Sabrina meremas jemarinya gugup. Setelah sekian lama menjadi jobseeker, akhirnya ia harus menghadapi satu tes yang menjadi momok menakutkan bagi para pencari kerja, Interview.
“Mau kemana?” tanya Bu Fenti saat melihat Sabrina mengeluarkan sepeda motornya. Ibu itu kepo sekali, sih?!
“Rapi banget? Tumben?” komentarnya lagi setelah merasa diacuhkan oleh Sabrina.
Bu Fenti penasaran karena hari ini penampilan Sabrina terbilang berbeda. Biasanya, Sabrina selalu mengenakan daster jika hendak ke warung atau mengenakan celana jeans dengan kemeja jika hendak pergi main. Duh Bu Fenti sampai hafal style yang sering kugunakan!
Berbeda kali ini, Sabrina mengenakan blazer berwarna hitam dengan dalaman blouse berwarna cream serta dasi pita berwarna senada..
“Mau interview kerja, Bu,” Sabrina berusaha menjawab seramah dan sesopan mungkin walaupun sebenarnya ia merasa gondok akan kekepoan yang Bu Fenti tunjukkan.
“Oh iya? Masa? Bohong, ah,” jawaban Bu Fenti membuat Sabrina membelalak. “Pasti mau main. Nggak usah malu, Mbak, pakai pura-pura mau interview kerja,” Bu Fenti mencemooh. “Sampai segitunya…”
“Haha, ngapain bohong atuh, Bu. Ini beneran, saya mau interview kerja,” Sabrina terkekeh. Ingin kuselotip mulutnya!
“Ya sudah kalau malu mengakui. Hati-hati mainnya, jangan pulang malam-malam,” ujarnya sambil melambai masuk ke dalam rumah. Bu Fenti menutup pintu dengan keras.
”What the- Hah! Ada masalah apa sih Ibu itu?!” Sabrina mendengus kasar. Bu Fenti memang seperti itu, ‘kan? Respon apalagi yang bisa kuharapkan dari tetangga julid seperti dia?
Sabrina menaiki sepeda motor maticnya dan melesat menuju Barilga Group, perusahaan dimana Lia bekerja -dan akan resign tidak lama lagi-. Pagi ini, Lia meminta Sabrina untuk datang ke kantornya. Katanya, bosnya akan menginterview Sabrina secara langsung. Dengan menenteng amplop cokelat berisi berkas lamaran kerja, Sabrina masuk ke dalam sebuah gedung perkantoran yang menjulang tinggi. Begitu ia masuk ke dalam gedung, Security langsung menyapanya.
“Ada yang bisa dibantu, Bu?” tanya Security itu dengan ramah.
“Oh, iya! Mau cari Bu Lia, sekretaris Barilga Group,” jawab Sabrina
Security itu mengantar Sabrina menuju meja resepsionis dan mewakilinya mencari Lia.
“Selamat pagi, Bu. Saya Erika, resepsionis Barilga Group. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Erika, si Resepsionis dengan ramah.
“Mau cari Bu Lia, Mbak. Ada perlu,” jawab Sabrina.
“Oh, Ibu Lia. Baik Ibu, mohon ditunggu sebentar, ya,” Erika mengangkat gagang telepon dan menghubungi seseorang. “Bu Sabrina, silahkan naik lift ke lantai sebelas. Bu Lia menunggu disana,” kata Erika.
“Lantai sebelas, ya?” Sabrina meyakinkan kembali. Ia berada di tempat asing dan harus menuju lantai sebelas sendirian?!
Mau tidak mau Sabrina pergi sendiri menuju lantai sebelas tanpa ada yang menemani. Lia jahat banget nggak mau jemput aku! Sabrina mengomel dalam hati. Sabrina menenangkan dirinya yang sedang gugup. Ini pertama kalinya Sabrina melamar kerja. Rasa gugup membuat hal sepele mengusiknya. Mungkin saja Lia sedang sibuk di sana mengurusi bos yang katanya bawel.
Ting! Pintu lift akhirnya berhenti di lantai dasar setelah Sabrina menunggu cukup lama.
“Iya, saya segera kesana,” dari dalam lift, keluar seorang pria mengenakan jas kerja. Ia tengah menerima panggilan telepon sambil menenteng tas laptop.
“Heh?!” Sabrina memekik saat melihat sosok pria yang keluar dari lift. Ia mengenali pria itu sebagai mantannya saat masih di bangku SMA.
Pria itu menoleh ke arah Sabrina dengan ekspresi heran. Pria itu tidak mengenali Sabrina. Ia lalu mengendikkan bahunya dan melesat pergi sambil terus berbicara melalui ponselnya.
Sabrina tercengang. Ia merasa yakin mengenal sosok pria itu. Wajahnya sangat mirip dengan mantan kekasihnya dulu saat masih duduk di bangku SMA.
“Aku lupa ya siapa namanya itu,” Sabrina berusaha mengingat nama pria yang pernah menjadi mantannya itu. Hubungan mereka sangat kilat, hanya satu bulan saja. “Tapi masa, sih? Nggak mungkin itu dia, deh. Eh tapi mungkin juga, sih. ‘Kan habis putus nggak pernah tahu kabarnya lagi,” Sabrina bergumam sepanjang lift naik menuju lantai yang dituju. Gumamannya tidak ia sadari mengganggu pengguna lift yang lain.
Ting! Lift akhirnya terbuka di lantai sebelas. Sabrina melihat sebuah ruangan yang sangat luas dengan banyak meja dan partisi untuk memisahkan satu sama lain. Suara bising karyawan berbicara, mesin fotokopi, hingga ponsel yang terus berdering memenuhi seluruh ruangan. Ia tebak ini hari yang sibuk. Mata Sabrina melirik ke beberapa meja kosong yang bersih dari berkas. Ucapan Lia benar adanya, jumlah karyawan yang resign lumayan banyak. Kurang lebih ada sepuluh meja kosong disana.
“Sabrina!” Lia keluar dari sebuah ruangan khusus yang terpisah. Dia berlari menghampirinya.
“Bos aku baru aja pergi. Tapi bukan salah kamu, kok! Emang dia begitu suka datang pergi semau dia. Kayak Kang Ghosting!” kesal Lia. Bagaimana ia tidak kesal, Bosnya memaksa Lia membawa kandidat penggantinya hari ini untuk diinterview. Lalu, tanpa rasa bersalah Bosnya meninggalkannya begitu saja.
“Yah, terus gimana dong? Aku udah rapi gini,” Sabrina cemberut. Lia pun tidak enak hati dibuatnya.
“Yaudah deh, aku pulang,” kata Sabrina lesu. Padahal, tinggal selangkah lagi ia akan mendapatkan pekerjaan dan bisa menutup mulut Bu Fenti yang jahat itu. Setidaknya ia sudah bekerja ketimbang Lola, putrinya itu.
Belum Sabrina berbalik arah untuk pulang, ponsel Lia berbunyi. “Eh, sebentar Sab! Bos aku nelpon!” tahannya.
Lia mengangkat teleponnya. “Ya, Pak?” jawab takut takut.
“Hari ini penggantimu datang, ‘kan? Suruh Irene dari bagian HRD untuk interview,” perintah Reyhan dengan nada bicara sengak seperti biasanya.
“T-tapi interview usernya gimana, Pak?”
“Kamu nih kebanyakan nanya tahu nggak?! Udah bagus Saya mikirin urusan kamu mau resign. Nggak usah kebanyakan protes! Jalani saja apa yang Saya suruh!” makinya dari seberang telepon.
Suara keras Reyhan, bosnya terdengar oleh Sabrina. Padahal, speakernya dalam mode off. Sudah terbayang di benak Sabrina setertekan apa Lia selama bekerja padanya.
“I-iya, Pak-!” Reyhan langsung menutup teleponnya tanpa menunggu Lia menyelesaikan kalimatnya.
Lia memandang Sabrina setelah itu. Pandangannya penuh alasan kuat ia memutuskan untuk resign. Dibanding Sabrina yang bermental baja –terlatih menghadapi Bu Fenti–, Lia tidak bisa menghadapi bos yang seperti itu. Tekad Sabrina untuk menggantikan Lia semakin kuat. Ia kini tertantang menghadapi calon bos galaknya.
“Aku siap, Li! Aku pasti diterima!” Sabrina mengepalkan tangannya. Lia tersenyum lebar kemudian menarik Sabrina menuju ruang HRD untuk bertemu Irene, interviewernya.
~☕Milk and Coffe☕~
Sabrina memandang ke puncak gedung perkantoran dihadapannya. Sunggingan senyum menghias wajahnya. Matanya berbinar. Beban di pundaknya luruh seketika. Setelah perjuangannya mencari pekerjaan, Barilga Group akan menjadi ‘sawah’ pertamanya. Ia diterima oleh Irene, perwakilan Bosnya, untuk bekerja di sini setelah mengikuti serangkaian tes yang berkaitan dengan job desknya sebagai calon sekretaris baru Reyhan. Selanjutnya, selama seminggu kedepan, Lia akan melatihnya melakukan semua jobdesk dengan baik agar bosnya puas.
Dewa -Congratulation, honey! Ayo romantic dinner nanti malam!- 11.35
Sabrina tertawa melihat pesan yang dikirim oleh Dewa usai ia mengabari kabar gembira ini. Sabrina sangat berterima kasih pada Tuhan karena diberkahi rahmat yang besar hari ini. Setelah banyak amplop cokelat yang ia kirim, ratusan email lamaran kerja yang ia kirim, ratusan walk in interview, serta puluhan penolakan, akhirnya ia mendapatkan sebuah pekerjaan. Bunda benar, rejeki tidak akan tertukar. Pekerjaan seperti sebuah jodoh di tangan Tuhan. Bu Fenti! Aku kerja!
Sabrina menarik nafas dalam-dalam. Semakin hari, dadanya terasa sesak mengingat hubungannya dengan Dewa yang terasa semakin jauh. Beberapa kali Sabrina menghubungi Dewa namun tak ada balasan. Dewa seperti berada di tengah hutan tanpa sinyal. Menghampiri Dewa di rumahnya? Selintas ia terpikir itu. Namun ia kembali urung karena seminggu terakhir ia harus bekerja overtime untuk persiapan audit sebentar lagi.- Dewa akhir-akhir ini lebih banyak di kantor, Sabrina. Pulangnya juga malam Sabrina menghela nafas kasar membaca pesan balasan dari Ibunya Dewa. Kejelasan soal Dewa belum terlihat. “Sabrina,” Sabrina menoleh saat ia Reyhan sudah berdiri di depan mejanya. “Iya, Pak?” Sabrina be
Awang melirik Sabrina dari sudut matanya. Sabrina hanya bersandar lesu dengan pandangan kosong ke depan. Ia belum berbicara lagi sejak keluar dari kantor Dewa. "Sab,” panggil Awang pelan. Sabrina tidak menjawab. Pikirannya masih melayang pada Dewa yang tidak bisa ia temui. Kalut dan pikiran negatif tanpa jawaban pasti memenuhi kepalanya. Awang menghela nafas. Ia merasa sedih saat melihat Sabrina seperti ini. Ia kemudian menepikan mobilnya di halaman parkir sebuah minimarket. Barulah Sabrina tersadar dari lamunanya. “Wang, ada apa?” Sabrina tampak bingung. “Cokelat atau vanilla?” bukannya menjawab, Awang malah memberinya dua pilihan. Alis Sabrina mengkerut. “Cokelat?” ia menjawab bingung. Tanpa menjelaskan apa maskud dua pilihan itu, Awa
“Sab! Sab!” Sabrina tersentak mendengar panggilan Awang. Sabrina, Awang, dan Erika tengah berkumpul di kantin, menikmati makan siang di jam istirahat mereka. “Kamu dari kemarin melamun. Kenapa, sih?” Awang terlihat khawatir. “Iya. Kamu lesu banget hari ini,” sambung Erika. Sabrina tersenyum kecil. “Nggak apa-apa,” jawabnya. Awang tidak begitu saja percaya. Ia kenal Sabrina. Wanita muda itu adalah wanita yang ceria. Diam dan melamun, sudah pasti bukan Sabrina. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. “Soal pacar kamu itu, ya?” tebak Awang. Sabrina memandang Awang. Ia kemudian menggeleng dengan hela nafas berat. Sabrina tidak pintar berbohong. Ekspresinya selalu menjelaskan apa yang sedang ia pikirkan. “Aku ambilin jus jeruk ya? Biar pikiranmu seger!” tawar Erika sambil beranjak.
Sabrina memandangi ponselnya. Dewa masih tidak membalasnya. Ia telah mencoba menghubungi ponselnya namun nada sambung tak terjawab. Tak tahan menghadapi ketidakpastian ini, Sabrina berniat untuk datang ke tempat Dewa di jam istirahat nanti. “Ehm!” Sabrina terkejut dan ponselnya terjatuh. Ia tidak menyadari jika Reyhan sudah berdiri di hadapannya. “Ba-bapak!” Sabrina langsung berdiri. “Ada apa, Pak?” tanya Sabrina gelagapan. Reyhan melotot. “Kamu nih kerja yang fokus!! Saya sudah berdiri lama disini dan kamu malah asyik sama ponsel kamu! Kamu mau saya pecat?!” lagi, kebiasaan Reyhan adalah mengancam. Sabrina mulai kebal dengan ancaman Reyhan. Dia sudah merasakan kehilangan dirinya dan jiwa sombong Sabrina selalu berkata ‘pecat aku dan kamu pasti kelabakan’. Tapi bukan berarti kemudian Sabrina menyepelekan pekerjaannya. “Maaf, Pak,” Sabrina meringis malu.
“Sabrina, bangun, Nak!” Di tengah mimpi indahnya –ia dan Dewa bertemu walau dalam mimpi—suara Bunda menyadarkannya pada kenyataan bahwa hingga pagi ini pun Dewa tidak membalas satupun pesannya. Masih setengah sadar, Sabrina menarik nafas dalam dan berat, mulai bertanya-tanya ada apa sebenarnya dengan Dewa? Sesibuk apa dirinya hingga tak sanggup membalas satupun dari sekian banyak spam pesan yang dikirimkan. Seperti bukan Dewa yang ia kenal. Dewa adalah tipe fast response. Ketika dia mulai slow response hingga berhari-hari, tentu meninggalkan tanda tanya besar. Ada apa? -Kabari aku kalau kamu nggak sibuk ya, Sayang Penuh harap kali ini akan dibalas, Sabrina kembali meninggalkan sebuah pesan lalu keluar menghampiri Ibundanya yang memanggilnya dari dapur. “Kenapa, Bun?” tanya Sabrina sambil menggaruk rambutnya yang gatal. Sesakali ia menguap karena
Reyhan dan Sabrina turun bersamaan dari mobilnya di lobby hotel. Disinilah mereka berdua akan bertemu dengan pesaing mereka, Nirmaan Group. Terakhir kali mereka bersaing pada proyek pembangunan hotel di Lombok. Barilga adalah pemenangnya. Sekali lagi mereka akan dihadapkan pada persaingan mendapatkan proyek pembangunan hotel bintang lima di pusat kota. “Lihat, ini gara-gara kamu lelet, kita jadi terlambat. Awas saja jika kita kehilangan proyek ini! Nggak segan-segan Saya pecat kamu!” Omel Reyhan. Sabrina hanya bisa mendumel dalam hati menanggapinya. “Pak!” terdengar sapaan di Lobby. Rupanya tidak hanya Sabrina yang datang. Beberapa perwakilan tim pun telah menunggu mereka. Ada Rohim dari tim marketing, ada Ika dari finance, dan ada Ramzi dari tim engineering. “Apa Nirmaan sudah sampa