Jeremy mengemasi barang-barang beserta pakaiannya ke dalam koper. Ia marah kepada kedua orang tuanya mengenai hubungan bersama Alka tidak direstui. Kemarin, Jeremy diberikan pilihan oleh sang ayah. Tetap memilih menikah dengan Alka tapi putus hubungan antara orang tua dan anak, atau merelakan Alka tapi mendapatkan kepercayaan mengelola perusahaan keluarga. Ia memilih untuk pergi dari rumah itu demi memperjuangkan cinta Alka.
"Mau ke mana kamu Jeremy?" tanya sang ibu saat memasuki kamar.
"Aku mau pergi, Ma," jawab Jeremy.
"Pergi ke mana?" tanya Wilda panik.
"Aku ingin menemui Alka. Walaupun Mama dan Papa tidak mau merestui kami, aku akan tetap memperjuangkanmu cintaku untuk Alka."
"Nak! tolong jangan pergi ...," mohon Wilda.
"Apa jika aku tidak pergi, Mama dan Papa akan merestuiku dengan Alka? Aku rasa tidak."
Wilda menangis melihat sang putra yang akan pergi meninggalkannya. Bagaimana tidak. Seorang anak semata wayang yang ia besarkan memilih pergi hanya untuk memperjuangkan cinta kepada gadis pujaannya.
Jeremy kemudian mengangkat koper dan segera keluar dari kamarnya. Jeremy berjalan dengan cepat menuruni tangga. Di belakang Jeremy, terdapat sang ibu yang melangkah dengan cepat. Wilda berusaha mengejar putranya dan memohon agar jangan pergi meninggalkan rumah.
"Jeremy! Nak! Tolong jangan pergiii ... Mama dan Papa minta maaf karena tak merestuimu dengan gadis pujaan. Tapi Mama dan Papa ingin memberikan yang terbaik untuk kamu."
Jeremy tak menggubris ucapan sang Ibu. Di ruang tamu, terdapat Hasan sedang membaca koran dengan santai dan sama sekali tidak terganggu dengan interaksi Wilda dan Jeremy. Wilda melirik kesal kepada sang suami karena tidak peduli mengenai Jeremy yang akan pergi.
"Papa! Tolong lakukan sesuatu! Anak kita ingin pergi dari rumah karena kita tidak merestui hubungannya dengan Alka. Apa kamu ingin membiarkan anak kita pergi, Pa?" rengek Wilda.
"Untuk apa kita harus menghalanginya? Biarkan saja dia pergi. Anak tidak tahu diri."
Jeremy berhenti sejenak dan menurunkan kopernya. Ia menatap sejenak rumah yang akan ia tinggalkan. Sebelum pergi, Jeremy menatap orang tuanya secara bergantian.
"Tidak apa-apa Papa dan Mama membenci aku yang lebih memilih memperjuangkan Alka. Karena menurutku, mencintai seseorang itu tidak membutuhkan alasan apapun. Dan tidak perlu memandang latar belakangnya, asal dia bisa membawa kebahagiaan untuk kita."
Hasan melipat koran dan memandang dingin putranya. "Baiklah jika itu mau kamu. Silakan pergi dari rumah ini dan perjuangkan wanita itu. Tapi ada syaratnya sebelum kamu pergi dari rumah ini."
"Syarat apa, Pa?" tanya Jeremy.
"Semua kartu yang ada padamu, tolong tinggalkan! Karena itu adalah pemberian dari Papa. Papa tidak ingin kamu menggunakan uang itu untuk membelanjakan wanita itu."
Jeremy menghela napas. "Baiklah tidak masalah. Tanpa bergantung dengan Papa, aku bisa mencari uang sendiri."
Jeremy lalu membuka tasnya lalu mengambil dompet dan mengeluarkan semua kartu ATM serta black card pemberian sang Ayah. Tanpa ragu, ia menaruh semua kartu itu di atas meja.
"Aku pamit Pa, Ma."
Jeremy melangkah pergi dengan tenang sambil menyeret koper dan juga tasnya. Tujuannya ingin terbang ke Yogyakarta menemui gadis pujaan hatinya. Jeremy yakin, meskipun ia sekarang tidak memiliki apapun, Alka tidak mungkin mencampakkan. Alka bukanlah wanita yang materialistis dan gila uang.
Sedangkan Wilda sang Ibu, menangis melihat karena putra kesayangannya pergi dari rumah. Anak laki-laki itu dengan tanpa ragu dan tanpa takut mengenai ancaman sang ayah yang mengambil dan mencabut semua fasilitas yang diberikan. Wilda protes kepada sang suami yang membiarkan anak mereka pergi begitu saja.
"Kenapa kamu membiarkan anak kita pergi, Pa? Aku tidak ingin kehilangan dia. Mengapa kamu tidak melakukan sesuatu untuk menahan dia agar dia tidak pergi meninggalkan kita?"
"Kamu jangan selalu memanjakan anak itu. Sesekali dia harus diberikan pelajaran. Karena dia tidak bisa diperingatkan dan tidak bisa menuruti apa nasehat dan larangan kita sebagai orang tua, maka kita harus mengambil langkah tegas. Kita lihat apakah dia bisa hidup tanpa uang? Aku yakin bahwa Alka tidak akan mungkin menerima dia yang tidak memiliki apa-apa sekarang."
**
Alka berjalan pelan menuruni lereng gunung dengan hati-hati sambil menggendong karung besar berisi sayuran. Karung besar yang ia kaitkan dengan sehelai kain panjang yang biasa disebut jarik itu, berisi kubis yang akan dia jual kepada tengkulak. Hari ini Alka tidak kuliah karena libur. Pekerjaan Alka sebagai pegawai minimarket dikerjakan saat menjalani shift malam.
"Hati-hati kepleset Alka!" ucap wanita paruh baya yang sedang memanen daun bawang.
"Iya, Bu. Makasih."
Jalan setapak yang dilewati oleh Alka terasa licin setelah pagi hari diguyur hujan. Jika tidak berhati-hati berjalan menuruni jalan itu, maka Alka akan terpeleset dan terjungkal. Tak hanya itu, sayuran yang ia gendong juga akan berceceran jika seandainya tidak diikat dengan kuat ujung dari karung itu.
Alka menyeka keringat yang membanjiri pelipisnya. Ia mempercepat langkah karena sebentar lagi sampai di rumah tengkulak. Setelah pulang dari rumah tengkulak, uang hasil menjual kubis ia masukkan ke kantong celana. Harga kubis sangat murah. Namun Alka tetap bersyukur meskipun hasilnya sedikit bisa menambah uang sakunya.
Ketika Alka melangkahkan kaki beberapa meter lagi sampai rumah, ia terpaku dengan sosok pria yang berdiri di depan rumahnya. Pria itu memandang sendu rumah Alka.
"Kamu?!" Alka terkejut melihat kedatangan Jeremy dihadapannya.
"Alka!" Jeremy menoleh ke belakang. Ia melepaskan tasnya, mendekat, dan memeluk Alka. Alka terkejut dan hampir saja terhuyung ke belakang.
"Tolong jangan peluk aku. Aku bau keringat habis panen sayuran." Alka mendorong tubuh Jeremy agar tidak memeluknya. Namun pria itu tidak peduli.
Jeremy menggeleng. "Aku tidak peduli. Aku rindu kamu."
Alka akhirnya pasrah tubuhnya dipeluk erat oleh pria itu. Namun, tatapannya teralihkan dengan koper dan tas yang dibawa oleh Jeremy. Dalam hati, ia bertanya, apakah Jeremy diusir oleh kedua orang tuanya?
"Mas bawa koper dan tas, mau pergi ke mana?" tanya Alka penasaran.
Jeremy melepaskan pelukannya."Boleh aku masuk rumah? Aku lelah setelah merasakan perjalanan jauh."
"Ya sudah. Ayo masuk!" ajak Alka.
Didalam rumah, Alka menyiapkan segelas air minum dan ia berikan kepada Jeremy. Jeremy menerima gelas berisi air dan meminumnya hingga tandas. Alka kemudian menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Jeremy di ruang makan.
"Jadi Mas pergi meninggalkan orang tua untuk menemui aku. Mas yakin tetap ingin menikahi aku meskipun orang tua Mas tidak setuju?"
Jeremy mengangguk. "Iya, Sayang. Aku sungguh sangat mencintai kamu. Tidak ingin kehilangan kamu."
Alka menampilkan senyuman dengan perasaan yang campur aduk. Bohong jika dia tidak bahagia melihat Jeremy yang bertekad memperjuangkan dirinya. Namun disatu sisi, Alka merasa bersalah telah membuat orang tua dan anak saling menjauh.
"Kamu tahu seperti apa latar belakangku, Mas. Aku hanya anak petani dan anak orang miskin. Beda jauh dengan kamu."
"Aku tidak peduli. Aku rela kehilangan segalanya asal jangan kehilanganmu," tegas Jeremy.
Alka menghela napas. "Tolong pikirkan lagi ... Jangan keputusan Mas sekarang akan membuatmu menyesal kemudian hari."
"Apa kamu pikir, aku tidak memikirkan risiko sebelum mengambil keputusan?"
Jeremy menatap wajah Alka dengan lekat. Alka diam menunggu Jeremy yang masih ingin melanjutkan ucapannya.
"Tentu saja aku tahu keputusan apa yang harus aku pilih, dan apa risikonya. Apapun keputusan yang aku ambil, aku harus siap menerima hasilnya walaupun mengecewakanku. Aku tidak pernah menyesali apa yang terjadi. Karena itu semua adalah kehendak Yang Maha Kuasa."
Alka diam dan tidak tahu harus berbicara apa. Jeremy yang menatap Alka dengan kediamannya, membuat pria itu mengerutkan kening. Sebenarnya apa yang dipikirkan oleh Alka?
"Kenapa kamu diam, Alka? Apakah kamu keberatan dengan keputusanku ini? Apa kamu tidak ingin menghargai pengorbananku demi kamu?"
Alka terkejut dengan pertanyaan Jeremy. "Bu-bukan begitu maksudku."
Alka terkejut dengan Jeremy yang berpikiran bahwa ia tidak menghargai pengorbanan pria itu. Alka berusaha mencari kata untuk menjelaskan agar Jeremy tidak salah paham.
"Aku ingin kita segera menikah. Nanti sore kita ke KUA untuk menikah secara sah menurut hukum dan negara." Jeremy mengambil keputusan yang mengejutkan Alka.
Alka melebarkan matanya. "Menikah? Secepat ini?!"
********
"Sah!" Suara para saksi dan wali hakim serempak menjawab penghulu yang memimpin ijab qobul.
Jeremy dan Alka melaksanakan pernikahan di KUA malam itu juga. Setelah Jeremy datang menemui Alka, ia langsung meminta surat pengantar dari kepala desa tempat tinggal Alka untuk menikah. Jeremy menghadiahkan sebuah mahar cincin berlian yang ia beli jauh sebelum ia mengajak Alka ke rumah orang tuanya.
Sebelumnya, Jeremy dan Alka sedikit berdebat untuk melaksanakan pernikahan ini. Alka mengatakan kepada Jeremy untuk tidak terburu-buru menikah. Tapi pria itu salah paham dan mengira Alka mempermainkan perasaan Jeremy. Akhirnya, Alka setuju dengan ajakan Jeremy untuk melakukan prosesi pernikahan di KUA.
Setelah prosesi ijab qobul selesai, dan doa bersama di lakukan, Jeremy dan Alka berdiri di taman belakang gedung KUA.
"Alhamdulillah akhirnya kita resmi menjadi suami istri. Aku berjanji akan melakukan apapun demi membahagiakan kamu," ucap Jeremy menatap dalam netra Alka.
"Aku tidak meminta yang muluk-muluk, Mas. Cukup Mas setia dan tidak pernah menghianati aku."
"Aku tidak akan pernah menodai sumpah janji pernikahan kita. Ingatlah dan tolong kamu pegang kata-kataku ini."
Alka mengangguk. "Aku percaya, Mas."
Diantara mereka berdua, saling mengucapkan janji saling setia dan tidak akan meninggalkan satu sama lain. Bulan purnama malam itu bersinar cukup terang. Bintang-bintang berhamburan menambah keindahan pemandangan alam diwaktu malam. Dan itu semua menjadi saksi bisu Alka dan Jeremy mengucapkan janji.
"Tapi ... Mas? ..." Alka menatap wajah pria yang kini telah resmi menjadi suaminya.
"Ya?" Jeremy tersenyum, "apa, Sayang?"
Alka terlihat ragu untuk berbicara. Takut ucapannya menyinggung Jeremy. Berusaha mengumpulkan keberanian, akhirnya ia bertanya ...
"Semua uang yang kamu miliki, telah diambil seluruhnya oleh orang tua kamu. Apa kamu punya uang untuk biaya hidup kita beberapa bulan ke depan ...?"
Jeremy berlari menyusuri lorong rumah sakit. Ia mempercepat langkah tungkainya untuk sampai di ruang rawat sang istri. Sang ibu memberikan kabar bahwa istrinya telah sadar. Tentu saja hal ini merupakan hal yang melegakan bagi Jeremy sendiri. Sehingga, Jeremy sudah tidak perlu lagi berlarut-larut memikirkan mengenai kematian Diana yang tak wajar. Ada hal yang membuat dia khawatir. Beberapa menit setelah Alka sadar dan melewati serangkaian pemeriksaan oleh Dokter, menjadi tak terkendali setelah mengetahui bayi dalam kandungannya meninggal. Maka dari itu, Jeremy segera datang untuk menenangkan sang istri.Terlihat sang ibu duduk di depan ruangan rawat istrinya. Wilda segera berdiri menyambut kedatangan Jeremy. "Bagaimana keadaan istriku, Ma?" tanya Jeremy dengan nada khawatir. Wilda memejamkan mata dan menghela napas. "Tadi ... dia berteriak histeris tidak ada hentinya. Dokter kemudian menyuntikkan obat penenang. Segeralah masuk ke dalam.""Baik, Ma. Mama sebaiknya pulang ke rumah da
"Kamu tidak salah?" tanya Jeremy menatap tak percaya pada sekretarisnya. Nita menggeleng. "Tidak, Pak. Bapak bisa menghubungi ketua lapas secara langsung."Jeremy bergegas mengambil ponselnya dan menghubungi ketua lapas tempat Diana ditahan. Ia ingin mengkonfirmasi kabar buruk yang terjadi pada Diana Rosita Wirawan. Rangga sendiri membeku karena terkejut setelah mendengar apa yang disampaikan oleh Nita. Jeremy menutup ponselnya dan menghembuskan nafas dengan dalam. Pria itu beralih menatap Rangga yang duduk di sampingnya. Ia pun merasa terkejut sama seperti Rangga."Benar Diana meninggal di tahanan. Menurut saksi dari tahanan, lain dia bunuh diri," beritahu Jeremy. Rangga menggeleng tak percaya. "Bagaimana mungkin?"Rangga terpukul setelah mendengar kabar kematian mantan istrinya. Walaupun Diana telah berbuat sangat jahat, tetapi tidak dipungkiri bahwa masih mencintai wanita itu. Seberapapun buruk sifat Diana dengan segala kejahatan yang dilakukan oleh wanita itu, Diana adalah ibu
Saat ini, Rangga tengah duduk berdua dengan Jeremy di sebuah taman. Rangga yang mengajak bertemu Jeremy karena ingin ada hal yang ingin ia sampaikan. Dan Jeremy menyetujui ajakan bertemu Rangga. "Apa yang akan kamu jelaskan kepada anakmu, ketika dia bertanya tentang ibunya?" tanya Jeremy sambil menatap langit biru yang cerah. Rangga menghela napas dalam. "Ketika dia masih kecil, aku hanya akan mengatakan bahwa ibunya meninggal. Baru setelah ia dewasa akan aku jelaskan semuanya. Aku tidak akan menutupinya."Jeremy menoleh menatap Rangga. "Tidakkah terlalu kejam menceritakan semua?"Rangga terdiam sejenak. Ada rasa yang tidak bisa ia jelaskan. Mengingat anak hasil hubungannya dengan Diana kemungkinan besar tak akan mengenal ibu kandungnya. "Apa menurutmu baik jika aku menutupinya?" tanya Rangga pada Jeremy, "bukannya kalau aku menceritakan, itu bisa menjadi pelajaran untuk anak kami?""Orang tua punya prinsipnya masing-masing. Ada yang menutupi itu semua supaya anak tidak membenci ib
Setelah satu minggu Wilda berseteru dengan mantan menantunya, kini persidangan terakhir Diana bergulir. Hari yang ditunggu akhirnya telah tiba. Yaitu mendengar tuntutan putusan hukuman yang dijatuhkan kepada Diana. Jeremy mengutus pengacaranya untuk mewakili dirinya di sidang terakhir tersebut. Dan pengacara Jeremy, melakukan siaran langsung lewat media sosial agar Jeremy bisa ikut melihat jalannya persidangan.Kejahatan Diana dari bukti-bukti yang diperiksa jaksa dan diteliti lagi oleh hakim, benar-benar menyudutkan bahwa Diana merencanakan pembunuhan. Pembunuhan terhadap Nisa istri Rangga, pembunuhan kepada Naufal putra Jeremy dan Alka, kemudian penculikan Alka yang membuat Alka harus kehilangan janinnya. Kasus tindak pidana yang dilakukan oleh Diana bukan hanya itu. Diana dijatuhi pasal berlapis. Diana dituduh telah dibantu oleh ayah kandungnya untuk mempermainkan hukum. Iqbal juga telah menjalani sidang terkait aksinya membantu menutupi kejahatan putrinya. Pria yang dulunya mer
Setelah melakukan kunjungan ke lapas untuk menemui Diana, Wilda memaksa bertemu ketua lapas. Ia ingin ketua lapas memastikan sebelum Diana menjalani sidang tuntutan, tak boleh ada satupun orang yang mengunjungi wanita itu. Wilda yang notabene orang terhormat walaupun telah mengalami kebangkrutan, tetap dihormati dan dituruti apa yang diminta oleh Wilda. Ketua lapas tak sedikitpun keberatan. Apalagi Jeremy pun menginginkan hal yang sama sebelum Wilda menyampaikan kemauannya. Ibu Jeremy segera pulang ke Jakarta setelah apa yang ia lakukan di Surabaya selesai. Ia tak membuang-buang waktu untuk datang ke rumah sakit melihat keadaan menantunya. "Aku mengetahui apa yang terjadi di sana ....,"Jeremy menyambut kedatangan Wilda dengan perkataan yang mengejutkan. Pria itu rupanya tahu apa yang terjadi saat Wilda menemui Diana di lapas."Tahu tentang apa?" Wilda menatap putranya dengan bingung. "Dia ingin meminta bantuan kepada Mama supaya bebas dari sana, kan?" tanya Jeremy dengan tenang.
Wilda tertawa terbahak-bahak setelah mendengar rentetan permohonan yang diucapkan oleh Diana Rosita Wirawan. Wanita yang merupakan mantan menantunya. Diana sendiri menatap pias wajah ibu dari Jeremy."Apa aku tidak salah dengar? Kamu ingin aku membebaskan mu?" Wilda kembali tertawa disertai tatapan mengejek.Wilda merasa lucu dengan pikiran wanita itu. Apakah Diana berpikir bahwa ia dan sang suami masih memiliki pengaruh yang besar setelah kebangkrutan yang dialami? Jika mereka masih membeli pengaruh besar, itu hanya kepada Jeremy saja."Setidaknya ... Anda sadar diri karena jika bukan bantuan ayah saya, Anda sudah bangkrut dari dulu." Diana menatap tajam ke arah Wilda.Lagi-lagi Wilda tertawa mendengar Diana mengungkit kebaikan ayahnya yang diberikan kepada keluarga Arthur. Wilda dan Hasan tidak pernah memohon kepada Iqbal untuk membantu mereka. Iqbal melakukan semua itu inisiatif sendiri atas nama persahabatan. Dan kebetulan pada saat itu perusahaan Arthur mengalami masalah besar.