Home / Fantasi / Miliknya Di Antara Dua Dunia / BAB 6 – CAHAYA MEMBURU CAHAYA

Share

BAB 6 – CAHAYA MEMBURU CAHAYA

Author: Ayla
last update Last Updated: 2025-06-10 00:57:26

“Dalam terang, mereka berburu gelap. Tapi siapa yang memburu ketika terang sendiri yang mulai gelap?”


Mereka datang sebelum fajar.

Rovan dan Maldrek menuruni lereng barat Varethar seperti bayangan yang menolak diusir cahaya. Mereka mengenakan jubah kelabu para Lux Hunter—tanda bahwa mereka diutus oleh Dewan Cahaya untuk satu tugas: menghabisi penyimpangan.

Dan Seraphine bukan sekadar penyimpangan.

Ia adalah ledakan dari dua kutub, api dari dua alam, harapan sekaligus ancaman.

Di punggung Rovan, sebuah senjata suci terbungkus kain. Senjata itu tak memiliki nama, karena namanya hanya bisa dibisikkan oleh mereka yang layak menggunakannya. Dan Rovan, sejauh ini, belum berani menyebutkan apa pun.

"Kau gugup," gumam Maldrek tanpa menoleh.

"Itu bagus. Pembunuh yang tak takut biasanya mati duluan."

"Aku tidak gugup," balas Rovan, terlalu cepat.

"Aku... penasaran."

"Penasaran adalah akar dari kejatuhan. Kau tahu kenapa?"

"Karena semua jatuh dimulai dari sebuah pertanyaan."

Maldrek mendecak pelan, setengah muak, setengah kagum. Anak muda ini terlalu cerdas untuk ukuran seorang Lux Hunter.


Di pusat istana Varethar, Seraphine mendengarkan laporan dari para mata-matanya.

“Dua pemburu Cahaya terdeteksi di lereng barat, menuju gerbang timur. Mereka tidak bersembunyi.”

“Tidak menyamar.”

Seraphine menatap api di dalam cawan hitam di hadapannya. Cawan itu berisi "nyala gaib"—api yang membisikkan kebenaran tanpa suara.

“Mereka ingin kutahu,” gumamnya.

“Berarti ini bukan hanya pemburuan. Ini... ujian.”

Amah Mireya berdiri di dekat pilar, wajahnya tak menunjukkan emosi, tapi matanya memperingatkan.

“Jika mereka datang, kau tak boleh menyambut dengan kata-kata. Dunia sedang menatap. Api harus menyala.”

Tapi Seraphine punya rencana sendiri. Ia tahu betapa dunia mencintai pertunjukan darah. Tapi dia juga tahu betapa darah bisa mengaburkan apa yang seharusnya diselamatkan.

Dan Seraphine, untuk semua ambisinya, tak pernah lupa satu hal:

Ia tidak ingin menjadi ibunya.
Tapi ia juga tak ingin menjadi ayahnya.


Rovan dan Maldrek akhirnya mencapai tembok luar Varethar saat matahari masih mengintip malu di balik kabut. Gerbang besi itu berdiri tanpa penjaga. Terbuka.

“Jebakan,” kata Maldrek singkat.

“Atau undangan,” balas Rovan.

“Itu hal yang sama.”

Namun sebelum mereka masuk, seorang gadis kecil muncul dari balik pilar batu. Rambutnya kelabu keperakan, matanya biru seperti embun beku. Ia mengenakan kain usang, tapi langkahnya ringan seperti mereka yang tak kenal dosa.

“Nyonya kami menunggumu di Aula Bayangan,” katanya.

“Jangan membuatnya menunggu terlalu lama. Ia... tak suka menunggu.”

“Dan siapa kau, bocah?” tanya Maldrek curiga.

Gadis itu tersenyum.

“Aku? Aku cuma bunga kecil yang tumbuh dari kuburan para raja.”

Lalu ia berbalik dan menghilang begitu saja. Udara di sekeliling mereka menjadi lebih berat. Lebih dingin. Lebih... bernyawa.


Seraphine menyambut mereka bukan di aula, bukan di ruang takhta. Tapi di taman bawah tanah—sebuah kubah raksasa di bawah istana, tempat tanaman dari dua dunia tumbuh berdampingan. Bunga api berdampingan dengan lumut cahaya. Ranting hitam melilit akar perak.

“Aku tidak akan menyerangmu,” kata Seraphine.

“Belum.”

Maldrek langsung menyentuh gagang senjatanya. Tapi Rovan menghentikannya. Mereka saling tatap. Seraphine dan Rovan.

Waktu seakan melambat. Ada sesuatu dalam tatapan Seraphine yang mengganggu Rovan. Bukan karena cantik. Tapi karena jujur.

“Mengapa kalian datang?” tanya Seraphine, suaranya serupa bisik daun terbakar.

“Apakah aku ancaman? Atau cerminan dari apa yang kalian takuti dalam diri kalian sendiri?”

“Kau adalah ketidakseimbangan,” jawab Maldrek.

“Dan ketidakseimbangan membawa kehancuran.”

“Atau perubahan,” potong Rovan pelan.

Maldrek memelototinya, tapi Seraphine menyipitkan mata—senang, mungkin, atau hanya bermain.

“Kau tidak sepenuhnya percaya pada misimu, Hunter.”

“Apakah karena kau tahu bahwa yang sedang kami perjuangkan bukan kebaikan, tapi hanya versi lain dari kekuasaan?”

Rovan diam. Tapi dalam diam itu, pikirannya melompat-lompat seperti burung panik.

“Dan kau, Seraphine?”

“Apa yang kau perjuangkan?” akhirnya ia bertanya.

“Kebenaran, kekuasaan, atau pembalasan?”

Seraphine tersenyum, tipis seperti darah pertama yang mengalir dari luka.

“Aku tidak tahu.”

“Tapi yang kutahu—aku tidak akan membiarkan siapa pun memilih untukku lagi.”

“Bahkan nasib?”

“Bahkan Dewa.”


Di permukaan, langit mulai berubah warna. Awan-awan kelabu menjadi merah, dan retakan tipis muncul di batas antara hari dan malam.

Di ruang bawah tanah, bunga-bunga api mulai bergetar. Dan para penjaga Varethar menyadari: pertemuan itu bukan negosiasi.

Itu adalah permulaan dari sesuatu yang lebih besar.

Sebuah cinta yang tak bisa tumbuh tanpa melukai.

Sebuah kekuatan yang tak bisa hidup tanpa membakar.

Sebuah dunia yang akan segera memilih sisi.

Dan di tengahnya:

Seorang perempuan bercahaya gelap.

Seorang lelaki yang masih mencari siapa dirinya.

Dan jalan bercabang yang menuju takdir atau kehancuran.


 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 100 — NAFAS YANG TIDAK BOLEH PADAM

    Kosong itu hidup.Rynor tahu ia tidak boleh menyebutnya “udara,” karena tidak ada yang bisa ia hirup. Tidak boleh disebut “suara,” sebab tidak ada getaran yang bisa ditangkap telinganya. Namun, entah bagaimana, kosong itu berdenyut. Ia bisa merasakannya, seperti jantung raksasa yang tak terlihat, memompa ritme yang bukan darah, bukan energi, melainkan ketiadaan murni.Dan di hadapan mereka, bayangan yang bernafas itu mulai menarik napas pertamanya.Napas yang bukan sekadar hisapan. Ia menyedot lapisan-lapisan realitas, mencabik sisa-sisa dunia, menelan bintang, ingatan, doa, dan bahkan kemungkinan masa depan.Kael berdiri goyah di sebelahnya. Tubuhnya setengah transparan, seperti kaca yang diukir retakan. Namun matanya—mata merah yang selama ini dipenuhi amarah—masih bersinar. “Dia menarik segalanya masuk,” bisiknya, suaranya pecah. “Kalau dihembuskan lagi… tidak ada yang akan tersisa.”Rynor menatap bilah cahayanya yang retak. Retakan itu seperti saraf terbuka, setiap denyutnya menus

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 99 — JANTUNG KEKOSONGAN

    Retakan di pupil itu melebar. Dari dalamnya, bukan sekadar wajah yang tak pernah lahir—tetapi sesuatu yang berdenyut. Sebuah jantung. Bukan jantung seperti daging makhluk fana, melainkan segumpal ketiadaan yang memompa kehampaan. Setiap denyutnya membuat semesta di sekitar mereka hancur sepotong demi sepotong, seperti kaca yang retak karena palu tak kasatmata. Rynor terhuyung. Darahnya sendiri berubah jadi cahaya patah, tercerai berai setiap kali jantung itu berdenyut. Kael menggertakkan gigi, menancapkan kakinya yang hampir transparan ke tanah hampa. “Itu… pusatnya. Jantung yang memompa ketidak-ada-an.” Jantung itu berdetak lagi. DUM. Gelombang kehampaan menghantam, membuat tubuh Rynor bergetar hebat hingga bilahnya hampir pecah. Ingatan terakhirnya tentang dirinya sebagai manusia—tangan ayah yang dulu menggandengnya—hancur jadi serpih tak berwujud. Ia terengah, matanya berkaca. “Aku… aku tidak ingat wajahnya lagi…” Kael menoleh cepat, suaranya pecah tapi penuh amarah. “Lupa

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 98 — TUSUKAN KE PUSAT KEKOSONGAN

    Mata itu menatap.Bukan sekadar memandang mereka, melainkan melucuti lapisan demi lapisan keberadaan mereka.Rynor merasakan cahaya di tubuhnya gemetar, bukan karena kelelahan, melainkan karena ditolak oleh realitas itu sendiri. Cahaya—esensi keberadaannya—ditolak.Kael tidak lebih baik. Energi merah di tangannya berdenyut, lalu pecah menjadi percikan sebelum ia paksa padatkan lagi. “Dia ingin membuat kita percaya bahwa kita tidak pernah ada.” Suaranya serak, seperti keluar dari tenggorokan yang diperas.Rynor mengangkat bilah cahayanya yang sudah retak. “Kalau begitu kita jawab… dengan luka yang membuktikan keberadaan kita.”Kael menyeringai meski darah menetes dari sudut bibirnya. “Ya. Luka adalah bukti paling jujur bahwa sesuatu pernah ada.”---Mereka melompat.Seperti dua garis yang menyalib, cahaya putih keperakan dan merah pekat menyatu, menjadi bilah darah-cahaya sekali lagi. Setiap ayunan memotong ratusan makhluk bayangan yang mencoba menghadang. Suara jeritan tak terdengar m

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   Bab 97 — Dua Jiwa, Satu Luka

    Tangan raksasa itu turun. Bukan sekadar menghantam—ia meremukkan hampa, melumat ruang, dan mengubah keheningan menjadi badai jeritan. Setiap retakan yang lahir memuntahkan cahaya ungu, seperti isi dunia lain yang bocor ke dalam ketiadaan. Namun sebelum gelap itu menelan mereka, Rynor dan Kael sudah bergerak. Cahaya putih keperakan dan merah pekat berpacu, saling menyilang, membentuk pola yang tak pernah mereka latih namun lahir begitu saja—seperti tubuh mereka mengenali ritme musuh lama yang kini jadi sekutu. Sabit cahaya Rynor melesat menebas sisi tangan bayangan, sementara tombak energi Kael menancap lurus ke pusatnya. Ledakan. Tangan itu pecah, tapi bukan hancur—malah berubah jadi ribuan serpihan kecil yang beterbangan, masing-masing membawa wajah yang menjerit tanpa suara. --- Bayangan-cermin mereka muncul lagi. Sosok setengah putih, setengah merah, kini lebih solid. Ia melangkah ringan di atas retakan hampa, seolah gravitasi tunduk kepadanya. Dengan senyum yang memuakkan

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   Bab 96 — Bayangan yang Terbebas

    Hampa.Bukan hanya ketiadaan ruang, tapi ketiadaan makna. Tidak ada atas, tidak ada bawah. Tidak ada waktu yang bisa diukur, tidak ada arah untuk ditempuh. Hanya kekosongan absolut—dingin, luas, dan tak berujung.Namun di tengah hampa itu, dua cahaya kecil masih menyala.Rynor.Kael.Keduanya berdiri, meski tubuh mereka sudah tidak sepenuhnya milik mereka lagi. Rynor, dengan sisa cahaya yang retak-retak, wajahnya pucat dan matanya setengah kosong. Kael, dengan tubuh berurat merah yang terus mengelupas, kulitnya seperti cangkang yang sudah tidak sanggup menahan isi di dalamnya.Mereka saling menatap, sama-sama tercengang.Sama-sama sadar: spiral yang runtuh seharusnya menjadi akhir. Tapi di sini, mereka belum mati.Lalu terdengar suara.---Bukan gema. Bukan desiran.Suara itu seperti seribu bisikan dari lubang hitam yang bernafas: “Akhir hanyalah awal. Dan kalian… telah membukanya untukku.”Dari kegelapan, sesuatu bergerak.Tidak berbentuk, tidak bernama, tidak bisa dijelaskan. Bayang

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   Bab 95 — Api yang Menggerus Jiwa

    Spiral kini tidak lagi sekadar ruang. Ia telah berubah menjadi luka terbuka—menganga, berdenyut, dan bergetar di antara dua kekuatan yang beradu tanpa kompromi. Batu bercahaya runtuh ke jurang, berputar seperti serpihan bintang yang mati.Rynor terhuyung, darah dan cahaya bercampur menetes dari tubuhnya. Setiap tarikan napas seperti pisau yang mengiris paru-parunya. Namun dalam tatapannya, api tekad belum padam. Ia tahu tubuhnya sedang hancur perlahan, tetapi hatinya menolak tunduk.Kael, di seberang, tidak tampak lebih baik. Pusaran orbit merah yang mengelilinginya telah menyusut—bukan karena melemah, melainkan karena energi yang terlalu padat, terlalu padam, seakan setiap butirnya menelan cahaya lain. Retakan di kulitnya semakin dalam, memperlihatkan kilasan gelap seolah tubuhnya sedang menjadi wadah yang tak layak bagi kekuatan itu.Mereka berdua, dalam diam, tahu: yang mereka hadapi bukan hanya lawan. Mereka menghadapi batas tubuh, batas jiwa, bahkan batas arti menjadi manusia.--

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status