Share

BAB 3

MESIN CUCI

Jenuh

Minggu pagi aku sudah berkutat dengan pakaian kotor. Sengaja aku mencuci baju terlebih dahulu sebelum masak untuk sarapan. Biarlah sekali-kali mereka sarapan agak lambat dari biasanya. Siapa tahu mereka akan menyiapkan makanannya sendiri, tanpa menunggu tanganku yang sedang sibuk dengan pekerjaan lainnya.

Kulihat berkali-kali ibu mendatangi meja makan. Raut wajahnya kecewa, melihat meja kosong melompong tanpa makanan. Aku tersenyum saat membelakanginya.

Dia tidak berani menegurku, karena pasti aku akan merepet hingga membawa kisah si mesin cuci yang seharusnya mampu meringankan tugasku.

Silahkan nikmati keusilanmu, Bu! Siapa suruh aku dilarang pakai mesin cuci. Alasanmu saja sayang listrik dan air. Padahal memang Ibu suka melihatku bekerja keras mengucek pakaian karena kesal bajunya tidak kuurusi.

Mas Riza sudah pergi gowes pagi ini. Sesuai kesepakatan, setiap Minggu dia memang menutup tokonya. Dia ingin ada waktu sehari untuk istirahat dan menjalankan hobinya. Aku tak masalah, selagi dia ingat waktu dan tak pulang terlalu sore.

Urusan anak-anak pun sudah beres. Risa sudah kubuatkan makanan khusus bayi satu tahun. Dan untuk Lala, aku belikan seporsi bubur ayam kesukaannya. Untukku sendiri, aku berniat merebus mie instan jika aku benar-benar tak memasak kali ini.

Kudengar suara salam dari arah depan. Bapak mertua yang baru pulang dari mushola dengan semangatnya menuju meja makan. Seperti Ibu, dia pun langsung menampakkan wajah kecewa.

Ada rasa tak enak, karena selama ini bapak mertua cukup sering membantuku meringankan pekerjaan rumah. Ibu lebih sering duduk berpangku tangan menonton serial televisi kesukannya.

Dan Tika? Jangan ditanya soal anak itu. Rumah baginya hanya tempat singgah saja. Tak pernah dia berusaha membantu meringankan pekerjaan rumah. Bahkan piring bekas makan pun tidak mau diletakkan di wastafel.Apalagi mencucinya. Sungguh hal yang sangat mustahil dilakukannya.

Aku kadang heran dengan didikan gadis itu. Menurutku Tika terlalu dimanja hingga tak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah. Boro-boro membantuku memasak. Memegang sapu saja sepertinya hanya beberapa kali saja. Itu pun setelah aku abai dengan kebersihan rumah ini. Rasanya seluruh badanku rontok bekerja keras mengurusi rumah.

"Mbak. Ini belum ada sarapan?" tanya Tika yang mulutnya pun masih menguap.

"Belum. Tanggung nyuci dulu," ucapku sambil mengucek pakaian milik Lala. Kudengar suara Tika menggerutu. Lagi, aku pura-pura tak mendengarnya. Kudengar dia masuk kamar dan membanting pintunya.

Tangannya sayang sekali dipakai untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Padahal jika mau lelah sebentar saja, dia bisa berlatih memasak.

Kulkas sudah kupenuhi segala macam sayur dan daging ayam. Bahkan bumbu berbagai menu makanan sudah kusiapkan. Tentu saja itu bertujuan untuk mempermudah segala aktivitasku.

"Vit. Berhenti dulu nyucinya. Tika sudah lapar," ujar ibu mertua yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangku.

"Tanggung, Bu. Bilas sekali lagi selesai."

Kenapa, Bu? Bukankah enak sama-sama dikerjai hanya karena mesin cucinya tak boleh kupakai? Padahal aku sangat yakin mesin cuci itu dibeli menggunakan uang Mas Riza.

"Tika sudah laper, buruan Vit. Kasihan," ucapnya lagi.

"Aku juga kasihan sama diri sendiri, Bu. Nyuci pakai tangan sebanyak ini. Mas Riza nggak yakin kalau pakai jasa laundri. Belum kelar nyuci udah disuruh masak buat orang yang dari tadi main HP di kamar. Padahal perutku juga sama-sama lapar, Bu." Kuberanikan mengeluhkan unek-unek di dadaku.

Tidak masalah dia menyuruhku ini itu. Hanya saja jangan bertingkah dengan melarangku menggunakan mesin cuci. Kadang aku heran dengan tingkah absurd ibu mertuaku.

Apakah dia ingin aku menyerah dan memohon-mohon padanya untuk menggunakan mesin cuci, hingga dia bisa menitipkan pakaiannya dan sang anak untuk kucuci sekalian?

Tidak. Pokoknya membayangkan noda darah haid di pinggiran celana dalam Tika membuat jiwaku bergejolak menolak.

"Kamu ini semenjak jadi PNS kok jadi berani membantah! Kenapa? Merasa sudah bisa menghasilkan uang sendiri hingga sama mertua nggak punya sopan santun?"

"Bu… kalau Ibu sabar dan tidak menetapkan peraturan aneh tentu aku nggak mungkin protes. Sabar, Bu. Aku pun lelah, lapar juga. Tapi aku sudah tanggung memegang cucian. Kalau nggak sabar kenapa Tika nggak disuruh masak aja sendiri? Tangannya genap, kok. Jangan kebiasaan nyuruh orang! Dia yang lapar kenapa aku yang dikejar-kejar?"

"Banyak ngomong kamu! Kuadukan Riza bisa hancur hidupmu!"

Aku menahan emosi yang hampir meledak. Kalau tidak ingat wanita di depanku ini adalah ibu suamiku, tentu ingin sekali kuajak duel sekalian.

"Hidup siapa yang hancur, Bu? Masa gara-gara telat menyiapkan sarapan sampai mau ngehancurin hidup orang."

Kujinjing ember berisi pakaian ke dekat mesin cuci. Satu persatu kumasukkan baju ke dalamnya. Ibu masih saja merepet tidak jelas di belakangku. Suara mesin pengering membuatku terbebas mendengarkan repetan bak kereta api dari mulut ibu mertua.

***

"Bun. Bisa nggak sih kamu sehari saja nggak tengkar sama ibu atau Tika?" tanya Mas Riza saat anak-anak sudah terlelap tidur.

Kuhentikan aktivitasku di depan cermin. Aku yakin ibu mertua sudah mengadukanku bermacam-macam pada suamiku. Rasanya lelah membela diri, tetapi kurasa hal itu tetap penting dilakukan. Mas Riza harus tahu persis duduk perkaranya.

"Ibu ngadu apa, Yah?" tanyaku penuh selidik. Biar kudengar versi ibu yang disampaikan suamiku.

"Bukannya memasak itu pekerjaan yang biasa kamu lakukan, Bun? Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi sering membantah ibu?"

Aku tahu Mas Riza. Dia sering seperti ini sebelumnya. Menelan mentah-mentah apa yang disampaikan ibunya. Seperti yang sudah-sudah, tugasku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Hal seperti ini terjadi secara berulang-ulang, dan tugasku menjelaskan lagi dan lagi.

"Yah, apa salah aku meminta Tika memasak untuk dirinya sendiri?" Pertanyaan Mas Riza kujawab dengan pertanyaan lagi. Mas Riza menatapku nanar. Kulihat dahinya berkerut.

Kuceritakan yang sebenarnya terjadi tadi pagi. Tentu tak ada yang ditambah atau dikurangi. Tidak seperti ibu atau Tika, yang selalu menambah atau mengurangi bobot informasi agar pas dengan versi yang mereka inginkan. Membuat versi yang membuatku tersudut.

"Silahkan Ayah menarik kesimpulan sendiri. Aku yang kelewatan atau justru mereka, ibu dan adik tercintamu!"

Kurebahkan tubuh di kasur. Rasanya lelah sekali menghadapi tingkah kedua orang itu. Padahal seluruh pekerjaan rumah aku yang mengerjakannya, kecuali mencuci baju mereka tentunya.

Dari memasak, mencuci piring bahkan hanya menyapu saja yang terkadang dikerjakan oleh bapak mertua. Dia cukup mengerti dengan kesusahan yang kurasakan. Saat pulang dari mengajar aku masih harus dibebani dengan pekerjaan rumah yang sebenarnya bisa ibu atau Tika lakukan.

"Yah,aku mau renovasi rumah orang tuaku. Daripada dibiarkan kosong lebih baik kita tempati. Tidak apa jauh sedikit dari tempatku mengajar. Asal tentram jiwa dan raga, Yah."

Kalimat yang baru saja kuucapkan membuat Mas Riza menegakkan tubuhnya. Dia memandangku dengan seksama. Barangkali dia ingin melihat ketidakseriusanku kali ini.

"Bun… kita sudah sering membicarakannya. Kita sudah memutuskan kalau… "

"Bukan kita, Yah. Kamu. Kamu sendiri yang memutuskan untuk tinggal di sini sesuai keinginan ibumu. Kumohon, Yah. Aku lelah. Aku ingin menikmati waktuku di rumah sendiri. Tanpa harus mendengar sindiran atau perlakukan tak mengenakkan dari ibu dan adikmu.

Di sini aku seperti tak punya privasi. Aku yang ingin santai sejenak saat pulang mengajar, masih harus dibebani dengan pekerjaan rumah. Yang kalau boleh jujur, ibu atau Tika masih mampu mengerjakannya sendiri. Mereka sehat jiwa dan raga.

Mereka bukan orang cacat yang menyerahkan seluruh pekerjaan padaku, yang jelas-jelas sudah lelah dengan pekerjaan di sekolah!" ucapku mulai terisak. Suasana hening seketika. Mudah-mudahan Mas Riza menyetujui usulku kali ini.

Aku juga kasihan dengan rumah yang ditinggalkan oleh almarhum kedua orang tuaku. Dibiarkan terbengkalai meski sesekali aku menyempatkan diri untuk membersihkan rumah itu. Tetapi rumah yang dibiarkan kosong tetap saja berbeda. Aku sudah memiliki rencana ini jauh-jauh hari, hanya saja Mas Riza selalu membawa alasan ibunya yang melarang kami pindah dari rumah ini.

"Bagaimana kalau kita sewa ART saja, Bun? Khusus untuk mengerjakan pekerjaan rumah saja. Mbak Marni fokus mengurus anak-anak."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status