"Beberapa luka tidak berdarah. Mereka hanya tinggal, membusuk pelan, menunggu nama untuk diberi."
Rovan duduk di sisi ranjang, tidak menyentuh apapun. Ia hanya menatap Seraphine dari kejauhan, seolah takut bahwa gerakannya bisa menyulut ledakan. Di luar, langit Varethar kembali retak. Tapi kali ini, retaknya membawa suara—ratap yang seperti berasal dari kedalaman dunia.
Seraphine berdiri, punggung menghadapnya, tubuhnya masih dipenuhi bekas sisa api. Rambutnya terbuka, berkilau merah di bawah cahaya bulan hitam. Namun di balik siluet kuat itu, ada sesuatu yang runtuh.
“Kau ingin membawaku kembali pada mereka?” tanyanya dingin.
“Atau... membunuhku sebelum aku jadi ancaman?”
Rovan tidak langsung menjawab. Ia menatap lantai, menahan napas.
“Aku tidak tahu, Seraphine.”
“Mereka menyuruhku ke sini. Tapi aku datang karena aku ingin... melihatmu. Sebelum semuanya hancur.”
Ia berdiri. Perlahan.
“Sebelum kau jadi seseorang yang bahkan aku tak bisa kenali.”
Ingatan menyelinap masuk ke kepalanya—kenangan masa kecil yang dikubur jauh. Dulu, Rovan adalah seorang anak yatim yang ditemukan di reruntuhan Kuil Arkhara. Tubuhnya dipenuhi bekas luka, matanya kehilangan warna karena ritual darah yang gagal.
Ia dibesarkan oleh Lux Hunter, diperlengkapi dengan logika dan pedang. Tapi tidak pernah kasih sayang.
“Jangan menangis,” begitu kata mereka. “Air mata membuatmu lemah.”
Maka ia belajar menyimpan tangisnya dalam diam. Ia belajar membenci kelembutan, karena kelembutan membunuh lebih lambat daripada racun.
Tapi kini, di hadapan Seraphine—yang berdiri antara kebencian dan kerinduan—Rovan ingin menangis.
Seraphine menoleh. Sorot matanya masih tajam, tapi bukan tajam karena marah—melainkan takut. Ia tidak percaya ada seseorang yang tetap tinggal, setelah melihat semua yang ia sembunyikan.
“Aku... tidak tahu harus bagaimana,” gumamnya.
“Jika aku menyerah pada mereka, aku mati. Jika aku melawan, aku juga mati. Tapi jika aku... memilihmu... apa kau tidak akan mati bersamaku?”
Rovan menatapnya. Lurus.
“Mungkin kita berdua akan mati. Tapi setidaknya, bukan karena bohong.”
Tiba-tiba, pintu kamarnya bergetar. Seorang penjaga menerobos masuk, napas tersengal, wajah pucat.
“Yang Mulia, siluman langit—makhluk dari batas Varethar—muncul di gerbang luar. Mereka mencari... penguasa api baru.”
Seraphine menegang. Ia tahu apa artinya: jika makhluk-makhluk itu tahu dia telah menyatu dengan Flamma Vitae, mereka akan mencoba mengklaimnya sebagai pemimpin mereka.
Atau membunuhnya jika ia menolak.
Di luar istana, gerbang besar dilanda kegelapan. Makhluk-makhluk dari langit turun: tubuh mereka seperti kabut bercahaya, mata mereka mengambang tanpa wajah.
Satu makhluk tertinggi—lebih besar dari yang lain—membawa sebuah obor menyala biru. Ia bicara dalam bahasa kuno:
“Api lama telah padam. Yang baru harus memilih: memimpin kami... atau dibakar demi keseimbangan.”
Seraphine berdiri di atas balkon utama. Rovan di belakangnya. Ia bisa merasakan kekuatan mereka menggetarkan tanah, tapi ia lebih takut pada kekuatan dalam dirinya sendiri.
“Aku bukan pemimpin kalian,” katanya lantang.
“Aku bahkan tidak bisa memimpin diriku sendiri.”
Makhluk itu menunduk. Suara mereka seperti gema dari liang kubur.
“Itu sebabnya kau sempurna.”
Setelah para makhluk langit kembali ke bayang-bayang, malam pun tenang kembali. Tapi Seraphine tahu, kedamaian ini hanya jeda sebelum pertempuran berikutnya.
Rovan berdiri di sisinya, diam. Tak menyentuh. Tak memaksa. Tapi hadir.
“Aku tak butuh pemimpin,” katanya pelan.
“Tapi aku butuh alasan untuk tidak memihak siapa pun... kecuali kamu.”
Seraphine menatapnya. Kali ini, bukan sebagai musuh, bukan sebagai perantara takdir. Tapi sebagai seseorang yang mungkin—meski hanya sedikit—masih bisa percaya pada cinta.
Mata terluka memang tak bisa menangis. Tapi bukan berarti mereka tak bisa melihat.
Dan malam itu, Seraphine melihat sesuatu yang lebih dari sekadar misi.
Ia melihat kemungkinan.
Kosong itu hidup.Rynor tahu ia tidak boleh menyebutnya “udara,” karena tidak ada yang bisa ia hirup. Tidak boleh disebut “suara,” sebab tidak ada getaran yang bisa ditangkap telinganya. Namun, entah bagaimana, kosong itu berdenyut. Ia bisa merasakannya, seperti jantung raksasa yang tak terlihat, memompa ritme yang bukan darah, bukan energi, melainkan ketiadaan murni.Dan di hadapan mereka, bayangan yang bernafas itu mulai menarik napas pertamanya.Napas yang bukan sekadar hisapan. Ia menyedot lapisan-lapisan realitas, mencabik sisa-sisa dunia, menelan bintang, ingatan, doa, dan bahkan kemungkinan masa depan.Kael berdiri goyah di sebelahnya. Tubuhnya setengah transparan, seperti kaca yang diukir retakan. Namun matanya—mata merah yang selama ini dipenuhi amarah—masih bersinar. “Dia menarik segalanya masuk,” bisiknya, suaranya pecah. “Kalau dihembuskan lagi… tidak ada yang akan tersisa.”Rynor menatap bilah cahayanya yang retak. Retakan itu seperti saraf terbuka, setiap denyutnya menus
Retakan di pupil itu melebar. Dari dalamnya, bukan sekadar wajah yang tak pernah lahir—tetapi sesuatu yang berdenyut. Sebuah jantung. Bukan jantung seperti daging makhluk fana, melainkan segumpal ketiadaan yang memompa kehampaan. Setiap denyutnya membuat semesta di sekitar mereka hancur sepotong demi sepotong, seperti kaca yang retak karena palu tak kasatmata. Rynor terhuyung. Darahnya sendiri berubah jadi cahaya patah, tercerai berai setiap kali jantung itu berdenyut. Kael menggertakkan gigi, menancapkan kakinya yang hampir transparan ke tanah hampa. “Itu… pusatnya. Jantung yang memompa ketidak-ada-an.” Jantung itu berdetak lagi. DUM. Gelombang kehampaan menghantam, membuat tubuh Rynor bergetar hebat hingga bilahnya hampir pecah. Ingatan terakhirnya tentang dirinya sebagai manusia—tangan ayah yang dulu menggandengnya—hancur jadi serpih tak berwujud. Ia terengah, matanya berkaca. “Aku… aku tidak ingat wajahnya lagi…” Kael menoleh cepat, suaranya pecah tapi penuh amarah. “Lupa
Mata itu menatap.Bukan sekadar memandang mereka, melainkan melucuti lapisan demi lapisan keberadaan mereka.Rynor merasakan cahaya di tubuhnya gemetar, bukan karena kelelahan, melainkan karena ditolak oleh realitas itu sendiri. Cahaya—esensi keberadaannya—ditolak.Kael tidak lebih baik. Energi merah di tangannya berdenyut, lalu pecah menjadi percikan sebelum ia paksa padatkan lagi. “Dia ingin membuat kita percaya bahwa kita tidak pernah ada.” Suaranya serak, seperti keluar dari tenggorokan yang diperas.Rynor mengangkat bilah cahayanya yang sudah retak. “Kalau begitu kita jawab… dengan luka yang membuktikan keberadaan kita.”Kael menyeringai meski darah menetes dari sudut bibirnya. “Ya. Luka adalah bukti paling jujur bahwa sesuatu pernah ada.”---Mereka melompat.Seperti dua garis yang menyalib, cahaya putih keperakan dan merah pekat menyatu, menjadi bilah darah-cahaya sekali lagi. Setiap ayunan memotong ratusan makhluk bayangan yang mencoba menghadang. Suara jeritan tak terdengar m
Tangan raksasa itu turun. Bukan sekadar menghantam—ia meremukkan hampa, melumat ruang, dan mengubah keheningan menjadi badai jeritan. Setiap retakan yang lahir memuntahkan cahaya ungu, seperti isi dunia lain yang bocor ke dalam ketiadaan. Namun sebelum gelap itu menelan mereka, Rynor dan Kael sudah bergerak. Cahaya putih keperakan dan merah pekat berpacu, saling menyilang, membentuk pola yang tak pernah mereka latih namun lahir begitu saja—seperti tubuh mereka mengenali ritme musuh lama yang kini jadi sekutu. Sabit cahaya Rynor melesat menebas sisi tangan bayangan, sementara tombak energi Kael menancap lurus ke pusatnya. Ledakan. Tangan itu pecah, tapi bukan hancur—malah berubah jadi ribuan serpihan kecil yang beterbangan, masing-masing membawa wajah yang menjerit tanpa suara. --- Bayangan-cermin mereka muncul lagi. Sosok setengah putih, setengah merah, kini lebih solid. Ia melangkah ringan di atas retakan hampa, seolah gravitasi tunduk kepadanya. Dengan senyum yang memuakkan
Hampa.Bukan hanya ketiadaan ruang, tapi ketiadaan makna. Tidak ada atas, tidak ada bawah. Tidak ada waktu yang bisa diukur, tidak ada arah untuk ditempuh. Hanya kekosongan absolut—dingin, luas, dan tak berujung.Namun di tengah hampa itu, dua cahaya kecil masih menyala.Rynor.Kael.Keduanya berdiri, meski tubuh mereka sudah tidak sepenuhnya milik mereka lagi. Rynor, dengan sisa cahaya yang retak-retak, wajahnya pucat dan matanya setengah kosong. Kael, dengan tubuh berurat merah yang terus mengelupas, kulitnya seperti cangkang yang sudah tidak sanggup menahan isi di dalamnya.Mereka saling menatap, sama-sama tercengang.Sama-sama sadar: spiral yang runtuh seharusnya menjadi akhir. Tapi di sini, mereka belum mati.Lalu terdengar suara.---Bukan gema. Bukan desiran.Suara itu seperti seribu bisikan dari lubang hitam yang bernafas: “Akhir hanyalah awal. Dan kalian… telah membukanya untukku.”Dari kegelapan, sesuatu bergerak.Tidak berbentuk, tidak bernama, tidak bisa dijelaskan. Bayang
Spiral kini tidak lagi sekadar ruang. Ia telah berubah menjadi luka terbuka—menganga, berdenyut, dan bergetar di antara dua kekuatan yang beradu tanpa kompromi. Batu bercahaya runtuh ke jurang, berputar seperti serpihan bintang yang mati.Rynor terhuyung, darah dan cahaya bercampur menetes dari tubuhnya. Setiap tarikan napas seperti pisau yang mengiris paru-parunya. Namun dalam tatapannya, api tekad belum padam. Ia tahu tubuhnya sedang hancur perlahan, tetapi hatinya menolak tunduk.Kael, di seberang, tidak tampak lebih baik. Pusaran orbit merah yang mengelilinginya telah menyusut—bukan karena melemah, melainkan karena energi yang terlalu padat, terlalu padam, seakan setiap butirnya menelan cahaya lain. Retakan di kulitnya semakin dalam, memperlihatkan kilasan gelap seolah tubuhnya sedang menjadi wadah yang tak layak bagi kekuatan itu.Mereka berdua, dalam diam, tahu: yang mereka hadapi bukan hanya lawan. Mereka menghadapi batas tubuh, batas jiwa, bahkan batas arti menjadi manusia.--