Beranda / Romansa / Milk and Coffee / Chapter 3. Job Seeker

Share

Chapter 3. Job Seeker

Penulis: Roxabell212
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-30 16:14:09

     Sabrina menggulirkan scroll wheel mousenya. Ia mengecek timeline salah satu media sosial biru berlogo ‘in’ miliknya. Ia menyisir informasi lowongan kerja yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Beberapa lowongan sudah ia coba masuki. Namun, tidak sedikit yang menolak karena latar belakang pendidikan pasca sarjana yang ia sandang. Mereka takut, gaji yang mereka tawarkan tidak pantas dengan gelar yang disandangnya. Mereka hanya tidak tahu, berapapun gaji yang ditawarkan, Sabrina tidak keberatan. Sebab, tujuan Sabrina saat ini hanya mendapatkan pekerjaan demi membuktikan diri pada Bu Fenti, tetangga julidnya.

     Suara click mouse terdengar menggema di ruang makan. Laptopnya sudah menyala sejak pagi tadi. Sembari menyisir lowongan kerja, mulut Sabrina mengunyah makan siangnya. Bunda membuat menu udang saus tiram kesukannya.

"Turun kakinya!" Suara keras Bunda mengagetkan Sabrina. Ia hampir saja tersedak karena kaget. "Anak perempuan kok makan kakinya naik di atas kursi, sih? Dikira warteg kali!" Omel Bunda. Ia menarik kaki Sabrina agar turun dari atas kursi.

     Sabrina meringis. Sebagai seorang perempuan, Sabrina kerap bersikap tidak pada kodratnya. Makan dengan mulut mengecap, sambil bicara, kaki di atas meja, dan makan berantakan menjauhkannya dari standar keanggunan seorang wanita.

     "Anak perempuan kok kakinya nggak sopan," omel Bunda.

     "Kalo anak laki-laki, boleh?" Sabrina menggoda.

     "Ish ngelawan mulu!" Bunda mendesis kesal.

     Sabrina tertawa. Ia dan Bundanya memang seperti Tom and Jerry. Kadang mereka akur dalam  bekerja sama, tapi tidak jarang pula mereka berdebat akan pendapat mereka masing-masing yang dirasa paling benar. Sabrina kecil mungkin begitu penurut dan tidak banyak mendebat. Namun kini, diusia yang semakin dewasa dengan lingkungan luas, Sabrina mulai memiliki pendapatnya sendiri. Tak ayal, Bunda merasa kesal karena merasa putrinya itu mulai berani membantah.

     “Makannya diselesaikan dulu baru lanjut cari kerja,” tegur Bunda. Ia geleng-geleng kepala melihat multitasking yang Sabrina lakukan. Beberapa butir nasi dan saus tiram jatuh ke keyboard laptopnya.

     “Nggak bisa, Bun. Ketinggalan informasi sedikitpun bisa menutup peluang kerja,” Sabrina berkilah.

     Bunda mendekati Sabrina dan ikut melihat apa yang sedang putri sulungnya lakukan. Ada banyak tab di bagian atas menu pencarian. Semua tab tidak jauh-jauh dari istilah job. Beberapa BUMN yang tidak membuka lowongan kerja pun disatroni oleh Sabrina.

     Bunda tersenyum kecil. Diam-diam ia kagum pada putrinya ini. Walaupun Bunda tidak pernah mengakui secara gamblang, bagi Bunda, Sabrina adalah putri yang membanggakan. Sejak masih di bangku sekolah, ia sangat berprestasi. Piala kejuaraan selalu ia bawa pulang. Bahkan saat di bangku kuliah, ia sempat menjadi asisten dosen dan lulus dengan gelar cumlaude. Tidak sampai disitu, Sabrina langsung melanjutkan pendidikan pasca sarjana dan lulus dalam waktu singkat. Sebenarnya Sabrina bukan tipikal orang yang senang mengeluh. Hanya saja, Bu Fenti terlalu sering mengganggunya.

     “Jangan terlalu dipikirin, nanti kamu sakit,” pesan Bunda.

     Sabrina mengangguk dengan tetap fokus pada per-selancaran-nya mengunjungi website-website lowongan kerja.

     Saat tengah menulis body email untuk lamaran kerja yang ia kirimkan, ponsel Sabrina yang tergeletak di kamarnya berdering. Ia menunda aktivitasnya dan bergegas menerima panggilan ponselnya.

     “Lia?” Alis Sabrina mengerut. Lia adalah sahabatnya di tahun pertama program pasca Sarjana.

     "Halo! Apa kabar, Li?" sapa Sabrina saat mengangkat teleponnya. Ia heran, tumben sekali Lia menelponnya di jam kerja seperti ini.

     "Good! Kamu gimana?" Balas Lia dengan suara riang.

     "As you know lah. Pusing nyari kerja," jawab Sabrina sambil terkekeh menutupi rasa sedihnya.

     Lia terkekeh dari seberang sana. Sabrina dan Lia berteman cukup baik. Dalam sekali perkenalan, mereka langsung merasa cocok satu sama lain. Mereka juga sering mengerjakan tugas bersama, saling bertukar cerita, dan juga pergi untuk sekedar hangout bersama. Tapi kebersamaan mereka tidak berlangsung lama. Di tahun kedua, Lia tidak melanjutkan kuliahnya karena terkenda masalah finansial dan memutuskan untuk bekerja. Walaupun begitu, mereka tetap sering bertukar kabar.

     “Lagi jam istirahat ya?” tebak Sabrina. Latar belakang suara Lia sangat ramai oleh obrolan-obrolan lain seperti sebuah kantin.

     Lia mengiyakan. “Iya, nih. Ganggu kamu ya?” Lia merasa tidak enak.

     “Nggak lah! Santai aja, kali, Li!” bantah Sabrina cepat. “Ada apa, nih? Tumben banget nelpon? Mau ngirimin makanan? Waduh makasih banget. Seblak seporsi juga boleh, aku suka, tuh. Oh iya, sama teh Boba sekalian!” cerocos Sabrina memecah gelak tawa mereka berdua.

     Lia memprotes keras dari seberang telepon. “Hahahaha, dasar otak kamu isinya makanan aja, ya!” tawanya.

     “Ada waktu ga nanti malam? aku mau cerita sama kamu. Pusing banget gila soal kerjaan,” tanya Lia sedikit mengadu.  

     “Orang-orang ‘tuh kenapa, sih? Sudah punya kerjaan, ngeluh. Nggak punya kerjaan kaya aku, pusing. Manusia emang suka mengherankan,” komentar Sabrina heran.  

     “Ah kamu. Orang kerja itu nggak kayak di ftv yang kerjaannya mulus-mulus aja. Aslinya ‘tuh kadang nggak seenak itu, tau! Belum lagi kalau punya bos yang nyebelinnya bikin naik darah!” protes Lia keras. “Sudah ah, nanti malam kita nongkrong ya! Aku mau banyak cerita dan minta saran juga sama kamu! Mau ya?” pinta Lia penuh harap.

     “Aku? Nggak salah tuh kamu minta saran ke pengangguran kaya aku? Kamu lagi ngejek aku apa gimana, nih?” Sabrina berceloteh.

     “Ih, sudah kamu dengerin dulu cerita aku nanti malam, baru komentar, deh! Sekarang aku pusing kalo harus banget dengerin cerewetnya kamu!” ketus Lia sebal.

     Sabrina tertawa. “Hahaha, oke oke. Nanti malam jam tujuh ya? Aku boleh bawa Dewa, ‘kan?” Sabrina menawar. “Anti aku naik motor sendirian dijalan,” tambahnya.

     Lia berdecak. “Terus aku jadi obat nyamuk, gitu?”

     “Makanya cari pacar, jadi nggak jadi obat nyamuk!” ejek Sabrina.

     “Maunya cari suami, nggak mau cari pacar!” Lia berkilah.

     “Idih, gayanya!” Sabrina mengejek.

     Lia menertawakan nasibnya yang menjomblo cukup lama. Ia terlalu fokus pada pendidikan dan pekerjaannya hingga tidak sempat berkenalan dengan pria manapun. Padahal beberapa teman kuliahnya dulu ada yang berusaha berkenalan dengannya. Namun semua ditolak olehnya mentah-mentah. Saat itu, mencari pacar bukan prioritas Lia, ditambah krisis keuangan keluarga yang melanda membuat Lia harus memutar otak membantu Ayahnya mencari uang untuk bertahan hidup.

     “Nanti kamu bakalan dapat undangan nikah aku tanpa tahu kapan aku punya pacar, awas ya!” Canda Lia.

     “Huu, ditunggu!” Sahut Sabrina.

     “Lia! Kamu dipanggil Pak Reyhan!” Samar terdengar teriakan dari seberang telepon. “Eh, Sab, sudah dulu, ya! Aku harus ketemu boss nyebelin aku. See you dear,” Lia menutup teleponnya cepat.

     Sabrina meletakkan ponselnya lalu kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Ia tersenyum. Sudah lama sekali ia tidak bertemu Lia walaupun kerap bertegur sapa melalui media sosial. Ia teringat momen-momen kocaknya saat masih bersama. Dirinya yang cerewet dan tanpa basa-basi serta Lia yang begitu fokus dan tidak enakkan hati. Benar-benar duo penyeimbang dunia!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Milk and Coffee   Chapter 32. Beban

    Sabrina menarik nafas dalam-dalam. Semakin hari, dadanya terasa sesak mengingat hubungannya dengan Dewa yang terasa semakin jauh. Beberapa kali Sabrina menghubungi Dewa namun tak ada balasan. Dewa seperti berada di tengah hutan tanpa sinyal. Menghampiri Dewa di rumahnya? Selintas ia terpikir itu. Namun ia kembali urung karena seminggu terakhir ia harus bekerja overtime untuk persiapan audit sebentar lagi.- Dewa akhir-akhir ini lebih banyak di kantor, Sabrina. Pulangnya juga malam Sabrina menghela nafas kasar membaca pesan balasan dari Ibunya Dewa. Kejelasan soal Dewa belum terlihat. “Sabrina,” Sabrina menoleh saat ia Reyhan sudah berdiri di depan mejanya. “Iya, Pak?” Sabrina be

  • Milk and Coffee   Chapter 31. Celah

    Awang melirik Sabrina dari sudut matanya. Sabrina hanya bersandar lesu dengan pandangan kosong ke depan. Ia belum berbicara lagi sejak keluar dari kantor Dewa. "Sab,” panggil Awang pelan. Sabrina tidak menjawab. Pikirannya masih melayang pada Dewa yang tidak bisa ia temui. Kalut dan pikiran negatif tanpa jawaban pasti memenuhi kepalanya. Awang menghela nafas. Ia merasa sedih saat melihat Sabrina seperti ini. Ia kemudian menepikan mobilnya di halaman parkir sebuah minimarket. Barulah Sabrina tersadar dari lamunanya. “Wang, ada apa?” Sabrina tampak bingung. “Cokelat atau vanilla?” bukannya menjawab, Awang malah memberinya dua pilihan. Alis Sabrina mengkerut. “Cokelat?” ia menjawab bingung. Tanpa menjelaskan apa maskud dua pilihan itu, Awa

  • Milk and Coffee   Chapter 30. Main Api

    “Sab! Sab!” Sabrina tersentak mendengar panggilan Awang. Sabrina, Awang, dan Erika tengah berkumpul di kantin, menikmati makan siang di jam istirahat mereka. “Kamu dari kemarin melamun. Kenapa, sih?” Awang terlihat khawatir. “Iya. Kamu lesu banget hari ini,” sambung Erika. Sabrina tersenyum kecil. “Nggak apa-apa,” jawabnya. Awang tidak begitu saja percaya. Ia kenal Sabrina. Wanita muda itu adalah wanita yang ceria. Diam dan melamun, sudah pasti bukan Sabrina. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. “Soal pacar kamu itu, ya?” tebak Awang. Sabrina memandang Awang. Ia kemudian menggeleng dengan hela nafas berat. Sabrina tidak pintar berbohong. Ekspresinya selalu menjelaskan apa yang sedang ia pikirkan. “Aku ambilin jus jeruk ya? Biar pikiranmu seger!” tawar Erika sambil beranjak.

  • Milk and Coffee   Chapter 29. Gelisah

    Sabrina memandangi ponselnya. Dewa masih tidak membalasnya. Ia telah mencoba menghubungi ponselnya namun nada sambung tak terjawab. Tak tahan menghadapi ketidakpastian ini, Sabrina berniat untuk datang ke tempat Dewa di jam istirahat nanti. “Ehm!” Sabrina terkejut dan ponselnya terjatuh. Ia tidak menyadari jika Reyhan sudah berdiri di hadapannya. “Ba-bapak!” Sabrina langsung berdiri. “Ada apa, Pak?” tanya Sabrina gelagapan. Reyhan melotot. “Kamu nih kerja yang fokus!! Saya sudah berdiri lama disini dan kamu malah asyik sama ponsel kamu! Kamu mau saya pecat?!” lagi, kebiasaan Reyhan adalah mengancam. Sabrina mulai kebal dengan ancaman Reyhan. Dia sudah merasakan kehilangan dirinya dan jiwa sombong Sabrina selalu berkata ‘pecat aku dan kamu pasti kelabakan’. Tapi bukan berarti kemudian Sabrina menyepelekan pekerjaannya. “Maaf, Pak,” Sabrina meringis malu.

  • Milk and Coffee   Chapter 28. Bu Fenti vs Everybody

    “Sabrina, bangun, Nak!” Di tengah mimpi indahnya –ia dan Dewa bertemu walau dalam mimpi—suara Bunda menyadarkannya pada kenyataan bahwa hingga pagi ini pun Dewa tidak membalas satupun pesannya. Masih setengah sadar, Sabrina menarik nafas dalam dan berat, mulai bertanya-tanya ada apa sebenarnya dengan Dewa? Sesibuk apa dirinya hingga tak sanggup membalas satupun dari sekian banyak spam pesan yang dikirimkan. Seperti bukan Dewa yang ia kenal. Dewa adalah tipe fast response. Ketika dia mulai slow response hingga berhari-hari, tentu meninggalkan tanda tanya besar. Ada apa? -Kabari aku kalau kamu nggak sibuk ya, Sayang Penuh harap kali ini akan dibalas, Sabrina kembali meninggalkan sebuah pesan lalu keluar menghampiri Ibundanya yang memanggilnya dari dapur. “Kenapa, Bun?” tanya Sabrina sambil menggaruk rambutnya yang gatal. Sesakali ia menguap karena

  • Milk and Coffee   Chapter 27. Curiga

    Reyhan dan Sabrina turun bersamaan dari mobilnya di lobby hotel. Disinilah mereka berdua akan bertemu dengan pesaing mereka, Nirmaan Group. Terakhir kali mereka bersaing pada proyek pembangunan hotel di Lombok. Barilga adalah pemenangnya. Sekali lagi mereka akan dihadapkan pada persaingan mendapatkan proyek pembangunan hotel bintang lima di pusat kota. “Lihat, ini gara-gara kamu lelet, kita jadi terlambat. Awas saja jika kita kehilangan proyek ini! Nggak segan-segan Saya pecat kamu!” Omel Reyhan. Sabrina hanya bisa mendumel dalam hati menanggapinya. “Pak!” terdengar sapaan di Lobby. Rupanya tidak hanya Sabrina yang datang. Beberapa perwakilan tim pun telah menunggu mereka. Ada Rohim dari tim marketing, ada Ika dari finance, dan ada Ramzi dari tim engineering. “Apa Nirmaan sudah sampa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status