MESIN CUCI
Lelah Perkataan Mas Riza semalam mengenai rencana menyewa ART untuk mengurusi pekerjaan rumah tak kugubris sama sekali. Aku ingin dia paham rencananya tak mendapat persetujuanku. Seharusnya dia mengerti kalau arahnya bukan ke ART, tetapi aku memang menginginkan pindah secepatnya dari sini.Bukankah lebih nyaman berada di rumah sendiri? Bebas melakukan apapun yang kami inginkan.Dan lagi, aku ingin membuat ibu mertua dan Tika tahu, bawa selama ini pekerjaan yang kulakukan tidak bisa dianggap enteng. Yang mereka tahu hanya menyalahkan dan menghujaniku dengan kata-kata pedas semau mereka."Bun, masak apa?" tanya Mas Riza sesampainya di dapur. Ibu mertua yang tengah duduk di ruang santai seketika berdiri dan menyusul Mas Riza ke dapur."Sayur asem sama sambel terasi. Lalapannya pakai kemangi sama leunca," jawabku sambil mengaduk panci berisi sayur asem. Aromanya menguar sedap memenuhi penjuru dapur."Aduh ... Tika nggak suka sayur asem. Masak yang lain lagi! Kasian nanti pulang kerja malah nemu makanan begituan," timpal sengit ibu mertua. Aku mencebik berusaha tak terpancing perkataannya. Tapi kata 'begituan' yang dia ucapkan terasa risih di telingaku. Kulirik Mas Riza di yang berdiri tepat di sampingku. Dapat tertangkap raut wajahnya yang terlihat bingung. Siapa yang akan dia bela kali ini."Denger kan, Vit? Tambah goreng ayam ya. Kasihan Tika. Capek-capek kerja malah makanan yang dimasak bukan selera dia!" Masih saja kulanjutkan pekerjaanku. Aku ingin reaksi apa yang Mas Riza tunjukkan setelah melihat kelakuan ibunya yang hampir tidak pernah menghargai jerih payahku."Vit! Orang tua ngomong kok diam saja! Pokoknya tambah ayam goreng. Ibu nggak mau Tika ngambek makanannya nggak sesuai lidahnya dia!""Lidahnya dia kenapa saya yang mesti ngurusin, Bu? Kalau Tika nggak suka makanan yang saya buat kenapa nggak makan di luar atau beli matang saja? Apa saya mesti masak makanan sesuai selera semua penghuni rumah ini? Tanganku yang cuma dua harus mengurusi berbagai tipe mulut orang?!" Mas Riza terlihat kaget aku berani membantah perkataan ibunya. Sudahlah, ditahan seperti apa malah jadi penyakit nantinya. Kutumpahkan saja kekesalanku. Masa bodoh soal sopan santun. Sudah tak penting lagi diterapkan.Aku bukan malaikat yang diam saja diperlakukan semena-mena. Kubuang jauh-jauh rasa bersalah karena berkata tidak sopan pada ibu mertua. Tapi kalau didiamkan terus malah makin tak karuan perkataannya."Ini, Za. Lihat sendiri, kan? Istrimu sudah mulai tak menghargai Ibu. Apa mentang-mentang udah PNS jadi dia berani membantah?" ujar ibu mertua sambil mengacungkan telunjuknya. Aku diam, sekali lagi masih kutunggu reaksi apa yang akan Mas Riza perlihatkan."Sudah, Bu. Nanti Riza yang beli ayam goreng di luar buat Tika. Vita sudah capek masak banyak begini buat makan malam." Hatiku serasa dialiri arus listrik. Bukan jawaban seperti ini yang kuinginkan. Mataku memanas merasakan kekecewaan atas sikap yang Mas Riza ambil."Bagus, Za. Buruan berangkat. Ibu nitip soto lamongan depan bank ya," ujar ibu mertua sambil berlalu. Mas Riza menepuk bahuku." Bunda nitip apa?" tanyanya dengan pelan. Ada kehati-hatian dari nada bicaranya. Tak kujawab pertanyaan Mas Riza. Kuaduk dengan kasar masakan di depanku. "Uang sertifikasi yang kutabung selama ini akan kupakai untuk merenovasi rumah milik orang tuaku. Mas Hamdan dan Mbak Ratih sepakat rumah itu untukku. Aku ingin hidup di rumahku sendiri. Terserah kau mau ikut atau tidak. Aku sudah lelah," ucapku dengan tangis yang kutahan. Lala dan Risa mendekat ke arahku. Lala yang berusia lima tahun sudah bisa kuminta untuk menjaga adiknya yang berusia lima belas bulan. Jangan harap ibu mertua akan membantu menjaga anak-anakku. Dia lebih suka menonton serial bollywood yang menguras emosi daripada menjaga cucu-cucunya. "Ibu ... Risa pup," ujar Lala. Mas Riza yang paham dengan kondisiku segera menggendong Risa dan membawanya ke kamar mandi. Tunggulah, sebentar lagi repetan khas itu akan berbunyi nyaring lagi. Kuhitung dalam hati. "Riza ... jangan kebiasaan nyebokin anak, tuman nantinya. Dia nggak punya sopan santun sama kamu. Lagian si Vita belum selesai juga? Masak begituan aja lama banget! Sengaja kali biar terbebas dari nyebokin anaknya. Udah kasih ke Vita!" Aku memijit keningku dengan kasar. Begitulah, tak akan ada kedamaian selagi mertua selalu ikut campur dalam rumah tanggaku. Terlebih karena apapun yang aku kerjakan juga tak pernah benar di matanya. Dan aku lelah. ***Aku sengaja makan mendahului mereka. Jujur saja aku sedang menghindari Mas Riza dan ibu mertua. Daripada acara makan malam kami menjadi tak nyaman, aku lebih baik makan sendirian sambil menjaga dua buah hatiku selagi Mas Riza pergi membeli ayam goreng dan soto lamongan pesanan ibunya. Kumasukkan suap demi suap makanan yang kali ini terasa hambar. Mataku yang dari tadi terasa panas kutahan agar tak melelehkan kristal beningnya. "Bisa-bisanya makan dulu sementara suamimu sedang keluar mencari makanan. Harusnya ditunggu, biar nanti pas makan ada yang menyiapkan." Suara ibu mertua terdengar lagi. Ingin kutanya apakah matanya rabun hingga tak bisa menahan repetannya sampai aku selesai makan. Tetapi niat itu kutahan. Hari ini sudah terlalu banyak lisanku berbuat dosa. Kubiarkan saja suaranya terhempas dibawa angin lalu. Lala dan Risa nampak asyik memainkan boneka mereka. Aku bersyukur dua anak hasil pernihakanku dengan Mas Riza tergolong anak penurut.Mereka berdua seperti paham, ibunya memiliki pekerjaan yang tidak sedikit hingga selama ini mereka tak pernah rewel dan bertingkah berlebihan hingga menguras emosi. "Vita. Surganya istri itu ada pada suami. Meskipun kamu punya karir bagus bukan berarti kamu bisa menyepelekan Riza. Jangan bersikap seenaknya sendiri. Karir kamu hanya berlaku di tempat kamu mengajar. Di rumah, kamu harus bisa berganti peran menjadi ibu rumah tangga yang taat pada suami. Jangan sampai pertanggungjawaban Riza kelak semakin berat karena kamu tidak berperan sebagaimana seorang istri baik. Meskipun orang tuamu tak pernah mengajarimu bagaimana menjadi istri yang baik, seharusnya kamu bisa belajar dari lingkungan sekitar. Apalagi kamu wanita berpendidikan, harusnya pengetahuan seperti itu bisa kamu peroleh dengan mudah, kan?" Kutenggak air minum di depanku hingga tandas. Bahkan tak kuhabiskan makanan yang masih tersisa di piring. Rasanya sungguh tak bisa dibayangkan. Makan sambil diceramahi mertua panjang lebar. Setiap hari aku harus mendengar nasihat tentang bagaimana menjadi istri solehah, istri yang memegang kunci surga karena sikap patuhnya pada suami. Istri yang menerima apapun keputusan yang dilakukan suaminya. Dan lucunya, dia seperti tak berkaca pada dirinya sendiri. Menasihatiku dengan sangat apik sementara sikapnya pada bapak mertua justru berkebalikan. Entah kapan terakhir dia membuatkan makanan kesukaan bapak mertua. Kalau tidak aku yang merasa kasihan, mungkin bapak mertua tidak akan pernah menyantap dendeng balado kegemarannya. Belum lagi suara ibu mertua yang luar biasa meninggi saat memarahi suaminya karena telat menjemput Tika yang kebetulan tidak membawa motor. Ya … ibu seperti tak menyadari bahwa nasihat bagaimana menjadi istri baik justru lebih cocok untuk dirinya sendiri.MESIN CUCI Toxic Tak lama kudengar suara motor Mas Riza masuk ke halaman rumah. Kulihat tangannya menenteng plastik makanan. Ibu mertua langsung berseri melihat kedatangan anak laki-lakinya. "Lala … Ayah bawa martabak coklat keju kesukaan kamu. Sini, Nak!" panggil Mas Riza pada putri sulung kami. Aku yang sedang mencuci piring bekas makanku tak menoleh sama sekali. "Lho … Lala itu sudah makan. Paling-paling juga nggak dimakan wong sudah kenyang. Sini ambil lemek kecil aja buat Lala. Biar nggak dibejek-bejek tangannya. Yang di kotak biar buat Tika. Dia juga suka martabak coklat keju." Ibu mertua menyaut kotak martabak di tangan Mas Riza. Dengan langkah anggun dia berjalan ke rak dapur mengambil lemek kecil sebagai alas martabak untuk Lala. Seperti biasa, Mas Riza tak mampu berbuat banyak menghadapi ibunya. Kulihat Lala sedikit kecewa dengan perbuatan ibu mertua. Apalagi hanya sepotong kecil saja yang sang nenek ulurkan ke tangannya. Matanya mengerjap melihat potongan martabak ya
Tika Hilang 1"Bun …" panggil Mas Riza saat aku sedang menidurkan Lala dan Risa. Aku menoleh ke arah Mas Riza. Sepertinya ada hal mengganjal yang ingin dia sampaikan. Wajah suamiku terlihat gusar. Tetapi aku menahan diri untuk bertanya lebih lanjut. Aku tak ingin membebani pikiranku untuk hal-hal yang belum pasti. Jika memang apa yang membuatnya terusik berhubungan denganku, maka sudah pasti dia akan mengatakannya padaku. "Kamu nggak malu kan karena suamimu bukan pekerja kantoran?" suaranya agak bergetar, terdengar penuh keragu-raguan. Jahat sekali yang menyampaikan ini padanya, aku yakin kedua manusia itu yang sudah mengucapkan hal yang tidak seharusnya diucapkan pada suamiku. Hatiku memanas mendengar pertanyaannya. Tumben sekali suamiku terlihat tak percaya diri seperti ini. Entah dimana otak kedua manusia itu. Jika saja bukan orang terdekat suamiku, ingin sekali aku meributkan segala hal yang mereka lakukan padaku. "Ada apa, Yah? Ada yang bilang sesuatu ke Ayah?" tanyaku penuh
"Hei, Vit. Cepat kamu hubungi Tika! Tadi sudah Ibu telepon HPnya nggak aktif. Siapa tau sekarang aktif!" perintahnya. Nadanya yang ketus tadinya membuatku menolak perintah itu. Tetapi mengingat Tika pun membawa motorku, aku cepat mengambil ponselku di kamar. Kucoba menghubungi nomor Tika. Tak ada tanda-tanda dia mengaktifkan ponselnya. Lama-lama kurutuk adik iparku itu. Kurang ajar sekali kalau dia memang sengaja tidak mengaktifkan ponselnya. Kenapa pula dia membawa motorku? "Gimana? Dijawab nggak?" Aku menggeleng. Ibu mertua kembali meracau. Kalimatnya sudah beralih ke mana-mana. Aku yang tak mau tambah pusing melihat tingkahnya, segera beranjak ke kamar. Khawatir juga Risa menangis saat terjaga dan mencariku jika tak ada di sisinya."Dasar menantu tak berguna! Disuruh menghubungi Tika malah ngeloyor pergi. Nggak ada etikanya sama sekali!" sembur ibu mertua. Aku masih mampu mendengar kalimat umpatannya. Kali ini aku harus memaklumi, mengingat dia sedang panik dengan keberadaan an
Pagi ini aku tak melakukan aktivitas seperti biasanya. Sengaja aku hanya menyiapkan makanan untuk Risa dan Lala. Mbak Minah, pengasuh mereka sudah kumintai tolong untuk memandikan mereka di rumahnya. Aku benar-benar marah dengan kejadian tadi malam. Semalaman aku sulit sekali memejamkan mata. Entah jam berapa aku bisa terlelap tidur hingga terbangun dengan kepala berdenyut nyeri dan mata yang membengkak sempurna. Lengkap sudah keadaanku pagi ini. Beruntung Lala dan Risa sangat pengertian dan mau diurus Mbak Marni meski setiap pagi aku yang bisa menyiapkan segala kebutuhan mereka. Kuabaikan kewajibanku memasak untuk seluruh anggota keluarga ini. Lantai rumah pun tak aku sapu sama sekali. Biar saja mereka tahu aku yang dikatai guru b*doh ini sudah tak peduli lagi dengan semua itu. Saat aku keluar dari kamar, kulihat Mas Riza berdiri dengan tatapan mata sayu. Ada rasa kasihan mengingat semalaman dia tak kunjung masuk ke kamar lagi. Pasti ibu mertua memintanya mencari keberadaan Tika.
Tika Ditemukan 1"Makanya, Riza itu lama-lama tahu. Sebusuk apa istri yang dinikahinya," cemooh ibu mertuaku. Bapak mertua memegang lengan ibu, mengisyaratkan agar wanita itu diam. "Jangan ikut campur dengan urusan anak-anak. Tak baik. Lagi pula bukankah lebih baik kita fokus dengan urusan Tika? Mengapa merepotkan diri mengurusi hal yang seharusnya tak menjadi persoalan?" ucap Bapak Mertua dengan suara pelan penuh tekanan. Kudengar Ibu mencebik sinis. "Biarin, Pak. Sekali-kali dia perlu tahu. Jangan mentang-mentang sudah PNS …""Assalamu'alaikum," ucap seorang dari depan rumah.Ibu mertua langsung berlari ke arah depan. Disusul bapak mertua dan Mas Riza. Aku yang memang akan pergi ke sekolah segera menuju ke depan. "Benar ini rumah Kartika Pratiwi?" Seorang lelaki berpakaian polisi berdiri di depan pintu. Satu orang lagi berdiri tak jauh dari mobil patroli polisi. Ibu mertua luruh ke lantai. Beruntung Mas Riza dan bapak menangkap tubuhnya. Aku melirik pemandangan itu sekilas tanpa
Di sekolah aku tak fokus sama sekali.Teman-temanku yang seolah mengerti dengan masalahku tidak ada yang bertanya apapun. Aku hanya merenung di balik meja komputer. Memainkan keyboard tanpa kegiatan bermakna. Mereka paham, bahwa dalam keadaan seperti ini aku lebih suka diam. Tentu nanti akan kuceritakaan kalau sudah tepat waktunya. Yang jelas saat ini aku hanya butuh waktu untuk sendiri. Toh berita kehilangan Tika semalam pasti sudah sampai di telinga banyak orang. Apalagi ibu yang selalu memakiku dengan keras, menyalahkanku karena tidak menyampaikan informasi yang kudengar pasti sangat mudah terdengar di telinga tetangga.Beberapa kali Mas Riza meneleponku. Tak kuangkat, karena jujur saja aku masih sakit karena dia membentakku dan tak mampu membelaku di depan ibunya.Kubiarkan lelaki itu menimbun rasa bersalahnya tinggi-tinggi. Kali ini aku benar-benar tak ingin mengalah. Dia sudah kelewatan. Aku tak akan membiarkan diriku dipecundangi seperti tadi. Setelah kejadian ini, aku benar
"Bun. Nanti aku ganti motor yang dihilangkan Tika. Tolong Bun. Jangan bersikap seperti ini!" pinta Mas Riza. Aku menatapnya dengan sinis. "Kamu tahu, Mas? Aku sengaja membelinya menggunakan uang pribadiku agar tak keluargamu tak mengungkit soal motor yang kupakai. Itu saja Tika masih seenaknya memakai dan mengakatakan motor itu pemberianmu. Jika sekarang kamu benar-benar menggantinya dengan uangmu, bagaimana tanggapan kedua orang itu? Aku makin diinjak dan diperlakukan seperti seorang pengemis yang seolah-olah menghabiskan hartamu saja!" Aku sengaja menekankan kata dua orang itu pada Mas Riza. Aku ingin dia tahu aku benar-benar marah kali ini. Aku ingin Mas Riza makin memperbaiki sikapnya. Aku tak ingin dia diam seribu bahasa saat aku tengah direndahkan kedua wanita di sisinya." Lalu bagaimana kamu akan pergi ke sekolah, Bun?" tanyanya kemudian. Aku berhenti dan memandang wajah itu. "Jalan kaki. Seperti itu kan perintah ibu dan adikmu?".Kulihat kilat penyesalan di mata suamiku. D
Sebuah Keputusan Aku melihat Tika sedang duduk mengangkat kakinya di kursi ruang tengah. Sesudah menyiapkan makanan untuk Lala dan Risa, aku tak memasak apa pun untuk anggota rumah ini. Biarlah mereka terbiasa tanpaku. Aku ingin mereka berlatih hidup tanpa pembantu gratis ini. Tika yang melirik ke arahku tak punya inisiatif untuk menjelaskan perihal motor itu. Bahkan ucapan permintaan maaf pun tidak ada. Heran sekali ada orang seperti dia. Bebal bermuka tembok. Tak punya rasa malu sedikit pun. Mulutku yang sudah gatal ini kupaksa mengeluarkan pertanyaan untuknya."Jadi motorku gimana nasibnya, Tik?"Orang yang kutanya itu melirik sekilas dengan wajah jutek. Dia kembali memasukkan tangan ke dalam toples di depannya. Tak ada tanda-tanda dia akan menjawab pertanyaanku. Kesal, aku mengulangi pertanyaan untuknya. "Tik. Kamu sudah sehat, Kan? Polisi bilang akan meminta keteranganmu kalau kamu sudah sehat. Kulihat kamu sudah sehat, biar nanti kuhubungi polisi untuk kemari," pancingku pad