“Cari siapa?”‘Dia …. Untuk apa dia di sini? dia ….’Bella tidak sanggup berpikir lagi. Ucapan dalam benaknya itu menggantung begitu saja. Di depannya berdiri dengan gagah dan tanpa cela pria yang ingin sekali dia lupakan seumur hidupnya. Bella mengepalkan satu tangannya yang menggenggam bunga pesanan Lena.“Cari siapa?”Pria di hadapannya itu dengan fasih bertanya dalam bahasa Indonesia padanya. Kedua alis itu menyatu pertanda bingung. Bella memerhatikan mata itu turun menatap Samudera. Degup jantungnya mulai berdetak lebih cepat dari biasanya.“Sudah datang, ya, Om?” Lena bersuara dari dalam rumah.‘Om?’ Bella berpikir bingung. ‘Dia pamannya Lena? Jadi selama ini?’ pikirnya lagi masih bingung.Lena tersenyum pada Bella dan mengulurkan tangannya mengusap rambut Samudera. “Sudah berkenalan dengan Om aku ya, Bell?” tanya Lena riang. Berpikir bahwa Bella dan pamannya sudah mengobrol beberapa saat.Bella tidak bisa berkata-kata. Dia lupa membalas apa pada Lena setelah melihat pria yang 1
“Mana alamatnya? Aku akan mengantarkanmu.” Evan sibuk memasang peta daring di dalam mobil itu. Dia mengerutkan kening tatkala Bella hanya diam. Tidak ada catatan yang diberikan padanya. “Isabella?” panggilnya ketika diperhatikannya Bella yang hanya diam melamun.Bella tidak menanggapi. Pikirannya berada di tempat lain. Pikirannya berada di masa lalu ketika dia dan Evan berdua di dalam mobil seperti ini. Ketika itu dia dengan berani menggayuti lengan Evan yang sibuk menyetir dengan satu tangan. Kala itu, semua dia lakukan dengan benar-benar tulus dan selayaknya seorang istri pada suami. Bukan seperti ‘penjual dan pembeli’.Evan menghela napas pelan. Dia tidak mengerti apa yang dipikirkan Bella saat ini. “Kamu menyesal bertemu denganku?” tanyanya. Bella diam. Dia tahu bahwa wanita yang duduk di sisinya itu tidak akan mendengar apa yang dikatakannya sebab sedang melamun. Dia memang mengenal Bella singkat tetapi dia sudah tah
“Evan?”Tanpa sengaja Bella memanggil nama itu ketika membuka mata. Dia berharap hanya mimpi. Mimpi yang membuatnya sedih luar biasa. Dalam mimpinya, Evan hanya diam mendengarkan apa yang diucapkannya. Cacian yang dia keluarkan untuk Evan hanya dibalas pria itu dengan sikap dingin dan diamnya seperti dahulu ketika dia pertama mengenal pria itu.“Tidurlah.”Sahutan itu membuat Bella menoleh. Matanya melebar melihat Evan yang sedang mengunyah roti kasur secara perlahan. Dia berpikir sedang mimpi ternyata tidak. Evan ada di sampingnya dan sedang menyetir.“Kamu mau bawa aku ke mana?” tidurnya yang sepertinya lama membuatnya terkejut berat.“Pulang.” Evan menjawab singkat seraya mengunyah. “Tenang, aku tidak akan membawamu kabur,” balasnya lagi.Bella menguap lalu menutup mulutnya dengan kedua tangannya.“Tidurmu nyenyak sekali.” Evan berkata lagi. “Sudah pukul delapan pagi. Sarapan dulu. Aku beli roti.” Dia meletakkan perlahan bungkusan plastik putih kepangkuan Bella dengan mata masih me
“Om Evan!” Samudera berteriak kesenangan tatkala Evan menggendongnya di bahu seraya berputar-putar.“Seru tidak?” Evan tertawa masih berputar-putar seraya memegang kedua tangan Samudera terentang.“Iya, Om!” balas Samudera. “Baru kali ini loh, Om!” tambah anak itu lagi.“Oya?” Evan menjawab seraya tertawa. Mereka sedang berada di taman yang ada di perumahan itu. Matahari hari itu tidak begitu menyengat walau sudah pukul dua siang. Langitnya sedikit gelap walau ada matahari yang mengintip. “Memangnya tidak pernah dengan ayahmu?” Evan mulai mengorek informasi dari Samudera.“Tidak.” Samudera menjawab singkat masih tertawa tatkala Evan membawanya berlari sedikit lebih kencang.Tubuh Samudera yang tinggi itu tidak lantas membuat Evan kepayahan. Dia malah senang bukan main bisa bersama anak itu. Samudera ternyata menurutnya anak yang menyenangkan sama seperti Bella. Ibunya.“Kenapa? Sibuk Ayahmu?” Evan bertanya lagi. Matanya lalu melihat penjual es krim keliling yang bertuliskan es krim po
“Sam,” ucap Bella.Mengingat apa yang dilakukan Evan pada Samudera tadi setelah kembali dari berjalan-jalan di taman perumahan, membuat dia semakin tidak ingin pria itu tahu siapa sebenarnya Samudera. Sikap Evan yang begitu perhatian pada Samudera membuat Bella takut terjadi hal yang tidak dia inginkan. Dia takut Samudera dibawa ke Amerika.“Ya, Ma?” Samudera menjawab masih dengan kedua tangan memeluk pinggang Bella.“Jangan terlalu dekat dengan Om Evan. Bisa?”Biasanya dia mengucapkan kalimat tidak langsung pada Samudera demi menghindari kata ‘Jangan’. Dia berusaha membiasakan pada Samudera untuk menghindari kata larangan, perintah, dan memarahi. Namun, dia adalah manusia biasa yang selalu luput dari kesalahan seperti sekarang ini. Emosinya mulai meningkat seiring dengan kedatangan Evan yang tiba-tiba.“Kenapa, Ma?”Bella menghela napas pelan. Dinyalakan motornya lagi. “Jangan terlalu dekat. Kamu mengerti?”Bibir Samudera mencebik tetapi dia tidak berani membalas ucapan Mamanya. Dia
Evan terdiam ketika mendengar pertanyaan tersebut muncul begitu saja dari Chloe. Dia tidak ingin masa lalunya yang begitu intim dengan Bella terungkap sebelum bisa menyelesaikan masalahnya dengan Makena. Ketika Evan hendak membuka mulutnya untuk menjawab, ponselnya berdering dari saku celana yang dipakainya. Dia berdiri dari duduknya lalu mengeluarkan ponselnya. Ternyata telepon dari asistennya. “Halo? Ada masalah?” Evan bertanya tanpa basa-basi. Dia memberi kode pada Chloe seraya beranjak keluar dari ruang makan tersebut. “Terima kasih kau telah menghubungiku, Jacob.” Dia terselamatkan dengan entah laporan apa yang akan disampaikan asistennya tersebut. “Begitukah?” Jacob menjawab seraya tertawa di ujung telepon. “Ada apa? semua lancar?” Jacob bergumam menjawab. “Kapan kau akan kembali?” Evan mengangkat bahu. “Entah,” sahutnya. “Kau tidak berniat mengurus permasalahanmu dengan Makena?” Evan mengusap wajahnya. Dia kini duduk di ruang tamu yang sepi. Hermann sepertinya masih di ka
“Isabella?”Evan kembali memanggil namanya ketika Bella tidak kunjung menjawab.“Katakan padaku kebenarannya. Samudera merupakan putraku, bukan?”Bella memejamkan mata. Dia takut jika mengatakan kebenarannya Evan akan membawa pergi Samudera jauh darinya. Tidak. Bella menggeleng samar. Dia tidak akan mengatakan yang sebenarnya.“Chloe bilang 10 tahun lalu kau datang ke rumahnya dalam keadaan hamil.” Evan kembali berkata. “10 tahun lalu adalah tahun di mana kita berpisah.”Dieratkan pegangannya pada buku-buku yang dia susun menjadi satu itu. Bella diam menunduk. Dia berusaha mencari cara agar Evan tidak tahu bahwa Samudera adalah putra kandungnya.“Diammu kuanggap—”“Samudera bukan anakmu.” Bella menyela cepat. “Kau harusnya tahu profesiku apa. Samudera anak dari pria lain.”“Tatap mataku dan katakan itu lagi.” Evan mulai menuntut ketika Bella tidak kunjung menatap matanya.“Untuk apa kau mengatakan itu padaku,” ucap Bella pelan. Dia mulai menatap Evan dan berusaha untuk membendung sega
“Aku tidak menyangka dia Darrel.” Bella berulang kali mengatakan kalimat itu. Alisnya berkerut. Sedetik kemudian dia seolah teringat sesuatu. “Aku pernah melihat foto wanita itu di kamarnya Darrel.”“Makena?” Evan menoleh pada Bella. Pria itu sedang berada di toko bunga. Duduk menikmati kegiatan Bella yang sedang hilir mudik merapikan bunga-bunga tersebut seraya minum kopi. Kopi buatan Bella yang menurutnya masih enak seperti dulu. “Ya. Aku melihatnya dulu ketika aku mencoba mengakhiri hidupku. Foto itu ada di kamarnya Darrel.” Bella mengatakan dengan ringan. Namun, Evan segera berdiri dari duduknya.“Apa?” tanyanya. Dia menghampiri Bella dan berdiri di hadapannya. Kedua tangan wanita itu menggenggam dua tangkai bunga mawar merah. “Kau melakukan apa?” Evan bertanya lagi. Berharap pendengarannya salah.Bella mendongak. “Yang mana?” alis Bella berkerut. Dia tidak mengerti pertanyaan Evan yang terdengar panik serta teerkejut.“Kau mencoba bunuh diri,” ucap Evan lirih. Dia tidak tahu hi