Khair segera melepaskan pelukan Lena dan berlari menuju kamarnya. Begitu pun Lena yang juga terkejut mendengar teriakan dari mertua yang selalu membencinya itu.
"Ma, Mama nggak apa-apa?" tanya Khar seraya menopang tubuh sang Mama yang hampir terjatuh.
"Kepala Mama sakit," ucap perempuan itu dengan kedua tangan memegangi kepalanya. "Stop! Kamu nggak usah dekat-dekat," teriak perempuan itu dengan jari menuding ke wajah Lena.
Lena yang semula begitu antusias untuk membantu mertuanya, seketika langsung diam di tempat. Dia tak menyangka dalam kondisi darurat pun mertuanya itu masih saja tak mau menerima bantuannya.
"Sudah, Ma, jangan marah-marah lagi. Nanti darah tingginya kumat," ucap Khair sambil mengusap-usap punggung Mama Reta.
"Ini semua gara-gara istrimu. Kalau aja kamu nggak nikah sama perempuan kaya dia, pasti keluarga kita nggak akan kena sial seperti sekarang," balas perempu
"Apa rencanamu?" Lelaki yang selalu berpenampilan bak aktor papan atas itu menoleh lalu menatap seorang wanita muda berhijab di sampingnya.Sejenak wanita itu menarik punggung dari sandaran kursi lalu menyilangkan kakinya. "Bagaimana kalau kita fitnah saja dia, dan kamu yang akan menjadi pemeran utama dalam mensukseskan permainan ini?" cetusnya.Kerutan di kening Azzam menandakan kalau dirinya masih ragu dengan ide dari lawan bicaranya. Mereka adalah dua orang yang bersatu lantaran alasan ambisi atas rasa cinta yang salah dan enggan pergi dari hati."Tidak, Aida! Aku tidak mau menyakiti hati perempuan yang aku cintai. Bagaimana kalau dia tahu ini rencana kita dan akan semakin membenciku." Lelaki itu menembak kedua bola mata Aida dengan perasaan sedikit cemas."Ck, persetan akan rasa sakit. Bukankah dengan kamu ingin memilikinya saja itu merupakan alasan menyakiti dengan cara yang paling disengaja."
Lena keluar dari ruangan dengan langkah gontai. Sepasang mata tua Mama Reta yang tampak berkaca-kaca membuatnya bimbang untuk mempertahankan keputusan.Ada nyeri sekaligus sesak di dalam sana yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Apakah salahnya kalau dia sulit memiliki keturunan? Bukankah itu diluar kemampuannya sebagai hamba?"Assalamualaikum, gimana kabarnya?" sapaan dari Melody seolah tak memiliki pengaruh apa-apa pada Lena. Perempuan itu sengaja menulikan telinganya seolah indra pendengarannya tak lagi memantulkan bunyi dengan sempurna.Lena tetap berjalan seraya menatap lurus ke depan, menganggap kehadiran Melody hanyalah sebatas angin yang ingin dia hempaskan begitu saja.Lena memasuki kamar dengan perasaan yang sulit digambarkan. Seolah dunia dengan sengaja menghakiminya, membiarkan hatinya dalam keadaan terlunta-lunta dan tak ada yang mampu menenangkannya.Sementar
Khair melepaskan pegangan tangan Lena dan menatap perempuan itu lekat. "Kamu bicara apa, Sayang?" tanyanya lembut seolah ingin menghapus jarak yang sempat dia ciptakan di hati Lena.Lena tak bicara lagi, perempuan itu menarik pergelangan tangan Khair dan mengajaknya masuk ke dalam kamar. Lalu, perempuan itu memutar anak kunci pintu dari dalam."Ada apa ini, Lena?" tanya Khair saat melihat perempuan itu berjalan maju dan melepaskan tautan tangan mereka. "Apa Mama memaksamu melakukan sesuatu?" tanyanya."Menikahlah dengan Melody, Mas! Aku merestui hubungan kalian!" ungkap Lena akhirnya."Kamu mengatakan ini atas perintah Mama?""Tidak, Mas! Ini murni keinginanku untuk membuatmu bahagia.""Kamu ini bicara apa? Tidak akan ada yang terikat janji suci denganku kecuali dirimu," jawab Khair seraya bergerak menghampiri Lena.Lena mendongakka
Akhirnya hati Lena benar-benar hancur lebur tak menyisakan kepingan. Keinginannya bersambut, sebentar lagi apa yang akan menjadi pengorbanan terbesarnya akan segera dimulai.Sayangnya, ada sesak luar biasa yang seolah menghimpit dadanya, menjalar ke seluruh tubuh hingga menimbulkan lemas tak tertahan.Sebulir air mata jatuh dari sudut mata berbulu lentik itu, dengan tanpa aba-aba dia gegas menghapusnya. Dan berharap tak ada satu orang pun yang tahu betapa remuknya hati saat ini."Benarkah? Mama nggak salah dengar?" tanya Mama Reta dengan tatapan terharu, terlihat jelas kalau rasa sakitnya langsung hilang dalam sekejap.Khair hanya bisa mengangguk lemah. Hati lelaki itu sama hancurnya dengan perempuan yang berdiri mematung di sebelah.Melody tersenyum penuh kemenangan saat menatap Lena memundurkan tubuhnya selangkah dengan pandangan kosong. Ya, dia telah menang selangkah dar
"Kamu kapan pulang lagi?" tanya Rehan pada perempuan di seberang sana via sambungan telephone."Entahlah, sepertinya masih agak lama. Hemm, gimana kabar keluargaku?" tanya Fatimah. Kini mereka sudah kembali menjalin hubungan setelah lama saling berseteru mempertahankan ego."Memangnya Khair tidak meneleponmu?" Rehan balik bertanya."Menelepon sih, tapi nggak sesering kamu. Maklum dia kan punya banyak kesibukan, belum lagi waktu sama Mbak Lena," jawab Fathimah.Rehan mengembuskan napas kasar, sepertinya Fathimah masih belum tahu tentang permasalahan keluarganya. Entah Khair sengaja menutupinya atau memang dia belum punya waktu untuk bercerita."Halo, kamu masih di sana?" tanya Fatimah saat Rehan tak merespon ucapannya.Rehan tergagap, dengan buru-buru dia berusaha mengembalikan konsentrasi. "Ah, ya, maaf aku kurang fokus!" jawabnya kemudian. 
Khair berjalan dengan terburu-buru memasuki rumah Lena yang pintunya tidak ditutup. Sekilas dia menoleh masih ada cangkir kopi yang isinya tinggal ampas di meja yang terletak pada sudut beranda."Lena ...." Mata Khair langsung melebar saat melihat Lena duduk di ruang tamu dengan hijab berantakan dan kedua bahunya berguncang.Khair segera menghampiri perempuan itu. "Apa yang terjadi, Lena? Siapa yang menyakitimu?" tanya Khair seraya membuka tangan Lena yang menutupi wajah.Sayangnya, Lena menepis tangan Khair. Seolah dia tak ingin Khair melakukan hal itu.Namun, Khair masih bisa melihat dengan jelas baru saja ada yang menampar pipi sang istri. Karena bekas kemerah-merahannya masih tersisa."Ada apa, Sayang?" tanya Khair dan berharap kali ini Lena menjawab pertanyaannya.Lena tak mengeluarkan sepatah kata pun, tak ada yang ingin dia jelaskan m
"Mama kenapa nyuruh Mas Khair menikah lagi?" tanya Fatimah via telepon."Karena kakak iparmu mandul," jawab Mama Reta lugas."Itu bukan alasan untuk membuat hubungan mereka bercerai berai, Ma. Maaf, Mas Khair sangat mencintai Mbak Lena begitu juga sebaliknya. Mama juga seorang istri gimana kalau seandainya Mama-lah yang ada di posisi itu. Apa Mama rela dimadu?" tanya Fathimah kesal dengan keputusan ibunya yang selalu ingin menang sendiri."Itu masalahnya Mama nggak pernah ada di posisi dia. Makanya Mama nggak peduli. Lagipula, ya jelas beda, Mama ini perempuan yang subur dan bisa kasih banyak anak. Dasar papamu aja yang egois," curhat Mama Reta."Tapi tetap aja Mama nggak bisa mengatur rumah tangga mereka." Fathimah menggelengkan kepala mendengar ucapan sang mama yang keras kepala."Kamu anak kecil nggak usah ikut campur! Makanya cepetan pindah ke sini dan kuliah di Indonesia, jangan kelamaan tinggal sama papamu. Sikapmu jadi terkontami
Pada akhirnya segala di dunia ini adalah tentang pilihan, melanjutkan perubahan atau berhenti berjuang.Ibarat kata Lena sudah memantapkan hati untuk merubah dirinya, dan sudah sepatutnya dia belajar istiqomah. Walaupun hati kadang masih sering goyah, semoga itu tak menyurutkan langkah untuk terus berbenah.Sementara angin bertiup semilir menerpa wajah Aida yang duduk di teras rumah bersama perempuan paruh baya yang telah merawatnya sejak kecil.Dia mengembuskan napas berat, lebih berat daripada saat dia mengejar Khair dan sinyalnya tak berbalas.Seharusnya dari awal dia paham posisinya, tetapi mau bagaimana lagi. Semua orang mengatasnamakan cinta tak pernah salah sebagai lantaran memenuhi ambisi.Tak pernah terbayang dalam pikirannya, kalau kini dadanya benar-benar berdenyar saat ingin mereguk asmara bersama Khair. Meski kemungkinan itu sangat kecil."Tidak