Home / Romansa / Milik Sang CEO / Kelinci Pink

Share

Kelinci Pink

Author: nsr.andini
last update Last Updated: 2025-01-16 09:49:09

Waktu memang cepat berlalu seperti perasaan Rhino. Tatapan yang semula merasa bersalah dan sedih kini telah tergantikan dengan wajah antusias dan bahagia. Bagaimana tidak bahagia jika seseorang yang ia harapkan datang, datang secepat itu.

"Gimana bisa kamu sampai di sini secepat itu? Aku belum lama kecelakaannya."

"Kebetulan aku ada urusan di sini sejak dua hari lalu."

Bukankah seharusnya aku menyingkir dari sana? Karena yang berhak tetap tinggal hanya si nyata. Tetap berada di sana hanya membuat hatiku semakin sakit. Tanpa kata aku pergi dari sana tanpa ada yang peduli.

Dalam keheningan tenang malam di Rumah Sakit, aku berjalan menelusuri koridor tanpa ada satu manusia pun. Berjalan dengan langkah lamban, seolah aku tengah menikmati momen itu.

"Elea." Sontak suara itu membuatku menoleh ke arah belakang dan dapat kulihat sesosok lelaki bertubuh tinggi, atletis, dan berwajah sedikit arab. Jangan lupakan jubah Dokter itu.

Melihat lelaki itu seperti akan menghampiriku, aku membalikan tubuh menghadapnya. "Apa yang kamu lakukan di sini? Bukannya menemani Rhino."

"Sudah ada yang menemaninya, Pak Zando."

"Oh ya? Siapa?"

Lelaki bernama Adzando yang tak lain adalah Sepupu Rhino nampak penasaran. "Bukankah sudah jelas?"

"Gak mungkin! Untuk apa Luna di sini? Perempuan itu yang meninggalkan Rhino. Khawatir? Kalau gitu, seharusnya dia gak meninggalkan Rhino!"

Benar. Berakhirnya hubungan Rhino dan Luna ada banyak yang kecewa. Yang marah pun bukan hanya Rhino. Melihat Rhino yang suka menghabiskan waktu di Klub hanya untuk membuat dirinya mabuk agar sejenak melupakan masalah yang ada, siapa yang tidak sedih.

"Seseorang yang sudah lama berpisah pun masih memiliki rasa khawatir. Jadi, khawatir itu gak selalu harus bersama. Hanya perasaan sesaat karena pernah bersama."

"Sepertinya perkataan itu dari dalam hati." Lalu, melipat kedua tangan di depan dada dengan wajah menggoda. Tentu aku tahu apa yang berada dalam otak Zando sekarang.

"Terserah Pak Zando mau berpikiran apa. Saya permisi, sudah harus pulang."

.

.

.

Setelah mandi dan sudah berpakaian siap ke Kantor aku baru menyadari ada yang hilang dari tempat tidur. Boneka kelinci pink, tidak ada! Ke mana perginya?! Sontak aku langsung mencari ke setiap sudut Kamar dan tidak juga kutemukan. Mendudukkan diri di tepi ranjang dengan wajah lesu dan mulai sedih memikirkan hari-hari tanpa kelinci pink ku.

Tok tok tok

Dengan wajah kusut aku membuka pintu, dan nampak Ayah yang masih berpakaian santai. "Ayah pikir ada yang salah kamu belum juga turun."

"Boneka pink aku gak ada, yah." Spontan memajukan bibir.

Sebelum Ayah berbicara muncul sesosok anak kecil perempuan dengan rambut hitam diikat dua (kanan-kiri). Atensiku pun langsung tertuju pada boneka kelinci pink dalam dekapan anak kecil itu. Bagaimana bisa anak itu memiliki boneka ku?! Tidak mungkin jika kami memiliki boneka yang sama, terlebih di saat boneka ku tidak ada.

"Ngomong-ngomong, ini anak siapa? Kenapa pagi-pagi seperti ini ada di Rumah kita?" Perhatianku pun teralihkan sedikit pada anak itu yang baru pertama kali kulihat.

"Kamu benar gak kenal?"

Tentu saja aku langsung menggelengkan kepala. "Namanya Laura. Masih gak kenal?"

Kedua kalinya aku menggelengkan kepala. Melihat Ayah yang bertanya lebih dari sekali rasanya seperti aku mungkin mengenalnya. Tapi, dalam ingatan ini tak ada wajah anak itu.

"Adik kamu, El. Ibu kamu dan suaminya ada urusan di luar kota jadi menitipkan Laura di sini."

Mendengar hal itu tentu aku mematung dengan mulut yang tertutup rapat. Aku baru ingat jika beberapa tahun lalu aku mendapat kabar jika Ibu melahirkan seorang putri dari suami ke-tiganya. Hanya sekedar foto baru lahir yang pernah kulihat, tidak pernah bertemu secara langsung sampai anak itu sudah tumbuh menjadi anak kecil yang nampak cantik. Aku juga lupa akan namanya karena aku segitu tidak pedulinya dengan Adik-ku itu. Adik yang tidak pernah aku anggap ada.

Tidak ada yang ingin aku bicarakan mengenai Laura, aku kembali fokus pada kelinci pink-ku. Berjongkok di hadapan Laura yang menatap datar. "Boleh Kakak minta bonekanya?"

Laura menggelengkan kepala sembari mempererat pelukan pada kelinci pink. "Tapi, Laura. Itu boneka Kakak." Kusodorkan salah satu tanganku namun yang dilakukan Laura malah bersembunyi di belakang Ayah.

"Biarkan Laura memilikinya, El. Nanti Ayah belikan yang baru."

Perkataan Ayah sontak membuatku marah. Tanpa tahu betapa berartinya kelinci pink itu untukku, Ayah dengan mudahnya berkata seperti itu. Berdiri dari jongkok aku tatap Ayah.

"Elea gak butuh yang baru, yah!"

"Kenapa?"

"Kelinci pink itu sangat berarti buat Elea. Bisa dibilang boneka kelinci itu penyembuh setiap luka yang pernah ada."

Ayah mungkin tidak mengerti. Walau sama tapi nilainya berbeda. Kelinci pink itu telah menemani diri ini melewati masa-masa sulit, lalu sekarang aku dipaksa unuk merelakannya? Setelah pernah terpaksa merelakan Ibu memiliki kehidupan baru tanpa adanya aku dan Ayah di hidupnya, kini aku harus belajar melepas lagi? Tidak cukupkah aku pernah sehancur itu...

Layaknya masih anak kecil aku mengambil paksa kelinci pink dari Laura yang menangis. Menutup pintu, berusaha tidak peduli tangisan yang mengganggu itu.

Sudah terduduk di tepi ranjang, kutatap kelinci pink itu. "Aku gak bisa kehilangan kamu, jea." Ya. Boneka kelinci pink itu aku beri nama jea.

Jea hadir saat aku baru masuk Sekolah Menengah Atas. Saat semester kedua dimulai aku mengalami masa-masa sulit. Pernah sehancur itu karena perpisahan Ayah dan Ibu. Bahkan Ibu pergi begitu saja tanpa berniat mempertahanku di sampingnya. Menyerahkan aku pada Ayah sepenuhnya.

Hari itu saat pikiran tidak fokus pada setiap pelajaran karena dikuasai rasa sedih yang menyiksa, sepulang Sekolah aku mampir ke loker. Ketika membuka loker aku menemukan jea dengan selembar note. "Apa pun yang terjadi, kamu bisa melaluinya. Kalau ada orang yang gak peduli sama kamu pasti ada yang memperhatikan kamu. Kalau ada yang gak sayang sama kamu pasti ada yang mencintai kamu sepenuh hati"

Semenjak itu aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkan setiap masalah yang ada. Seperti apa yang sedang aku alami saat ini. Dari pada menjadi "kekasih pura-pura" aku lebih memilih hanya rekan kerja bagi Rhino.

***

Ketika aku berjalan menuruni satu persatu anak tangga dengan pakaian santai siang itu dapat aku lihat Ibu datang untuk menjemput Laura. Manik mata kami sempat bertemu tetapi aku mengabaikan. Seolah tidak pernah ada wanita itu di Rumah ini saat ini.

"Ada yang mau Ibu bicarakan."

Setelah menuang air dingin ke dalam gelas, kukembalikan botol ke dalam kulkas. Meminum sedikit air, menaruh dekat wastafel, berjalan melewati Ibu.

"Eleanor!" Dengan nada sedikit tidak santai.

Langkahku terhenti karena mendadak ingin mengatakan sesuatu. "Gimana rasanya diabaikan?"

"Laura itu Adik kamu! Sudah sepatutnya sebagai Kakak, kamu mengalah."

Setelah tidak ada obrolan bertahun-tahun, kini datang dengan menuntut aku bersikap layaknya seorang Kakak?! Bagaimana bisa seseorang sejahat dan seegois itu...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Milik Sang CEO   Cinta yang Tak Pernah Usai (END S2)

    "Kita jarang sarapan bareng, jadi biar saya suapin kamu," katanya santai.Aku melirik ke arah di mana Bara bisa tiba-tiba muncul. Takut Bara tiba-tiba muncul lagi dan meledek kami. Tapi melihat ekspresi Rhino yang serius, aku akhirnya membuka mulut dan menerima suapannya.Rhino tersenyum puas. "Gitu dong."Aku mendelik pelan. "Jangan manja, Kak.""Saya kan memang manja sama kamu."Aku menghela napas, tetapi tak bisa menyembunyikan senyum kecil di wajahku. Makan pagi ini terasa berbeda-lebih hangat, lebih berarti. Aku menyadari bahwa sejak Rhino mengingat semuanya, aku semakin menikmati setiap momen bersamanya.Tiba-tiba, Evelyn muncul dengan wajah mengantuk, mengucek matanya. "Mama ... Om Rhino ... lagi ngapain?"Rhino tersenyum lebar, lalu membuka tangannya. "Sini, sayang." Sayang? Apa itu efek Rhino ingin kembali padaku? Dia sampai membuka hati secepat itu untuk anak yang orang asing tahunya anak Bara.Evelyn berjalan mendekat, lalu duduk di pangkuan Rhino tanpa ragu. Aku mengangkat

  • Milik Sang CEO   Aroma Cinta

    Aku dan Rhino sama-sama terkejut mendengar suara Bara yang tiba-tiba muncul. Saat menoleh, Bara sudah berdiri di ambang pintu dengan ekspresi sulit ditebak."Gak bisa," katanya dengan suara datar.Aku langsung tegang. Rhino juga terlihat kaku, kedua tangannya yang tadi memegang pinggangku perlahan-lahan turun. Kami bertiga saling menatap dalam keheningan yang terasa begitu lama.Tapi, tiba-tiba, senyum tipis muncul di wajah Bara. "Gak bisa melihat Evelyn lebih sayang sama Rhino nantinya."Aku mengerutkan kening. "Apa?"Bara terkekeh kecil, lalu melangkah masuk ke Kamar dengan santai. "Kalian tegang banget. Saya cuma bercanda," katanya sambil menepuk bahu Rhino. "Gue senang akhirnya lo bisa ingat semuanya."Rhino menghela napas lega dan tersenyum kecil. "Lo gak marah?"Bara menggeleng. "Marah? Buat apa? Dari awal gue nikahin Elea, gue tahu hati dia bukan buat gue. Gue cuma berharap kalian bisa lebih bahagia dari sebelumnya."Aku merasa hangat mendengar kata-kata Bara. Pria itu memang t

  • Milik Sang CEO   Cinta yang Kembali

    Selesai makan, sebelum meninggalkan Restaurant, kami menyempatkan foto bersama dan itu ide Rhino yang katanya ingin menyimpan kenangan kebersamaan kami saat ingatannya tentangku hilang.Ketika kami semua telah berdiri dari duduk, tiba-tiba Evelyn menyuruh Rhino berjongkok. Rhino yang bingung pun ikut saja. Tidak aku sangka Evelyn akan naik ke punggung Rhino. Ternyata anak itu ingin digendong belakang. Sejak kapan Evelyn begitu dekat dengan Rhino sampai ingin digendong?Dengan wajah tanpa beban justru terlihat senang Rhino menggendong Evelyn. "Mama jangan iri ya," kata Evelyn yang tidak benar-benar mengerti dengan yang diucapkannya."Kalau kamu mau, saya masih kuat untuk menggendong kamu."Sungguh tidak terduga ucapan yang keluar dari mulut Rhino! Aku yang mendengar hal itu sontak memukul lengan Rhino sedikit keras agar dia sadar bahwa di antara kami ada Evelyn. Jangan membuatku malu di depan Evelyn, seperti itulah artinya.Kubiarkan Rhino berjalan di depanku bersama Evelyn, aku mengik

  • Milik Sang CEO   Kenangan yang Terlupa

    Malam semakin larut, dan Rumah mulai terasa lebih sunyi setelah Evelyn akhirnya tertidur. Aku menghela napas lega, memastikan dia nyaman di tempat tidurnya sebelum menutup pintu Kamarnya dengan perlahan.Saat ingin menuju Dapur, aku melihat Bara sudah duduk di meja makan, seperti menungguku dengan tatapan serius. Dia tidak mengatakan apa pun, hanya menatap gelas air di depannya dengan ekspresi yang sulit kuartikan.Aku tahu dia ingin bicara, dan aku juga tahu apa yang ingin dia bicarakan.Dengan langkah pelan, aku berjalan mendekat dan duduk di seberangnya. Sesaat, hanya ada keheningan di antara kami. Bara terlihat seperti sedang memilih kata-kata yang tepat sebelum akhirnya membuka suara."Kamu lihat sendiri tadi, kan?" suaranya terdengar dalam, sedikit lebih pelan dari biasanya.Aku mengangguk. "Iya."Bara menghela napas, jari-jarinya mengetuk ringan permukaan meja. "Rhino ... sepertinya semakin banyak mengingat sesuatu."Aku menggigit bibir. "Dokter bilang itu hal yang wajar.""Say

  • Milik Sang CEO   Mendadak Sakit Kepala

    Setelah mendapatkan boneka kelinci impiannya, Evelyn masih belum puas. Dia menarik tanganku dengan penuh semangat, menunjuk ke area permainan."Mama, Lyn mau main di sana!" katanya, matanya berbinar penuh antusias.Aku menoleh ke arah Bara, yang langsung mengangguk. "Ayo, sekalian kita habiskan waktu bersama."Inna, yang berdiri di sampingku, hanya tersenyum tipis. "Aku gak keberatan, selama Evelyn senang."Aku melirik Rhino yang sejak tadi lebih banyak diam, lalu berkata, "Kalau kamu sibuk atau ada urusan lain, gak apa-apa kalau mau pulang dulu, Kak."Rhino menatapku dengan ekspresi yang sulit kutebak sebelum akhirnya menggeleng. "Saya ikut."Kami pun berjalan menuju area permainan anak-anak. Tempat itu cukup ramai dengan berbagai wahana seru seperti trampolin, perosotan raksasa, dan kolam bola warna-warni. Evelyn langsung berlari ke arah wahana perosotan yang memiliki terowongan berwarna-warni.Aku dan Inna memilih duduk di bangku dekat area permainan sambil memperhatikan Evelyn yan

  • Milik Sang CEO   Peran Bara

    Aku tidak tahu apakah ini ide yang bagus atau tidak, tapi melihat Evelyn begitu semangat saat tahu aku mengundang Inna, aku jadi merasa tidak terlalu bersalah."Tante Inna harus datang! Harus!" Evelyn merajuk tadi, memegangi tanganku dengan wajah penuh harapan. Aku hanya bisa mengangguk dan akhirnya menghubungi Inna, yang sempat ragu sebelum akhirnya setuju datang.Dan sekarang, di sebuah Restoran di dalam Mall, aku duduk di satu meja dengan dua pria dan satu wanita yang memiliki sejarah yang rumit.Bara duduk di seberangku, dengan Evelyn di sampingnya. Di sebelah Evelyn ada Inna, lalu Rhino duduk di sampingku.Keheningan sesaat menyelimuti meja begitu pesanan kami datang. Aku bisa merasakan kecanggungan yang hampir bisa dipotong dengan pisau. Bara terlihat sedikit kaku, sesekali melirik Inna yang tampak tenang, meskipun aku tahu dia juga pasti merasa aneh.Aku melirik Rhino yang dari tadi diam saja. Mungkin masih memikirkan kejadian hari itu di Lobi di mana aku belum memberinya jawab

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status