/ Fantasi / Miliknya Di Antara Dua Dunia / BAB 5 – TUMBUHNYA DURI DI MAHKOTA API

공유

BAB 5 – TUMBUHNYA DURI DI MAHKOTA API

작가: Ayla
last update 최신 업데이트: 2025-06-10 00:56:13

Mahkota api itu tak hanya membakar dunia di sekitarnya. Tapi juga kepala yang mengenakannya.


Seraphine duduk di atas singgasana batu hitam. Ruang takhta di Varethar tak pernah dirancang untuk kenyamanan—ia adalah pernyataan: keras, dingin, dan sunyi. Seperti leluhur mereka. Seperti tanah ini.

Tapi darah yang kini mengalir dalam pembuluh Seraphine bukan hanya darah malam. Api dari Cahaya telah menyusup ke dalam nadinya, mengubah cara ia merasakan dunia. Dan orang-orang merasakannya.

Hari ini, pemimpin suku-suku bayangan datang. Lima orang. Semua lelaki. Semua tua. Dan semua membawa mata yang tak percaya.

“Kau ingin kami tunduk pada seorang gadis setengah cahaya?”

Pemimpin suku Serokh memuntahkan kata-katanya seperti racun.

“Putri dari pelacur pengkhianat dan api penjajah?”

Tak ada yang tertawa. Tapi tak ada pula yang mengangkat pedang. Belum.

Seraphine berdiri. Ia tidak mengenakan mahkota. Hanya jubah hitam polos, tapi kilatan emas samar di kerahnya membuat udara di sekitarnya bergemeretap.

“Jika darahku hina, mengapa kau datang kemari?”

“Jika aku hanya ‘setengah’, mengapa kalian semua membawa tubuh utuh kalian untuk mendengarkanku?”

Para pemimpin saling pandang. Mereka datang karena dipanggil oleh suara misterius yang muncul di mimpi mereka. Suara dari leluhur. Suara yang berkata:

"Anak api malam telah kembali. Dan ia akan menentukan gelap dan terang."


Di antara para pemimpin, hanya satu yang diam: Eirel, Penjaga Malam dari Lembah Uvas. Ia belum bicara sepatah kata pun, tapi matanya tak lepas dari Seraphine.

“Kau belum membakar satu kota pun.”

“Kau belum mengeksekusi satu pengkhianat pun.”

“Kau belum memperlihatkan bahwa kau layak ditakuti.”

Seraphine menatapnya. Tenang. Tapi dalam sukmanya, sesuatu tumbuh.

"Aku tak datang untuk menakut-nakuti."

"Aku datang untuk memilih siapa yang akan hidup… saat yang lain terbakar."

Ia mengangkat tangannya. Api mekar dari telapak tangannya, tapi bukan api merah atau jingga. Ini biru. Sejernih kristal. Seberbahaya kemurnian itu sendiri.

Di kejauhan, tanah mulai retak. Gunung kecil memuntahkan debu, dan langit menampakkan rona merah muda seperti daging mentah.

“Dunia sedang bergeser,” kata Seraphine.

“Dan aku adalah porosnya.”


Di hutan utara Varethar, dua bayangan melintas di antara pepohonan mati. Mereka adalah pemburu suci—Lux Hunter. Salah satunya muda, bermata tajam dan langkah ringan: Rovan.

“Ini bukan misi,” kata Rovan pelan.

“Ini pembantaian.”

Ia menemukan mayat seekor elang hitam. Terpanggang hangus, tapi tidak ada bekas senjata. Hanya lingkaran api suci di bawahnya—tanda bahwa kekuatan Seraphine sudah mulai liar.

Lux Hunter di sebelahnya, pria tua bernama Maldrek, mendesis.

“Kau ragu?”

“Aku penasaran,” jawab Rovan.

“Penasaran akan membunuhmu.”

“Lebih baik mati penasaran daripada hidup membabi buta.”

Maldrek meludah, tapi tak membalas. Rovan tak tahu—atau pura-pura tak tahu—bahwa rasa penasaran adalah pintu pertama menuju pengkhianatan.

Dan di mata Rovan, Seraphine bukan sekadar target. Ia teka-teki. Ia perubahan. Dan ia… cantik dalam cara yang membahayakan keyakinan.


Malam hari, Seraphine berdiri di balkon istananya. Api biru masih menari di ujung jarinya.

Di belakangnya, seorang perempuan tua melangkah masuk. Nyaris tak terdengar.

“Ibumu pernah berdiri di tempat yang sama.”

“Dan juga memutuskan apakah akan memimpin… atau membiarkan semuanya terbakar.”

Seraphine tak menoleh. Tapi suaranya berubah, lirih.

“Apa yang dia pilih, Amah?”

Perempuan tua itu, Amah Mireya, tersenyum pahit.

“Dia memilih cinta. Maka dia kehilangan segalanya.”

Seraphine memejamkan mata. Lalu berkata:

“Kalau begitu… aku akan memilih kekuasaan. Dan mungkin—aku akan mendapat cinta sebagai bonus. Atau hancur karenanya.”

Di langit, dua bulan bersinar bersamaan. Pertanda langka.

Pertanda bahwa antara siang dan malam, kini hanya ada satu jalan:

Jalan api.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 100 — NAFAS YANG TIDAK BOLEH PADAM

    Kosong itu hidup.Rynor tahu ia tidak boleh menyebutnya “udara,” karena tidak ada yang bisa ia hirup. Tidak boleh disebut “suara,” sebab tidak ada getaran yang bisa ditangkap telinganya. Namun, entah bagaimana, kosong itu berdenyut. Ia bisa merasakannya, seperti jantung raksasa yang tak terlihat, memompa ritme yang bukan darah, bukan energi, melainkan ketiadaan murni.Dan di hadapan mereka, bayangan yang bernafas itu mulai menarik napas pertamanya.Napas yang bukan sekadar hisapan. Ia menyedot lapisan-lapisan realitas, mencabik sisa-sisa dunia, menelan bintang, ingatan, doa, dan bahkan kemungkinan masa depan.Kael berdiri goyah di sebelahnya. Tubuhnya setengah transparan, seperti kaca yang diukir retakan. Namun matanya—mata merah yang selama ini dipenuhi amarah—masih bersinar. “Dia menarik segalanya masuk,” bisiknya, suaranya pecah. “Kalau dihembuskan lagi… tidak ada yang akan tersisa.”Rynor menatap bilah cahayanya yang retak. Retakan itu seperti saraf terbuka, setiap denyutnya menus

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 99 — JANTUNG KEKOSONGAN

    Retakan di pupil itu melebar. Dari dalamnya, bukan sekadar wajah yang tak pernah lahir—tetapi sesuatu yang berdenyut. Sebuah jantung. Bukan jantung seperti daging makhluk fana, melainkan segumpal ketiadaan yang memompa kehampaan. Setiap denyutnya membuat semesta di sekitar mereka hancur sepotong demi sepotong, seperti kaca yang retak karena palu tak kasatmata. Rynor terhuyung. Darahnya sendiri berubah jadi cahaya patah, tercerai berai setiap kali jantung itu berdenyut. Kael menggertakkan gigi, menancapkan kakinya yang hampir transparan ke tanah hampa. “Itu… pusatnya. Jantung yang memompa ketidak-ada-an.” Jantung itu berdetak lagi. DUM. Gelombang kehampaan menghantam, membuat tubuh Rynor bergetar hebat hingga bilahnya hampir pecah. Ingatan terakhirnya tentang dirinya sebagai manusia—tangan ayah yang dulu menggandengnya—hancur jadi serpih tak berwujud. Ia terengah, matanya berkaca. “Aku… aku tidak ingat wajahnya lagi…” Kael menoleh cepat, suaranya pecah tapi penuh amarah. “Lupa

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 98 — TUSUKAN KE PUSAT KEKOSONGAN

    Mata itu menatap.Bukan sekadar memandang mereka, melainkan melucuti lapisan demi lapisan keberadaan mereka.Rynor merasakan cahaya di tubuhnya gemetar, bukan karena kelelahan, melainkan karena ditolak oleh realitas itu sendiri. Cahaya—esensi keberadaannya—ditolak.Kael tidak lebih baik. Energi merah di tangannya berdenyut, lalu pecah menjadi percikan sebelum ia paksa padatkan lagi. “Dia ingin membuat kita percaya bahwa kita tidak pernah ada.” Suaranya serak, seperti keluar dari tenggorokan yang diperas.Rynor mengangkat bilah cahayanya yang sudah retak. “Kalau begitu kita jawab… dengan luka yang membuktikan keberadaan kita.”Kael menyeringai meski darah menetes dari sudut bibirnya. “Ya. Luka adalah bukti paling jujur bahwa sesuatu pernah ada.”---Mereka melompat.Seperti dua garis yang menyalib, cahaya putih keperakan dan merah pekat menyatu, menjadi bilah darah-cahaya sekali lagi. Setiap ayunan memotong ratusan makhluk bayangan yang mencoba menghadang. Suara jeritan tak terdengar m

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   Bab 97 — Dua Jiwa, Satu Luka

    Tangan raksasa itu turun. Bukan sekadar menghantam—ia meremukkan hampa, melumat ruang, dan mengubah keheningan menjadi badai jeritan. Setiap retakan yang lahir memuntahkan cahaya ungu, seperti isi dunia lain yang bocor ke dalam ketiadaan. Namun sebelum gelap itu menelan mereka, Rynor dan Kael sudah bergerak. Cahaya putih keperakan dan merah pekat berpacu, saling menyilang, membentuk pola yang tak pernah mereka latih namun lahir begitu saja—seperti tubuh mereka mengenali ritme musuh lama yang kini jadi sekutu. Sabit cahaya Rynor melesat menebas sisi tangan bayangan, sementara tombak energi Kael menancap lurus ke pusatnya. Ledakan. Tangan itu pecah, tapi bukan hancur—malah berubah jadi ribuan serpihan kecil yang beterbangan, masing-masing membawa wajah yang menjerit tanpa suara. --- Bayangan-cermin mereka muncul lagi. Sosok setengah putih, setengah merah, kini lebih solid. Ia melangkah ringan di atas retakan hampa, seolah gravitasi tunduk kepadanya. Dengan senyum yang memuakkan

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   Bab 96 — Bayangan yang Terbebas

    Hampa.Bukan hanya ketiadaan ruang, tapi ketiadaan makna. Tidak ada atas, tidak ada bawah. Tidak ada waktu yang bisa diukur, tidak ada arah untuk ditempuh. Hanya kekosongan absolut—dingin, luas, dan tak berujung.Namun di tengah hampa itu, dua cahaya kecil masih menyala.Rynor.Kael.Keduanya berdiri, meski tubuh mereka sudah tidak sepenuhnya milik mereka lagi. Rynor, dengan sisa cahaya yang retak-retak, wajahnya pucat dan matanya setengah kosong. Kael, dengan tubuh berurat merah yang terus mengelupas, kulitnya seperti cangkang yang sudah tidak sanggup menahan isi di dalamnya.Mereka saling menatap, sama-sama tercengang.Sama-sama sadar: spiral yang runtuh seharusnya menjadi akhir. Tapi di sini, mereka belum mati.Lalu terdengar suara.---Bukan gema. Bukan desiran.Suara itu seperti seribu bisikan dari lubang hitam yang bernafas: “Akhir hanyalah awal. Dan kalian… telah membukanya untukku.”Dari kegelapan, sesuatu bergerak.Tidak berbentuk, tidak bernama, tidak bisa dijelaskan. Bayang

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   Bab 95 — Api yang Menggerus Jiwa

    Spiral kini tidak lagi sekadar ruang. Ia telah berubah menjadi luka terbuka—menganga, berdenyut, dan bergetar di antara dua kekuatan yang beradu tanpa kompromi. Batu bercahaya runtuh ke jurang, berputar seperti serpihan bintang yang mati.Rynor terhuyung, darah dan cahaya bercampur menetes dari tubuhnya. Setiap tarikan napas seperti pisau yang mengiris paru-parunya. Namun dalam tatapannya, api tekad belum padam. Ia tahu tubuhnya sedang hancur perlahan, tetapi hatinya menolak tunduk.Kael, di seberang, tidak tampak lebih baik. Pusaran orbit merah yang mengelilinginya telah menyusut—bukan karena melemah, melainkan karena energi yang terlalu padat, terlalu padam, seakan setiap butirnya menelan cahaya lain. Retakan di kulitnya semakin dalam, memperlihatkan kilasan gelap seolah tubuhnya sedang menjadi wadah yang tak layak bagi kekuatan itu.Mereka berdua, dalam diam, tahu: yang mereka hadapi bukan hanya lawan. Mereka menghadapi batas tubuh, batas jiwa, bahkan batas arti menjadi manusia.--

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status