Home / Fantasi / Miliknya Di Antara Dua Dunia / BAB 4 – API PERTAMA DI TUBUH SANG RATU

Share

BAB 4 – API PERTAMA DI TUBUH SANG RATU

Author: Ayla
last update Last Updated: 2025-06-10 00:54:59

Tidak ada yang mengajarinya bagaimana menghadapi pengkhianatan dari yang mencintai.

Karena cinta yang tumbuh di tanah gelap tak berbunga, ia menyala—dan membakar.


Seraphine terbangun saat tengah malam.

Kamar pribadinya dipenuhi aroma logam panas. Tembok obsidian memantulkan cahaya merah yang seharusnya tak ada.

Ia melihat tangannya.

Terbakar, tapi tidak hangus.

Kulitnya retak, bercahaya dari dalam, seolah tubuhnya menyimpan matahari kecil yang mendidih.

Kaelith tidak bisa menjelaskan ini.

Karena ini bukan kekuatan malam. Bukan juga milik ibunya yang manusia.

Ini… sesuatu lain.

“Tubuhku berubah,” desis Seraphine.

“Apakah ini darah cahaya yang bangkit? Atau kutukan iblis yang terlambat?”

Tak ada yang menjawab. Tapi dinding kamarnya mulai mencair.

Ia buru-buru meninggalkan menara. Langkahnya membawa ia ke Kolam Tertutup, tempat para ratu malam biasa melakukan ritus pembakaran diri—tradisi menguji batas kekuatan.

Seraphine menanggalkan jubahnya.

Memasuki kolam api.

Dan tidak terbakar.

Justru, nyala api itu menyambutnya seperti ibu yang telah lama hilang.


Sementara itu, di ruang tak bertangga di jantung Varethar, Kaelith menyelidiki buku darah tua yang dilarang.

Halaman-halaman tua menyebut satu nama: Aetherial Flamma, api suci yang hanya muncul ketika darah malam dan darah cahaya menyatu sempurna.

“Itu mustahil…” gumam Kaelith. “Tak ada makhluk yang bisa menampung dua kutub itu tanpa hancur.”

Namun Seraphine… bukan makhluk biasa.

Ia bukan hanya hasil perjanjian.

Ia adalah konsekuensi dari pengkhianatan dan cinta yang terlarang.

Kaelith menutup buku itu perlahan.

Di matanya, ada sesuatu yang tak bisa dikatakan oleh siapa pun—takut.

“Kalau dia berubah… aku mungkin tak bisa mengendalikannya.”


Pagi hari, seluruh langit Varethar berubah merah darah.

Para bangsawan malam keluar dari reruntuhan istana mereka. Bayangan bergerak gelisah.

Di tengah tanah batu yang selalu membeku, muncullah api liar—tumbuh dari retakan bumi. Tumbuh dari jejak Seraphine.

Dia berdiri di tengah lingkaran bara, rambutnya terangkat, kulitnya bersinar.

Tak lagi hanya Putri Malam.

Tapi juga Pewaris Api yang Terlupakan.

“Ratu kita… telah menyentuh api cahaya,” bisik salah satu pelayan darah.

“Itu penghujat,” bisik yang lain.

“Itu awal dari zaman baru,” jawab seorang prajurit dengan kepala tertunduk.

Seraphine memandang mereka semua. Api berputar di sekeliling tubuhnya, tapi tak menyakitinya.

Ia berkata:

“Aku bukan Ratu Malam.”

“Aku bukan Anak Cahaya.”

“Aku adalah akibat. Dan aku akan menjadi awal.”


Di kejauhan, di dunia manusia, para imam tinggi di Menara Cahaya juga merasakan gemetar pada tanah.

Api yang seharusnya jadi milik mereka… telah memilih wadah baru.

Mereka bersujud dalam ketakutan.

Dan salah satu dari mereka, Imam Caelus—yang dulunya mencintai ibunda Seraphine dalam diam—berkata,

“Anak dari dosa itu bangkit. Kita harus membunuhnya sebelum ia menyatukan langit dan malam.”

Tapi ia tahu…

Sudah terlambat.

-------------

Cahaya tak selalu membimbing. Kadang ia membutakan.

Dan dalam kebutaan itu, darah suci ditumpahkan oleh tangan-tangan yang merasa tak ternoda.


Di Menara Aurion, pusat otoritas Cahaya Ilahi, langit tampak lebih terang dari biasanya. Tapi bukan terang yang menyenangkan—melainkan silau yang menyayat mata.

Imam Caelus berdiri di balkon tertinggi, jubah putihnya berkibar ditiup angin utara.

“Dia hidup,” katanya pada langit. “Putri dari darah yang terlarang itu… telah bangkit.”

Ia bukan imam biasa. Caelus adalah Lux Veritas, pembawa hukum cahaya, pemegang gulungan wahyu kelima yang hilang. Tapi bahkan dirinya gentar menghadapi nubuat yang kini mulai terbaca kembali—tulisan yang dulu dianggap bid’ah.

Ia membuka gulungan tua, tinta emasnya masih menyala.

“…Jika darah malam bersatu dengan jiwa terang, maka api langit akan menyala dari kegelapan, dan bumi akan ditimbang kembali antara kutub awal dan akhir…”

Kuil bergetar. Imam-imam muda berlutut, satu per satu, menyanyikan puji-pujian yang terdengar lebih seperti rintihan takut.


Di Ruang Konsili Cahaya, tujuh imam tertinggi berkumpul. Mereka semua mengenakan topeng emas—melambangkan bahwa kebenaran mereka bukan berasal dari wajah manusia, melainkan dari kehendak Ilahi.

Caelus bicara tanpa selubung:

“Anak dari Varethar dan Cahaya telah lahir. Ia menyatu. Menyalakan api yang hanya boleh menjadi milik kita.”

“Dia abominasi,” gumam Imam Varn.

“Dia pertanda akhir,” kata yang lain.

“Atau… permulaan baru yang tidak kita rancang,” jawab Caelus.

Tapi tidak semua sepakat.

Imam Serene, perempuan termuda di antara mereka, mempertanyakan:

“Bukankah kita pernah memprediksi ini? Bahwa Cahaya yang terlalu murni akan merindukan bayangannya sendiri?”

Kata-kata itu membuat ruang sunyi. Tapi tak ada tempat bagi puisi di ruang para pendeta yang haus stabilitas.

Maka, keputusan bulat pun diambil.

“Kita mulai Exoradiantum—Perburuan Cahaya.”

Seraphine akan dicari. Diperangkap. Dihapus dari sejarah, sebelum kehadirannya membuat rakyat mulai bertanya:

Apakah cahaya memang selalu benar?


Di ruang tersembunyi bawah tanah, Caelus membuka kotak perak. Di dalamnya: sehelai rambut hitam—milik ibunda Seraphine, Lira.

Dulu, ia mencintai Lira. Dulu, ia membiarkannya pergi.

Dan kini, ia melihat wajahnya dalam sorot api Seraphine.

“Maafkan aku,” bisiknya. “Tapi jika kau adalah jalan ke ujung dunia, maka aku akan menutupnya dengan tanganku sendiri.”

Di belakangnya, terdengar denting rantai. Para Lux Hunter, pemburu-pemburu cahaya suci, bersiap menerima misi pertama mereka dalam seratus tahun terakhir.

“Bunuh apa pun yang melawan,” perintah Caelus.

“Tapi bawa sang Putri hidup-hidup. Aku ingin melihat apakah matanya adalah milik Lira… atau iblis malam.”


Sementara itu, jauh di Varethar, Seraphine menatap luka di lengannya. Api menyembuhkan, tapi bekasnya berubah jadi tanda bercahaya—seolah tubuhnya menulis sejarahnya sendiri.

“Mereka mencariku…” gumamnya.

“Dan aku tidak akan lari.”

Untuk pertama kalinya, Seraphine tersenyum—bukan sebagai Putri.

Tapi sebagai ancaman.

Sebagai kemungkinan yang tak ingin ada satu pun dunia melihat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 115 — KALIMAT KEDUA

    Langit telah berubah.Putih sempurna, tanpa bayangan, tanpa batas.Tak ada lagi bintang, tak ada lagi arah—hanya halaman raksasa yang menunggu.Rynor berlutut di atas tanah yang kini menyerupai lembaran kertas.Setiap napasnya menimbulkan guratan samar, seolah tubuhnya sendiri sedang menulis tanpa izin.Sementara di hadapannya, Penulis Sah berdiri tegak, pena hitamnya terangkat tinggi.> “Kalimat kedua,” ujarnya—dengan nada yang seperti bunyi tinta menetes di ruang kosong.“Akan menjadi fondasi semesta baru.Segala yang tak layak, akan dihapus.”---Rynor: Antara Keyakinan dan KetakutanRynor menatap Kael yang tergeletak tak jauh dari situ.Bara di tubuh Kael sudah padam, tapi matanya masih terbuka—hidup, meski samar.Ia masih bernapas. Dan itu cukup bagi Rynor untuk berdiri lagi.“Kalau kau benar-benar penulis,” gumamnya, suara parau tapi jelas,“maka aku—huruf yang menolak dibaca.”Ia menancapkan pedangnya di tanah, dan seketika guratan cahaya menyala dari bilahnya.Setiap cahaya it

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 114 — PENA YANG DIPEREBUTKAN

    Semesta baru bagai naskah mentah yang dirobek paksa.Setiap inci udara penuh huruf yang berjatuhan, setiap tanah retak seperti baris kalimat yang gagal dirangkai.Titik—yang kini menjelma seperti matahari—memuntahkan denyut cahaya, dan dari dalamnya, para penulis bayangan berhamburan, masing-masing membawa ambisi yang sama: menulis kalimat kedua.---Rynor: Antara Pedang dan PenaPedang di tangan Rynor bukan lagi sekadar senjata.Ia kini melihatnya sebagai pena yang kasar, satu-satunya alat yang bisa menorehkan garis di tengah halaman semesta.Namun semakin ia tebas, semakin banyak tangan yang tumbuh, semakin banyak wajah-wajah tanpa identitas yang merangkak keluar.“Setiap tebasanku cuma melahirkan lebih banyak kata liar,” desisnya.Tulang tangannya retak, peluh bercampur darah menetes, tapi matanya tetap tajam.Ia tahu—yang ia lawan bukan sekadar tubuh, melainkan gairah menulis yang tak pernah selesai.---Kael: Api yang Ingin Menjadi KataKael memekik, tubuhnya retak seperti cermin

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 113 — KETIKA TITIK MENJADI BENIH

    Lahirnya Kalimat Pertama Titik itu tidak lenyap setelah menutup. Ia mengendap, membeku, lalu berkilau seperti benih kecil yang jatuh di tanah basah. Semesta yang baru saja menarik napas panjang kini beresonansi. Getaran itu menyebar, menjalar ke setiap pecahan bintang, ke setiap retakan langit, ke laut yang baru saja meneteskan hujan. Dan dari titik itu, lahirlah kalimat pertama semesta baru: > “Ada sesuatu.” Kalimat sederhana, namun dengan kekuatan maha dahsyat. Karena sebelum kalimat, tidak ada yang bisa diingat. Tidak ada yang bisa dimulai. --- Rynor: Ketakutan pada Benih Rynor menatap titik yang kini bersinar seperti matahari mungil. Pedangnya masih menancap di tanah, tapi ia tahu—cahaya itu akan mulai menulis dengan atau tanpa dirinya. Ia bergumam, suaranya hampir hilang, “Kalau titik bisa menjadi benih… maka apa yang lahir nanti bukan lagi milik kita.” Ia menggenggam gagang pedang, tubuhnya bergetar. Bagian dirinya ingin melindungi titik itu, menj

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 112 — KOMA YANG MEMBELAH

    Keheningan yang RetakSemesta baru bergetar, tapi bukan dengan ledakan.Bukan juga dengan runtuhan.Ia bergetar seperti tinta yang diteteskan ke air bening—membentuk lingkaran, meluas, lalu pecah jadi noda samar.Rynor dan Kael berdiri, bukan sebagai dua kutub lagi, melainkan sebagai kertas yang sama-sama ternoda.Di sela mereka, bayangan-komatis itu menyeringai tanpa wajah.Ia tidak butuh wujud, sebab wujud adalah titik. Ia memilih koma—tak berujung, tak tuntas.> “Kalian bukan lagi dua musuh.Kalian adalah satu kalimat yang terhenti di tengah jalan.Dan aku adalah jedanya.”---Rynor: Luka yang MembukaRynor menggenggam pedangnya, tapi pedang itu retak makin dalam.Cahaya yang dulu mengalir darinya kini tersedot, menjadi hitam pekat.Ia berbisik pada dirinya sendiri, atau mungkin pada semesta:“Kalau aku tebas koma ini… apa aku menutup kalimat, atau memutus hidup?”Tapi setiap kali ia mengangkat pedang, bisikan-bisikan dari bayangan menyeruak:> “Kalau kau menutup… siapa yang menent

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 111 — HUKUMAN PERTAMA : "TIDAK"

    Bab 184 — Hukum Pertama: “Tidak”---Retakan yang Menjadi AksaraKata itu kecil.Kata itu rapuh.Namun ketika Rynor dan Kael mengucapkannya bersamaan, semesta berhenti.> “Tidak.”Suara itu bukan sekadar penolakan.Ia adalah garis melintang di atas naskah yang hendak ditulis ulang.Ia adalah palu yang menghentikan tangan penulis sebelum tinta jatuh.Langit putih-hitam yang sebelumnya berganti-ganti kini terbelah dua.Satu sisi bergetar, masih mencoba mengikuti mulut raksasa.Sisi lain beku, menolak mengikuti.Semesta baru tercabik—seakan halaman buku disobek di tengah kalimat.---Mulut Kosmos yang TersedakMulut raksasa itu meronta.Ia membuka lebar, mengeluarkan ribuan kata sekaligus—kata tanpa arti, kata tanpa bunyi, kata tanpa tubuh.Namun setiap kali satu kata lahir, kata itu terhenti di udara.Seolah-olah ada garis yang menolaknya, menahan huruf sebelum sempat jatuh.Mulut itu batuk.Dan untuk pertama kalinya, sesuatu yang seharusnya tidak bisa batuk—batuk.Dari dalamnya keluar

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 110 — KATA PERTAMA YANG BERDARAH

    Mulut KosmosMulut raksasa itu menganga, tapi yang keluar bukan suara biasa.Itu adalah kata yang tak punya huruf, tak punya lidah—hanya luka yang dipaksa menjadi bunyi.Setiap kali mulut itu bergerak, retakan baru muncul di semesta.Pulau kaca pecah. Langit yang sudah rapuh kian teriris.Dan dari rongga udara yang koyak, keluar barisan suara-suara lain:tawa yang patah, doa yang terbalik, nyanyian yang tak pernah selesai.Kael menggertakkan giginya, darah hitam menetes di dagunya.“Dia… menulis ulang dengan teriakan. Kalau kita terlambat, semesta ini akan jadi kitab penuh jeritan.”Rynor menggenggam pedangnya, cahaya gemetar, tubuhnya retak sampai ke tulang bayangan.Ia tahu pedang itu sudah bukan pedang lagi—ia adalah garis pertama di halaman kosong.Dan garis itu kini diperebutkan.---Seruan yang MenyusupSuara mulut raksasa itu bukan sekadar gema.Ia masuk ke kepala, menyalin dirinya dalam pikiran.Rynor mendengar ayahnya berteriak memanggil nama yang sudah lama hilang.Kael mend

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status