Mahkota api itu tak hanya membakar dunia di sekitarnya. Tapi juga kepala yang mengenakannya.
Seraphine duduk di atas singgasana batu hitam. Ruang takhta di Varethar tak pernah dirancang untuk kenyamanan—ia adalah pernyataan: keras, dingin, dan sunyi. Seperti leluhur mereka. Seperti tanah ini.
Tapi darah yang kini mengalir dalam pembuluh Seraphine bukan hanya darah malam. Api dari Cahaya telah menyusup ke dalam nadinya, mengubah cara ia merasakan dunia. Dan orang-orang merasakannya.
Hari ini, pemimpin suku-suku bayangan datang. Lima orang. Semua lelaki. Semua tua. Dan semua membawa mata yang tak percaya.
“Kau ingin kami tunduk pada seorang gadis setengah cahaya?”
Pemimpin suku Serokh memuntahkan kata-katanya seperti racun.
“Putri dari pelacur pengkhianat dan api penjajah?”
Tak ada yang tertawa. Tapi tak ada pula yang mengangkat pedang. Belum.
Seraphine berdiri. Ia tidak mengenakan mahkota. Hanya jubah hitam polos, tapi kilatan emas samar di kerahnya membuat udara di sekitarnya bergemeretap.
“Jika darahku hina, mengapa kau datang kemari?”
“Jika aku hanya ‘setengah’, mengapa kalian semua membawa tubuh utuh kalian untuk mendengarkanku?”
Para pemimpin saling pandang. Mereka datang karena dipanggil oleh suara misterius yang muncul di mimpi mereka. Suara dari leluhur. Suara yang berkata:
"Anak api malam telah kembali. Dan ia akan menentukan gelap dan terang."
Di antara para pemimpin, hanya satu yang diam: Eirel, Penjaga Malam dari Lembah Uvas. Ia belum bicara sepatah kata pun, tapi matanya tak lepas dari Seraphine.
“Kau belum membakar satu kota pun.”
“Kau belum mengeksekusi satu pengkhianat pun.”
“Kau belum memperlihatkan bahwa kau layak ditakuti.”
Seraphine menatapnya. Tenang. Tapi dalam sukmanya, sesuatu tumbuh.
"Aku tak datang untuk menakut-nakuti."
"Aku datang untuk memilih siapa yang akan hidup… saat yang lain terbakar."
Ia mengangkat tangannya. Api mekar dari telapak tangannya, tapi bukan api merah atau jingga. Ini biru. Sejernih kristal. Seberbahaya kemurnian itu sendiri.
Di kejauhan, tanah mulai retak. Gunung kecil memuntahkan debu, dan langit menampakkan rona merah muda seperti daging mentah.
“Dunia sedang bergeser,” kata Seraphine.
“Dan aku adalah porosnya.”
Di hutan utara Varethar, dua bayangan melintas di antara pepohonan mati. Mereka adalah pemburu suci—Lux Hunter. Salah satunya muda, bermata tajam dan langkah ringan: Rovan.
“Ini bukan misi,” kata Rovan pelan.
“Ini pembantaian.”
Ia menemukan mayat seekor elang hitam. Terpanggang hangus, tapi tidak ada bekas senjata. Hanya lingkaran api suci di bawahnya—tanda bahwa kekuatan Seraphine sudah mulai liar.
Lux Hunter di sebelahnya, pria tua bernama Maldrek, mendesis.
“Kau ragu?”
“Aku penasaran,” jawab Rovan.
“Penasaran akan membunuhmu.”
“Lebih baik mati penasaran daripada hidup membabi buta.”
Maldrek meludah, tapi tak membalas. Rovan tak tahu—atau pura-pura tak tahu—bahwa rasa penasaran adalah pintu pertama menuju pengkhianatan.
Dan di mata Rovan, Seraphine bukan sekadar target. Ia teka-teki. Ia perubahan. Dan ia… cantik dalam cara yang membahayakan keyakinan.
Malam hari, Seraphine berdiri di balkon istananya. Api biru masih menari di ujung jarinya.
Di belakangnya, seorang perempuan tua melangkah masuk. Nyaris tak terdengar.
“Ibumu pernah berdiri di tempat yang sama.”
“Dan juga memutuskan apakah akan memimpin… atau membiarkan semuanya terbakar.”
Seraphine tak menoleh. Tapi suaranya berubah, lirih.
“Apa yang dia pilih, Amah?”
Perempuan tua itu, Amah Mireya, tersenyum pahit.
“Dia memilih cinta. Maka dia kehilangan segalanya.”
Seraphine memejamkan mata. Lalu berkata:
“Kalau begitu… aku akan memilih kekuasaan. Dan mungkin—aku akan mendapat cinta sebagai bonus. Atau hancur karenanya.”
Di langit, dua bulan bersinar bersamaan. Pertanda langka.
Jalan api.
Langit telah berubah.Putih sempurna, tanpa bayangan, tanpa batas.Tak ada lagi bintang, tak ada lagi arah—hanya halaman raksasa yang menunggu.Rynor berlutut di atas tanah yang kini menyerupai lembaran kertas.Setiap napasnya menimbulkan guratan samar, seolah tubuhnya sendiri sedang menulis tanpa izin.Sementara di hadapannya, Penulis Sah berdiri tegak, pena hitamnya terangkat tinggi.> “Kalimat kedua,” ujarnya—dengan nada yang seperti bunyi tinta menetes di ruang kosong.“Akan menjadi fondasi semesta baru.Segala yang tak layak, akan dihapus.”---Rynor: Antara Keyakinan dan KetakutanRynor menatap Kael yang tergeletak tak jauh dari situ.Bara di tubuh Kael sudah padam, tapi matanya masih terbuka—hidup, meski samar.Ia masih bernapas. Dan itu cukup bagi Rynor untuk berdiri lagi.“Kalau kau benar-benar penulis,” gumamnya, suara parau tapi jelas,“maka aku—huruf yang menolak dibaca.”Ia menancapkan pedangnya di tanah, dan seketika guratan cahaya menyala dari bilahnya.Setiap cahaya it
Semesta baru bagai naskah mentah yang dirobek paksa.Setiap inci udara penuh huruf yang berjatuhan, setiap tanah retak seperti baris kalimat yang gagal dirangkai.Titik—yang kini menjelma seperti matahari—memuntahkan denyut cahaya, dan dari dalamnya, para penulis bayangan berhamburan, masing-masing membawa ambisi yang sama: menulis kalimat kedua.---Rynor: Antara Pedang dan PenaPedang di tangan Rynor bukan lagi sekadar senjata.Ia kini melihatnya sebagai pena yang kasar, satu-satunya alat yang bisa menorehkan garis di tengah halaman semesta.Namun semakin ia tebas, semakin banyak tangan yang tumbuh, semakin banyak wajah-wajah tanpa identitas yang merangkak keluar.“Setiap tebasanku cuma melahirkan lebih banyak kata liar,” desisnya.Tulang tangannya retak, peluh bercampur darah menetes, tapi matanya tetap tajam.Ia tahu—yang ia lawan bukan sekadar tubuh, melainkan gairah menulis yang tak pernah selesai.---Kael: Api yang Ingin Menjadi KataKael memekik, tubuhnya retak seperti cermin
Lahirnya Kalimat Pertama Titik itu tidak lenyap setelah menutup. Ia mengendap, membeku, lalu berkilau seperti benih kecil yang jatuh di tanah basah. Semesta yang baru saja menarik napas panjang kini beresonansi. Getaran itu menyebar, menjalar ke setiap pecahan bintang, ke setiap retakan langit, ke laut yang baru saja meneteskan hujan. Dan dari titik itu, lahirlah kalimat pertama semesta baru: > “Ada sesuatu.” Kalimat sederhana, namun dengan kekuatan maha dahsyat. Karena sebelum kalimat, tidak ada yang bisa diingat. Tidak ada yang bisa dimulai. --- Rynor: Ketakutan pada Benih Rynor menatap titik yang kini bersinar seperti matahari mungil. Pedangnya masih menancap di tanah, tapi ia tahu—cahaya itu akan mulai menulis dengan atau tanpa dirinya. Ia bergumam, suaranya hampir hilang, “Kalau titik bisa menjadi benih… maka apa yang lahir nanti bukan lagi milik kita.” Ia menggenggam gagang pedang, tubuhnya bergetar. Bagian dirinya ingin melindungi titik itu, menj
Keheningan yang RetakSemesta baru bergetar, tapi bukan dengan ledakan.Bukan juga dengan runtuhan.Ia bergetar seperti tinta yang diteteskan ke air bening—membentuk lingkaran, meluas, lalu pecah jadi noda samar.Rynor dan Kael berdiri, bukan sebagai dua kutub lagi, melainkan sebagai kertas yang sama-sama ternoda.Di sela mereka, bayangan-komatis itu menyeringai tanpa wajah.Ia tidak butuh wujud, sebab wujud adalah titik. Ia memilih koma—tak berujung, tak tuntas.> “Kalian bukan lagi dua musuh.Kalian adalah satu kalimat yang terhenti di tengah jalan.Dan aku adalah jedanya.”---Rynor: Luka yang MembukaRynor menggenggam pedangnya, tapi pedang itu retak makin dalam.Cahaya yang dulu mengalir darinya kini tersedot, menjadi hitam pekat.Ia berbisik pada dirinya sendiri, atau mungkin pada semesta:“Kalau aku tebas koma ini… apa aku menutup kalimat, atau memutus hidup?”Tapi setiap kali ia mengangkat pedang, bisikan-bisikan dari bayangan menyeruak:> “Kalau kau menutup… siapa yang menent
Bab 184 — Hukum Pertama: “Tidak”---Retakan yang Menjadi AksaraKata itu kecil.Kata itu rapuh.Namun ketika Rynor dan Kael mengucapkannya bersamaan, semesta berhenti.> “Tidak.”Suara itu bukan sekadar penolakan.Ia adalah garis melintang di atas naskah yang hendak ditulis ulang.Ia adalah palu yang menghentikan tangan penulis sebelum tinta jatuh.Langit putih-hitam yang sebelumnya berganti-ganti kini terbelah dua.Satu sisi bergetar, masih mencoba mengikuti mulut raksasa.Sisi lain beku, menolak mengikuti.Semesta baru tercabik—seakan halaman buku disobek di tengah kalimat.---Mulut Kosmos yang TersedakMulut raksasa itu meronta.Ia membuka lebar, mengeluarkan ribuan kata sekaligus—kata tanpa arti, kata tanpa bunyi, kata tanpa tubuh.Namun setiap kali satu kata lahir, kata itu terhenti di udara.Seolah-olah ada garis yang menolaknya, menahan huruf sebelum sempat jatuh.Mulut itu batuk.Dan untuk pertama kalinya, sesuatu yang seharusnya tidak bisa batuk—batuk.Dari dalamnya keluar
Mulut KosmosMulut raksasa itu menganga, tapi yang keluar bukan suara biasa.Itu adalah kata yang tak punya huruf, tak punya lidah—hanya luka yang dipaksa menjadi bunyi.Setiap kali mulut itu bergerak, retakan baru muncul di semesta.Pulau kaca pecah. Langit yang sudah rapuh kian teriris.Dan dari rongga udara yang koyak, keluar barisan suara-suara lain:tawa yang patah, doa yang terbalik, nyanyian yang tak pernah selesai.Kael menggertakkan giginya, darah hitam menetes di dagunya.“Dia… menulis ulang dengan teriakan. Kalau kita terlambat, semesta ini akan jadi kitab penuh jeritan.”Rynor menggenggam pedangnya, cahaya gemetar, tubuhnya retak sampai ke tulang bayangan.Ia tahu pedang itu sudah bukan pedang lagi—ia adalah garis pertama di halaman kosong.Dan garis itu kini diperebutkan.---Seruan yang MenyusupSuara mulut raksasa itu bukan sekadar gema.Ia masuk ke kepala, menyalin dirinya dalam pikiran.Rynor mendengar ayahnya berteriak memanggil nama yang sudah lama hilang.Kael mend