"Mbak Tri, kita pakai mobil aja ya ke sananya? Aku nggak biasa pakai sepeda motor," pinta Tiana.
"Nggak, aku mau pakai motor!" jawabku dengan tegas."Tapi kasian Danis kepanasan,""Danis baik-baik aja kok," balasku."Bu~" Tiana memanggil ibu mertua yang sedang berdiri di teras rumah. Sedang melepas kepergian sang menantu kesayangannya."Tri, apa salahnya sih pakai mobil. Ini panas banget loh. Gimana kalau kulitnya Tiana nanti terbakar?" tegur mertuaku itu.Aku mendecakkan lidah dengan terang-terangan. "Nggak mau!" jawabku dengan mantap. "Aku udah telat nganter makan siang buat Mas Ruslan. Kalau kamu nggak mau pakai motor, besok aja kamu perginya sama Dimas!" seruku seraya menaiki sepeda motor milikku.Pada akhirnya, wanita ini mau mengalah dan ikut denganku menggunakan sepeda motor. Aku sama sekali tidak mau peduli dengan wajahnya yang terlihat jelas memberengut tak suka.'Siapa suruh kamu sok-sokan mau ikut segala!' batinku dalam hati.Peternakan milik bapak mertua berada di kampung sebelah. Letaknya paling ujung dan lumayan jauh dari pemukiman warga."Udah sampai. Ini dia peternakan bapak," ujarku memperkenalkan peternakan ini pada Tiana.Aku lalu memarkir motor di depan sebuah bangunan yang biasanya dijadikan sebagai tempat istirahat oleh para pekerja. Setelah turun dari kendaraan yang telah membawa kami ke tempat ini, aku tidak luput dari memperhatikan ekspresi wajah Tiana yang terlihat keruh. Wajahnya yang seputih porselen diwarnai semburat merah setelah menahan nafas akibat dari aroma kotoran sapi yang semerbak. Hal ini membuatku ingin tertawa."Haahh~"Hembusan nafas lega kemudian lolos dari hidung Tiana saat mengetahui aroma kotoran sapi tidak sampai di tempat ini."Sudah aku bilang 'kan kalau di sini bau. Gimana? Mau lanjut liat sapinya?" tanyaku.Walau wajah Tiana menunjukkan kepahitan, tapi dia tetap mengangguk mantap seraya menjawab. "Iya!"Alisku otomatis terangkat tinggi mendengar jawaban ini. Tanpa sadar, sepasang netraku pun meneliti sosok Tiana dari ujung kaki hingga ujung kepala. Begitu seterusnya berulang-ulang.Tiana memiliki proporsi tubuh yang sedikit lebih tinggi dariku. Tubuhnya langsing dan penampilannya menawan meskipun berada dalam balutan baju kaos dan celana jeans biasa. Apalagi fitur wajahnya yang dilengkapi dengan bibir tipis, hidung mancung dan mata almond yang cantik. Belum lagi rambut kecoklatannya yang diikat kuncir kuda. Keseluruhan dirinya menguarkan aura perkotaan yang kental."Kamu yakin?" tanyaku memastikan sekali lagi."Yakin, Mbak!" timpal Tiana mulai terdengar tidak sabar. "Oh ya, Mas Ruslan dimana?" tanyanya kemudian sembari celingak-celinguk ke segala arah.Pertanyaan ini membuat mataku seketika menyipit tidak senang. Kecurigaanku bahwa si Tiana ini memang menaruh perhatian pada Mas Ruslan semakin kental. Namun, aku tidak akan bertindak norak dengan cara melabraknya.Begitu seorang pekerja keluar dari ruangan di depan kami, aku segera menghentikannya."Adam, Mas Ruslan ada di mana?" tanyaku pada seorang pria bernama Adam yang seusia denganku itu."Mas Ruslan lagi keluar jual sapi," jawab pria itu. "Sebentar lagi juga balik, Mbak. Ditunggu aja!" sambungnya dengan sopan.Aku menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti. "Oh ya, Dam. Perkenalkan ini Tatiana, istrinya Dimas. Katanya dia mau melihat-lihat peternakan. Kamu temani dia, gih!" suruhku pada Dimas."Loh, kamu nggak ikut, Tri?" tanya Tiana dengan nada kaget. Aku bisa melihat bola matanya membulat lebar ketika aku mengucapkan kalimat tadi."Nggak ah. Aku ke sini hampir setiap hari. Bosan kali liat sapi sama nyium bau kotorannya terus," jawabku dengan santai."Tapi... ""Nggak apa-apa kok. Di sini aman. Kamu keliling-keliling aja sama Adam. Kan katanya kamu belum pernah lihat sapi," ujarku memotong nada keraguan istrinya Dimas ini. Lebih tepatnya, aku malas jika harus terlibat obrolan berbelit-belit dengannya."Dam, kamu jaga istrinya Dimas baik-baik ya!" pesanku pada Adam."Sip, Mbak!" jawabnya dengan antusias.Tanpa menunggu setuju atau tidaknya wanita ini, aku bergegas menyeret langkah ke dalam ruangan yang khusus untuk Mas Ruslan. Di tempat inilah, aku menunggu kembalinya Mas Ruslan."Danis makan duluan ya," ujarku pada Danis. Kasian putraku ini pasti sudah kelaparan sejak tadi. Untungnya, anak baik ini dengan patuh mengangguk.Baru beberapa suap makanan pindah ke dalam perut Danis, pintu yang ada di belakang kami perlahan terbuka. Memunculkan sosok Mas Ruslan yang bertubuh tegap."Kalian sudah lama?" tanya Mas Ruslan sambil menghampiriku.Aku tidak langsung menjawab karena sibuk terpana pada ketampanan suamiku ini. Mas Ruslan tingginya mencapai 185 sentimeter. Tubuhnya lurus dan tegap. Kulitnya kecoklatan karena terlalu sering terbakar sinar mentari. Alisnya tebal dan sorot matanya tajam, yang bisa membuat jiwaku senantiasa bergetar. Belum lagi dengan otot-otot lengan yang terbentuk setelah melakukan pekerjaan keras itu.Suara kekehan ringan yang bersumber dari depanku itu membuat wajahku otomatis memerah."Apakah Mas tampan?" tanya Mas Ruslan seraya menjawil daguku agar tetap terangkat mengarah padanya.Dengan malu-malu, aku lantas menganggukkan kepala. Bahkan setelah 5 tahun menikah, hati ini masih berdebar-debar rikuh dibuat olehnya."Iler kamu hampir menetes," ujar Mas Ruslan sambil menyapukan ibu jarinya pada sudut bibirku.Aku tahu suamiku ini hanya bercanda. Tapi entah kenapa, aku otomatis menyesap ludah dengan tidak tahu malu di depannya. Hal ini membuat Mas Ruslan terkekeh semakin menjadi-jadi. Diapun lalu mengecup puncak kepalaku bergantian dengan Danis."Jadi, apa kalian udah lama di sini? Kenapa tidak telepon?" tanya Mas Ruslan sembari mengambil tempat duduk di sampingku"Belum terlalu," jawabku. "Kamu tahu nggak Mas, kalau aku ke sini sama siapa?" lanjutku memancing topik obrolan."Emang sama siapa?" tanya Mas Ruslan acuh tak acuh. Tangannya sibuk membuka kotak bekal."Sama Tiana!" beritahuku."Oh," timpal Mas Ruslan datar.Nada suara yang digunakan Mas Ruslan tidak menunjukkan ketertarikan yang membuatku girang setengah mati."Kayaknya dia naksir kamu deh, Mas!" pungkasku."Kamu jangan nyari penyakit deh," tegur Mas Ruslan.Dia kemudian mengambil suapan pertama. Akupun mengikuti jejak suamiku ini dengan turut mengambil suapan pertama. Sementara Danis, dia sama sekali tidak menghiraukan kedua orang tuanya ini, dan terus fokus pada makanan yang ada di hadapannya."Tapi beneran loh, Mas. Aku udah perhatiin dia dari pas acara syukuran kemarin. Terus tahu juga, nggak? Kalau dia mulai hari ini akan tinggal di rumah bareng sama kita?" beritahuku dengan menggebu-gebu.Gerakan tangan Mas Ruslan yang hendak menyuap makanan spontan berhenti di udara. "Kamu yakin?" tanya Mas Ruslan dengan kening berkerut.Aku mengangguk cepat. "Iya. Menurut kamu kenapa dia tiba-tiba mau tinggal di rumah bareng sama kita? Dia sampai belain ikut ke sini pasti karena mau melihat kamu. Tapi aku arahin dia sama Adam. Enak aja mau modus sama kamu!" seruku sambil mendengus sinis."Hush. Kamu jangan ngomong gitu. Dia istrinya Dimas!" tegur Mas Ruslan.Aku kembali mendengus. "Pokoknya awas ya kalau kamu sampai tergoda sama dia. Aku potong titit kamu!" Aku berujar memberi ancaman."Waduh, jangan dong!" timpal Mas Ruslan dengan nada jenaka."Huh!" Aku mendengus untuk yang kesekian kali sembari melengos dan mulai berfokus pada makanan yang ada di depanku.Setelah itu, kami mulai menikmati makan siang ini dalam keheningan yang harmonis. Hingga masing-masing kotak bekal kami tandas, aku mulai bertanya pada Mas Ruslan."Kamu tadi beneran habis jual sapi atau pergi ke toko?" tanyaku."Dua-duanya benar!" jawab Mas Ruslan.Aku menganggukkan kepala pelan. Setiap kali mengingat perihal toko kami yang tidak diketahui oleh mertua itu, selalu bisa membangkitkan senyum di wajahku."Bagaimana keadaannya? Semua lancar?" tanyaku."Alhamdulillah, lancar!" jawab Mas Ruslan.Ketika aku hendak membuka mulut untuk menanggapi informasi menyenangkan ini, suara mendayu yang terdengar mengerikan berhembus dari arah pintu ruangan yang terbuka setengah."Mas Ruslan~"* * *"Mas Ruslan~"Aku dan Mas Ruslan spontan saling lirik. Kami tidak perlu menoleh ke arah sumber suara untuk mengetahui siapa gerangan pemilik suara tersebut. Dengan mata sedikit membola, aku menatap lekat ke arah Mas Ruslan. Bibirku berkomat-kamit tanpa suara, membentuk seuntai kalimat tanya. 'Dia tidak mendengar apa-apa 'kan?' Namun, Mas Ruslan mengendikkan bahu pelan sebagai tanda bahwa dia juga tidak tahu. Gelombang kekesalan yang datangnya entah darimana, tiba-tiba menelusup ke dalam hatiku. Apalagi saat di detik berikutnya, Tiana mendorong pintu ruangan Mas Ruslan hingga menjeblak terbuka. Kami bahkan belum sempat mempersilakan wanita ini untuk masuk! "Ih, Mbak Astri. Kenapa nggak bilang kalau Mas Ruslan udah datang sih~" ujar Tiana dengan nada merajuknya. Mungkin di mata suaminya, nada suara merajuk centil seperti ini akan terdengar lucu. Tetapi bagiku, nada suara ini terdengar menyebalkan. Terutama sekali setelah Tiana datang di waktu yang tidak tepat. "Kamu 'kan ke sini ma
Dikarenakan desahan lega dan ucapan penuh syukur Tiana itu, aku tidak lagi memiliki niat untuk menguping lebih lanjut pembicaraan mereka. Cukup tahu saja alasan kenapa Tiana sampai ingin tinggal di rumah ini segala. "Selama tidak mendekati Mas Ruslan, bodo amatlah kalau dia mau menguasai rumah ini dan juga peternakan itu," gumamku pada diri sendiri. Aku lalu menutup pintu kamar tidur kami dan menggiring Danis untuk mencuci tangan dan kaki sebelum tidur siang. Sambil berbaring di atas ranjang, aku menyempatkan diri untuk menekuri pekerjaanku. Sejak empat tahun lalu, saat usia Danis masih beberapa bulan, aku memulai profesi sebagai penulis. Awalnya aku hanya iseng untuk mengisi waktu luang sekaligus ingin mengeluarkan unek-unek. Siapa yang menyangka bahwa profesi ini bisa mendatangkan rezeki yang melimpah untukku pribadi. Kemudian dari hasil menulis itu, aku sudah bisa membeli sawah yang luasnya sekitar 5 are. Sawah itu letaknya di kampung halamanku dan dikelola oleh orang tuaku. Ti
"ASTRI!"Raungan marah ibu mertua bergema bersaing dengan suara azan di masjid yang tak jauh. Gelegar teriakan itu menarik semua penghuni rumah untuk berdatangan. "Ada apa ini?" tanya bapak mertua yang muncul tergesa dari dalam rumah dengan diikuti oleh Tiana. Bahkan Dimas yang baru saja tiba bergegas menghampiri ibunya. "Bu, ada apa? Kok teriak-teriak?" tanya Dimas. "Ini loh Dim, kakak ipar kamu!" seru ibu mertua seraya menunjuk ke arahku dengan jari telunjuknya yang sudah berkerut. "Ada apa lagi dengan Mbak Astri, Bu?" tanya Dimas dengan lembut. Ibu mertua menggelengkan kepala tampak tidak berdaya. Beliau juga meremat kain daster yang ada di bagian dadanya dengan dramatis. "Ibu nggak sanggup lagi, Dim!" ujar ibu mertua. Suaranya terdengar serak dan amat lesu. "Kenapa?" tanya Dimas lagi. Setitik air mata tak terduga perlahan jatuh menitik dari sudut mata tua wanita paruh baya ini. Aku dan Mas Ruslan yang menjadi tersangka otomatis saling melempar lirikan. "Apa salah jika ibu
"Kamu sungguh berhati dengki, Mbak!" Di sepanjang acara makan malam tadi, kata-kata Tiana itu terus bergema di dalam kepalaku. Hal itu sampai membuatku kehilangan nafsu makan. Bukannya aku tidak tahu bahwa apa yang aku lakukan ini memang sesuai dengan apa yang dituduhkan Tiana padaku. Akan tetapi, menyadari sendiri dan ditegur oleh orang lain itu rasanya sungguh berbeda. Kata-kata Tiana itu berhasil menohok jantungku! "Kalau terus begini, aku bukan hanya akan menambah penyakit hati. Tapi juga menambah dosa!" gumamku. Saat ini, aku dan Mas Ruslan sedang bergelung di atas ranjang kami dan hendak bersiap untuk tidur. Kusandarkan kepala pada bahu suamiku, dengan lengan kananku menggurita di atas perutnya yang keras. Sementara tangan kanan Mas Ruslan tersampir di bahuku, sambil jemarinya bermain-main dengan ujung rambutku. "Kamu memikirkan kata-kata Tiana tadi?" tanya Mas Ruslan yang paling bisa mengerti aku. Akupun tidak ragu untuk menganggukkan kepala membenarkan. "Mas, capek bange
"Tri, kamu... ""Kenapa bisa anak sekecil Aldi bisa menyebut sepupunya sendiri sebagai pengemis? Ini pasti karena Mbak Dina nggak bisa mendidik anak dengan baik 'kan?!" Aku meraung dengan marah hingga menyela perkataan ibu mertua yang hendak menegurku karena telah membuat cucu kesayangannya menangis. "Jangan sembarangan kamu ya!" balas Mbak Dina tidak kalah marahnya. "Terus kenapa Aldi bisa menyebut Danis sebagai pengemis? Dan ini bukan yang pertama kalinya loh. Apa selama ini Danis pernah minta-minta sama Aldi? Ini pasti ajaran kamu nih, Mbak!" seruku terus menyudutkan Mbak Dina. "Astri, diam kamu!" jerit ibu mertua dengan suaranya yang melengking tinggi. "Kenapa aku disuruh diam?!" Aku semakin mengamuk tidak terima."Karena kamu sudah membuat Aldi menangis!" balas ibu mertua tidak mau kalah. Perdebatan ini menyebabkan suasana di ruang tamu seketika menjadi seperti minyak panas yang dipercikkan air. Aku lantas melirik garang ke arah Aldi yang masih sesenggukan sambil bersembunyi
[Mas, aku bertengkar lagi dengan ibu dan Mbak Dina. Hari ini aku mau mengungsi aja dulu ke rumah orang tuaku,]Sebelum bertolak menuju rumah orang tuaku, aku terlebih dulu mengirim pesan meminta izin pada Mas Ruslan. Untungnya aku tidak perlu menunggu waktu lama sampai pesan balasan dari Mas Ruslan tiba. [Oke. Hati-hati di jalan. Nanti Mas nyusul,]Setelah mendapat persetujuan singkat dari suamiku itu, barulah aku memacu sepeda motorku meninggalkan rumah mertua. Jarak antara rumah mertua dan rumah orang tuaku itu sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar 30 menit lamanya. "Assalamu'alaikum!" ucapku setibanya di sana. "Waalaikumsalam!" jawab orang dari dalam rumah. "Loh, Mbak Astri?!" seru Wisnu dengan nada terkejut ketika melihat kehadiranku di depan pintu rumah. Bukan apa-apa, tapi hari ini memang bukan jadwalnya aku datang berkunjung ke rumah ini. Biasanya aku dan Mas Ruslan kebagian jatah menginap di sini pada hari sabtu dan minggu. Tapi sekarang m
Aku yang sudah selesai memasak kemudian melanjutkan kegiatan dengan menyapu halaman rumah dan menyiram bunga-bunga. Seluruh kegiatan rumah tangga ini aku lakukan dengan perasaan gembira. Hingga satu jam lagi mendekati waktunya azan maghrib, barulah sosok bapak dan ibu terlihat pulang dari sawah. Aku yang sedang duduk di teras rumah sambil mengetik alur cerita untuk aku posting nanti malam segera meninggalkan pekerjaan itu untuk menyambut mereka berdua. "Assalamu'alaikum!" ucap ibu dan bapak secara serentak. "Waalaikumsalam!" jawabku dengan antusias. "Loh, Astri? Kamu kok di sini?" tanya ibu dengan nadanya yang terdengar sedikit heran. Aku spontan memanyunkan bibirku. "Iihh, ibu nggak suka ya lihat Astri di sini?" tanyaku dengan nada merajuk yang dibuat-buat. "Ya tumben aja gitu," jawab ibuku. "Jangan bilang kamu lagi berantem sama ibu mertua kamu ya?" tebak ibu sambil menatapku dengan wajah meringis geli. Aku lantas mendengus pelan tanpa bantahan. Wanita paruh baya yang telah m
"Maaf, Mbak. Aku tidak mampu menolak!" ucap Wisnu dengan wajah cengengesannya ketika melihatku memasang wajah garang. "Sebentar lagi waktunya makan malam. Kenapa kamu malah beliin dia es krim sama snack?" tanyaku dengan nada frustrasi. "Maaf, Mbak~" ucap Wisnu sekali lagi. Dengan postur badannya yang tinggi dan tegap, nada mendayu-dayu penuh permohonan maaf itu kedengarannya tidak cocok sama sekali. Sementara Wisnu sedang aku sidang, putra cilikku itu justru sedang kegirangan menunjukkan es krim dan jajanan yang penuh di tangannya pada ibuku. "Danis, sayang. Jajan sama es krimnya di makan besok ya, Nak. Habis solat maghrib kita mau makan malam loh," tegur ibuku pada cucu kecilnya. "Em~" tolak Danis sembari menyembunyikan makanannya di belakang punggung. "Kamu lihatkan? Harusnya kalau dia nangis, kamu biarin aja!" dumelku sambil menjewer telinga Wisnu. "Aku nggak tega, Mbak!" ujar Wisnu berkilah di sela-sela suara