MESIN CUCI
Mulut Adik Ipar"Bun, Tika ngambek-ngambek minta pinjam motor. Kenapa nggak dikasih? Bukannya kamu bisa jalan kaki ke sekolah?" ucap Mas Riza setelah salamnya kujawab. Aku yang sedang sarapan saat waktu istirahat terpaksa meletakkan sendok di atas kotak bekalku. Kuredam emosi yang secepat kilat memuncak. "Bun, aku tahu itu motormu, tetapi bukan berarti Tika tak boleh meminjamnya. Ayolah, Bun. Seperti bukan kamu kalau sikapmu seperti ini," lanjutnya lagi. Aku mengurai sesak yang tiba-tiba menyumbat aliran napasku. "Tika atau Ibu nggak ngasih tahu motornya mau dipake kemana?" tanyaku balik. Kudengar helaan napas dari ujung sana. "Bun, tolong dong. Toko lagi rame. Nggak bisa kutinggal. Tika ke sekolah kamu ya ambil motor?" ujarnya lagi. Kuredakan dentuman emosi yang tiba-tiba menggila. "Yah, habis anak-anak pulang aku ada KKG di kota kecamatan. Aku suruh jalan kaki ke sana?" ucapku mulai terpancing berucap dengan nada keras. "Loh. Kenapa nggak bilang kamu ada KKG?" Kalimat Mas Riza melemah. Aku tahu pasti Tika atau ibunya tak menyampaikan satu hal itu. Sengaja menutupinya agar akulah pelaku keegoisan yang akan menjadi satu-satunya tersangka dalam hal ini. "Tadi pagi aku sudah ngomong ke Tika dan Ibu. Aku ada KKG. Jadi motornya nggak bisa dipakai Tika. Kenapa nggak pake motor Bapak? Atau kalau nggak motornya bawa dulu ke bengkel. Itu juga kalau adikmu nggak males!" Aku menjawab dengan ketus. Benar-benar aku kesal sekali dengan anak itu. " Barusan Tika nangis-nangis mau kerja nggak ada motor. Katanya kamu nggak mau minjemin motor. Padahal kamu juga kadang jalan kaki ke sekolah. Aku nggak tau kalau kamu ada KKG. Tadi juga Tika nggak bilang kamu ada KKG!" "Makanya, jangan kebiasaan nelan mentah-mentah informasi dari orang. Udah ya, Yah. Aku mau lanjutin sarapan. Tadi pagi nggak sempat sarapan. Maklum, habis nggosrek pakaian pake tangan. Mesin cucinya ajaib. Cuma bisa dipake buat keringin baju doang!" Mas Riza memutuskan sambungan telepon tanpa sempat mengucap salam. Aku tersenyum puas menumpahkan uneg-uneg padanya. Mas Riza sebenarnya paham dengan persoalan mesin cuci. Tadinya dia mempertanyakan mengapa aku tidak mau mencucikan pakaian milik orang tuanya. Setelah kuberi pemahaman mengenai sikap ibu dan Tika, akhirnya dia paham dan memilih diam. Mas Riza bukan sosok suami jahat seperti dalam sinetron, namun ketidakberdayaannya menghentikan sikap semena-mena Ibu dan adiknya yang kadang membuatku muak sekaligus kesal. Mengenai nasib cucian mereka, akhirnya aku tahu mereka menempuh opsi terakhir. Mereka membawa cuciannya ke laundri. Mas Riza membayarkan biaya laundri orangtuanya. Sedangkan Tika, Mas Riza memaksanya membayar sendiri. Entah sampai sekarang benar-benar membayar sendiri atau kembali Mas Riza yang menanggungnya. Aku tak ingin tahu kebenarannya. Bagiku kesehatan mentalku perlu dijaga. Tak masalah. Aku tak iri sama sekali. Bahkan sudah kusampaikan, aku tak keberatan jika dibebani urusan cucian orang tua suamiku. Hanya saja, Tika dan ibu seperti satu paket. Ibu masih suka mencuri-curi kesempatan memasukkan pakaian Tika ke dalam mesin cuci yang sedang digunakan untuk membersihkan pakaiannya. Dan bagiku itu sudah cukup menjadi alasan kuat untuk tidak mencucikan pakaian orang tua Mas Riza. Belum lagi ingatanku mengenai celana dalam penuh noda darah yang menyembul di antara cucian di mesin cuci saat itu, bagiku benar-benar cukup. Aku berhak mengakhirinya kapan pun aku mau. ***[ Nasib kakak ipar pelit ] Aku mendapatkan screenshot status Tika dari Bu Ratna, rekan seprofesiku. Kebetulan Bu Ratna adalah teman sekolah Tika. Jadi dia punya kontak w******p adik iparku itu. Aku sering mendapat informasi mengenai status yang dibagikan oleh Tika dari rekanku itu. Terkadang, aku yang satu rumah saja jarang mengetahui apa yang dilakukan oleh adik iparku. Tetapi informasi tentangnya sangat mudah kuperoleh dari Bu Ratna.Jangan tanya mengapa aku tak bisa melihat pembaruan status Tika. Entah sejak kapan dia memprivasi statusnya dariku. Dan itu tak masalah buatku. Tidak penting juga membaca statusnya yang kebanyakan menyindir orang lain atau status yang tak penting. Atau juga mengenai aktivitasnya yang sangat penting, menghamburkan uang gajinya, atau berfoto mesra dengan laki-laki yang selalu berganti-ganti. Aku beruntung tak membaca status gadis itu. Justru aku bersyukur, terhindar dari status toxic yang sering dia bagikan. Paling tidak aku ingin membangun lingkaran positif di sekitarku. Tentu tak rugi mencoret daftar Tika dari sana. Kuparkirkan sepeda motorku di depan minimarket dengan warna logo merah, biru dan kuning. Letaknya yang tidak jauh dari tempatku KKG membuatku memilih mampir di sini. Diapers milik Risa dan beberapa kebutuhan pribadi juga juga hampir habis. Kususuri setiap rak di dalam minimarket. Setelah mendapatkan seluruh barang yang kubutuhkan, aku segera menuju kasir yang kebetulan kosong. "Silahkan, Kak." Aku mendongak setelah mendengar suara yang familiar. Tika pun sama terkejutnya denganku. Aku hanya tahu dia bekerja di sebuah minimarket sejenis. Tapi tidak tahu penempatannya di mana. Aku pun tak pernah berusaha mencari tahu. Tika terlihat muram saat melayaniku. Aku pura-pura cuek dengan sikapnya. Kulihat beberapa kali dia mengernyit melihat barang-barang yang kubeli. "Pravita, ya?" tanya seseorang di sampingku. Dika, teman SMA-ku dulu berdiri tak jauh dari tempatku berdiri. "Hai, Dik. Sendirian?" tanyaku basa-basi. Aku tahu, sampai saat ini dia masih belum menikah. "Nyindir apa gimana ini?" Dika tersenyum sambil mendekat. Senyumnya masih seperti dulu, terlihat tulus sekaligus menenangkan. Hanya saja statusku yang sudah bersuami tak bisa sembarangan memberi komentar padanya. "Ya… siapa tahu sama ibumu kan?" jawabku sambil mengurai senyum."Sudah, Kak. Totalnya tiga ratus dua ribu rupiah," ucap Tika memberitahukan nominal yang harus kubayar. Kukeluarkan uang dari dalam dompet. "Minta kontaknya dong, Vit. Kamu udah nggak masuk di grup alumni kayaknya. Aku cari-cari nggak ada," ujar Dika setelah aku menerima kantung belanjaan. Tika melirik sinis melihatku. Sengaja kuberikan kontakku pada Dika. Kulirik sekilas wajah Tika. Pandangannya tak lepas dari kami yang tepat berada di depannya. Siap-siap nanti pulang ada kompor meledak! ***Kubereskan sisa makan malam di meja makan. Lala dan Risa yang sudah kenyang terlihat anteng di depan televisi. Mas Riza menemani mereka sebelum pekerjaanku selesai. Kulihat suara langkah kaki ibu mertua mendekatiku. Tumben sekali, dia mau membantuku membereskan makanan. "Vit. Tika bilang tadi kamu ketemuan sama laki-laki di tempat dia kerja?"Tuh kaan… informasi seperti itu cepat sekali datangnya. Aku memandang wajah ibu mertua dengan santai. Kulihat tatapan matanya penuh selidik. Sudah kubilang mereka berdua itu satu paket. "Ketemuan?" tanyaku padanya. Aku hanya pura-pura tak paham arah pertanyaan ibu mertua. Sengaja, ingin kuketahui info apa yang sudah anak kesayangannya itu sampaikan. "Tika lihat kamu ketemuan sama pak polisi. Dia yakin sekali itu kamu lho, Vit. Jangan macem-macem kamu. Mentang-mentang sudah PNS nggak bisa seenaknya sendiri. Ingat, Riza itu banting tulang buat bahagiakan kalian. Ibu nggak ridho kalo kamu nyakitin hati Riza! Meskipun dia nggak punya pangkat atau kerja kantoran, tapi penghasilan Riza nggak kalah dari mereka. Bahkan bisa lebih!" ujar ibu mertua panjang lebar. Aku menarik napas dengan kasar. Emang dasar kompor meledug itu si Tika! "Bu … tadi pulang sekolah Vita mampir ke tempat kerja Tika. Diapers Risa habis. Odol sabun sampo juga habis. Ibu liat kan di kamar mandi ada sampo baru? Nih, kucium wanginya juga kayaknya Ibu habis make. Nah waktu bayar ternyata ada yang manggil Vita. Dia teman sekolah Vita dulu, Bu. Namanya Dika, emang dia udah jadi polisi. Jadi nggak ada itu acara ketemuan. Yang ada ketemu, baru bener. Kalau ketemu itu karena nggak sengaja. Tapi kalau kata ketemu mendapat awalan 'ke' dan akhiran 'an' itu maknanya berubah jadi sengaja ketemu. Jadi beda artinya, Bu. Jangan menggampangkan awalan dan akhiran. Bisa beda makna. Apalagi menggampangkan informasi dari mulut orang. Bisa lebih tambah kacau lagi artinya. Kan mulut orang kadang suka gatel kalau nggak nambahin atau ngurangin informasi," jawabku panjang lebar. Memang begini harusnya menghadapi ibu mertua dan adik ipar reseh. Harus kuat supaya tidak dibejeg-bejeg dan ditindas. "Pintar sekali ngeles kamu!" ucap Ibu dengan raut penuh emosi. "Namanya juga guru, ya pinter ngeles dong, Bu!"Ibu mertua melengos mendengar jawabanku yang kurasa di luar ekspektasinya. Kudengar langkah kaki yang dihentakkan di lantai dapur. Aku tersenyum puas. Maaf Bu, memang informasi yang ibu dengar itu kurang tepat.MESIN CUCI Jenuh Minggu pagi aku sudah berkutat dengan pakaian kotor. Sengaja aku mencuci baju terlebih dahulu sebelum masak untuk sarapan. Biarlah sekali-kali mereka sarapan agak lambat dari biasanya. Siapa tahu mereka akan menyiapkan makanannya sendiri, tanpa menunggu tanganku yang sedang sibuk dengan pekerjaan lainnya. Kulihat berkali-kali ibu mendatangi meja makan. Raut wajahnya kecewa, melihat meja kosong melompong tanpa makanan. Aku tersenyum saat membelakanginya. Dia tidak berani menegurku, karena pasti aku akan merepet hingga membawa kisah si mesin cuci yang seharusnya mampu meringankan tugasku. Silahkan nikmati keusilanmu, Bu! Siapa suruh aku dilarang pakai mesin cuci. Alasanmu saja sayang listrik dan air. Padahal memang Ibu suka melihatku bekerja keras mengucek pakaian karena kesal bajunya tidak kuurusi. Mas Riza sudah pergi gowes pagi ini. Sesuai kesepakatan, setiap Minggu dia memang menutup tokonya. Dia ingin ada waktu sehari untuk istirahat dan menjalankan hobinya.
MESIN CUCI Lelah Perkataan Mas Riza semalam mengenai rencana menyewa ART untuk mengurusi pekerjaan rumah tak kugubris sama sekali. Aku ingin dia paham rencananya tak mendapat persetujuanku. Seharusnya dia mengerti kalau arahnya bukan ke ART, tetapi aku memang menginginkan pindah secepatnya dari sini.Bukankah lebih nyaman berada di rumah sendiri? Bebas melakukan apapun yang kami inginkan.Dan lagi, aku ingin membuat ibu mertua dan Tika tahu, bawa selama ini pekerjaan yang kulakukan tidak bisa dianggap enteng. Yang mereka tahu hanya menyalahkan dan menghujaniku dengan kata-kata pedas semau mereka."Bun, masak apa?" tanya Mas Riza sesampainya di dapur. Ibu mertua yang tengah duduk di ruang santai seketika berdiri dan menyusul Mas Riza ke dapur."Sayur asem sama sambel terasi. Lalapannya pakai kemangi sama leunca," jawabku sambil mengaduk panci berisi sayur asem. Aromanya menguar sedap memenuhi penjuru dapur."Aduh ... Tika nggak suka sayur asem. Masak yang lain lagi! Kasian nanti pu
MESIN CUCI Toxic Tak lama kudengar suara motor Mas Riza masuk ke halaman rumah. Kulihat tangannya menenteng plastik makanan. Ibu mertua langsung berseri melihat kedatangan anak laki-lakinya. "Lala … Ayah bawa martabak coklat keju kesukaan kamu. Sini, Nak!" panggil Mas Riza pada putri sulung kami. Aku yang sedang mencuci piring bekas makanku tak menoleh sama sekali. "Lho … Lala itu sudah makan. Paling-paling juga nggak dimakan wong sudah kenyang. Sini ambil lemek kecil aja buat Lala. Biar nggak dibejek-bejek tangannya. Yang di kotak biar buat Tika. Dia juga suka martabak coklat keju." Ibu mertua menyaut kotak martabak di tangan Mas Riza. Dengan langkah anggun dia berjalan ke rak dapur mengambil lemek kecil sebagai alas martabak untuk Lala. Seperti biasa, Mas Riza tak mampu berbuat banyak menghadapi ibunya. Kulihat Lala sedikit kecewa dengan perbuatan ibu mertua. Apalagi hanya sepotong kecil saja yang sang nenek ulurkan ke tangannya. Matanya mengerjap melihat potongan martabak ya
Tika Hilang 1"Bun …" panggil Mas Riza saat aku sedang menidurkan Lala dan Risa. Aku menoleh ke arah Mas Riza. Sepertinya ada hal mengganjal yang ingin dia sampaikan. Wajah suamiku terlihat gusar. Tetapi aku menahan diri untuk bertanya lebih lanjut. Aku tak ingin membebani pikiranku untuk hal-hal yang belum pasti. Jika memang apa yang membuatnya terusik berhubungan denganku, maka sudah pasti dia akan mengatakannya padaku. "Kamu nggak malu kan karena suamimu bukan pekerja kantoran?" suaranya agak bergetar, terdengar penuh keragu-raguan. Jahat sekali yang menyampaikan ini padanya, aku yakin kedua manusia itu yang sudah mengucapkan hal yang tidak seharusnya diucapkan pada suamiku. Hatiku memanas mendengar pertanyaannya. Tumben sekali suamiku terlihat tak percaya diri seperti ini. Entah dimana otak kedua manusia itu. Jika saja bukan orang terdekat suamiku, ingin sekali aku meributkan segala hal yang mereka lakukan padaku. "Ada apa, Yah? Ada yang bilang sesuatu ke Ayah?" tanyaku penuh
"Hei, Vit. Cepat kamu hubungi Tika! Tadi sudah Ibu telepon HPnya nggak aktif. Siapa tau sekarang aktif!" perintahnya. Nadanya yang ketus tadinya membuatku menolak perintah itu. Tetapi mengingat Tika pun membawa motorku, aku cepat mengambil ponselku di kamar. Kucoba menghubungi nomor Tika. Tak ada tanda-tanda dia mengaktifkan ponselnya. Lama-lama kurutuk adik iparku itu. Kurang ajar sekali kalau dia memang sengaja tidak mengaktifkan ponselnya. Kenapa pula dia membawa motorku? "Gimana? Dijawab nggak?" Aku menggeleng. Ibu mertua kembali meracau. Kalimatnya sudah beralih ke mana-mana. Aku yang tak mau tambah pusing melihat tingkahnya, segera beranjak ke kamar. Khawatir juga Risa menangis saat terjaga dan mencariku jika tak ada di sisinya."Dasar menantu tak berguna! Disuruh menghubungi Tika malah ngeloyor pergi. Nggak ada etikanya sama sekali!" sembur ibu mertua. Aku masih mampu mendengar kalimat umpatannya. Kali ini aku harus memaklumi, mengingat dia sedang panik dengan keberadaan an
Pagi ini aku tak melakukan aktivitas seperti biasanya. Sengaja aku hanya menyiapkan makanan untuk Risa dan Lala. Mbak Minah, pengasuh mereka sudah kumintai tolong untuk memandikan mereka di rumahnya. Aku benar-benar marah dengan kejadian tadi malam. Semalaman aku sulit sekali memejamkan mata. Entah jam berapa aku bisa terlelap tidur hingga terbangun dengan kepala berdenyut nyeri dan mata yang membengkak sempurna. Lengkap sudah keadaanku pagi ini. Beruntung Lala dan Risa sangat pengertian dan mau diurus Mbak Marni meski setiap pagi aku yang bisa menyiapkan segala kebutuhan mereka. Kuabaikan kewajibanku memasak untuk seluruh anggota keluarga ini. Lantai rumah pun tak aku sapu sama sekali. Biar saja mereka tahu aku yang dikatai guru b*doh ini sudah tak peduli lagi dengan semua itu. Saat aku keluar dari kamar, kulihat Mas Riza berdiri dengan tatapan mata sayu. Ada rasa kasihan mengingat semalaman dia tak kunjung masuk ke kamar lagi. Pasti ibu mertua memintanya mencari keberadaan Tika.
Tika Ditemukan 1"Makanya, Riza itu lama-lama tahu. Sebusuk apa istri yang dinikahinya," cemooh ibu mertuaku. Bapak mertua memegang lengan ibu, mengisyaratkan agar wanita itu diam. "Jangan ikut campur dengan urusan anak-anak. Tak baik. Lagi pula bukankah lebih baik kita fokus dengan urusan Tika? Mengapa merepotkan diri mengurusi hal yang seharusnya tak menjadi persoalan?" ucap Bapak Mertua dengan suara pelan penuh tekanan. Kudengar Ibu mencebik sinis. "Biarin, Pak. Sekali-kali dia perlu tahu. Jangan mentang-mentang sudah PNS …""Assalamu'alaikum," ucap seorang dari depan rumah.Ibu mertua langsung berlari ke arah depan. Disusul bapak mertua dan Mas Riza. Aku yang memang akan pergi ke sekolah segera menuju ke depan. "Benar ini rumah Kartika Pratiwi?" Seorang lelaki berpakaian polisi berdiri di depan pintu. Satu orang lagi berdiri tak jauh dari mobil patroli polisi. Ibu mertua luruh ke lantai. Beruntung Mas Riza dan bapak menangkap tubuhnya. Aku melirik pemandangan itu sekilas tanpa
Di sekolah aku tak fokus sama sekali.Teman-temanku yang seolah mengerti dengan masalahku tidak ada yang bertanya apapun. Aku hanya merenung di balik meja komputer. Memainkan keyboard tanpa kegiatan bermakna. Mereka paham, bahwa dalam keadaan seperti ini aku lebih suka diam. Tentu nanti akan kuceritakaan kalau sudah tepat waktunya. Yang jelas saat ini aku hanya butuh waktu untuk sendiri. Toh berita kehilangan Tika semalam pasti sudah sampai di telinga banyak orang. Apalagi ibu yang selalu memakiku dengan keras, menyalahkanku karena tidak menyampaikan informasi yang kudengar pasti sangat mudah terdengar di telinga tetangga.Beberapa kali Mas Riza meneleponku. Tak kuangkat, karena jujur saja aku masih sakit karena dia membentakku dan tak mampu membelaku di depan ibunya.Kubiarkan lelaki itu menimbun rasa bersalahnya tinggi-tinggi. Kali ini aku benar-benar tak ingin mengalah. Dia sudah kelewatan. Aku tak akan membiarkan diriku dipecundangi seperti tadi. Setelah kejadian ini, aku benar