Share

Mertuaku Selalu Pilih Kasih
Mertuaku Selalu Pilih Kasih
Author: Yani Artan

Pindah Ke Rumah Mertua

"Belanja online lagi? Jangan boros-boros jadi istri, dong! Kasihan anakku kerja keras tapi duitnya kamu habisin!" bentak Ibu Mertua ketika melihatku menerima paket dari kurir.

"Ya ampun, Bu. Ngagetin aja, ini tuh bajunya Raka. Sengaja aku beli karena dari lahir sama sekali belum pernah beli baju buat dia," jelasku sambil berlalu darinya.

Aku memang belum pernah membelikan anakku baju dari dia lahir hingga sekarang berusia 3 bulan. Karena saat itu ada beberapa saudara dan tetangga yang memberikan kado berupa baju bayi.

Aku pikir uangnya untuk kebutuhan lain terlebih dahulu. Tapi sekarang bajunya banyak yang sudah kekecilan.

Kubuka paket dengan gunting dan mengeluarkan isinya. Alhamdulillah barangnya realpict, kainnya juga adem bisa jadi langganan lagi.

"Itu kayaknya kebesaran kalo buat Raka, cocoknya buat Bagas." Ternyata ibu mertua mengikutiku sampai ke kamar.

Bagas adalah anak dari Irda adik iparku yang juga tinggal disini. Sedangkan kakak suamiku Mbak Ima tinggal di kampung sebelah bersama suaminya. Mas Ikhsan suamiku anak kedua dari 3 bersaudara, satu-satunya anak lelaki di keluarga ini.

"Tapi bu, kasihan Raka bajunya udah pada kekecilan, sedikit pula. Aku sengaja beli agak besar karena bayi kan cepet banget pertumbuhannya," jelasku.

"Alah... gampang nanti tak cariin bajunya Bagas yang udah gak kepake." ucap ibu mertua seraya mengambil baju baru yang kutaruh diatas kasur.

Bagas berusia 5 bulan, hanya terpaut dua bulan dengan Raka, anakku.

Bukan sekali ini saja, waktu kakak lelakiku memberikan stroller bayi untuk Raka, ibu juga memintanya dengan alasan meminjam tapi sampai sekarang di pakai oleh Bagas. Setiap aku memakainya sebentar, tak berapa lama Irda adik iparku itu mengambilnya lagi.

Aku pun cuma bisa pasrah. Nyesek sekali rasanya, tak terasa air mata mengalir kala melihat putraku tertidur pulas dengan wajah malaikatnya.

"Maafkan ibu ya, Nak. Nanti kalo ada rejeki Ibu belikan baju lagi," Kubisikkan kata itu sambil mencium pipi gembulnya.

****

Setelah melahirkan 2 bulan yang lalu, Mas Ikhsan meminta untuk pindah ke rumah orang tuanya. Alasannya karena kurang nyaman berada di rumah orangtuaku.

"Mas, baju Raka yang baru tak beliin diminta sama ibu, katanya buat Bagas," ucapku dengan wajah cemberut pada Mas Ikhsan yang rebahan sepulang kerja sambil main handphone.

"Ya biarin aja, kan kata ibu emang bajunya kebesaran," jawab Mas Ikhsan.

"Ya ampun, Mas. Kamu itu emang gak pernah bisa belain aku, belain anak istri kamu. Selalu saja kamu mentingin keluarga kamu daripada anak istrimu." ucapku ketus.

"Eh anakku baru pulang kerja malah kamu ajak berantem, istri beg* kamu itu," hardik ibu mertua padaku. Rupanya dia menguping pembicaraan kami dari luar pintu kamar.

"Ibu ngapain tiba-tiba masuk, selalu saja nguping pembicaraan orang. Aku juga butuh privasi, Bu." cercaku sembari menahan sesak di dada.

"Terserah aku dong, ini rumahku jadi bebas mau ngapain aja," teriaknya.

Raka yang mendengar teriakan neneknya spontan menangis karena terganggu tidurnya.

"Dasar bayi cengeng dikit-dikit nangis, persis ibunya," makinya kepada Raka.

"Anakku juga cucumu, Bu. Jangan lupa itu!" tegasku. Dan Mas Ikhsan pun ikut bersuara,"Udah bu, jangan teriak-teriak disini, kasihan Raka." Lalu mertuaku pun melengos pergi.

Terdengar suara bapak yang menasehati ibu mertua di depan kamarku."Udah to, Bu. Gak usah mencampuri urusan anak2," ucapnya pada Ibu

****

"Mbak, kamu masak sayur apa? Aku minta ya, busui kan butuh makanan bergizi biar bayinya sehat selalu." jelasnya padaku

" Ada itu sayur bayam," ujarku sembari menunjuk meja makan.

Lalu dia mengambil mangkok besar dan piring yang ada di rak.

"Sisain buatku , soalnya aku belum sempat sarapan," pintaku pada Irda.

"Tinggal dikit nih, mbak. Nanggung, ntar kamu masak sayur lagi aja." ucapnya datar.

Ibu mertua yang duduk di depan televisi bersama Bapak ikut menyahut. "Yaudah habisin aja gak apa-apa, ntar biar dia masak lagi." ucapnya santai.

"kenapa gak kamu aja yang masak sendiri, aku juga busui bayiku juga butuh makanan bergizi." tanyaku dengan wajah datar pada Irda.

"Eh Bagas itu super aktif meskipun badannya kecil, mana sempat Irda masak. Kamu harusnya ngalah sebagai kakak ipar." bela ibu dan Irda pun melenggang pergi.

"Jangan kamu bela terus itu Irda, harusnya dia bisa bangun lebih pagi untuk masak. Dasar anaknya aja yang males, Bu." sela Bapak

Setiap hari aku memasak untuk diriku, suami dan mertua. Meskipun serumah tapi Irda punya dapur sendiri. Tetapi dia jarang sekali masak, dia lebih sering makan bersama kami disini bersama suaminya.

Bapak yang selalu membeli beras untuk kebutuhan kami sebulan, listrik dan air beliau juga yang menanggung. Sedangkan untuk sayur dan lauk pauk aku yang berbelanja.

Kadang bapak memberikan aku uang tanpa sepengetahuan Ibu. Sering aku menolak tapi beliau memaksa katanya untuk Raka.

Bapak berjualan ayam di pasar. Beliau berangkat sebelum subuh dan pulang sebelum siang. Penghasilannya tiap hari tak bisa ditentukan.

****

Aku berada di kamar mandi saat terdengar suara Arka menangis. Buru-buru kutuntaskan acara mandiku dan segera memakai baju. Tetnyata ada ibu mertua di depan televisi. Harusnya dia dengar tangisan Raka tapi kenapa dia gak mau menggendongnya.

Segera kuberikan asi pada bayi gembulku. Kugendong dia menuju ke depan agar bisa menghirup udara segar diluar. Tak lama terdengar suara Bagas menangis dari kamarnya dan ibu mertua pun buru-buru masuk ke kamar untuk menggendong Bagas.

Sungguh berbeda sekali perlakuan mertuaku pada cucu-cucunya. Dan akupun tersenyum miris.

****

Hari ini aku terserang demam, badan terasa panas dan meriang. Akhirnya cuma bisa memasak tumis kangkung dan tempe goreng. Tak kuat rasanya kepala ini buat berdiri lama-lama.

Kulihat depan jendela kamar, ibu menyapu halaman. Ada Bulek Ida, adik dari Ibu sedang duduk di depan teras rumahnya. Dia bertanya pada ibu,"Mana Naila koq gak keliatan dari pagi?"

"Punya mantu perempuan satu kerjaannya molor mulu,malesnya gak ketulungan," jawab Ibu Mertuaku.

"Lah yang biasanya masak, nyapu, ngepel juga dia. Jangan gitu lah sama menantu. Dia juga anak orang harus dihargai." bela Bulek Ida padaku dan mertuaku hanya mencebik setelah itu.

****

Terdengar pintu kamarku diketuk dan dibuka dari luar ternyata Bulek Ida. Tumben kamu gak keluar rumah? Lagi sakit ya, Nduk?" tanya bulek.

Melihatku yang berselimut rapat dan memakai masker, lalu mendekatiku dan memegang keningku."Panas banget ini, Nduk. Kamu harus minum obat. Takut Raka nanti ketularan," bebernya.

"Iya Bulek, tadi gak seberapa, habis buat nyuci dan masak makin menjadi. Belum sempat beli obat, Mas Ikhsan udah pergi kerja." sahutku.

"Yaudah kamu istirahat aja, Bulek mau beli obat dulu.Jangan lupa sarapan ya, biar nanti obatnya bisa langsung diminum," Perintahnya. Aku menganggukkan kepala menurut.

Alhamdulillah Raka tidak rewel hari ini. Saat terjaga dia bermain-main dengan menggigit teether di sampingku. Hingga dia tertidur mungkin karena kecapekan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status