Tidak ada yang mengajarinya bagaimana menghadapi pengkhianatan dari yang mencintai.
Seraphine terbangun saat tengah malam.
Ia melihat tangannya.
Terbakar, tapi tidak hangus.
Kaelith tidak bisa menjelaskan ini.
“Tubuhku berubah,” desis Seraphine.
“Apakah ini darah cahaya yang bangkit? Atau kutukan iblis yang terlambat?”
Tak ada yang menjawab. Tapi dinding kamarnya mulai mencair.
Ia buru-buru meninggalkan menara. Langkahnya membawa ia ke Kolam Tertutup, tempat para ratu malam biasa melakukan ritus pembakaran diri—tradisi menguji batas kekuatan.
Seraphine menanggalkan jubahnya.
Sementara itu, di ruang tak bertangga di jantung Varethar, Kaelith menyelidiki buku darah tua yang dilarang.
Halaman-halaman tua menyebut satu nama: Aetherial Flamma, api suci yang hanya muncul ketika darah malam dan darah cahaya menyatu sempurna.
“Itu mustahil…” gumam Kaelith. “Tak ada makhluk yang bisa menampung dua kutub itu tanpa hancur.”
Namun Seraphine… bukan makhluk biasa.
Ia bukan hanya hasil perjanjian.
Kaelith menutup buku itu perlahan.
“Kalau dia berubah… aku mungkin tak bisa mengendalikannya.”
Pagi hari, seluruh langit Varethar berubah merah darah.
Para bangsawan malam keluar dari reruntuhan istana mereka. Bayangan bergerak gelisah.
Di tengah tanah batu yang selalu membeku, muncullah api liar—tumbuh dari retakan bumi. Tumbuh dari jejak Seraphine.
Dia berdiri di tengah lingkaran bara, rambutnya terangkat, kulitnya bersinar.
“Ratu kita… telah menyentuh api cahaya,” bisik salah satu pelayan darah.
“Itu penghujat,” bisik yang lain.
“Itu awal dari zaman baru,” jawab seorang prajurit dengan kepala tertunduk.
Seraphine memandang mereka semua. Api berputar di sekeliling tubuhnya, tapi tak menyakitinya.
Ia berkata:
“Aku bukan Ratu Malam.”
“Aku bukan Anak Cahaya.”
“Aku adalah akibat. Dan aku akan menjadi awal.”
Di kejauhan, di dunia manusia, para imam tinggi di Menara Cahaya juga merasakan gemetar pada tanah.
Mereka bersujud dalam ketakutan.
Dan salah satu dari mereka, Imam Caelus—yang dulunya mencintai ibunda Seraphine dalam diam—berkata,
“Anak dari dosa itu bangkit. Kita harus membunuhnya sebelum ia menyatukan langit dan malam.”
Tapi ia tahu…
-------------
Cahaya tak selalu membimbing. Kadang ia membutakan.
Di Menara Aurion, pusat otoritas Cahaya Ilahi, langit tampak lebih terang dari biasanya. Tapi bukan terang yang menyenangkan—melainkan silau yang menyayat mata.
Imam Caelus berdiri di balkon tertinggi, jubah putihnya berkibar ditiup angin utara.
“Dia hidup,” katanya pada langit. “Putri dari darah yang terlarang itu… telah bangkit.”
Ia bukan imam biasa. Caelus adalah Lux Veritas, pembawa hukum cahaya, pemegang gulungan wahyu kelima yang hilang. Tapi bahkan dirinya gentar menghadapi nubuat yang kini mulai terbaca kembali—tulisan yang dulu dianggap bid’ah.
Ia membuka gulungan tua, tinta emasnya masih menyala.
“…Jika darah malam bersatu dengan jiwa terang, maka api langit akan menyala dari kegelapan, dan bumi akan ditimbang kembali antara kutub awal dan akhir…”
Kuil bergetar. Imam-imam muda berlutut, satu per satu, menyanyikan puji-pujian yang terdengar lebih seperti rintihan takut.
Di Ruang Konsili Cahaya, tujuh imam tertinggi berkumpul. Mereka semua mengenakan topeng emas—melambangkan bahwa kebenaran mereka bukan berasal dari wajah manusia, melainkan dari kehendak Ilahi.
Caelus bicara tanpa selubung:
“Anak dari Varethar dan Cahaya telah lahir. Ia menyatu. Menyalakan api yang hanya boleh menjadi milik kita.”
“Dia abominasi,” gumam Imam Varn.
“Dia pertanda akhir,” kata yang lain.
“Atau… permulaan baru yang tidak kita rancang,” jawab Caelus.
Tapi tidak semua sepakat.
Imam Serene, perempuan termuda di antara mereka, mempertanyakan:
“Bukankah kita pernah memprediksi ini? Bahwa Cahaya yang terlalu murni akan merindukan bayangannya sendiri?”
Kata-kata itu membuat ruang sunyi. Tapi tak ada tempat bagi puisi di ruang para pendeta yang haus stabilitas.
Maka, keputusan bulat pun diambil.
“Kita mulai Exoradiantum—Perburuan Cahaya.”
Seraphine akan dicari. Diperangkap. Dihapus dari sejarah, sebelum kehadirannya membuat rakyat mulai bertanya:
Di ruang tersembunyi bawah tanah, Caelus membuka kotak perak. Di dalamnya: sehelai rambut hitam—milik ibunda Seraphine, Lira.
Dulu, ia mencintai Lira. Dulu, ia membiarkannya pergi.
“Maafkan aku,” bisiknya. “Tapi jika kau adalah jalan ke ujung dunia, maka aku akan menutupnya dengan tanganku sendiri.”
Di belakangnya, terdengar denting rantai. Para Lux Hunter, pemburu-pemburu cahaya suci, bersiap menerima misi pertama mereka dalam seratus tahun terakhir.
“Bunuh apa pun yang melawan,” perintah Caelus.
“Tapi bawa sang Putri hidup-hidup. Aku ingin melihat apakah matanya adalah milik Lira… atau iblis malam.”
Sementara itu, jauh di Varethar, Seraphine menatap luka di lengannya. Api menyembuhkan, tapi bekasnya berubah jadi tanda bercahaya—seolah tubuhnya menulis sejarahnya sendiri.
“Mereka mencariku…” gumamnya.
“Dan aku tidak akan lari.”
Untuk pertama kalinya, Seraphine tersenyum—bukan sebagai Putri.
"Setelah gemuruh terakhir lenyap, yang tersisa bukan keheningan. Tapi luka yang berbicara dalam bisu."Dunia tidak hancur. Tapi ia juga tak sepenuhnya utuh.Ia bernapas, seperti tubuh yang baru bangkit dari koma panjang—terengah, limbung, dengan mata yang masih mencari makna dari cahaya.Langit telah berubah warna.Biru... tapi bukan biru yang biasa. Ada semburat perak, seperti bekas luka mengambang yang belum sepenuhnya mengering.Di tepi runtuhan kota Siderra—yang dulu berdiri di antara dua leyline utama, kini hanya ladang abu dan reruntuhan kuarsa retak—Taran duduk. Ia menatap horizon dengan mata kosong, tombaknya tertanam di tanah, bukan sebagai senjata, tapi sebagai penanda kubur bagi waktu yang tak bisa dikubur.“Dia berhasil, kan?”Suara Meliora pelan, nyaris seperti angin. Ia berjalan perlahan, gaunnya berkibar tertatih, robek oleh perang, tapi masih mengusung sisa keanggunan.Taran tidak menjawab. Hanya mengangguk sekali.Tapi dalam anggukan itu ada pengakuan yang pahit: Sera
"Bukan yang terkuat yang menang, tapi yang paling pantas menguasai kehancuran."Arena Pertarungan: Dimensi Inti VaultLangit leyline retak sepenuhnya.Waktu dan ruang berlipat, menciptakan Void Nexus — ruang tak bernama tempat realitas lumat.Di sinilah Sovereign Seraphine berdiri berhadapan dengan Deity Zevalhar.Seraphine: berselimut sayap darah leyline, 9 plasma lingkaran aktif.Zevalhar: tubuh darah semi-dewa, mata pusaran hitam pekat.Suara Mahkota bergetar mengisi kehampaan:“Kau tak akan pernah mampu melawan hakikat asalku, Seraphine.”“Aku bukan melawan hakikatmu…”“...aku menolak takdirmu.”Awal DuelLedakan pertama dimulai.Zevalhar memuntahkan:"Void Pulse Crush" — gelombang anti-materi leyline."Dominion Grasp" — cakar darah yang menjerat dimensi.Seraphine membalas dengan:"Crimson Cascade Spiral" — rotasi leyline darah murni."Absolute Purity Breaker" — ledakan plasma yang memurnikan ruang.Setiap benturan teknik memecahkan dimensi Vault.Efek Samping BencanaSementara p
"Kekuasaan sejati tak perlu tuan. Ia hanya butuh wadah."Situasi: Mahkota Mulai BangkitDalam ruang kontrol leyline yang hancur sebagian, aura darah hitam mulai membentuk pusaran spiral.Fragmen Zevalhar — yang tadinya terpisah — kini menyatu.Pelan tapi pasti, ia membentuk bentuk semi-fisik:Mahkota Zevalhar Purba.Tiga puncaknya berdenyut, seolah bernafas.Nadi-nadi darah mengalir melingkar di antara ukiran purbanya.Suara purba mulai mengisi udara:“Akhirnya… aku bebas…”Semua orang di ruangan — Seraphine, Altheon, Varion, Meliora — terdiam, tubuh mereka bergetar di hadapan entitas purba ini.Vault MengintervensiVault darah yang ada dalam tubuh Seraphine tiba-tiba beresonansi liar, mencoba melawan kehadiran Mahkota.Namun tekanan Mahkota terlalu besar.Vault Seraphine mulai retak lebih dalam."Grrh… tidak... aku belum selesai!"— Seraphine menahan rasa sakit yang mencabik seluruh jiwanya.Nyssa mencoba menopang tubuhnya, tapi energi Mahkota mendorong semua mundur.Altheon: Proposa
"Bila kau terlalu lama menatap kekuasaan, kekuasaan mulai menatap balik."Lokasi: Kuil Central Vault — Ordo LuminarisTiga fragmen Mahkota Zevalhar kini disatukan dalam ruangan isolasi leyline.Dikelilingi oleh lingkaran segel plasma, mantra pengunci dimensi, dan penjaga darah terbaik Ordo.Namun bahkan perlindungan tertinggi itu tak cukup untuk menahan bisikan Mahkota.Fragmen mulai beresonansi:DUM-DUM-DUM.Nadinya berdenyut seperti jantung para dewa yang dibangkitkan.Pertemuan StrategisSeraphine, Altheon, Varion, dan High Seer Meliora berkumpul.“Mahkota mulai hidup kembali,” ujar Meliora, wajahnya pucat.Varion menambahkan:“Leyline global mulai bergeser. Vault mulai bergetar. Jika kita tak segera menyegel ulang, dunia bisa runtuh.”Altheon menatap semua dengan dingin:“Atau… kita bisa memanfaatkannya.”“Berhenti, Altheon!” seru Seraphine.“Kita mengumpulkan fragmen untuk mengamankan dunia, bukan menguasainya!”Altheon menyipitkan mata.Untuk pertama kalinya, retakan ideologi me
"Kadang, untuk menyelamatkan dunia, kau harus hancurkan bagian dari dirimu."Lokasi: Makam Hitam DrelthornTidak ada tempat yang lebih terkutuk selain Drelthorn.Situs ini adalah:Makam ribuan Penyihir Darah Purba.Lokasi penyegelan ritual pengkhianatan pertama Mahkota Zevalhar.Altheon, pemimpin misi ketiga, berdiri di hadapan gerbang batu obsidian yang berlumuran nadi darah beku.Bersamanya:High Seer Meliora: penjaga kitab gelap.Cassian: pengurai mantra dimensi.Taran: assassin darah Ordo.Altheon Bicara“Tempat ini tak mengenal batas hidup atau mati.”“Dan jangan percaya apapun yang kalian lihat di sini,” tambah Meliora, matanya dingin.Memasuki DrelthornBegitu memasuki lorong spiral Drelthorn, mereka langsung disambut oleh ilusi waktu.Setiap anggota tim mulai melihat diri mereka di masa lalu:Cassian melihat adiknya yang ia korbankan.Meliora melihat dirinya membakar kuil lamanya.Taran melihat pembantaian pertama yang ia lakukan.Altheon — sang Master Strategist — tetap tegak
"Bahkan kegelapan pun takut menjejakkan diri di tanah ini."Lokasi: Celah Darah Rhez’UlmarLetaknya di perbatasan Dimensi Purba.Rhez’Ulmar adalah jurang abadi yang dikenal sebagai:Perut Darah DuniaKuburan Raja-Raja DarahLegenda berkata:“Tak ada yang kembali dari Rhez’Ulmar tanpa kehilangan sesuatu.”Tim VarionDipimpin oleh Varion, tim kedua Aliansi Darah memasuki gerbang berduri Rhez’Ulmar.Bersamanya:Ezira: ahli sihir darah ilusi.Kaleb: penjaga berpedang rantai plasma.Lyssa: penyihir pengurai leyline.Mereka membawa satu mantra perlindungan yang diciptakan Altheon sendiri:“Vault Harbinger - Seal of Anchor”Mantra ini menjaga kesadaran mereka tetap utuh di dalam pusaran darah Rhez’Ulmar.“Sekali kita masuk, tak ada jalan mundur cepat,” ujar Varion, suaranya dingin.“Kami siap mati, Lord Varion,” jawab Kaleb.Memasuki Rhez’UlmarBegitu mereka melangkah, udara seolah berubah kental.Kabut darah menari seperti roh lapar.Langit memudar jadi merah kehitaman.Jeritan samar terden