Menurutku kalau bukan Bara atau kedua perempuan itu yang mentraktir seharusnya bayar masing-masing, tapi kenapa Rhino yang membayarnya?
"Kita gak minta pajak jadian kok, Pak." Si rambut keriting gantung yang bicara dengan tersenyum ramah. "Nikmati saja," balas Rhino dengan wajah datar. Aku merasa Rhino mentraktir seolah untuk berbagi kebahagiaan. Tapi, lelaki itu sedang tidak baik-baik saja. Rhino akan baik-baik saja jika Luna kembali ke dalam dekapannya. "Seharusnya Bapak gak melakukan ini." Rasanya aku tidak ingin semua ini semakin jauh. Dari pada mencintai dalam diam lebih menyakitikan berpura-pura menjadi seseorang yang spesial dalam hidup orang yang kita cinta. Tanpa diduga Rhino yang duduk di sampingku, menyentuh salah satu tanganku yang berada di meja. Perlakuan Rhino sungguh ingin membuatku cepat mengakhiri masa jabatan sebagai Sekretaris ini. Lupakan bahwa setiap perlakukan manis Rhino sesungguhnya mampu meluluh lantakan ruang hati. "Ingin dicintai secara ugal-ugalan seperti Bu Elea," kata si perempuan berambut keriting gantung lagi. Dalam hati aku berkata "bagaimana kalau kita bertukar" walau akan sesedih itu melihat Rhino bersama perempuan lain, tapi untuk bagian pura-pura ini aku rela bergantian posisi. Aku ingin menjadi nyata, bukan palsu. Ketika kami sedang menyantap makanan lagi-lagi ada hal tak terduga. Sepertinya hidup ini suka sekali memunculkan adegan yang tidak bisa diprediksi. Dari sekian banyaknya Restaurant kami bertemu Luna. Tentu saja Rhino tidak akan melewatkan momen itu dengan mengajak Luna makan bersama karena kebetulan Luna akan makan. Mengingat meja yang sudah penuh Rhino mengajak Luna ke meja lain. Luna sempat menolak ditemani tapi Rhino berkata tidak apa. Seolah aku sebagai "kekasih palsu" ini baik-baik saja dengan mereka makan bersama tepat di depan mata. I'm not number one, tapi aku juga bukan nomor dua. Aku bukan siapa-siapa. Orang lain bisa melihat mana yang nyata dan palsu, bukan? "Apa kamu selalu seperti ini?" Tiba-tiba Bara bertanya seperti itu. "Maksud Pak Bara? Saya gak ngerti." "Jangan diam saja. Kalau kamu gak baik-baik saja, katakan. Gak semua orang dapat mengerti apa yang kamu rasakan kalau kamu hanya diam." Bara benar jika aku tidak baik-baik saja. Bukan perihal aku hanya si "palsu" melainkan bahwa aku tidak bisa menjadi si "nyata" sampai kapan pun. Seberusaha apa pun aku menjadi Sekretaris yang hebat aku hanya akan berakhir sebagai Sekretaris Rhino. "Siapa yang baik-baik saja saat kekasih kita lebih memilih makan bersama perempuan lain dari pada kita, terlebih tepat di depan mata seperti ini." Perempuan dengan rambut diikat setengah itu akhirnya kembali bersuara. Dapat kulihat sorot mata Rhino yang terlihat happy. Bahkan senyum manis itu tanpa diminta, terus terlihat. Seolah Rhino lupa bahwa ia sempat mabuk berat malam itu karena perkataan Luna. Drrrtt drrrtt drrrtt Kulihat layar handphone yang berada di atas meja menampilkan panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Segera aku langsung menerimanya dan perempuan di seberang sana memberitahu bahwa ia ingin melamar sebagai Sekretaris. Belum ada makanan habis, aku segera pergi dari sana. Melupakan Rhino yang pasti kondisi hatinya sedang baik. Sengaja tidak memberitahu Rhino karena aku tidak ingin mengganggu waktu mereka. . . . Selesai melakukan sesi wawancara secara online, kusandarkan kepala ke sandara sofa. Belum ada 5 detik, bel berbunyi. Kulangkahkan kaki menuju pintu dan berdiri Rhino di depan sana. "Kenapa tiba-tiba pergi duluan?" "Saya ada sesi wawancara dengan pelamar yang akan melamar sebagai Sekretaris baru, Bapak." "Sekretaris baru?! Bukankah saya bilang kalau saya gak akan melepas kamu? Saya gak butuh Sekretaris baru, Eleanor!" "Saya boleh jujur?" "Saya gak melarang kamu buat bicara." "3 tahun bukan hal yang mudah untuk saya. Setelah melewati ribuan rasa lelah, saya hanya ingin lebih menikmati hidup. Saya diam dan terus melakukan apa yang Bapak suruh bukan berarti saya baik-baik saja. Tolong, izinkan saya untuk sedikit saja melepas apa yang selama ini membebani saya." Bagaimana respon Rhino? Lelaki itu hanya diam dengan wajah yang lebih sering terlihat datar. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Berlalu tanpa mengatakan sepatah kata pun. Aku berharap kali ini Rhino dapat mengerti. Setelah berkata jujur pada Rhino aku tidak bisa tidur hingga hari sudah mau tengah malam. Yang kulakukan hanya merebahkan tubuh di atas ranjang menatap langit-langit Kamar. Ada sedikit rasa bersalah, padahal seharusnya yang merasa bersalah itu Rhino. Drrrtt drrrtt drrrtt Siapa sih yang menelepon malam-malam seperti ini! Dengan malasnya aku mendudukkan diri, mengambil handphone yang berada di atas nakas. Terdapat panggilan masuk dari nomor tak dikenal. "Hallo, apa benar ini dengan Sekretaris-nya saudara Rhino?" "Iya. Dengan siapa saya bicara?" "Saya dari pihak Rumah Sakit citra harapan ingin memberitahu jika saudara Rhino mengalami kecelakaan dan sekarang sedang diperiksa di IGD." Rasanya seperti waktu tiba-tiba terhenti. Aku memang ingin menjauh dari Rhino tetapi bukan dengan Rhino terluka. Setelah panggilan itu berakhir segera aku memakai sweater tanpa berganti pakaian tidur yang sudah aku kenakan. Naik taksi online yang untungnya langsung dapat. Sepanjang perjalanan pikiranku tidak bisa sedikit pun tenang. Aku takut jika terjadi hal buruk pada Rhino. Tuhan, bukan seperti ini yang aku inginkan... Sampai di depan Rumah Sakit, aku langsung masuk di mana hanya ada beberapa orang yang sedang bertugas. Menanyakan keberadaan Rhino yang katanya masih di IGD. Segera aku bergegas menuju IGD. Tiba di IGD aku bertanya pada salah satu perawat perempuan yang mengajakku ke tempat Rhino berada. Kulihat Dokter dan satu perawat perempuan yang baru saja selesai memeriksa. "Bagaimana keadaan Pak Rhino, Dok?" "Kondisinya normal, tapi untuk memastikan tidak ada luka dalam kami perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut." "Kalau gitu, Dokter bisa melanjutkannya. Saya yang akan bertanggung jawab atas Pak Rhino." "Baik. Nanti untuk detailnya akan dijelaskan oleh suster." Sepeninggalkan Dokter dan perawat, aku yang berdiri di samping Rhino, menatapnya lekat. Terdapat lebam pada daerah dahi. Kenapa bisa seperti ini, Rhi? Apa yang sedang kamu pikirkan? Dapat kulihat mata itu yang perlahan mulai terbuka. "Elea," ucap Rhino dengan suara lemah. "Iya, Pak?" "Saya minta maaf atas ketidak mengertian saya. Sekarang saya mengerti kenapa sebelum bertemu kamu gak ada yang cocok dengan saya, karena bukan mereka yang gak sesuai dengan apa yang saya mau tapi saya yang keterlaluan dalam membuat standar untuk menjadi Sekretaris saya." Sorot mata itu, menusuk tepat di hati. Sorot mata yang terlihat merasa bersalah dan terdapat kesedihan di sana. Sepertinya kali ini bukan Rhino yang menyakitiku, tapi aku yang menyakitinya. "Jadi, Pak Rhino akan melepas saya?" "Saya benar-benar minta maaf, El. Saya harus bersikap egois dengan gak bisa melepas kamu. Saya gak mau orang lain."Destinasi pertama kami adalah Coex Aquarium. Aku terpesona melihat berbagai jenis ikan berenang di antara terumbu buatan yang memukau. Tapi momen paling mengesankan adalah ketika kami memasuki terowongan kaca di mana ikan-ikan besar berenang di atas kepala kami."Kamu suka?" tanya Rhino, matanya tertuju ke arahku yang menatap kagum ke atas."Suka banget! Ini seperti dunia lain."Dia mengangguk. "Bagus. Aku ingin kamu punya kenangan indah di sini."Setelah puas menikmati keindahan bawah laut, kami menuju ke destinasi berikutnya, yaitu Lotte World Tower. Dari atas sana, kami bisa melihat pemandangan Seoul yang begitu luas.Rhino tiba-tiba berkata, "Elea, lihat ke sana. Kamu lihat gedung-gedung kecil itu?"Aku mengikuti arah pandangannya. "Iya, kenapa?""Dulu saya pernah berpikir, sebesar apa pun pencapaian saya, saya tetap akan terlihat kecil dari sudut pandang yang lebih tinggi.”Aku menatapnya, tak menyangka dia bisa berkata seperti itu. "Dan sekarang?"Dia menoleh padaku, tersenyum t
Pagi di Seoul terasa berbeda. Udara dingin yang menusuk kulit rasanya beda dengan saat musim hujan di Jakarta. Dari jendela Hotel, aku bisa melihat deretan bangunan tinggi dengan atap yang tertutup salju tipis. Suasana ini sangat asing bagiku, tapi juga memberikan perasaan yang hangat.Aku berdiri di dekat jendela sambil menikmati secangkir teh hangat, membiarkan pandanganku melayang ke hiruk-pikuk kota. Tiba-tiba, suara Rhino memecah keheningan."Sudah siap?" tanyanya sambil berjalan keluar dari Kamar Mandi dengan rambut basah.Aku menoleh dan mengangguk. "Iya. Kita mau ke mana dulu?"Dia mengambil pengering rambut. "Ada beberapa tempat yang sudah saya siapkan. Tapi karena ini liburan, kita santai aja, oke?"Aku tersenyum kecil. Gaya santainya selalu membuatku merasa nyaman....Destinasi pertama kami adalah Bukchon Hanok Village. Tempat itu dipenuhi Rumah-Rumah tradisional Korea yang terlihat sangat cantik dengan salju yang menutupi atapnya. Kami menyusuri jalanan sempit yang diap
"Pak Rhino?" aku memanggil, hampir tak percaya dengan apa yang kulihat.Dia menoleh, menatapku sambil tersenyum canggung. "Pagi. Saya mencoba bikin sandwich untuk kita sarapan."Aku memandangi meja Dapur yang penuh bahan-bahan berserakan. Telur orak-arik, selada, tomat, dan keju tergeletak dengan tidak beraturan. Sandwich yang dia buat terlihat... unik, dengan isi yang hampir berhamburan keluar."Bapak belajar masak?" tanyaku, mencoba menahan tawa.Dia menggaruk tengkuknya dengan ekspresi malu. "Enggak juga, sih. Saya cuma pengin coba. Tadi sempat lihat tutorial, tapi ya, beginilah hasilnya."Aku mengambil salah satu sandwich yang sudah dia susun. "Saya coba ya?"Rhino langsung menatapku penuh cemas. Bagaimana jika sandwich pertama yang dia buat tidak enak?"Silakan. Tapi, kalau gak enak maaf yaa."Aku menggigit sandwich itu perlahan. Rasanya... tidak buruk. Penyajiannya memang berantakan, tapi rasanya cukup lumayan untuk pemula. "Lumayan kok. Tapi mungkin lain kali seladanya jangan t
Setelah pesta resepsi selesai dan para tamu mulai pulang, aku mengikuti Rhino ke Kamar yang telah disiapkan untuk kami. Kamar itu luas dan elegan, dengan dekorasi bernuansa putih dan emas yang menciptakan suasana romantis. Aku merasa gugup, lebih dari yang pernah kurasakan sebelumnya. Ini adalah malam pertama kami sebagai pasangan suami istri, meskipun aku tahu pernikahan ini bukan seperti pernikahan pada umumnya."Kamu bisa mandi duluan kalau mau," katanya sambil menatapku dengan ekspresi tenang.Aku hanya mengangguk dan segera masuk ke Kamar Mandi, mencoba menenangkan diri. Di dalam, aku menatap bayanganku di cermin. "Kamu bisa melewati ini, Elea," bisikku pada diriku sendiri. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku keluar dengan mengenakan piyama satin sederhana. Rhino sudah duduk di tepi ranjang, mengenakan kemeja putih yang lengan bajunya digulung. Dia tampak begitu santai, sementara aku merasa canggung."Sudah selesai?" tanyanya, lalu berdiri untuk mengambil giliran mandi. Aku m
Hari pernikahan itu tiba dengan cepat, dan aku merasa seperti terjebak dalam kebingunganku sendiri. Setiap langkah yang kutempuh terasa berat, seolah seluruh dunia sedang menatap dan menunggu keputusanku. Tidak hanya aku, tetapi juga Rhino, yang tampak sangat tenang dan siap, meskipun aku tahu dia pasti merasakan kegelisahan yang sama-meskipun tidak dia tunjukkan.Pagi itu, aku sudah berada di Ruang Ganti, mengenakan gaun pengantin yang begitu mewah dan indah. Aku tidak tahu harus merasa bahagia atau cemas. Ini bukan pernikahan yang aku bayangkan, tetapi lebih sebagai sebuah kewajiban. Meskipun begitu, di dalam hatiku, ada satu pertanyaan besar: apakah ini adalah keputusan yang benar? Apakah aku sudah siap untuk menjalani hidup ini bersama Rhino? Masih saja keraguan itu menghantui diri ini.Aku merasakan ketegangan di setiap inci tubuhku, dan saat aku menatap cermin, aku melihat diriku yang tampaknya bukan diriku sendiri. Wajahku terlihat pucat, dan mataku masih menyimpan keraguan yan
Setelah Rhino pergi untuk menemui Bara, aku memutuskan untuk merapikan tempat tidur. Meski masih pagi, aku merasa tidak bisa kembali tidur. Pikiran-pikiran tentang ancaman yang baru saja terjadi masih memenuhi kepalaku. Tapi entah kenapa, keberadaan Rhino membuatku merasa lebih tenang.Aku membuka pintu menuju Balkon untuk membiarkan udara segar masuk. Cahaya matahari mulai menyusup masuk ke ruangan, memberikan suasana hangat yang sedikit mengusir rasa cemas. Dalam diam, aku memikirkan semua yang telah Rhino lakukan untukku.Beberapa menit kemudian, Rhino kembali ke Kamar. Ekspresinya serius seperti biasanya, tapi ada kelembutan di matanya saat menatapku."Kamu sudah sarapan?" tanyanya.Aku menggeleng pelan. "Belum. Saya gak begitu lapar."Dia mendekat, mengangkat sebelah alis. "Kamu harus makan. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi hari ini. Jangan sampai kamu lemas."Rhino benar. Tapi tetap saja, sulit bagiku untuk memikirkan makanan saat kepalaku dipenuhi begitu banyak hal."Baikl