Share

BAB 7

"Mbak Tri, kita pakai mobil aja ya ke sananya? Aku nggak biasa pakai sepeda motor," pinta Tiana.

"Nggak, aku mau pakai motor!" jawabku dengan tegas.

"Tapi kasian Danis kepanasan,"

"Danis baik-baik aja kok," balasku.

"Bu~" Tiana memanggil ibu mertua yang sedang berdiri di teras rumah. Sedang melepas kepergian sang menantu kesayangannya.

"Tri, apa salahnya sih pakai mobil. Ini panas banget loh. Gimana kalau kulitnya Tiana nanti terbakar?" tegur mertuaku itu.

Aku mendecakkan lidah dengan terang-terangan. "Nggak mau!" jawabku dengan mantap. "Aku udah telat nganter makan siang buat Mas Ruslan. Kalau kamu nggak mau pakai motor, besok aja kamu perginya sama Dimas!" seruku seraya menaiki sepeda motor milikku.

Pada akhirnya, wanita ini mau mengalah dan ikut denganku menggunakan sepeda motor. Aku sama sekali tidak mau peduli dengan wajahnya yang terlihat jelas memberengut tak suka.

'Siapa suruh kamu sok-sokan mau ikut segala!' batinku dalam hati.

Peternakan milik bapak mertua berada di kampung sebelah. Letaknya paling ujung dan lumayan jauh dari pemukiman warga.

"Udah sampai. Ini dia peternakan bapak," ujarku memperkenalkan peternakan ini pada Tiana.

Aku lalu memarkir motor di depan sebuah bangunan yang biasanya dijadikan sebagai tempat istirahat oleh para pekerja. Setelah turun dari kendaraan yang telah membawa kami ke tempat ini, aku tidak luput dari memperhatikan ekspresi wajah Tiana yang terlihat keruh. Wajahnya yang seputih porselen diwarnai semburat merah setelah menahan nafas akibat dari aroma kotoran sapi yang semerbak. Hal ini membuatku ingin tertawa.

"Haahh~"

Hembusan nafas lega kemudian lolos dari hidung Tiana saat mengetahui aroma kotoran sapi tidak sampai di tempat ini.

"Sudah aku bilang 'kan kalau di sini bau. Gimana? Mau lanjut liat sapinya?" tanyaku.

Walau wajah Tiana menunjukkan kepahitan, tapi dia tetap mengangguk mantap seraya menjawab. "Iya!"

Alisku otomatis terangkat tinggi mendengar jawaban ini. Tanpa sadar, sepasang netraku pun meneliti sosok Tiana dari ujung kaki hingga ujung kepala. Begitu seterusnya berulang-ulang.

Tiana memiliki proporsi tubuh yang sedikit lebih tinggi dariku. Tubuhnya langsing dan penampilannya menawan meskipun berada dalam balutan baju kaos dan celana jeans biasa. Apalagi fitur wajahnya yang dilengkapi dengan bibir tipis, hidung mancung dan mata almond yang cantik. Belum lagi rambut kecoklatannya yang diikat kuncir kuda. Keseluruhan dirinya menguarkan aura perkotaan yang kental.

"Kamu yakin?" tanyaku memastikan sekali lagi.

"Yakin, Mbak!" timpal Tiana mulai terdengar tidak sabar. "Oh ya, Mas Ruslan dimana?" tanyanya kemudian sembari celingak-celinguk ke segala arah.

Pertanyaan ini membuat mataku seketika menyipit tidak senang. Kecurigaanku bahwa si Tiana ini memang menaruh perhatian pada Mas Ruslan semakin kental. Namun, aku tidak akan bertindak norak dengan cara melabraknya.

Begitu seorang pekerja keluar dari ruangan di depan kami, aku segera menghentikannya.

"Adam, Mas Ruslan ada di mana?" tanyaku pada seorang pria bernama Adam yang seusia denganku itu.

"Mas Ruslan lagi keluar jual sapi," jawab pria itu. "Sebentar lagi juga balik, Mbak. Ditunggu aja!" sambungnya dengan sopan.

Aku menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti. "Oh ya, Dam. Perkenalkan ini Tatiana, istrinya Dimas. Katanya dia mau melihat-lihat peternakan. Kamu temani dia, gih!" suruhku pada Dimas.

"Loh, kamu nggak ikut, Tri?" tanya Tiana dengan nada kaget. Aku bisa melihat bola matanya membulat lebar ketika aku mengucapkan kalimat tadi.

"Nggak ah. Aku ke sini hampir setiap hari. Bosan kali liat sapi sama nyium bau kotorannya terus," jawabku dengan santai.

"Tapi... "

"Nggak apa-apa kok. Di sini aman. Kamu keliling-keliling aja sama Adam. Kan katanya kamu belum pernah lihat sapi," ujarku memotong nada keraguan istrinya Dimas ini. Lebih tepatnya, aku malas jika harus terlibat obrolan berbelit-belit dengannya.

"Dam, kamu jaga istrinya Dimas baik-baik ya!" pesanku pada Adam.

"Sip, Mbak!" jawabnya dengan antusias.

Tanpa menunggu setuju atau tidaknya wanita ini, aku bergegas menyeret langkah ke dalam ruangan yang khusus untuk Mas Ruslan. Di tempat inilah, aku menunggu kembalinya Mas Ruslan.

"Danis makan duluan ya," ujarku pada Danis. Kasian putraku ini pasti sudah kelaparan sejak tadi. Untungnya, anak baik ini dengan patuh mengangguk.

Baru beberapa suap makanan pindah ke dalam perut Danis, pintu yang ada di belakang kami perlahan terbuka. Memunculkan sosok Mas Ruslan yang bertubuh tegap.

"Kalian sudah lama?" tanya Mas Ruslan sambil menghampiriku.

Aku tidak langsung menjawab karena sibuk terpana pada ketampanan suamiku ini. Mas Ruslan tingginya mencapai 185 sentimeter. Tubuhnya lurus dan tegap. Kulitnya kecoklatan karena terlalu sering terbakar sinar mentari. Alisnya tebal dan sorot matanya tajam, yang bisa membuat jiwaku senantiasa bergetar. Belum lagi dengan otot-otot lengan yang terbentuk setelah melakukan pekerjaan keras itu.

Suara kekehan ringan yang bersumber dari depanku itu membuat wajahku otomatis memerah.

"Apakah Mas tampan?" tanya Mas Ruslan seraya menjawil daguku agar tetap terangkat mengarah padanya.

Dengan malu-malu, aku lantas menganggukkan kepala. Bahkan setelah 5 tahun menikah, hati ini masih berdebar-debar rikuh dibuat olehnya.

"Iler kamu hampir menetes," ujar Mas Ruslan sambil menyapukan ibu jarinya pada sudut bibirku.

Aku tahu suamiku ini hanya bercanda. Tapi entah kenapa, aku otomatis menyesap ludah dengan tidak tahu malu di depannya. Hal ini membuat Mas Ruslan terkekeh semakin menjadi-jadi. Diapun lalu mengecup puncak kepalaku bergantian dengan Danis.

"Jadi, apa kalian udah lama di sini? Kenapa tidak telepon?" tanya Mas Ruslan sembari mengambil tempat duduk di sampingku

"Belum terlalu," jawabku. "Kamu tahu nggak Mas, kalau aku ke sini sama siapa?" lanjutku memancing topik obrolan.

"Emang sama siapa?" tanya Mas Ruslan acuh tak acuh. Tangannya sibuk membuka kotak bekal.

"Sama Tiana!" beritahuku.

"Oh," timpal Mas Ruslan datar.

Nada suara yang digunakan Mas Ruslan tidak menunjukkan ketertarikan yang membuatku girang setengah mati.

"Kayaknya dia naksir kamu deh, Mas!" pungkasku.

"Kamu jangan nyari penyakit deh," tegur Mas Ruslan.

Dia kemudian mengambil suapan pertama. Akupun mengikuti jejak suamiku ini dengan turut mengambil suapan pertama. Sementara Danis, dia sama sekali tidak menghiraukan kedua orang tuanya ini, dan terus fokus pada makanan yang ada di hadapannya.

"Tapi beneran loh, Mas. Aku udah perhatiin dia dari pas acara syukuran kemarin. Terus tahu juga, nggak? Kalau dia mulai hari ini akan tinggal di rumah bareng sama kita?" beritahuku dengan menggebu-gebu.

Gerakan tangan Mas Ruslan yang hendak menyuap makanan spontan berhenti di udara. "Kamu yakin?" tanya Mas Ruslan dengan kening berkerut.

Aku mengangguk cepat. "Iya. Menurut kamu kenapa dia tiba-tiba mau tinggal di rumah bareng sama kita? Dia sampai belain ikut ke sini pasti karena mau melihat kamu. Tapi aku arahin dia sama Adam. Enak aja mau modus sama kamu!" seruku sambil mendengus sinis.

"Hush. Kamu jangan ngomong gitu. Dia istrinya Dimas!" tegur Mas Ruslan.

Aku kembali mendengus. "Pokoknya awas ya kalau kamu sampai tergoda sama dia. Aku potong titit kamu!" Aku berujar memberi ancaman.

"Waduh, jangan dong!" timpal Mas Ruslan dengan nada jenaka.

"Huh!" Aku mendengus untuk yang kesekian kali sembari melengos dan mulai berfokus pada makanan yang ada di depanku.

Setelah itu, kami mulai menikmati makan siang ini dalam keheningan yang harmonis. Hingga masing-masing kotak bekal kami tandas, aku mulai bertanya pada Mas Ruslan.

"Kamu tadi beneran habis jual sapi atau pergi ke toko?" tanyaku.

"Dua-duanya benar!" jawab Mas Ruslan.

Aku menganggukkan kepala pelan. Setiap kali mengingat perihal toko kami yang tidak diketahui oleh mertua itu, selalu bisa membangkitkan senyum di wajahku.

"Bagaimana keadaannya? Semua lancar?" tanyaku.

"Alhamdulillah, lancar!" jawab Mas Ruslan.

Ketika aku hendak membuka mulut untuk menanggapi informasi menyenangkan ini, suara mendayu yang terdengar mengerikan berhembus dari arah pintu ruangan yang terbuka setengah.

"Mas Ruslan~"

* * *

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Martina Holmes
lanjut bgs ceritanya
goodnovel comment avatar
Erna Wati
Ceritanya bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status