Share

Bab 7

Melihat Yuni yang menangis sesengukan di lantai Sang Ayah duduk menghampiri.

"Kamu kenapa Nak? jangan menangis di lantai, ayo bangun." Titah Pak Doni pada anaknya Yuni yang sedang menangis di lantai.

Yuni segera menyeka air matanya dan memeluk sang Ayah, saat ini hanyalah Ayahnya yang mengerti dirinya.

"Tidak apa-apa Yah. Yuni hanya kecapean saja," ucap Yuni berbohong karena tidak mau menambah pikiran Sang Ayah apalagi barusan Yuni melihat Ayahnya makan dengan lahap dan penuh gembira karena makanan yang Yuni bawa sangat enak dan mewah menurut Ayahnya.

"Ya sudah kamu sekarang istrirahat, biarkan Ayah saja yang membersihkan sisa makannya." Ucap Pak Doni penuh pengertian pada Yuni, dia sebenarnya merasa iba dengan Yuni di usia yang sangat muda harus membanting tulang demi mencukupi keluarga.

"T-tapi, Pak" ucapku ragu, takut kalau Ayah yang melakukannya beliau akan kelelahan.

"Sudahlah Nak, jangan risaukan Ayahmu. Ayah sudah sehat dan kuat," jawab Ayah Yuni sambil memperlihatkan otot tubuhnya yang tidak terlalu kelihatan kepada Yuni, pikir Pak Doni akan membuat Yuni kembali tersenyum dan melupakan sedihnya.

Yuni akhirnya menganguk dia tersenyum sekilas ke arah Ayahnya dan masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat.

Memang tubuhnya terasa lelah, apalagi makanan yang harusnya dia makan malah dihabiskan oleh kedua kakaknya. Untungnya disana dia sempat mengemil roti jadi dia tidak terlalu kelaparan malam ini.

"Tempat terindah saat ini adalah kamar." Itulah kata yang paling tepat dirasakan oleh Yuni sekarang. Tempat yang dimana Yuni bisa melepaskan beban di hatinya, ingin rasanya dia lari dari rumah ini namun Ayahnya siapa yang akan menjaganya. Sedangkan apa yang Ibunya Yuni pikirkan adalah uang dan uang setiap harinya.

Tok....Tok..Tok..

Belum sempat Yuni merebahkan tubuhnya pintu kamarnya sudah kembali di ketuk entah ini siapa yang ingin bicara pada Yuni saat malam begini.

"Yun, kamu sudah tidur?" tanya seseorang yang Yuni yakini adalah suara dari Bu Nina Ibu Kandungnya.

Yuni menghela nafas, ada apa lagi ini Ibunya datang malam-malam.

"Belum Bu," jawab Yuni seraya membuka pintu kamarnya.

Terlihat Bu Nina yang sedang cemberut menunggu di luar kamar Yuni.

"Ada apa Bu, malam-malam ke kamar Yuni?" tanya Yuni dengan raut penasaran karena tidak biasanya Ibunya malam-malam membuka pintu.

"Ibu minta uangnya, buat beli ikan besok dan beli krim malam Ibu sudah habis soalnya." Jawab Bu Nina dengan entengnya tanpa rasa berdosa telah minta uang pada anaknya yang telah bersusah payah bekerja.

Yuni lalu menganguk dan kembali mencari tasnya yang ada di atas meja. Dia mengambil dua lembar uang lima puluh ribuan dan menghampiri Sang Ibu yang sedang menunggu dengan wajah senang, karena dia akan membelikan krim wajahnya yang sudah lama habis.

"Ini Bu uangnya, Yuni belum gajian jadi hanya bisa kasih segitu dulu." Ucap Yuni dengan menghela nafas berat, dia tahu sebentar lagi Ibunya akan mulai marah karena melihat jumlah uang yang diberikan oleh Yuni masih kurang kalau untuk beli krim untuk Bu Nina.

"Aapaa?? uang segini mana cukup untuk beli krim Ibu, mana lagi buat makan hari ini. Kamu jangan bohong, pasti kamu sembunyikan uang kamu itu di dalam tasmu!" Ujar Ibu Nina dengan mata melotot hampir terlepas dari tempatnya.

"Maaf Bu, benar Yuni hanya punya uang tinggal segitu. Itu juga uang pemberian dari Bu Tari sewaktu aku kerja hari ini." Ucap Yuni dengan mata yang sudah berkaca-kaca kalaupun Yuni mengedipkan mata pasti air mata itu akan berjatuhan.

"Dasar anak tidak tahu terima kasih, Ibu ini minta uang kamu. Bukan nyawa kamu jadi jangan terlalu pelit sama Ibumu yang sudah melahirkan kamu!" hardik Bu Nina dengan keras pada Yuni.

Sang Ayah yang sedang mencuci piring di dapur langsung berlari untuk menuju anak perempuan yang paling disayangnya meskipun kakinya terasa sakit akibat cedera yang mengakibatkan dirinya harus di PHK.

Saat melihat istrinya sedang menunjuk-nunjuk muka anaknya beliau pun langsung berteriak pada istrinya.

"Nina, kamu bisa tidak sehari gak marahin Yuni. Kasihan dia sudah pulang kerja sampai di rumah malah kamu marahin." Umpat Pak Doni pada istrinya.

"Diam kamu dasar lelaki tidak berguna, semua ini bukan urusanmu." Balas Ibu Nina sambil beranjak maju ke hadapan suaminya.

Kedua Kakak Yuni yang sedang menonton televisi pun melihat pertengkaran tanpa mau membela karena memang mereka senang jika Yuni dimarahin oleh Ibunya.

"Biarpun sekarang aku tidak berguna mencarikan kamu uang tapi dulu saat aku masih bekerja bukankah kamu juga merasakannya." Ucap Pak Doni menatap marah pada istrinya itu yang selalu tidak mau bersyukur.

"Halah, lihat sekarang kamu sudah tidak ada gunanya. Kalaupun dulu kamu berikan aku uang tetapi nyatanya hidup kita tetap saja miskin." Teriak Bu Nina membalas ucapan suaminya.

"Sudah Yah, jangan hiraukan Ibu. Buatku Ayah adalah pahlawan untukku" Ucap Yuni seraya memeluk sang Ayah yang sudah berlinang air mata, dia tidak terima mendengar Ibunya menghina Sang Ayah.

"Ternyata kalian berdua memang tidak berguna, ngapaen kamu kesini. Aku sedang meminta pada anakmu ini malah dia menyembunyikan uangnya, tidak mau memberikannya padaku. Aku ini yang sudah melahirkan kamu, mana balas budinya pada Ibumu ini.

Yuni yang sedang menangis bersama Sang Ayah langsung mengusap airmatanya dan menjawab omongan Ibunya.

"Bener Bu, Yuni sudah tidak ada uang lagi. Itu uang satu-satunya yang Yuni punya." Ucap Yuni berbohong sebenarnya dia menyembunyikan uang untuk biaya berobat Ayahnya yang sakit kakinya.

"Bohong kamu sini Ibu liat tas kamu!" Bentak Ibu Nina sambil melangkah masuk ke kamar Yuni dan membongkar semua isi tasnya dan isi didalam tas Yuni pun berhamburan keluar. Seketika itupun Ibunya Yuni tersenyum girang karena ada beberapa lembar uang lima puluh ribuan yang berserakan di lantai. Ibunya Yuni langsung memunguti uang itu dan melemparkan tas nya Yuni kelantai.

"Dengar jangan coba-coba kamu menyembuyikan uang dariku, karena tidak akan berhasil."

"Ibu, itu uang untuk biaya berobat Ayah. Tolong jangan diambil." Teriak Yuni seraya memohon dan bersujud di depan Ibunya agar uangnya itu tidak diambil, karena Yuni ingin mengajak berobat Ayahnya agak bisa berjalan dengan normal. Ayahnya selama ini berjalan dengan pincang, karena itu Yuni merasa iba dan dia menabung sedikit demi sedikit uang untuk membawa Sang Ayah ke Dokter.

"Diam kamu, Ayahmu biarkan saja jalannya pincang sampai mati. Yang harus kamu bahagiakan itu Ibu karena aku yang melahirkan kamu!" sentak Ibu Nina sambil berjalan meninggalkan kamar Yuni dengan hati yang senang karena sudah mendapatkan uang yang di inginkannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status