapak."Oh, aku lupa," timpalku seraya menepuk kepalaku pelan.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status