Share

BAB 6

Ibu mertuaku tampak berjengit tidak suka ketika mendengar kalimat yang baru saja meluncur dari bibirku.

"Kenapa? Kamu tidak suka Dimas dan Tiana tinggal di sini? Kamu masih berpikir kalau rumah ini milik suami kamu seorang? Hanya karena Ruslan yang membantu merenovasi rumah ini?" cecar mertuaku dengan garang sambil tangannya berkacak pinggang.

" ... "

Aku terdiam tidak menimpali, tapi mataku mengerjap beberapa kali. Mungkin inilah yang disebut-sebut sebagai firasat wanita. Sejak melihat tatapan cemerlang yang ditujukan wanita itu pada Mas Ruslan, aku tiba-tiba merasakan alarm berbahaya berdering di kedalaman hati.

Agak tidak masuk akal untuk memikirkan ini. Biar bagaimanapun, wanita itu belum genap setahun menjadi istrinya Dimas. Tapi aku juga yakin bahwa apa yang aku lihat waktu itu tidak salah. Sorot mata Tiana menunjukkan ketertarikan pada Mas Ruslan!

"Bukan begitu. Tapi seingatku, awalnya Tiana nggak mau tinggal di rumah ini karena tidak bisa berpisah dengan orang tuanya. Tapi kok sekarang... " Aku tidak menyelesaikan kalimatku dan membiarkannya tergantung begitu saja.

"Ya emang kenapa kalau mereka berubah pikiran sekarang?" sungut mertuaku.

Mendengar sang mertua yang terus menarik urat, aku akhirnya mengendikkan bahu masa bodoh. "Bukan apa-apa. Aku cuma bertanya-tanya aja. Emang nggak boleh?" timpalku tidak mau kalah.

"Huh!" Ibu mertuaku mendengus sinis.

Dia lalu mengibaskan tangan seperti sedang mengusir lalat sembari berkata. "Udah sana pergi ke pasar. Jangan kebanyakan cincong!" serunya.

"Uangnya mana?" pintaku seraya membuka telapak tangan di depan wajah beliau.

Ibu mertua terdengar mendecakkan lidah kesal, tapi tetap merogoh saku dan menyerahkan sejumlah 4 lembar uang seratusan ribu padaku. Setelah memberikan uang itu, ibu mertua langsung berbalik pergi. Meninggalkanku dan Danis di teras rumah.

"Danis mau ikut ibu pergi ke pasar, atau mau nunggu ibu di rumah aja bareng nenek?" tanyaku pada Danis yang sejak tadi memilih bisu.

"Ikut ibu!" jawab Danis tanpa ragu. Sebuah jawaban yang tentu saja sudah aku duga sebelumnya.

"Oke. Danis tunggu di sini dulu, ibu mau masuk ambil keranjang!" Aku berujar sambil bergegas masuk ke dalam rumah.

Mungkin kalian berpikir aku bodoh karena mau-maunya disuruh mertua seperti ini?

Tapi tidak!

Alasanku menurut kali ini tidak lebih karena aku merasa sumpek di rumah. Bahkan jika aku tidak ingin mendedikasikan hidupku dengan hanya melakukan pekerjaan rumah, aku juga tidak akan sepenuhnya berpangku tangan.

Alasan lainnya, karena aku ingin melihat calon toko milikku yang sedang direnovasi dan rencananya akan resmi beroperasi sekitar sebulan kemudian.

"Danis, ayo pergi!" ajakku pada putraku yang telah menunggu dengan manis di teras rumah.

"Yuk!" sambut Danis dengan antusias.

Meski jarak pasar dengan rumah ini tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu 10 menit berjalan kaki. Akan tetapi, aku tetap memilih untuk mengendarai sepeda motor.

Sesampainya di pasar, aku langsung membeli semua bahan yang ada di dalam daftar belanjaan mertua. Tidak hanya itu, aku juga membeli bahan masakan yang ingin aku masak untuk makan siang Mas Ruslan nanti.

Selesai berkeliling pasar, aku mengajak Danis untuk masuk ke dalam minimarket yang cabangnya ada dimana-mana di seluruh Indonesia itu.

"Ibu, beneran boleh beli es krim?" tanya Danis memastikan. Sepasang netra kecilnya terlihat jelas berpendar cemerlang. Tampak antusias sekali.

"Boleh. Tapi cuma satu aja ya,"

"Hm," gumam Danis dengan girang.

Sebelum pulang ke rumah, aku menyempatkan diri untuk melipir ke sebuah ruko yang ada di perempatan jalan dua blok jauhnya dari pasar. Inilah ruko yang telah aku beli dengan penghasilan sendiri dan hendak aku jadikan sebagai toko grosir yang menjual sembako dan kebutuhan sehari-hari lainnya.

"Pagi semua," sapaku pada para pekerja yang tampak sibuk mengecat tembok.

"Pagi, Bu!" sapa mereka sambil lalu.

"Sudah sampai mana progressnya?" tanyaku pada seorang tukang yang bertanggung jawab atas renovasi ruko ini.

"Hampir rampung, Bu!" jawabnya. "Selesai dicat, kita tinggal nyusun rak dan etalase," lanjutnya.

Aku menganggukkan kepala pelan sebagai tanda mengerti. Aku tidak menghabiskan banyak waktu di tempat ini. Setelah bertukar obrolan singkat dan meletakkan beberapa jajanan pasar untuk dikonsumsi oleh para tukang, barulah aku membawa Danis kembali ke rumah.

Setibanya di rumah, aku melihat sebuah mobil Avanza sudah terparkir di garasi kecil rumah. Tanpa perlu bertanya-tanya, aku sudah bisa menebak milik siapa gerangan mobil ini. Pasti milik istri si Dimas itu.

"Assalamu'alaikum!" sahutku mengucap salam sebelum melangkah ke dalam rumah.

"Waalaikumsalam!" jawab ibu mertua dari dalam.

Tanpa mengganggu obrolan seru menantu dan mertua yang sedang berlangsung di ruang tamu itu, aku langsung melipir ke dapur. Saat ini jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Tinggal beberapa jam lagi akan memasuki waktunya makan siang.

Hari ini aku memutuskan untuk membuat tumis kangkung, cumi bakar pedas manis, ayam suwir, udang tepung dan telur dadar.

Aku selesai berjibaku dengan segala tetek bengek perdapuran tatkala jarum jam menunjukkan pukul 1 siang. Sebelum berangkat ke peternakan, aku mandi dan solat Dzuhur terlebih dulu. Tidak lupa aku juga berdandan rapi sebelum menemui Mas Ruslan. Tampil cantik di hadapan suami, bagiku adalah suatu keharusan.

"Mbak Tri, ayo makan siang bareng!" sapa Tiana ketika aku dan Danis sedang melintas di ruang makan.

"Lanjut aja. Aku biasanya makan siang sama Mas Ruslan di peternakan," jawabku sembari mengemas nasi dan lauk pauk ke dalam kotak bekal.

"Jadi kamu mau ke peternakan?" tanya Tiana.

"Hm," jawabku dalam gumaman buru-buru.

"Aku boleh ikut nggak, Tri?" tanya Tiana lagi yang membuat gerakan tanganku seketika berhenti di udara.

Alisku berkerut samar menatap ke arah wanita cantik yang menguarkan aroma perkotaan itu. "Kamu mau ikut? Nggak salah? Aku mau ke peternakan loh," ujarku memperjelas nama tempat yang hendak aku tuju.

Namun, wanita ini justru terkikik pelan menertawakan keterkejutanku. "Iya, Mbak. Aku penasaran aja mau ngeliat peternakan itu kayak gimana. Makanya aku mau ikut. Boleh ya?" pungkas istrinya Dimas ini. Nada suaranya sengaja dibuat terdengar manja.

"Kamu yakin? Bau loh di sana!" ujarku memberi peringatan.

"Nggak apa-apa. Aku benar-benar mau tahu aja!" timpal Tiana bersikeras.

"Yakin?" tanyaku memastikan sekali lagi.

"Mbak jangan khawatir, aku yakin!" balas Tiana tampak percaya diri.

Melihat tekad kuat wanita ini, aku entah kenapa memiliki kecurigaan mengenai tujuannya ingin mengikutiku ke peternakan. Namun, pada akhirnya aku hanya mengendikkan bahu masa bodoh.

"Ya sudah kalau begitu," ujarku.

"Asyik!" serunya dengan kekanakan yang membuatku ingin muntah.

"Ti, kamu yakin? Mending di rumah aja. Di peternakan nggak ada yang menarik. Adanya cuma sapi doang," ujar ibu mertuaku mencoba untuk melarang Tiana mengikutiku.

"Nggak apa-apa, Bu. Aku emang mau lihat sapi doang kok. Seumur-umur, aku nggak pernah lihat sapi secara langsung soalnya!" jawab Tiana beralasan.

"Tapi... "

"Bu~" rengek Tiana dalam nada panjang. "Aku baik-baik aja kok," lanjutnya sembari beranjak dari kursi meja makan yang dia duduki.

Melihat keceriaan di wajah cantik menantunya yang satu itu, ibu mertua hanya bisa menghela nafas pelan. "Ya sudah," ucap ibu mertua dengan pasrah.

Di dalam hati, aku hanya mendengus jenaka.

'Mari kita lihat niat apa yang sebenarnya wanita ini miliki. Apakah firasatku benar atau tidak?'

* * *

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status