Amanda diusir dari tempat kost di mana ia tinggal bersama Anton. Ia kedapatan bermain serong dengan suami pemilik kost itu. Bukan hanya diusir, tapi juga dipermalukan di tempat umum karena mereka kepergok bermesraan di dalam kamar. Sedangkan Anton memilih tak peduli lagi dengan nasib perempuan itu. Karena sebenarnya dia juga hanya main-main dengannya, apalagi perempuan itu ternyata mudah sekali menjual harga dirinya. Anton berusaha menemui Irda untuk minta maaf, tapi Irda tak mau menerima suaminya itu kembali. Irda berpikir lebih baik bercerai dari pada menghabiskan seumur hidupnya untuk lelaki pengkhianat. Akhirnya Anton memilih pulang kampung ke tempat asal orangtuanya. Meskipun di sana dia sudah tidak ada orangtua setidaknya dia masih punya saudara yang mau menampungnya. Irda untuk saat ini hanya memikirkan mencari nafkah untuk anak semata wayangnya. Ia ingin menghidupi anak dan Ibunya dengan jerih payahnya sendiri. Takdir kehidupan membua
"Belanja online lagi? Jangan boros-boros jadi istri, dong! Kasihan anakku kerja keras tapi duitnya kamu habisin!" bentak Ibu Mertua ketika melihatku menerima paket dari kurir. "Ya ampun, Bu. Ngagetin aja, ini tuh bajunya Raka. Sengaja aku beli karena dari lahir sama sekali belum pernah beli baju buat dia," jelasku sambil berlalu darinya. Aku memang belum pernah membelikan anakku baju dari dia lahir hingga sekarang berusia 3 bulan. Karena saat itu ada beberapa saudara dan tetangga yang memberikan kado berupa baju bayi. Aku pikir uangnya untuk kebutuhan lain terlebih dahulu. Tapi sekarang bajunya banyak yang sudah kekecilan. Kubuka paket dengan gunting dan mengeluarkan isinya. Alhamdulillah barangnya realpict, kainnya juga adem bisa jadi langganan lagi. "Itu kayaknya kebesaran kalo buat Raka, cocoknya buat Bagas." Ternyata ibu mertua mengikutiku sampai ke kamar. Bagas adalah anak dari Irda adik iparku yang juga tinggal disini. Sedangkan kakak suamiku Mbak Ima tinggal di kampung
"Raka dimana, dek? Kok kamu tidur sendirian," tanya Mas Ikhsan sepulang kerja. "Tadi dibawa Bulek Ida, Mas. Aku lagi gak enak badan," ucapku. "Udah minum obat? Aku beliin di warung sebelah ya?" tanya suamiku dengan raut wajah khawatir. " Udah, Mas. Tadi dibeliin sama Bulek Ida. Bulek juga yang bantu momong Raka seharian ini." jelasku. "Ibu malah ngomel mulu liat aku baringan seharian. Pegang Raka juga enggak." imbuhku lagi. "Sabar ya, Ibu mungkin capek makanya begitu. Kamu udah makan belum? Atau mau aku beliin sesuatu?" tanyanya. "Aku pingin bakso yang biasa mangkal di pertigaan, Mas. Udah lama gak makan bakso," pintaku pada lelaki yang baru dua tahun ini membersamaiku. "Siap, bos!" ucapnya sambil tersenyum lebar. Kami pun tertawa bersama. Tumben mas Ikhsan berbaik hati nawarin aku sesuatu. Biasanya juga dia gak peduli mau aku sakit juga. "Ah ... mungkin karena hari ini dia gajian jadi moodnya lagi baik," batinku.**** Mas Ikhsan masuk kamar sambil membawa 2 bungkus bakso,
Tak mau membuang banyak waktu, aku bergegas ke pasar dengan naik ojek yang mangkal di depan gang. Begitu sampai, kubayar ojek dengan uang pas. Tempat pertama yang kutuju adalah penjual bumbu. Kupesan apa yang sudah terdaftar di catatan belanja yang tadi diberikan ibu mertua. Bawang merah, bawang putih, lombok, tomat, berbagai macam bumbu, sayuran seperti kentang, wortel,buncis dan lain-lain. Alhamdulillah pasar sedikit sepi karena sudah agak siangan. Setelah dirasa semua bahan dan keperluan untuk masak besok sudah terbeli akupun pulang. **** Kurang beberapa meter dari rumah aku mendengar suara bayi menangis kencang. Dan aku mengenali suara itu. Iya itu suara Raka, anakku. "Gimana Raka bisa jatuh, Mbak?" Lihat ini kepalanya benjol," kata Bulek Ida. Hatiku juga sempat bertanya, seingatku sebelum pergi sudah aku beri guling disisi kiri kanan juga bawah anakku. Apa karena dia sekarang sudah bertambah aktif. Ah ... entahlah. Lekas aku berlari menghampiri Raka yang menangis kencan
Mas Ikhsan berjalan keluar dan mengangkat ponselnya. "Halo ... iya ada apa, Van? "Maaf sepertinya aku gak bisa keluar lagi. Anakku sakit." ucap Mas ikhsan dengan lawan bicaranya. Setidaknya aku bisa bernafas lega. Mas Ikhsan tidak lagi menuruti permintaan temannya itu.**** Tok! Tok! Tok! Kami yang sedang rebahan di ranjang saling menoleh. Kira-kira siapa yang bertamu di jam 9 malam. Saat Mas Ikhsan hendak beranjak, ternyata Irda sudah membukakan pintu terlebih dahulu. Rupanya adik iparku itu masih menonton televisi bareng Ibu Mertua. Ibu Mertua mengupas bawang merah dan bawang putih, mungkin akan dibuat masak untuk pengajiannya besok. Aku sengaja tak membantu karena Raka lebih membutuhkanku. Suami Irda memang jarang di rumah di jam-jam segini. Dia lebih suka nongkrong bersama temannya diluar. Hampir tengah malam dia baru pulang. "Maaf ganggu malam-malam, Mas Ikhsannya ada?" "Ada, Mbak. Silakan
"Nak Vanya, cantik sekali ... gamisnya juga bagus," ucap Ibu Mertua. "Terima kasih, Bu ...," jawab perempuan itu malu-malu. Setelah itu Irda dan Mbak Ima bergabung bersama Vanya dan Ibu. Entah apa yang mereka obrolkan terlihat seru sekali hingga melupakan aku yang juga anggota keluarga ini. Bapak Mertua datang menyerahkan Raka padaku. Bocah itu tersenyum sumringah kala melihatku. Saat ini dialah pelipur laraku. "Naila, temani Vanya di sini saja ya karena sebentar lagi banyak tamu berdatangan di depan." ucap suamiku basa-basi. "Kau tidak perlu khawatir, Mas. Dia sudah mendapatkan banyak teman," jawabku sambil menatap ke arah Vanya dan kedua iparku. "Seharusnya kau bisa seperti dia agar bisa diterima keluargaku," imbuh Mas Ikhsan. Aku mengernyit menatap Mas Ikhsan. Apa maksud dari perkataannya itu. Aku harus cantik? Atau aku harus berpenghasilan supaya bisa diterima keluarganya? Begitukah. "Jika aku menjadi seperti dirinya,
Adzan subuh membangunkanku dari tidur nyenyakku. Kulirik bayi mungilku ternyata dia masih tertidur lelap. Lekas menuju ke kamar mandi mengguyur tubuh dengan air dingin dan mengambil wudhu. Dua raka'at aku tunaikan, setelah itu kumengangkat tangan di hadapan Penciptaku. Aku berdoa kepadanya agar diberikan petunjuk untuk keberlangsungan rumah tanggaku. Meminta kepadaNya agar dibukakan apa yang selama ini tertutup, dijelaskan apa yang selama ini masih samar. Aku yang lemah agar diberikan kekuatan dan keikhlasan. Puas telah mencurahkan isi hati kepada Yang Maha Pendengar, aku lanjutkan aktifitas pagiku.**** Entah energi darimana aku dapatkan, dengan semangat aku mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa merasa berat. Kumasak makanan kesukaan Ibu Mertua. Sayur lodeh, perkedel jagung, dan ikan goreng. Setelahnya kubersihkan bekas peralatan masak. Saluruh rumah kubersihkan dan lantai pun terlihat sudah berkilau. Anggap saja ini baktiku untuk
Ya Allah ... kuatkan aku. Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan suamiku bermesraan dengan perempuan lain. Kuhirup udara sebanyak mungkin, tak mau kelihatan lemah di hadapan mereka. Vanya duduk diatas pangkuan suamiku, saling berpelukan dan mereka berci*man. Kubuka pintu semakin lebar dan tanpa ragu aku masuk ke dalam. Tak kupedulikan baju yang basah karena air hujan. Kuambil high heels yang ada di lantai lalu melemparnya ke arah mereka. Aarghh!! Dengan serta merta pasangan laknat itu melepaskan diri. Vanya berteriak kesakitan karena wajahnya kuhantam dengan sepatunya sendiri. Mas Ikhsan tak percaya aku ada di depannya. Matanya melotot seperti melihat setan. Tanpa banyak kata aku maju ke depan dan menamparnya dengat sekuat tenagaku. Plak! "Itu untuk pengkhianatanmu, Mas!" ucapku. "Dek--," belum sempat dia melanjutkan kata-katanya, aku menambahinya reward sekali lagi. Plak! "Dan ini untuk harga diriku,"