MESIN CUCI
JenuhMinggu pagi aku sudah berkutat dengan pakaian kotor. Sengaja aku mencuci baju terlebih dahulu sebelum masak untuk sarapan. Biarlah sekali-kali mereka sarapan agak lambat dari biasanya. Siapa tahu mereka akan menyiapkan makanannya sendiri, tanpa menunggu tanganku yang sedang sibuk dengan pekerjaan lainnya.Kulihat berkali-kali ibu mendatangi meja makan. Raut wajahnya kecewa, melihat meja kosong melompong tanpa makanan. Aku tersenyum saat membelakanginya.Dia tidak berani menegurku, karena pasti aku akan merepet hingga membawa kisah si mesin cuci yang seharusnya mampu meringankan tugasku.Silahkan nikmati keusilanmu, Bu! Siapa suruh aku dilarang pakai mesin cuci. Alasanmu saja sayang listrik dan air. Padahal memang Ibu suka melihatku bekerja keras mengucek pakaian karena kesal bajunya tidak kuurusi.Mas Riza sudah pergi gowes pagi ini. Sesuai kesepakatan, setiap Minggu dia memang menutup tokonya. Dia ingin ada waktu sehari untuk istirahat dan menjalankan hobinya. Aku tak masalah, selagi dia ingat waktu dan tak pulang terlalu sore.Urusan anak-anak pun sudah beres. Risa sudah kubuatkan makanan khusus bayi satu tahun. Dan untuk Lala, aku belikan seporsi bubur ayam kesukaannya. Untukku sendiri, aku berniat merebus mie instan jika aku benar-benar tak memasak kali ini.Kudengar suara salam dari arah depan. Bapak mertua yang baru pulang dari mushola dengan semangatnya menuju meja makan. Seperti Ibu, dia pun langsung menampakkan wajah kecewa.Ada rasa tak enak, karena selama ini bapak mertua cukup sering membantuku meringankan pekerjaan rumah. Ibu lebih sering duduk berpangku tangan menonton serial televisi kesukannya.Dan Tika? Jangan ditanya soal anak itu. Rumah baginya hanya tempat singgah saja. Tak pernah dia berusaha membantu meringankan pekerjaan rumah. Bahkan piring bekas makan pun tidak mau diletakkan di wastafel.Apalagi mencucinya. Sungguh hal yang sangat mustahil dilakukannya.Aku kadang heran dengan didikan gadis itu. Menurutku Tika terlalu dimanja hingga tak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah. Boro-boro membantuku memasak. Memegang sapu saja sepertinya hanya beberapa kali saja. Itu pun setelah aku abai dengan kebersihan rumah ini. Rasanya seluruh badanku rontok bekerja keras mengurusi rumah."Mbak. Ini belum ada sarapan?" tanya Tika yang mulutnya pun masih menguap."Belum. Tanggung nyuci dulu," ucapku sambil mengucek pakaian milik Lala. Kudengar suara Tika menggerutu. Lagi, aku pura-pura tak mendengarnya. Kudengar dia masuk kamar dan membanting pintunya.Tangannya sayang sekali dipakai untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Padahal jika mau lelah sebentar saja, dia bisa berlatih memasak.Kulkas sudah kupenuhi segala macam sayur dan daging ayam. Bahkan bumbu berbagai menu makanan sudah kusiapkan. Tentu saja itu bertujuan untuk mempermudah segala aktivitasku."Vit. Berhenti dulu nyucinya. Tika sudah lapar," ujar ibu mertua yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangku."Tanggung, Bu. Bilas sekali lagi selesai."Kenapa, Bu? Bukankah enak sama-sama dikerjai hanya karena mesin cucinya tak boleh kupakai? Padahal aku sangat yakin mesin cuci itu dibeli menggunakan uang Mas Riza."Tika sudah laper, buruan Vit. Kasihan," ucapnya lagi."Aku juga kasihan sama diri sendiri, Bu. Nyuci pakai tangan sebanyak ini. Mas Riza nggak yakin kalau pakai jasa laundri. Belum kelar nyuci udah disuruh masak buat orang yang dari tadi main HP di kamar. Padahal perutku juga sama-sama lapar, Bu." Kuberanikan mengeluhkan unek-unek di dadaku.Tidak masalah dia menyuruhku ini itu. Hanya saja jangan bertingkah dengan melarangku menggunakan mesin cuci. Kadang aku heran dengan tingkah absurd ibu mertuaku. Apakah dia ingin aku menyerah dan memohon-mohon padanya untuk menggunakan mesin cuci, hingga dia bisa menitipkan pakaiannya dan sang anak untuk kucuci sekalian?Tidak. Pokoknya membayangkan noda darah haid di pinggiran celana dalam Tika membuat jiwaku bergejolak menolak."Kamu ini semenjak jadi PNS kok jadi berani membantah! Kenapa? Merasa sudah bisa menghasilkan uang sendiri hingga sama mertua nggak punya sopan santun?""Bu… kalau Ibu sabar dan tidak menetapkan peraturan aneh tentu aku nggak mungkin protes. Sabar, Bu. Aku pun lelah, lapar juga. Tapi aku sudah tanggung memegang cucian. Kalau nggak sabar kenapa Tika nggak disuruh masak aja sendiri? Tangannya genap, kok. Jangan kebiasaan nyuruh orang! Dia yang lapar kenapa aku yang dikejar-kejar?""Banyak ngomong kamu! Kuadukan Riza bisa hancur hidupmu!"Aku menahan emosi yang hampir meledak. Kalau tidak ingat wanita di depanku ini adalah ibu suamiku, tentu ingin sekali kuajak duel sekalian."Hidup siapa yang hancur, Bu? Masa gara-gara telat menyiapkan sarapan sampai mau ngehancurin hidup orang."Kujinjing ember berisi pakaian ke dekat mesin cuci. Satu persatu kumasukkan baju ke dalamnya. Ibu masih saja merepet tidak jelas di belakangku. Suara mesin pengering membuatku terbebas mendengarkan repetan bak kereta api dari mulut ibu mertua.***"Bun. Bisa nggak sih kamu sehari saja nggak tengkar sama ibu atau Tika?" tanya Mas Riza saat anak-anak sudah terlelap tidur.Kuhentikan aktivitasku di depan cermin. Aku yakin ibu mertua sudah mengadukanku bermacam-macam pada suamiku. Rasanya lelah membela diri, tetapi kurasa hal itu tetap penting dilakukan. Mas Riza harus tahu persis duduk perkaranya."Ibu ngadu apa, Yah?" tanyaku penuh selidik. Biar kudengar versi ibu yang disampaikan suamiku."Bukannya memasak itu pekerjaan yang biasa kamu lakukan, Bun? Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi sering membantah ibu?"Aku tahu Mas Riza. Dia sering seperti ini sebelumnya. Menelan mentah-mentah apa yang disampaikan ibunya. Seperti yang sudah-sudah, tugasku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Hal seperti ini terjadi secara berulang-ulang, dan tugasku menjelaskan lagi dan lagi."Yah, apa salah aku meminta Tika memasak untuk dirinya sendiri?" Pertanyaan Mas Riza kujawab dengan pertanyaan lagi. Mas Riza menatapku nanar. Kulihat dahinya berkerut.Kuceritakan yang sebenarnya terjadi tadi pagi. Tentu tak ada yang ditambah atau dikurangi. Tidak seperti ibu atau Tika, yang selalu menambah atau mengurangi bobot informasi agar pas dengan versi yang mereka inginkan. Membuat versi yang membuatku tersudut."Silahkan Ayah menarik kesimpulan sendiri. Aku yang kelewatan atau justru mereka, ibu dan adik tercintamu!"Kurebahkan tubuh di kasur. Rasanya lelah sekali menghadapi tingkah kedua orang itu. Padahal seluruh pekerjaan rumah aku yang mengerjakannya, kecuali mencuci baju mereka tentunya.Dari memasak, mencuci piring bahkan hanya menyapu saja yang terkadang dikerjakan oleh bapak mertua. Dia cukup mengerti dengan kesusahan yang kurasakan. Saat pulang dari mengajar aku masih harus dibebani dengan pekerjaan rumah yang sebenarnya bisa ibu atau Tika lakukan."Yah,aku mau renovasi rumah orang tuaku. Daripada dibiarkan kosong lebih baik kita tempati. Tidak apa jauh sedikit dari tempatku mengajar. Asal tentram jiwa dan raga, Yah."Kalimat yang baru saja kuucapkan membuat Mas Riza menegakkan tubuhnya. Dia memandangku dengan seksama. Barangkali dia ingin melihat ketidakseriusanku kali ini."Bun… kita sudah sering membicarakannya. Kita sudah memutuskan kalau… ""Bukan kita, Yah. Kamu. Kamu sendiri yang memutuskan untuk tinggal di sini sesuai keinginan ibumu. Kumohon, Yah. Aku lelah. Aku ingin menikmati waktuku di rumah sendiri. Tanpa harus mendengar sindiran atau perlakukan tak mengenakkan dari ibu dan adikmu.Di sini aku seperti tak punya privasi. Aku yang ingin santai sejenak saat pulang mengajar, masih harus dibebani dengan pekerjaan rumah. Yang kalau boleh jujur, ibu atau Tika masih mampu mengerjakannya sendiri. Mereka sehat jiwa dan raga.Mereka bukan orang cacat yang menyerahkan seluruh pekerjaan padaku, yang jelas-jelas sudah lelah dengan pekerjaan di sekolah!" ucapku mulai terisak. Suasana hening seketika. Mudah-mudahan Mas Riza menyetujui usulku kali ini.Aku juga kasihan dengan rumah yang ditinggalkan oleh almarhum kedua orang tuaku. Dibiarkan terbengkalai meski sesekali aku menyempatkan diri untuk membersihkan rumah itu. Tetapi rumah yang dibiarkan kosong tetap saja berbeda. Aku sudah memiliki rencana ini jauh-jauh hari, hanya saja Mas Riza selalu membawa alasan ibunya yang melarang kami pindah dari rumah ini."Bagaimana kalau kita sewa ART saja, Bun? Khusus untuk mengerjakan pekerjaan rumah saja. Mbak Marni fokus mengurus anak-anak."Anak-anak sudah tidur di kamar mereka. Ibu pun tak terlihat keluar lagi setelah jam sembilan tadi. Sedangkan Mas Riza sendiri entah apa yang dilakukannya di luar. Kurasa dia tengah menghubungi pegawai tokonya yang sedang melakukan proses bongkar kiriman gula pasir dari suplier. Aku bersyukur sekali, usaha Mas Riza berkembang begitu pesat seiring perjalanan waktu. Sungguh perjalanan yang tak mudah, aku dan Mas Riza sangat beruntung berada di posisi kami ini. Cobaan hidup yang tak mudah sudah kami lewati. Sungguh kuasa Tuhan, pemilik seluruh alam semesta dan isinya. Tak ada yang tak mungkin, seperti perubahan pada Tika contohnya. Gadis yang amat kubenci itu akhirnya berubah seiring pernikahannya yang juga tak semulus jalan tol. Aral melintang pun mereka jumpai di perjalanan rumah tangga Tika dan Tio. Tak kusangka, lelaki yang bukan berasal dari keluarga tak berpunya itu justru menjadi satu-satunya lelaki yang bisa menaklukkan hati Tika yang keras bagai karang. Sungguh kuasa Allah, p
Aku mengelus dada mendengar kabar wanita yang entah kemana nuraninya berada. Lila kini meringkuk di dalam penjara, berteman sepi. Tak ada lagi harta yang dia bangga-banggakan untuk menekan Tika. Tak ada lagi harta yang bisa dia sombongkan di depan orang-orang. Lila kembali menjadi kaum papa yang bahkan entah kapan bisa menghirup udara bebas. Dan kabar orangtua dan adik-adiknya yang baru sekejap menikmati harta peninggalan Pak Ranu kini kembali hidup seperti semula. "Makan, Bu," ucapku perlahan pada wanita yang dulu seringkali mencaci maki diriku. Terkadang masih ada ketakutan yang kusimpan saat beradu pandang dengan ibu tiri Mas Riza itu. Aku takut dia akan bertindak brutal padaku. Namun lagi-lagi itu hanya ketakutanku saja, nyatanya selepas dari rumah sakit jiwa kondisi Ibu seperti kehilangan tenaga. Waktunya hanya dihabiskan untuk melamun, dengan sesekali bibirnya meracau tak jelas. Hanya ungkapan maaf saja yang mampu kutangkap dengan jelas. Selebihnya tidak. "Bu," panggilku seray
Akhir Sebuah Kisah (Ending) Kutatap suami istri yang seluruh rambutnya memutih. Sang suami, duduk di atas kursi roda yang beberapa tahun terakhir setia menemani setiap pergerakannya. Beruntung setelah melewati puluhan kali terapi dan juga pengobatan, laki-laki itu mulai menampakkan hasil yang menggembirakan. Meski separuh tubuhnya sulit untuk digerakkan, cara bicaranya sudah kembali lagi seperti semula.HSementara sang istri duduk termenung di atas kursi kayu yang juga sengaja disiapkan di salah satu sudut rumah yang menghadap ke jalan. Pandangannya kosong, dan itu lebih baik dari pada keadaanya yang sebelumnya. Kami sekeluarga sepakat untuk merawatnya di rumah setelah dokter yang menanganinya memberi rekomendasi. Ibu sudah menampakkan kemajuan yang berarti menurutku. Dia tak pernah bertindak brutal seperti sebelumnya. Hanya sesekali dia berkata pada dirinya sendiri yang ucapan yang sama yang selalu diulang-ulang. "Maaf, maaf, maaf…."Siapapun yang dilihatnya, terlebih padaku yang
"Mas, bagaimana aku bisa melupakan hal yang membuatku menanggung malu seumur hidup?" Tika mengusap air matanya yang jatuh tak terbendung. "Bahkan aku selalu didera rasa malu pada suamiku. Aku merasa tak percaya diri dengan diriku sendiri. Aku begitu kotor, menjijikkan. Lebih-lebih saat ada wanita itu, yang mengorek luka lamaku. Dia membuatku muak, dia membandingkan dirinya denganku yang memang tak pantas bersanding dengan Mas Tio. Oleh karenanya aku ingin sekali mencari laki-laki yang memang bertanggung jawab pada semua yang menimpaku ini. Aku tak bisa membiarkannya lepas begitu saja. Itu terlalu menyakitkan untukku!" "Tik, tapi kau bisa membicarakannya denganku! Bukan dengan lelaki itu! Kau membuatku berpikir macam-macam!" Suami Tika pun sama dengan Mas Riza. Intonasi suaranya menunjukkan betapa laki-laki itu marah dengan perbuatan istrinya. "Maaf, itu memang salahku." "Ya, hanya kata itu saja yang mampu kau katakan! Kau tak mampu mengucap hal lain karena memang kau tak percaya p
Mengulangi Kesalahan"Kenapa Tik?" Sepasang suami istri di depanku dan Mas Tio ini menunduk, sementata Fatih—anak mereka duduk di lantai bermain dengan kedua anakku. Tika nampak memainkan kedua tangannya. Terlihat sekali tangan wanita itu bergetar. "Tio, ada yang bisa kalian katakan? Apakah hal yang membuat kalian seperti ini?" tanya Mas Riza dengan suara pelan. Bapak yang tidur di kamarnya menjadi satu-satunya orang yang menjadi alasan diab bersikap demikian. "Adakah yang bisa Mas Riza atau Mbak Vita bantu?" Lagi-lagi pertanyaan Mas Riza hanya ditanggapi sepi. Tak ada yang membuka mulutnya. "Tolong, jaga Bapak baik-baik. Kalian tahu sendiri di rumah kami ada Ibu, tak mungkin membiarkan Bapak tinggal disana. Kuharap kalian mengerti kondisi kami. Terima kasih sekali kalian bersedia tinggal di rumah ini bersama Bapak. Mudah-mudahan keadannya segera membaik." "Mas, ada yang ingin kukatakan sebenarnya. Mohon maaf jika momennya kurang pas. Tetapi ini harus segera diselesaikan dengan
Aku menoleh cepat ke arah lelaki itu. Kalimatnya memberi tamparan untukku. Ada sudut hatiku yang nyeri mendengar kenyataan bahwa dia membutuhkanku sebagai teman untuk berdiskusi. Apakah hanya sebatas itu arti diriku baginya? "Bun, aku benar-benar pusing saat ini. Tolong, bantu aku untuk menghadapi semua ini bersama-sama." "Memangnya ada lagi fungsiku bagimu selain untuk menghadapi seluruh masalah-masalahmu itu?" ucapku sinis. Kupandang dengan raut masam lelaki di depanku. Rasanya memang apapun yang dilakukan atau dikatakan Mas Riza tak akan benar di mataku. "Bun, tolong jangan memperkeruh suasana." Aku berdiri, tak terima dengan tuduhannya. Dadaku naik turun menahan emosi yang kembali tersulut akibat perkataan suamiku. "Ini, lihat ini! Aku atau adikmu yang memperkeruh suasana. Aku tak habis pikir dengan kelakuannya!" Kuberikan ponselku ke tangannya berharap dia tak banyak bicara dan langsung melihat foto yang kutunjukkan. Seketika mata lelaki itu membulat, menatap tak percaya l