Arga tersenyum nakal kepada Hesti yang terlihat penasaran akan syaratnya."Kenapa kamu senyum aneh begitu sih, Ar?" protes Hesti."Uhmm ... syaratnya tuh kamu nikah sama aku. Setidaknya ... pacaran dulu.""Gila aja. Masa Steven mencampuri urusan pribadi orang lain sih?" protes Hesti."Dih ... beneran koq. Dia bilang ... Kalau kamu mau pacaran sama aku, Steven langsung beli 20 unit motor itu. Murah banget ‘kan syaratnya?" jawab Arga yang terlihat tak ada keraguan sama sekali.Hesti memandang Arga dengan sangat serius dan membuat Arga grogi sendiri. Lalu tiba-tiba wanita itu tertawa terbahak-bahak, sampai matanya berkaca-kaca."Arga, kamu ini… selalu saja ada akal-akalannya! Kacau banget sih!"Arga mengerutkan kening, wajahnya serius."Aku nggak bercanda, Hes. Aku serius. Aku mau kamu jadi istriku. Setidaknya pacaran dulu sampai kamu siap untuk menikah dengan aku. Memang wajahku gak keliatan serius banget ya sama kamu?"Tawa Hesti perlahan mereda. Dia menatap Arga, mencari tanda-tanda
Setelah pertemuannya dengan Dimas, Hesti masih memikirkan masalah yang dihadapi mantan suaminya itu. Meski hubungan mereka sudah berakhir, ia tidak tega membiarkan Dimas berjuang sendirian—apalagi untuk sesuatu yang penting seperti pengobatan ibu yang tak bisa ditunda atau dibiarkan sama sekali."HES!" panggil Arga di depan lift apartemen yang membuat Hesti kaget saja."Arga." "Koq jalan sambil melamun?" tanya Arga heran. "Ada yang kamu pikirkan?""Hmm ... naik ke atas dulu. Aku mau bicara.""Serius amat.""Yaps.""Ok lah."Mereka berdua pun naik ke dalam lift dan masuk ke ruangan apartemen Arga. Dua orang itu pun segera duduk di sofa. "Ada apa, Hes?""Kamu kan punya banyak teman pengusaha. Apa ada yang mungkin butuh motor untuk sales atau karyawan mereka?" tanya Hesti ragu.Arga mengerenyitkan dahinya. "Motor? Kenapa tiba-tiba ..." Tiba-tiba ia menyadari sesuatu. "Ini untuk Dimas, ya?"Hesti menghela napas. Ia tahu ekspresi Arga itu berarti pertanyaan yang lebih besar: 'Kenapa kamu
Siang itu, Dimas buru-buru menuju kantornya dengan langkah cepat. Ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan: mengurus Purchase Order (PO) untuk penjualan seratus unit motor. Perusahaannya baru saja mendapat pesanan besar dari sebuah perusahaan distributor makanan.Begitu tiba di meja kerjanya, Dimas segera membuka sistem dan mulai mempersiapkan dokumen. Jarinya menari cepat di atas keyboard, matanya fokus pada layar monitor.Tiba-tiba, seseorang berdiri di sampingnya."Sedang apa, Dimas?" suara itu membuatnya menoleh."Oh, Pak Redana," Dimas tersenyum. "Saya sedang mengurus PO untuk penjualan motor. Ada order seratus unit dari perusahaan distributor makanan."Redana, supervisor Dimas, mengerutkan kening. "Seratus unit? Kamu yakin ini bukan order fiktif?"Dimas terdiam sejenak. "Mereka yang telepon saya tadi pagi, Pak. Katanya butuh cepat."Redana menghela napas. "Kamu sudah verifikasi kebenarannya? Jangan sampai kita terjebak order palsu. Kamu loh yang akan dirugikan."Dimas mulai
Pengadilan Agama, JakartaUdara di ruang sidang terasa berat ketika hakim membacakan putusannya: "Perceraian antara Dimas dan Hesti dinyatakan sah."Hesti menghela napas lega. Di sampingnya, Arga memegang bahunya dengan lembut, memberinya kekuatan. Sementara itu, dari seberang ruangan, Dimas berdiri dengan bahu yang lesu, matanya merah oleh penyesalan.Dimas merasa telah membuang berlian untuk sebuah batu kerikil yang akhirnya menyusahkan hidupnya sendiri. Andaikan waktu bisa diputar kembali, ia tak akan pernah berselingkuh dengan Laila. Ia akan menjadi suami yang terbaik untuk Hesti.Sayangnya, waktu tak bisa diputar dan semua ini sudah menjadi kenyataan pahit yang harus Dimas telan atas semua kebodohan yang ia telah lakukan.Setelah sidang usai, Hesti berbalik hendak pergi, tapi Dimas tiba-tiba memanggilnya."Hes, tunggu sebentar..."Arga memandang Hesti, seakan bertanya. Hesti mengangguk halus, memberi isyarat agar Arga memberinya waktu."Aku tunggu di luar," bisik Arga sebelum per
Apartemen Dimas, JakartaRatna menghela napas panjang sebelum mengetuk pintu apartemen Dimas. Di sampingnya, Bu Nani duduk di kursi roda, wajahnya pucat dan tubuhnya lemah. Akhirnya Ratna bisa sampai juga ke Jakarta untuk melakukan perawatan ibunya itu.Tak lama kemudian, pintu unit apartemen Dimas terbuka. "Mas, aku antar Ibu," ujar Ratna saat Dimas membuka pintu.Dimas tertegun sejenak, matanya menyapu kondisi ibunya yang semakin kurus. Hatinya teriris, tapi ia segera tersenyum lemah. "Terima kasih, Rat. Kamu harus cepat kembali ke kampung, kan? Jangan sampai telat sekolah."Ratna mengangguk. "Iya, Mas. Aku doakan yang terbaik buat Ibu dan Mas. Nanti kabari aku tentang perkembangan ibu ya.""Tentu saja, Rat."Kemudian, Ratna pun pergi dari hadapan Dimas dan berpamitan juga dengan Bu Nani.Setelah Ratna pergi, Dimas memandangi ibunya yang tertunduk. "Ibu, ayo kita periksa ke rumah sakit besok."Bu Nani mengangguk pelan, air matanya menggenang. "Maafkan Ibu, Nak. Ibu cuma jadi beban
Hesti pun mengerutkan dahinya. "Gini ya, La. Namanya sumbangan itu seiklasnya loh. Lima juta dari Arga bukan sedikit loh ya. Harap kamu hargai dong." balas Hesti kesal karena Laila tak tahu diri."Mbak ... Pak Arga kan bisa saja membantu membayarkan seluruh biaya rumah sakit aku, Mbak. Kenapa hanya lima juta?"Hesti menarik nafas dalam-dalam. "Mobil Pak Arga saja bagus sekali. Kalau mbak bicara dengan Pak Arga, mungkin akan sangat mudah memberikan sumbangan yang lebih banyak kepadaku.""Eh, kami MAU memberikan segitu! Jangan pernah paksa! Apalgi Arga sama sekali tak kenal kamu. Masih mending dia juga mau memberikan sumbangan kepada kamu. Apalagi aku. Apa kamu gak sadar apa yang sudah kamu lakukan kepadaku?" bentak Hesti tak senang.Niatnya Hesti ingin membantu, tapi Laila malah menjadi menyebalkan."Tapi... aku kan sudah minta maaf.""Maaf-mu itu tak bisa mengembalikan hati aku yang sudah hancur. Trauma yang aku rasakan!" balas Hesti."Hesti! Laila sedang sakit! Harusnya kamu pahami