"Ya karena dia yang pegang uang. Dia yang pegang gaji aku. Biasanya aku hanya diberikan uang jajan saja oleh Hesti. Kalau kurang baru minta."Memang Laila baru satu bulan menikah dengan Dimas. Makanya dia tak tahu apa-apa tentang keuangan Dimas. Ia percaya saja dengan bujuk rayu ibu mertua dan juga Dimas untuk menikahinya. Sekarang Laila merasa lebih terjebak lagi.Suaminya tak pegang kuasa akan keuangan. Lalu bagaimana Laila bisa foya-foya untuk menikmati gaji dari Dimas?"Apa gak bisa dipindahkan untuk transfer gaji kepada Mas sendiri?""Nanti Hesti curiga.""Ish ... makanya mas tuh harus bilang kepada Mbak Hesti kalau kita sudah menikah.""Nanti ya. Kita fokus dulu sama luka kamu. Semoga saja cepat sembuh.""Ish ... ini tuh gara-gara mas.""Kenapa gara-gara Mas?" Dimas heran."Karena tadi aku mau mende
"Maaf La, Mas gak bisa nolak Hesti. Benar-benar maaf. Nanti kalau Mas pulang dari Malaysia, mas kasih kamu oleh-oleh ya. Mas janji .... mas akan kasih kamu oleh-oleh yang mahal."Laila pun mencebikkan bibirnya. Suaminya malah meninggalkan dirinya. Hanya diiming-imingi oleh oleh-oleh mahal.*Pada malam harinya, Ibu Nani pun datang ke rumah Hesti dan Dimas."Kalian mau kemana sih?" tanya Nani penasaran karena melihat Hesti dan Dimas sudah membawa koper masing-masing."Kami mau ke Malaysia, Bu.""Loh, kamu bilang besok, Dim.""Iya, Bu. Uhm ... Hesti menyuruh untuk tinggal di hotel dulu karena tak ada kasur di kamar kami.""Lah, kalau tidak ada kasur di kamar kalian, terus ibu tidur dimana?" protes Bu Nani."Di kamar Laila, Bu." balas Hesti dengan santai."Kamar Laila? Kasurnya kan kecil .
Rumah ..."Laila ..." panggil Nani yang merasa sangat tak nyaman untuk tidur berdua dengan Laila di ranjang single."Ya, bu. Kenapa?" Laila pun membuka kedua matanya."Kamu bisa tidur di lantai gak?""Kenapa, Bu?""Rasanya ibu encok banget tidur sempit-sempitan sama kamu.""Kan aku lagi sakit, Bu. Tangan sama kaki aku sakit banget." Laila menolak. Tapi tak berani kurang ajar terhadap Nani."Duh ... kamu kan masih muda, La. Ibu kan sudah tua. Ini kalau ibu gak bisa tidur dengan nyaman. Nanti ibu bisa sakit loh. Kalau darah tinggi ibu kumat, bisa gawat kan." keluh Nani.Laila kesal setengah mati. Sofa di depan tidak bisa digunakan untuk tidur. Ranjang Hesti sudah tak ada. Bahkan bantal, guling serta selimut pun tak ada.Mungkin ada, tapi lemarinya dikunci oleh Hesti. Jadi Laila tak bisa mengambil apapun.
Wajah Hesti terlihat sangat serius saat ini. Bahkan terlihat sangat khawatir. Namanya juga sandiwara untuk meledek Dimas sekaligus mengancam pria itu."Hmm ... kemarin ini di kantor ada yang ketahuan selingkuh, Mas. Terus ... suaminya itu ternyata selingkuh sama adik sepupunya sendiri. Parah kan tuh, Mas."Dimas menarik nafas dalam-dalam. Apa yang dibicarakan oleh Hesti seperti menyindir dirinya saja. Langsung kena pada sasaran."Mas gak seperti teman kau di kantor itu lah. Mas sangat cinta sama kamu." kilah Dimas mencoba menenangkan Hesti dengan kebohongan lainnya."Aku jadi parno, Mas. Uhm ... bagaimana kalau Laila keluar saja dari rumah kita? Nanti aku bantu carikan pekerjaan untuk dia." usul Hesti. "Aku gak mau kejadian sama teman kantor aku itu menimpa rumah tangga kita. Aku bisa sangat sedih kalau mas melakukan seperti itu dengan Laila.""Laila itu sepupu aku dan aku tak pe
"Sabar, Sayang. Jangan emosi. Mas minta maaf karena sudah ada janji dengan orang tuanya Laila. Keluarga mas itu berhutang banyak terhadap keluarganya Laila." Hesti menarik nafas dalam-dalam. "Mas tahu gak sih ... " "Apa?" Hesti menghela nafas lelah. "Terkadang aku cemburu dengan Laila." "Cemburu kenapa?" "Karena ... jadi dia enak banget. Gak perlu kerja, tapi sudah dapat uang bulanan. Sementara aku ... aku kerja keras." "Laila kan belum ada penghasilan. Lagian dia baru satu bulan di Jakarta, Hes. Wajar kalau dia belum ada penghasilan. Lagian ... dia juga lulusan SMA. Agak susah untuk mendapatkan pekerjaan." kilah Dimas. "Tapi .. dia sama sekali tak mencari pekerjaan, Mas. Diam terus di rumah." protes Hesti. "Harusnya tuh dia usaha cari kerjaan. Bukan diam di Rumah terus. Kan bisa jadi pelayan, jadi apa saja bisa. Yang penting mau usaha!" tegas Hesti
Hesti pergi dengan Dimas, mereka berjalan-jalan di kota Jakarta dengan mobil. Anggap saja Hesti ingin melepaskan penat walaupun untuk sesaat dan dengan orang yang salah. Tujuannya bukan untuk nostagia atau membuat Dimas untuk mencintai dirinya lagi. Tapi hanya untuk mengerjai Laila dan Nani yang berada di rumahnya serta membuat adu domba antara Dimas dan Laila.Kurang kerjaan sih, tapi anggap saja itu membuat Hesti bahagia untuk sementara waktu. "Kita mau menginap di hotel untuk berapa lama, ya?" tanya Dimas."Memangnya kenapa, Mas? Apa kamu mau cepat pulang ke rumah? Apakah kamu sudah tidak betah untuk jalan-jalan bersama aku untuk menghabiskan tahun baru?" tanya Hesti dengan sangat sinis kepada Dimas."Tidak... Terserah kamu saja." Dimas tak berani bertanya lagi. Ia takut jika ia salah mengatakan apapun kepada Hesti."Mas, bagaimana menurut kamu kalau aku resign?""HAH! Kenapa resign?" Dimas sangat kaget dengan ucapan Hesti tiba-tiba."Ya. Aku lelah saja harus kerja terus.""Lalu,
Dimas benar-benar bingung saat ini. Ia tak bisa memilih. Ia butuh uang dari Hesti tapi juga ia masih suka bersama dengan Laila sebagai istri keduanya, namanya juga baru bulan pertama pernikahan, masih hangat-hangatnya mereguk madu."Biar aku pikir dulu." tukas Dimas yang sudah tak bisa berpikir lagi atas permintaan dari Hesti.Hesti mengedikkan bahunya."Terserah. Yang pasti, tidak akan ada uang yang keluar dari dompet aku untuk memberikannya kepada keluargamu atau pun Laila."Dimas tak bisa membantah. Bagaimana pun, itu uangnya Hesti juga."Ya sudah, kita kembali ke hotel saja." putus Hesti.Dimas menganggukkan kepalanya. Mereka pun segera kembali ke hotel.*"La ..." panggil Nani kepada menantu keduanya itu."Iya, bu." Laila masih terus berada di kamar. Kakinya masih sangat sakit kalau digunakan untuk berjalan."Bagaimana selama ini sikap Hesti sama kamu? Apa kamu sudah bilang sama Hesti kalau kamu istri keduanya Dimas?" Nani penasaran."Masih baik sih, Bu. Aku dan Mas Dimas belum b
"Ya Bu. Dimas harus bagaimana?" Dimas pun terlihat sudah tak berani untuk melawan Hesti. Apalagi membela Nani maupun Laila di depan Hesti."Kamu gak perhatikan istri kamu ini? HAH! Kasihan dong Laila. Sudah kaki luka, eh malah kalian tinggal begitu saja."Dimas diam. Kepalanya juga sudah sakit mendengar ocehan dari Nani."Bu ... bisa kita bicara baik-baik dulu bertiga?" pinta Dimas sambil memijit kepalanya yang pening."Apa?""Hmm ... di kamar Laila saja ya."Tiga orang itu pun berjalan pelan ke dalam kamar Laila."Apa yang mau kamu bicarakan Dimas?""Uhm ... Hesti mengatakan uhmm ..." Dimas ragu. Tapi Hesti juga sudah memaksa tadi pagi. Suka atau pun tidak, Dimas pun tak bisa melawan Hesti."Apa? Jangan buat aku penasaran!" tegas Nani."Mulai bu-bulan depan. Uhm ... Hesti tidak akan mengirimkan uang untuk ibu seperti biasanya.""HAH! Kenapa begitu? Lalu, bagaimana ibu harus hidup, Dim?" Nani panik.
"Maksudnya?""Seperti yang kamu dengar, Hes. Bisa gak kalau kita batal cerai?" pinta Dimas.Sontak membuat Hesti membulatkan kedua matanya. Begitu juga dengan Arga. Namun, pria itu masih menahan diri untuk tak berkata-kata kasar kepada Dimas."Kamu lagi sakit ya?" ejek Hesti."Gak. Aku gak sakit, Hes. Aku sangat serius. Aku menyesal sekali dengan apa yang sudah aku lakukan." ujar Dimas yang berusaha mengambil tangan Hesti, tapi Hesti langsung menarik tangannya hingga tak bisa digenggam oleh Dimas."Gak deh. Terima kasih atas tawaran kamu. Tekad aku udah bulat untuk menghentikan semua ini. Aku harap ... kamu gak perlu untuk membuat persidangan menjadi semakin lama. Lagipula, kamu sudah punya wanita lain. Bagaimana dengan Laila? Bukankah kamu sangat mencintainya?" ejek Hesti lagi."Tak bisakah kamu hidup berbarengan dengan Laila?""Haha .... dasar laki-laki egois. Kamu sudah sangat tahu kalau aku gak suka dimadu! Jadi, tak mungkin aku mau hidup berdampingan dengan pelakor itu. Apalagi d
"Uhm ... Gak dulu deh Tante. Kan masih banyak wanita lain yang pas banget untuk Arga." jawab Hesti yang menolak halus akan tawaran dari Marni."Tante rasa ya, Arga tuh suka banget loh sama kamu. Plis jangan tolak." tukas Marni dengan sungguh-sungguh.Hesti menggaruk tengguknya yang tak gatal itu."Gimana ya, Tante. Aku juga masih belum bisa berpikir untuk punya pria yang lain. Aku masih belum bisa menyingkirkan trauma sih." "Tante mengerti. Tapi, gak apa. Kalau Arga dan kamu berjodoh, pasti kalian bisa bersama.""Tante, aku boleh tanya sesuatu?""Apa tuh, Hes?""Kenapa tante tiba-tiba bicara begini sama aku ya?" Hesti sendiri penasaran. "Apa tante gak malu kalau aku misalkan jadian sama Arga?""Malu? Kenapa tante harus malu?" Marni heran."Ya ... satu, aku lebih jauh miskin daripada Arga. Kedua, aku tuh janda loh, Tan. Padahal masih banyak gadis di luar sana yang lebih baik dari aku loh." jelas Hesti."Kalau hati sudah bicara, gak akan ada pikiran untuk yang seperti kamu katakan, Hes
Kring!Ponsel Dimas tiba-tiba saja berbunyi. Pria itu menjawabnya."Kenapa Rat?" "Mas, ini kapan ibu mau dibawa ke Jakarta?""Rat, kayaknya ibu di kampung saja dulu.""Tapi, aku gak bisa loh, Mas. Aku kan harus sekolah.""Hmm ... mbak yang membantu kamu itu?""Dia minta gaji besar buat menjaga ibu, Mas.""Berapa?""Dua juta.""Hadeh, di kampung saja minta bayaran mahal sekali sih."Bahkan gaji Dimas saja sudah sama dengan mbak di kampung. Belum lagi dengan uang sekolah dan kebutuhan dari adiknya. Darimana Dimas bisa mendapatkan uang sebanyak itu?Tak mungkin juga ia harus menggerus tabungannya, sisa dari jual rumah."Begitulah, Mas.""Uhm ... memangnya kamu gak bisa cari yang lebih murah gitu?""Mas ... ini nungguin ibu dua puluh empat jam loh.""Rat, mas juga gajinya kecil sekarang. Belum closing juga untuk motor. Mas tuh uang nya sekarat sekarang. Tolong ngertiin dong.""Ya terus mas maunya gimana? Aku harus putus sekolah untuk menjaga ibu gitu?""Gak gitu juga, La. Bukan gitu maks
"La, Mas pergi ke kantor dulu ya." ujar Dimas yang segera mengambil tasnya."Iya, Mas. Hati-hati ya." balas Laila yang sibuk dengan bahan-bahan makanan yang akan ia bawa ke warung.Dimas mengangguk. Tanpa mencium kening seperti biasanya, pria itu langsung meninggalkan Laila. Bahkan Laila pun seperti orang yang tak peduli kalau Dimas mencium keningnya atau tidak. Hari ini, Dimas izin cuti kerja tanpa sepengetahuan Laila. Ia butuh tahu apa yang sebenarnya dikerjakan oleh Laila. Tapi, tentu saja ia harus pura-pura akan pergi ke kantor.Pria itu menunggu Laila untuk turun dari lift. Ia terus mengamati.Tak lama kemudian, Laila pun turun dengan membawa barang-barang jualan. Wanita itu hanya sendirian dan berjalan menuju ke mini market tempat ia seharusnya berjualan. "Kenapa Laila pakai bajunya terbuka begitu ya?" tanya Dimas yang agak risih saat melihat penampilan Laila.Ia terus memperhatikan dan tak ada yang aneh sama sekali. Laila hanya fokus berjualan saja."Apa aku memang curigaan s
"Kamu kenapa sih? Koq tiba-tiba bicara begitu? Apa kamu lapar hingga hilang konsentrasi?" Arga terlihat aneh dengan sikap dari Erika.Erika pun segera duduk di samping Arga. Wanita itu ingin meyakinkan Arga agar menjadi miliknya kembali."Ar, aku tanya sama kamu. apakah kita bisa kembali seperti dulu? Jadi sepasang kekasih lagi? Bahagia bersama." Erika menatap nanar ke arah Arga."Gak. Sorry ya, Rika. Aku rasa kisah kamu dan aku sudah selesai dan gak bisa dimulai lagi." tolak Arga yang memang sudah tak ingin ada hubungan apapun dengan Erika. Ia muak dengan wanita seperti Erika."Ar ... apa karena kamu sekarang punya wanita lain?" Mata nanar Erika butuh jawaban dari Arga."Yaps. Kamu benar. Aku punya wanita yang aku cintai dan hargai sekarang." Arga mengangguk cepat dan wajahnya terlihat sangat yakin."Apa itu Hesti?""Wah ... kamu tambah pintar. Benar banget. Hesti! Aku akan segera menikah dengan Hesti." tegas Arga tanpa ragu.
"Duduk dulu, Hes." tukas Erika yang mempersilahkan Hesti duduk di hadapannya.Hesti mengangguk. Ia duduk di hadapan Erika.Tatapan Erika pun terasa sangat tak menyenangkan. Wanita itu memperhatikan penampilan Hesti dari ujung rambut sampai ujung kaki."Hmm ... bisakah dipercepat? Aku masih ada meeting." tukas Hesti yang mulai risih dengan tatapan Erika."Aku sudah kembali." ujar Erika penuh rasa kesombongan kepada Hesti.Hesti mengangguk saja."Aku minta kamu menjauh dari Arga." tukas Erika dengan penuh intimidasi kepada Hesti.Hesti ingin tertawa terbahak-bahak. Ternyata prediksi dari dirinya maupun Arga adalah benar. Erika akan meminta dirinya untuk menjauh dari Arga."Wah ... susah sih ini." jawab Hesti dengan tidak serius."Kenapa? Kamu mau uang berapa banyak supaya menjauh dari Arga? Aku bisa memberikan kamu uang berapapun yang kamu minta." tukas Erika yang menjatuhkan harga diri dari Hesti.
Kring!Ponsel Hesti berbunyi ketika ia sedang sibuk membereskan dokumen bersama dengan Arga."Ada yang telepon, Hes." Arga mengingatkan."Sebentar. Aku jawab dulu." Wanita itu segera melihat siapa yang sedang memanggilnya."Hmm ... siapa ya?""Bukan nomor yang kamu kenal kah?" tanya Arga penasaran.Hesti menggelengkan kepalanya."Pinjol kali." ejek Arga."Enak saja! Aku tak pernah melakukan pinjol. Apa mungkin klien baru?""Bisa saja. Jawab dulu saja panggilannya."Hesti menganggukkan kepalanya. Wanita itu segera menjawab panggilan telepon dari nomor yang tak dikenalnya."Halo." sapa Hesti dengan ramah."Apa ini nomor telepon Hesti?" tanya wanita yang ada di seberang telepon sana."Ya. Ini siapa ya?""Aku ... Erika.""Hmm ... ada apa, Erika?" tanya Hesti dengan mengerenyitkan dahinya. Ia sendiri bingung kenapa Erika menghubunginya. 'Apa Erika mau bertanya tentang Arga?
Dimas sangat tak tenang sekarang. Ia menunggu Laila sampai pulang dan bahkan sampai jam sebelas malam pun, wanita itu belum pulang juga.Pusingnya Dimas saat ini. Sudah ada menunggu masalah dengan ibunya, sekarang malah ditambah dengan Laila yang menurutnya sedang berselingkuh dengan orang yang tak ia kenal.Sudah hampir seratus panggilan yang Dimas lakukan ke ponsel Laila, tapi wanita itu sama sekali tak menjawabnya."ARGH! Kamu tuh kemana sih, La?" teriak Dimas sangat kesal. "Apakah kamu selingkuh dengan pria itu? Apa kurangnya aku sih sampai kamu berani selingkuh, La?" umpat Dimas.Setelah jam dua belas malam, akhirnya Laila pulang juga ke unit apartemen. Dimas? Tentu saja pria itu masih terjaga. Ia tak akan bisa tidur tanpa kehadiran Laila dan kejelasan tentang siapa pria yang tadi dipeluk oleh Laila."Dari mana saja kamu? Kenapa baru pulang sekarang?" tanya Dimas dengan suara kencangnya dan membuat kaget Laila yang masuk ke dalam unit apartemen dengan perlahan-lahan."Astaga, Ma
Kring!Ponsel Dimas sudah berbunyi dan panggilan itu berasal dari Ratna."Kenapa, Rat?""Mas, kapan datang ke sini?""Duh ... mas susah nih. Mas baru keterima kerja. Susah juga kalau mas harus pulang kampung. Bisa-bisa mas dipecat, Rat.""Terus ... gimana dengan Mbak Laila?" suara Ratna mulai meninggi."Hmm ... Laila juga baru mulai usaha warung nasi uduknya. Mana bisa ditinggal. Kami kan sewa tempat. Rugi dong, Rat kalau mesti tutup." Dimas memberikan alasan.Ratna pun mulai jengkel dengan kakaknya."Mas ... yang benar saja. Masa aku sendirian untuk merawat ibu? Aku gak bisa, Mas. Sekolah aku gimana?""Mas juga gak bisa bantu banyak, dek."Terdengar Ratna menarik nafas dalam-dalam."Sudah tiga hari aku gak sekolah, Mas. Bisa-bisa aku dikeluarkan dari sekolah." balas Ratna. "Duh ... gimana ya, Rat? Mas juga bingung.""Andaikan mas masih sama Mbak Hesti. Pasti gak akan begini jadinya. Mbak Hesti lebih baik. Kalian sangat egois dan tak sayang kepada ibu.""Dek ... mas sudah dalam prose