Demi melunasi utang sang ayah, Isabella Halka menjalani pernikahan kontrak dengan seorang ekspatriat bernama Evan Oliver. Saat Evan kembali ke negaranya, ternyata Isabella mengandung. Demi sang buah hati, Isabella bertahan hidup sebagai seorang asisten rumah tangga. 10 tahun berlalu, tanpa sengaja ia dan Evan dipertemukan kembali. Kejujuran hati pun menjadi hal yang sulit untuk diungkapkan.
Lihat lebih banyak“Pak, jangan! Aku tidak mau seperti ini.” Bella bersimbah air mata. Kedua tangannya gemetar di sisi tubuhnya tatkala melihat wajah Timo yang begitu menakutkan baginya.
“Kamu mau membantah Bapak?! Begitu?!” Timo melotot. Suaranya menggelegar memenuhi ruangan sempit. Bella pun berlutut memohon belas kasih bapaknya.Bella mendongakkan kepala. Dia berseru, “Pak, Bella mohon jangan! Apa pun Bella lakukan, asalkan jangan ini, Pak.” Kedua tangannya terulur memeluk kaki Timo erat dengan deraian air mata. Timo menghentakkan kaki agar kedua tangan Bella yang semakin memeluk erat kakinya bak lilitan ular terlepas. Pria setengah baya itu menggeram.“Apalagi kali ini? Kamu mau bantu apa?” tanya Timo masih berusaha agar Bella terlepas dari kakinya. “Entah berapa kali kamu berkata sama seperti itu! Mana buktinya?!”Bella menengadah. Wajahnya tersirat ketakutan. “Pak, kali ini Bella janji akan memenuhi segala keinginan Bapak. Namun jangan ini, ya, Pak? Bella mohon!”Timo tidak menggubris. Dia semakin keras menghentak salah satu kakinya. Akibatnya, tubuh kecil itu terayun-ayun masih berusaha menggenggam erat pada kaki Timo. “Lepas! Kamu anak tidak tahu diuntung! Menyusahkan!” bentak Timo dengan sekuat tenaga hingga akhirnya Bella terlepas. “Pak!” teriak Bella mengejar Timo yang hendak keluar dari ruangan sempit yang hanya berisi satu tempat tidur dan sebuah lemari kayu kecil. Dia menarik tangan Timo. “Tidak adakah jalan lain, Pak?”“Tidak ada,” jawab Timo singkat. Bella kembali berlutut di kaki Timo seraya mencium ujung sepatu olahraga yang sudah usang itu. “Bella mohon, Pak! Bapak butuh uang berapa? Bella akan carikan. Asalkan jangan bawa Bella ke tempat ini, Pak. Bella masih ingin sekolah.” Sungguh pilu sekali suara permohonan itu terdengar. Timo bersidekap. Dia menunduk menatap gadis yang berlutut di kakinya dengan tidak peduli. “Nah, uang yang akan kamu cari ada di tempat ini, Bella,” jawabnya.Ucapan itu serta merta membuat Bella mendongak. “Maksud Bapak? Aku bekerja pada Mami?”Timo terbahak seolah yang dikatakan Bella adalah pertanyaan yang lucu. “Bantu Bapak bayarkan uang yang sudah diberikan Mami Kartika.”“Bantu Bapak? Maksudnya?” Bella bingung dan dia tidak mau berpikir yang macam-macam walau nyatanya pikirannya sudah berkelana mengenai tempat ini dan segala macam kehidupannya. Timo lagi-lagi terbahak seraya menggumamkan kata naif. Dia merogoh saku jaket yang dikenakannya, lalu dikeluarkan amplop coklat tebal. “Ini uang pinjaman Mami Kartika pada Bapak. Sebagai gantinya, kamu harus bekerja padanya untuk membayar utang Bapak ini. Paham?”Seluruh tubuh Bella membeku. Dia melihat tumpukan uang yang dikeluarkan Timo dari amplop tersebut di depan wajahnya. Begitu banyak uang seratus ribuan yang entah berapa jumlahnya. Bella tidak tahu berapa lama dia harus membayar utang Timo pada Kartika jika uang yang dipinjam begitu banyak!Timo kembali memasukkan uang tersebut ke dalam amplop lalu menjejalkan ke saku jaketnya. “Jadi ….” Dia menunduk menatap Bella yang masih bersujud di kakinya. “Bekerjalah dengan rajin dan bersikap baiklah pada Mami! Siapa tahu hutang Bapak akan lunas cepat!” Usai mengucapkan kalimat barusan, Timo mendorong Bella hingga gadis itu terjungkal. Suara tertawa puas membahana di ruangan sempit tersebut. Tubuh kecil Bella membentur dinding yang ada di belakangnya. Sedangkan tubuh gempal Timo terguncang-guncang karena tawanya yang begitu senang. Namun, tawa itu begitu menyiksa Bella hingga ke relung hatinya. Timo pun keluar dari ruangan itu. Bella memejamkan mata. Air matanya menetes lagi. Dia menangis dalam diam. Tangis yang dia harap dapat menyembuhkan luka hatinya pada bapak kandungnya sendiri. ***"Kamu cantik." Salah satu pelayan yang merias wajah Bella bergumam sambil tersenyum. Tangannya memegang perona bibir . Ya, dia sedang memberikan sentuhan akhir pada bibir Bella."Dia sudah selesai, Mad?" tanya pelayan lain pada Mad. Mad mengangguk. "Sudah, Klara," balasnya. "Kamu bisa memberitahu Mami Kartika sekarang.""Oke." Klara hendak berjalan menuju pintu ketika pintu tersebut terbuka dan Kartika sudah berdiri di sana dengan wajah ditekuk."Kalian sudah selesai?!"Pertanyaan Kartika dijawab Klara dan Mad dengan anggukan. Mad serta merta merapikan peralatannya ke dalam koper yang dibawa. "Bagus," gumam Kartika. "Tamunya datang lebih cepat dan aku belum memberikan wejangan pada gadis ini." Kartika menggerutu, lalu masuk ke ruang ganti seraya memerhatikan Bella yang sudah berganti pakaian berupa gaun hijau pastel sebatas lutut. Kartika tersenyum puas melihat kecantikan Bella. Bella meremas kedua tangannya yang ada di pangkuan. Ditatap dirinya di cermin. ‘Cantik dan seperti bukan diriku,’ batinnya. Kedua mata Bella mengerjap dan jelas ketakutan. "Kamu sudah tahu apa yang dilakukan di sini?" Kartika berdiri di belakang Bella. Dipegangnya pundak gadis itu dengan satu tangannya. Tentu saja dia sudah tahu. "Saya–""Maaf, Mami." Suara seorang pria yang merupakan salah satu penjaga rumah mewah itu memotong ucapan Bella. Menunduk hormat.Kartika menoleh. "Ya, Andri?" "Tuan Oliver memaksa ingin naik ke sini." Andri menjawab sopan.Kartika berdecak. "Dia tidak sabar sekali!" gerutunya."Tuan Oliver berkata ada pertemuan penting saat jam makan siang nanti." Andri menjawab gerutuan Kartika. "Suruh dia tunggu di kamar yang sudah kusiapkan sebelumnya!" Kartika mengibaskan tangannya meminta Andri segera pergi. Setelah penjaga itu pergi, dia kembali mengibas tangannya meminta dua pelayan tadi untuk pergi juga. "Kalian boleh pergi!" suruhnya.Bella menatap kepergian Mad dan Klara dengan pasrah. Melalui cermin, dia kembali menatap Kartika. Wajah wanita itu masih ditekuk."Seharusnya kamu mengikuti masa latihan dahulu. Bukan seperti ini. Terburu-buru," ucapnya memutar mata. "Aku berbaik hati sebab menurut Timo kamu masih sangat gadis. Benar? Belum pacaran sama sekali?"Mata Bella mengerjap. Dia tidak terpikirkan untuk menjalin hubungan dengan siapapun. Anggukan adalah jawabannya. Apalagi yang dia ingin katakan? Timo telah berutang pada Kartika. Jika dia berbohong, Timo pasti dikejar dan dibunuh, begitu pula dirinya. "Berdiri dan ikut saya!" Kartika memerintah Bella yang dijawab dengan patuh. Gadis itu berdiri dan mengikuti Kartika gugup. Sepatu yang diberikan Klara terlalu tinggi menurutnya. Dia takut terkilir."Kamu harus bersikap baik pada Tuan Evan. Paham?"Bella menoleh. "Tuan Evan?" Kartika melirik Bella. "Orang yang akan kamu temani," balasnya. "Timo sudah menjelaskannya, bukan? Sebab aku malas mengulang dari awal."Walau Timo sudah menjelaskan padanya tadi di ruangan sempit dan pengap itu, tetap saja Bella takut setengah mati. Tubuhnya gemetar. Kartika memasuki sebuah ruangan dan Bella mau tidak mau harus ikut masuk ke sana."Ah, Tuan Evan. Menunggu lama?" Suara Kartika terdengar teramat ramah di telinga Bella yang masih menunduk di depan pintu masuk. Dari ujung matanya tahulah dia bahwa itu sebuah kamar tidur mewah. Dia semakin gemetar. "Aku tidak punya banyak waktu, Kartika."‘Suara berat yang dalam milik seorang pria. Pastilah itu Tuan Evan,’ pikir Bella."Tentu." Kartika terkekeh manja. Diberi isyarat pada Andri yang berjaga di belakang Bella untuk membawa gadis itu masuk. "Ini Bella. Gadis. Sesuai keinginanmu. Bagaimana? Kamu puas dengan pilihanku?" "Aku sudah membuat suratnya. Suruh dia tanda tangani!" Evan memberikan map kuning pada Kartika."Boleh aku baca?" Kartika menerima map itu penasaran."Tentu." Evan duduk di kursi, lalu menatap Bella dari ujung kaki hingga kepala dengan tajam."Menikah kontrak?!" Seruan Kartika membuat Bella serta merta mendongak terkejut. ‘Apa? Tidak mungkin!’Bella pikir hanya menemani satu malam saja. Matanya kemudian bertemu dengan mata pria yang menurutnya hanya bisa dilihat dari televisi. Mata biru pria yang dia yakini bernama Evan. Mata itu menurutnya indah dan serasi dengan wajahnya yang rupawan."Itulah kenapa aku memintamu mencarikan gadis." Evan berkata dengan mata tidak lepas dari Bella. "Aku ingin menikahinya. Namun, sesuai dengan perjanjian di atas meterai."“Ini Samudera? Ya ampun! Sudah besar!”Samudera memeluk erat seorang wanita tua dengan erat. “Nenek.” Dia memejamkan mata merasa rindu dengan wanita yang dipanggilnya nenek. Kedatangannya ke Indonesia untuk perjalanan bisnis membantu Evan.“Apa kabar Mama dan Papamu?”Samudera melepaskan pelukannya. “Sehat, Nek.”“Shilah apa kabarnya? Kenapa dia tidak ikut? Nenek rindu.” Chloe kembali bertanya. Mencecar Samudera.Samudera tersenyum. “Bukankah nenek sudah bertemu dengan Shilah dua minggu lalu?”Shilah merupakan adik Samudera. Usianya sekarang menginjak 15 tahun. Dia tidak menyangka akan memiliki seorang adik perempuan ketika dulu Bella sempat keguguran karena terlalu lelah dalam melakukan berbagai kegiatan. Mamanya tersebut sekolah lagi atas permintaan Papanya. Permintaan itu semata untuk memperbarui diri agar lebih baik lagi.“Yah itu sudah lama.” Chloe lalu terkekeh.Mata Samudera menatap berkeliling. “Ke mana Tante Lena, Nek? Nenek sendirian di rumah?” dia mulai sadar tidak ada Lena
“Mentari menanyakan Samudera. Apakah kalian benar pindah ke Amerika?”“Benar, Mama.” Bella menjawab santun.“Ah begitu.”Jawaban pelan itu membuat Bella bingung. “Ada apa, Mama?”“Emm, apakah boleh Mentari bicara dengan Samudera? Di sana sudah malam, ya?”Bella tersenyum. Dia memang tidak tahu menahu bagaimana pertemanan Samudera dengan Mentari sebab putranya tersebut tidak pernah bercerita mengenai teman-teman sekolah padanya. Samudera akan menjawab jika hanya ditanya. Dan kalau tidak ditanya, anak itu tidak akan mengatakan apa pun mengenai kesehariannya.“Oh, boleh. Nanti saya telepon balik Mama Mentari ya. Samuderanya sudah tidur.”“Oh ganggu ya? Tidak perlu kalau ganggu.” Mamanya Mentari mulai tidak enak sebab menganggu tidurnya Samudera.“Oh tidak,” jawab Bella terburu-buru. Mungkin dengan berbicara pada Mentari, murungnya Samudera bisa teratasi. Dia bukannya tidak memerhatikan tadi. Dia melihat putranya yang tidak teramat ceria seperti biasa di Indonesia. Dia hanya berpikir Samu
“Evan?!” Bella terkejut melihat Evan berdiri di hadapannya. Di tangannya terdapat koper berukuran sedang. Pria itu tersenyum lebar. Di tangan yang lainnya menggenggam ponsel.“Iya. Ini aku. Datang menemuimu, Isabella.” Evan berkata lembut. Dia melihat Bella yang begitu memprihatinkan.“Evan!” tanpa pikir panjang, dia memeluk erat pria itu. Evan menyambut pelukan erat Bella dengan mengusap kepalanya.“Istirahatlah. Suhu tubuhmu panas.”Bella tersenyum masih dalam pelukan Evan. “Aku merindukanmu, Evan.” Dia sudah seperti orang dimabuk cinta dan dia tidak peduli lagi pada malunya. Dia ingin mengutarakan apa yang dirasakannya saat ini.“Aku juga.” Evan tersenyum senang. “Secepatnya kita menikah. Aku tidak sabar lagi ingin bersamamu setiap hari. Saat pagi kubuka mata aku melihatmu. Begitu juga malam hari ketika aku menutup mataku.”Bella melepaskan pelukannya. Ditatapnya Evan sayu. “Apakah tidak bisa sekarang kita menikah? Di sini?”Alis Evan naik lalu dia tertawa. “Kamu yang sakit ternyat
“Selesaikan dulu masalahmu dengan Makena,” ucap Chloe lagi. Perkataan Evan telah membuat Chloe tidak habis pikir. Kekhawatirannya naik ke permukaan. “Aku tidak mau Bella dikatakan merebutmu dari Makena. Aku tidak mau Kakakku memusuhi Bella.”“Tante,” ucap Evan tenang. “Aku tidak ingin berpisah lagi dengan Bella. 10 tahun aku kehilangan jejaknya.”Chloe menggeleng. “Tidak.”“Tante, mengenai kedua orangtuaku itu tidak masalah. Mom dan Dad pasti senang.” Evan berkata lagi masih tenang sedangkan Bella hanya duduk menunduk di sisinya dengan kedua tangan saling bertaut.“Evan.” Hermann akhirnya bersuara setelah dia melihat raut khawatir di wajah Chloe. “Bella sudah kami anggap anak sendiri. Dia tidak akan pergi ke manapun lagi.”“Tapi —““Dengar,” potong Hermann ketika Evan hendak berbicara. “Selesaikan semua masalahmu dengan Makena. Setelah itu barulah kau datang kemari dan bawalah Bella bersamamu ke Amerika.”Evan menelan ludah. Pupus sudah harapannya untuk bersama Bella dengan cepat. Per
Teriakan itu milik Lena. Gadis itu berkacak pinggang. Di sebelah Lena terdapat Samudera dan Chloe. Kedua tangan Chloe menutupi mulutnya. Terkejut pula. Sedangkan Samudera seperti hendak kesal. Namun, melihat siapa yang memeluk sontak saja anak itu tersenyum lebar.“Om Evan!” dia berjalan cepat menyongsong Evan lalu memeluknya. Dia tidak perlu bertanya pada Evan mengenai ada hubungan apa antara keduanya. Menurutnya, jika dua orang dewasa berlainan jenis melakukan pelukan berarti mereka sayang dan saling cinta.Bella berdehem. Dia berusaha tersenyum walau hatinya gugup sekali. Diperhatikannya Chloe dan Lena yang pastilah butuh cerita yang lebih lengkap. Jika sudah seperti itu, dia mau tidak mau memberitahukan mereka.“Ada apa ini?” Chloe bersuara setelah teriakan Lena tadi.Kemudian Lena menyipitkan matanya menatap Evan. “Jangan ganggu Bella. Kau harusnya paham, Om.”Evan merangkul Samudera. Dia berdehem. “Lena, Tante, aku akan jelaskan,” ucapnya. Di menoleh pada Bella yang berdiri di b
“Aku tidak menyangka dia Darrel.” Bella berulang kali mengatakan kalimat itu. Alisnya berkerut. Sedetik kemudian dia seolah teringat sesuatu. “Aku pernah melihat foto wanita itu di kamarnya Darrel.”“Makena?” Evan menoleh pada Bella. Pria itu sedang berada di toko bunga. Duduk menikmati kegiatan Bella yang sedang hilir mudik merapikan bunga-bunga tersebut seraya minum kopi. Kopi buatan Bella yang menurutnya masih enak seperti dulu. “Ya. Aku melihatnya dulu ketika aku mencoba mengakhiri hidupku. Foto itu ada di kamarnya Darrel.” Bella mengatakan dengan ringan. Namun, Evan segera berdiri dari duduknya.“Apa?” tanyanya. Dia menghampiri Bella dan berdiri di hadapannya. Kedua tangan wanita itu menggenggam dua tangkai bunga mawar merah. “Kau melakukan apa?” Evan bertanya lagi. Berharap pendengarannya salah.Bella mendongak. “Yang mana?” alis Bella berkerut. Dia tidak mengerti pertanyaan Evan yang terdengar panik serta teerkejut.“Kau mencoba bunuh diri,” ucap Evan lirih. Dia tidak tahu hi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen