Ibu mertuaku tampak berjengit tidak suka ketika mendengar kalimat yang baru saja meluncur dari bibirku.
"Kenapa? Kamu tidak suka Dimas dan Tiana tinggal di sini? Kamu masih berpikir kalau rumah ini milik suami kamu seorang? Hanya karena Ruslan yang membantu merenovasi rumah ini?" cecar mertuaku dengan garang sambil tangannya berkacak pinggang." ... "Aku terdiam tidak menimpali, tapi mataku mengerjap beberapa kali. Mungkin inilah yang disebut-sebut sebagai firasat wanita. Sejak melihat tatapan cemerlang yang ditujukan wanita itu pada Mas Ruslan, aku tiba-tiba merasakan alarm berbahaya berdering di kedalaman hati.Agak tidak masuk akal untuk memikirkan ini. Biar bagaimanapun, wanita itu belum genap setahun menjadi istrinya Dimas. Tapi aku juga yakin bahwa apa yang aku lihat waktu itu tidak salah. Sorot mata Tiana menunjukkan ketertarikan pada Mas Ruslan!"Bukan begitu. Tapi seingatku, awalnya Tiana nggak mau tinggal di rumah ini karena tidak bisa berpisah dengan orang tuanya. Tapi kok sekarang... " Aku tidak menyelesaikan kalimatku dan membiarkannya tergantung begitu saja."Ya emang kenapa kalau mereka berubah pikiran sekarang?" sungut mertuaku.Mendengar sang mertua yang terus menarik urat, aku akhirnya mengendikkan bahu masa bodoh. "Bukan apa-apa. Aku cuma bertanya-tanya aja. Emang nggak boleh?" timpalku tidak mau kalah."Huh!" Ibu mertuaku mendengus sinis.Dia lalu mengibaskan tangan seperti sedang mengusir lalat sembari berkata. "Udah sana pergi ke pasar. Jangan kebanyakan cincong!" serunya."Uangnya mana?" pintaku seraya membuka telapak tangan di depan wajah beliau.Ibu mertua terdengar mendecakkan lidah kesal, tapi tetap merogoh saku dan menyerahkan sejumlah 4 lembar uang seratusan ribu padaku. Setelah memberikan uang itu, ibu mertua langsung berbalik pergi. Meninggalkanku dan Danis di teras rumah."Danis mau ikut ibu pergi ke pasar, atau mau nunggu ibu di rumah aja bareng nenek?" tanyaku pada Danis yang sejak tadi memilih bisu."Ikut ibu!" jawab Danis tanpa ragu. Sebuah jawaban yang tentu saja sudah aku duga sebelumnya."Oke. Danis tunggu di sini dulu, ibu mau masuk ambil keranjang!" Aku berujar sambil bergegas masuk ke dalam rumah.Mungkin kalian berpikir aku bodoh karena mau-maunya disuruh mertua seperti ini?Tapi tidak!Alasanku menurut kali ini tidak lebih karena aku merasa sumpek di rumah. Bahkan jika aku tidak ingin mendedikasikan hidupku dengan hanya melakukan pekerjaan rumah, aku juga tidak akan sepenuhnya berpangku tangan.Alasan lainnya, karena aku ingin melihat calon toko milikku yang sedang direnovasi dan rencananya akan resmi beroperasi sekitar sebulan kemudian."Danis, ayo pergi!" ajakku pada putraku yang telah menunggu dengan manis di teras rumah."Yuk!" sambut Danis dengan antusias.Meski jarak pasar dengan rumah ini tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu 10 menit berjalan kaki. Akan tetapi, aku tetap memilih untuk mengendarai sepeda motor.Sesampainya di pasar, aku langsung membeli semua bahan yang ada di dalam daftar belanjaan mertua. Tidak hanya itu, aku juga membeli bahan masakan yang ingin aku masak untuk makan siang Mas Ruslan nanti.Selesai berkeliling pasar, aku mengajak Danis untuk masuk ke dalam minimarket yang cabangnya ada dimana-mana di seluruh Indonesia itu."Ibu, beneran boleh beli es krim?" tanya Danis memastikan. Sepasang netra kecilnya terlihat jelas berpendar cemerlang. Tampak antusias sekali."Boleh. Tapi cuma satu aja ya,""Hm," gumam Danis dengan girang.Sebelum pulang ke rumah, aku menyempatkan diri untuk melipir ke sebuah ruko yang ada di perempatan jalan dua blok jauhnya dari pasar. Inilah ruko yang telah aku beli dengan penghasilan sendiri dan hendak aku jadikan sebagai toko grosir yang menjual sembako dan kebutuhan sehari-hari lainnya."Pagi semua," sapaku pada para pekerja yang tampak sibuk mengecat tembok."Pagi, Bu!" sapa mereka sambil lalu."Sudah sampai mana progressnya?" tanyaku pada seorang tukang yang bertanggung jawab atas renovasi ruko ini."Hampir rampung, Bu!" jawabnya. "Selesai dicat, kita tinggal nyusun rak dan etalase," lanjutnya.Aku menganggukkan kepala pelan sebagai tanda mengerti. Aku tidak menghabiskan banyak waktu di tempat ini. Setelah bertukar obrolan singkat dan meletakkan beberapa jajanan pasar untuk dikonsumsi oleh para tukang, barulah aku membawa Danis kembali ke rumah.Setibanya di rumah, aku melihat sebuah mobil Avanza sudah terparkir di garasi kecil rumah. Tanpa perlu bertanya-tanya, aku sudah bisa menebak milik siapa gerangan mobil ini. Pasti milik istri si Dimas itu."Assalamu'alaikum!" sahutku mengucap salam sebelum melangkah ke dalam rumah."Waalaikumsalam!" jawab ibu mertua dari dalam.Tanpa mengganggu obrolan seru menantu dan mertua yang sedang berlangsung di ruang tamu itu, aku langsung melipir ke dapur. Saat ini jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Tinggal beberapa jam lagi akan memasuki waktunya makan siang.Hari ini aku memutuskan untuk membuat tumis kangkung, cumi bakar pedas manis, ayam suwir, udang tepung dan telur dadar.Aku selesai berjibaku dengan segala tetek bengek perdapuran tatkala jarum jam menunjukkan pukul 1 siang. Sebelum berangkat ke peternakan, aku mandi dan solat Dzuhur terlebih dulu. Tidak lupa aku juga berdandan rapi sebelum menemui Mas Ruslan. Tampil cantik di hadapan suami, bagiku adalah suatu keharusan."Mbak Tri, ayo makan siang bareng!" sapa Tiana ketika aku dan Danis sedang melintas di ruang makan."Lanjut aja. Aku biasanya makan siang sama Mas Ruslan di peternakan," jawabku sembari mengemas nasi dan lauk pauk ke dalam kotak bekal."Jadi kamu mau ke peternakan?" tanya Tiana."Hm," jawabku dalam gumaman buru-buru."Aku boleh ikut nggak, Tri?" tanya Tiana lagi yang membuat gerakan tanganku seketika berhenti di udara.Alisku berkerut samar menatap ke arah wanita cantik yang menguarkan aroma perkotaan itu. "Kamu mau ikut? Nggak salah? Aku mau ke peternakan loh," ujarku memperjelas nama tempat yang hendak aku tuju.Namun, wanita ini justru terkikik pelan menertawakan keterkejutanku. "Iya, Mbak. Aku penasaran aja mau ngeliat peternakan itu kayak gimana. Makanya aku mau ikut. Boleh ya?" pungkas istrinya Dimas ini. Nada suaranya sengaja dibuat terdengar manja."Kamu yakin? Bau loh di sana!" ujarku memberi peringatan."Nggak apa-apa. Aku benar-benar mau tahu aja!" timpal Tiana bersikeras."Yakin?" tanyaku memastikan sekali lagi."Mbak jangan khawatir, aku yakin!" balas Tiana tampak percaya diri.Melihat tekad kuat wanita ini, aku entah kenapa memiliki kecurigaan mengenai tujuannya ingin mengikutiku ke peternakan. Namun, pada akhirnya aku hanya mengendikkan bahu masa bodoh."Ya sudah kalau begitu," ujarku."Asyik!" serunya dengan kekanakan yang membuatku ingin muntah."Ti, kamu yakin? Mending di rumah aja. Di peternakan nggak ada yang menarik. Adanya cuma sapi doang," ujar ibu mertuaku mencoba untuk melarang Tiana mengikutiku."Nggak apa-apa, Bu. Aku emang mau lihat sapi doang kok. Seumur-umur, aku nggak pernah lihat sapi secara langsung soalnya!" jawab Tiana beralasan."Tapi... ""Bu~" rengek Tiana dalam nada panjang. "Aku baik-baik aja kok," lanjutnya sembari beranjak dari kursi meja makan yang dia duduki.Melihat keceriaan di wajah cantik menantunya yang satu itu, ibu mertua hanya bisa menghela nafas pelan. "Ya sudah," ucap ibu mertua dengan pasrah.Di dalam hati, aku hanya mendengus jenaka.'Mari kita lihat niat apa yang sebenarnya wanita ini miliki. Apakah firasatku benar atau tidak?'* * *Untuk yang kedua kali, aku dan keluarga mengunjungi Bali. Kali ini aku berhasil membujuk ayah dan ibu untuk ikut turut serta. Alasannya adalah biar ada yang menemani ibu mertuaku untuk hanya sekedar mengobrol dengan orang seusianya."Kamu yakin semuanya akan baik-baik saja?" tanya ibu ketika kami baru saja tiba di Bali."Kenapa harus nggak baik-baik aja?" tanyaku dengan santai."Ibu mertua kamu benar-benar setuju nggak kalau kami ikut?" tanya ibu masih tidak yakin."Setuju kok. Ibu tenang aja. Ibu mertuaku sekarang baik. Kalau ibu nggak percaya, nanti kita buktikan!" ujarku dengan percaya diri."Kamu yakin?" tanya ibu lagi."Halah ibu ini, kenapa malah jadi kamu yang paranoid?" sambar bapak.Beliau sepertinya risih dengan pertanyaan yang sudah berulang kali diajukan oleh ibu sejak kemarin."Ih, bapak. Ibu kan cuma nanya," protes ibu atas reaksi bapak."Ya habis ibu nanya itu terus. Telinga bapak panas d
Dina POV,Berbulan-bulan berlalu, wacanaku untuk menculik Aldi dari ayah kandungnya sendiri selama ini hanya berakhir sebagai wacana. Aku tidak bisa membawa Aldi pergi menjauh dari ayah kandungnya tanpa persetujuan dari anak itu sendiri. Walaupun menyakitkan, aku tetap berusaha untuk menghargai keinginan Aldi."Aku tidak mengharapkan Aldi akan diabaikan oleh ayahnya sih. Tapi aku pikir begitu anaknya si Astuti lahir, fokus si Arifin pasti akan lebih dominan pada istri dan anak barunya," tukas Sadewa yang masih setia tinggal di desa ini untuk menemaniku."So?""Mungkin saat itu kamu bisa kembali merayu Aldi untuk tinggal bersamamu," ujar Sadewa."Hm," gumamku sembari menganggukkan kepala pelan tanpa menoleh ke arah Sadewa yang sedang duduk di balik kemudi.Saat ini, aku dan dia sedang menunggu di depan sekolahnya Aldi. Aku sangat merindukan anak yang beberapa waktu ini menolak untuk menemuiku. Semua ini lantaran dia marah padaku k
Aku memasak makan siang di bawah pengawasan ibu mertua. Awalnya terasa tidak nyaman, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai melupakan keberadaan beliau dan sepenuhnya fokus pada pekerjaan yang ada di tangan.Setelah sibuk berkutat di depan panci dan wajan, akhirnya masakan yang aku buat matang. Dengan telaten aku mulai menyendok nasi beserta lauk pauknya ke atas piring, lalu menyajikannya di depan ibu mertua."Coba aja kamu melakukan hal seperti ini dari dulu," celetuk ibu mertua.Aku spontan memutar mata. "Ini semua gara-gara ibu sih. Coba kalau ibu nggak keseringan sensi dan marah-marah," timpalku dengan santai."Cih," balas ibu mertua."Ayo makan siang. Setelah ini aku harus kembali kerja," ujarku seraya mengambil tempat duduk di kursi yang berada tepat di hadapan ibu mertua."Hubunganmu dengan Ruslan gimana?" tanya ibu mertua sembari mulai menyendok makanan ke dalam mulutnya."Sangat baik!" jawabku dengan
Hari demi hari masih berlalu dengan monoton seperti biasanya. Kata-kata bapak masih menghantuiku hingga saat ini, tetapi aku belum memiliki keberanian untuk pergi ke rumah ibu mertua untuk merayunya atau apalah itu.Selentingan kabar mereka diam-diam aku cari tahu melalui akun sosial media yang ada. Dan dari sana aku mengetahui bahwa Arumi dan ibu Sarinah telah kembali ke ibu kota. Ada juga kabar perceraian Dimas dan Tiana, serata kabar perceraian Mbak Dina dan suaminya.Rentetan kabar buruk yang datang satu demi satu menyambangi keluarga Hadinata membuat grup whats*app kompleks diibaratkan layaknya air yang dituangkan ke dalam minyak panas. [Keluarga Hadinata lagi dikasih banyak banget cobaan belakangan ini,][Ho-oh. Aku tidak menyangka umur pernikahan si Dimas bakal singkat banget. Padahal dia kelihatan cinta banget sama istrinya,][Isi dapur orang nggak ada yang tahu,][Memang sih,][Belum lagi si Dina juga bercerai.
Dina POV,"Din, hubungan kamu dengan Arifin bagaimana sih sebenarnya?" tanya bapak ketika kami sedang menyantap makan malam." ... "Karena makanan yang masih ada di dalam mulutku, aku tidak langsung memberi jawaban."Kamu juga, Dim. Tiana kemana? Kok dia nggak pulang-pulang?" tukas bapak pada Dimas yang duduk di sampingku."Aku dan Tiana berencana untuk bercerai," jawab Dimas dengan santai."Bercerai? Kenapa?" tanya ibu terdengar cukup terkejut.Dimas mengangkat bahunya pelan seraya berkata. "Sudah tidak ada kecocokan. Kalian masih ingat mengenai dia yang meminjam uang 100 juta untuk menutupi hutang keluarganya?" "Iya, terus kenapa?" tanya ibu dengan sedikit nada mendesak dalam suaranya."Aku tidak bisa membantunya untuk mencari jalan keluar terkait hutang itu. Alhasil dia mendekati banyak pria yang bersedia memberikannya uang secara cuma-cuma," jawab Dimas dengan enteng."What?!" seruku tida
"Kakek!""Nenek!"Danis berteriak dengan antusias tepat ketika kami baru tiba di rumah orang tuaku. Kebetulan saat ini kami bertemu dengan bapak dan ibu yang baru saja pulang dari sawah tepat di depan pintu gerbang rumah. "Danis, apa kabar? Nenek sama kakek udah lama nggak ketemu Danis," sambut ibuku dengan nada yang dibuat sedih ketika melihat cucunya.Memang beberapa minggu belakangan ini, kami terlalu sibuk mengurus toko yang baru dibuka, sehingga kami tidak bisa datang berkunjung ke rumah orang tuaku ini seperti biasanya."Iya nih. Bapak sama ibu sibuk-sibuk terus!" timpal Danis turut merajuk sambil bibirnya dimajukan beberapa sentimeter."Ayo, ngobrolnya di dalam aja," tukas bapak sembari membuka pintu gerbang untuk kami."Rumah kok sepi, Pak? Wisnu mana?" tanyaku."Di kosnya. Kamu lupa kalau adik kamu itu sudah masuk kuliah?" tukas bapak."Oh, aku lupa," timpalku seraya menepuk kepalaku pelan.
Dina POV,"Bu, apa rencana ibu selanjutnya?" tanyaku pada ibu setelah kami kembali ke rumah. Saat ini hanya ada aku, dan ibu saja yang ada di rumah. Bapak memilih untuk pergi ke peternakan dan menghabiskan waktu di sana. Sementara itu, Dimas sudah berangkat ke kantor."Entahlah. Ibu juga tidak tahu," jawab ibu dengan nada gamang. Aku pun menghela nafas lelah."Ibu tidak mau bercerai saja dengan bapak. Lalu memulai kehidupan baru?" tanyaku dengan hati-hati. Aku takut membuat ibu terlalu emosional." ... "Hening,Ibu tidak langsung menimpali ucapanku. Mata beliau terlihat menerawang jauh. Dan aku pun tidak mendesak ibu untuk segera menjawab. Hal-hal terkait hati memang tidak bisa diputuskan dengan mudah."Baik bibi Sarinah dan juga Ruslan telah memutuskan jalan hidup mereka sendiri. Dan tampaknya mereka juga bahagia-bahagia saja dengan pilihan hidup mereka saat ini. Hanya tinggal ibu saja yang masih terjerat dal
Dimas POV,Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi ketika semua drama mengenai orang tua kandung itu selesai. Setidaknya itu yang mereka katakan. Sementara menurutku, penyelesaian seperti ini agak terdengar tidak benar. Akan tetapi, jika ditanya hasil seperti apa yang aku inginkan atas masalah ini, tentu saja aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Karena orang-orang yang terlibat dalam masalah ini telah memutuskan untuk terus melangkah. Hanya ibu yang tampaknya masih terus terjerat dalam masa lalu. Namun, bahkan jika aku mengatakan apapun hingga berbusa, kalau ibu telah membuat keputusan keras kepala sendiri, lantas apa yang bisa aku lakukan?Rambutku yang sudah disisir dengan rapi, aku acak hingga berantakan. Masalah keluarga ini sungguh tidak ada habisnya!"Tau ah. Terserah mereka!" dumelku seraya mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan yang ada di hadapanku kini.Dikarenakan masalah keluarga tadi, aku sampai harus minta i
"Jadi, masalah ini sudah selesai sampai di sini 'kan?" tanya Mas Ruslan dengan intonasi datarnya yang seperti biasa."Iya!" timpal ibu Sarinah."Kalau begitu, kami bisa pulang duluan 'kan? Aku masih punya banyak pekerjaan," tukas Mas Ruslan."Baiklah, ayo bubar!" pungkas Mbak Dina mengikuti.Karena posisi berdiri kami yang sudah ada di ambang pintu rumah kontrakan ini, Mas Ruslan dapat langsung membuka pintu, dan mengambil langkah keluar."Kamu pamit. Assalamualaikum, semuanya!" ujar Mas Ruslan yang segera aku ikuti dari belakang."Waalaikumsalam!" jawab Mbak Dina seorang.Tanpa menoleh ke arah belakang. Kami terus berjalan menuju sepeda motor yang diparkir Mas Ruslan tidak jauh."Ruslan, ada apa? Kok keluarga kamu rame-rame berkumpul di kontrakan Arumi?""Iya nih, Lan. Tadi kita semua lihat ibu kamu menjambak ibunya si Arumi itu. Mereka ada masalah apa sih sebenarnya?"Warga kampung yang meman