Pagi itu, jalanan Ibu kota ramai lalu lalang kendaraan dan pekerja kantoran yang berangkat untuk mengais rejeki. Sebuah mobil sedan hitam masuk ke halaman lobi gedung perkantoran. Seorang pria berusia tiga puluh tahun turun dari bangku penumpang. Ia mengenakan setelan jas hitam dengan kemaja biru donker sebagai dalamannya. Di tangan kanannya, tertenteng sebuah tas laptop sementara di tangan kirinya, tergenggam ponsel keluaran terbaru yang terus berdering menuntut jawaban. Kehadiran pria itu membuat para karyawan yang semula duduk santai di lobi, berbincang dengan sesame karyawan lain, mendadak gugup. Mereka bergegas berdiri, berpura-pura sibuk dan menghindarinya. Pria dengan rambut yang tertata rapi itu sepertinya sangat ditakuti oleh para karyawan. Postur tubuhnya tinggi tegak, ekspresi wajahnya tegas dengan rahang kaku dan hidung mancung. Alisnya tebal, bersorot mata tajam dengan bulu mata yang lentik. Seperti itulah sosok Reyhan Malik Narendra, Direktur Muda yang baru menjabat beberapa bulan belakangan, menggantikan Ayahnya yang mulai menua. Ia merupakan lulusan sekolah pendidikan bisnis di luar negeri.
Langkah Reyhan mantap masuk ke dalam lift. Di dalam, ada beberapa karyawan laki-laki dan perempuan yang canggung bersamanya. Di mata mereka, direktur baru mereka terasa menakutkan hingga mereka memilih untuk tidak bersama dalam waktu lama. Mereka mengenal sosok Reyhan sebagai pria muda yang tidak banyak bicara, selalu menatap lawan bicaranya dengan tajam dan sinis, serta pelit senyum. Tidak ada satupun karyawan yang pernah melihat Reyhan tersenyum apalagi tertawa.
Awalnya, kedatangan Reyhan di Barilga Group, perusahaan konstruksi milik Ayahnya disambut baik oleh para karyawan. Tapi tidak bagi para Komisaris. Mereka tidak yakin akan kemampuan Reyhan memimpin perusahaan sebesar ini. Akan tetapi, Pak Narendra, Ayah Reyhan sekaligus Komisaris Utama Barilga Group memberi kepercayaan penuh pada pola pikir muda milenial yang dimiliki oleh Reyhan. Beliau yakin, Barilga Group akan berkembang pesat dibawah kepemimpinan Reyhan. Terlebih, Pak Narendra merasa tua dan lelah untuk memimpin perusahaan.
Enam bulan berlalu sejak Reyhan menjabat. Kepemimpinan Reyhan dan keras, tegas, dan terkesan arogan membuat beberapa karyawannya ‘makan hati’. Kalimat-kalimat yang terlontar dari mulutnya tidak ayal menyakiti hati mereka. Mereka yang terbiasa dipimpin oleh Pak Narendra yang ramah dan humoris mulai goyah. Satu per satu, pekerjanya memilih untuk mundur atau resign ketimbang mengorbankan hati dan perasaan menghadapi Reyhan. Mereka yang tersisa adalah mereka yang mencoba melapangkan hati dan meyakinkan diri bahwa tekanan kehidupan kantor mereka sekarang tidak akan lebih berat lagi dari ini.
Saat ada kekurangan dalam kememimpinan Reyhan, tentu ada kelebihan yang melengkapinya. Di sisi lain dari kearogansian kepemimpinan Reyhan, tidak bisa dipungkiri juga sejak Reyhan menjabat sebagai Direktur Utama, banyak sekali kontrak-kontrak kerja baru yang ditanda tangani. Pola pikir Reyhan yang lebih terbuka akan bisnis memang berbeda dengan Pak Narendra yang cenderung bertahan di zona nyamannya. Reyhan berani mengambil resiko demi kemajuan perusahaan.
Ting! Lift berhenti di lantai sebelas. Karyawan yang bersamanya sepanjang lift bergegas keluar. Dengan tatapan lurus, Reyhan menuju ruangannya. Sesampainya di ruangan, Reyhan melihat secangkir teh dengan uap panas masih mengepul serta beberapa potong cemilan jajanan pasar sudah tersedia di atas meja. Reyhan mengangguk puas. Office boynya tidak melupakan kebiasaannya setelah ia tidak berangkat ke kantor seminggu lamanya untuk urusan kantor. Lain cerita jika Office Boynya melupakan kebiasaannya, tentu akan ada masalah besar.
Tok-tok. Pintu ruang kerja Reyhan diketuk pelan
"Masuk," sahut Reyhan. Ia duduk di kursi kebesarannya.
Seorang wanita muda berambut pendek sebahu dengan setelah balero hitam dengan dalaman pink pastel serta rok pendek selutut masuk dengan wajah bingung.
"Ada apa, Lia?" tanya Reyhan. "Duduk," ia menyuruh wanita itu untuk duduk.
Lia kemudian duduk. Tangannya gemetar menggenggam sebuah amplop putih.
"Kenapa?" Reyhan mencuri pandang pada amplop putih yang digenggamnya. Ia tidak suka dengan sikap Lia yang tidak jelas tujuannya seperti itu. Ia tidak mau menebak-nebak apa mau bawahannya ini.
"Kalau nggak ada apa-apa, keluar. Jangan buang waktu Saya!" Kata Reyhan dengan nada tinggi.
"Anu, Pak-" Lia menyodorkan sebuah amplop putih yang sedari tadi digenggamnya.
Alis Reyhan berkerut. "Apa? Nggak usah penuh teka-teki gini, Lia. Apa maumu?"
"Resign Pak," jawab Lia cepat sebelum atasannya itu marah dan suasana menjadi keruh.
"Resign?" Reyhan tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Ini sudah karyawannya yang kesekian dalam periode kerjanya yang memutuskan untuk resign.
Reyhan menghela nafas. "Gajimu kurang, Lia?" tanya Reyhan sinis. "Ini sudah kesekian kalinya tim kita resign. Bukankah sejak aku menjabat, gaji kalian semua aku naikkan? Masih kurang?" Reyhan tidak habis pikir dengan sikap para bawahannya yang dirasa tidak tahu berterima kasih.
Lia menggeleng. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa mereka yang resign adalah mereka yang tidak nyaman bekerja dengan Reyhan yang kepribadiannya sangat kaku dan kurang bisa diajak bicara.
Tapi sayangnya, dalam dunia kerja, materi tidak menjadi satu-satunya hal yang membuat para pekerja memutuskan untuk bertahan ataupun resign. Ada beberapa hal besar lain yang menjadi pertimbangan mereka seperti bagaimana pemimpin mereka atau sesederhana bagaimana lingkungan kerja mereka.
"Kamu ada masalah sama saya?" Reyhan melototi Lia penuh selidik.
Lia menggeleng. "Nggak ada, Pak. Saya cuma...mau resign aja," bantah Lia.
"Lalu? Resign itu nggak sekedar 'aku mau resign' tapi ada alasannya. Juga, kamu itu sekretaris Saya. Semua kerjaan Saya, agenda Saya, semua kamu yang atur. Terus kalau kamu resign tanpa alasan yang jelas gini, kerjaan Saya, agenda Saya, gimana nasibnya?!" Marah Reyhan.
Lia hanya diam menunduk tidak berani membantah.
"Ini juga mendadak!" Tambah Reyhan.
“Maaf, Pak. Ke-keputusan saya sudah bulat," papar Lia takut.
Reyhan menghela nafas kasar. "Ya sudah. Saya nggak bisa maksa kamu buat tetep kerja sama Saya. ‘Toh kamu juga sudah minta resign. Tapi kamu harus tanggungjawab sama tugas kamu sebelum surat resign ini Saya tanda tangani!"
"A-apa, Pak?"
"Kamu cari siapapun yang menurut kamu bisa gantiin kamu, kamu ajari semua yang dia perlu tahu, dan Saya nggak mau kamu sampai salah pilih orang. Saya nggak mau orang yang kamu bawa kesini nggak bisa apa-apa atau melakukan kesalahan sekecil apapun. Paham kamu?!" Reyhan melototi Lia.
Lia yang takut akan kemarahan Reyhan pun mengangguk. "I-iya, Pak. Sebelum akhir bulan pengganti saya akan siap untuk bekerja pada Bapak!" Lia menyetujui permintaan Reyhan.
"Ya sudah keluar sana! Ini Saya tanda tangani kalau penggantimu sudah ada. Semakin cepat kamu bawa penggantimu, semakin cepat kamu keluar dari sini, semakin cepat pula kamu jauh dari perusahaan ini!" Tutup Reyhan dengan kalimat yang menusuk hati Lia.
Lia mengangguk cepat. Ia keluar dari ruangan Reyhan lalu menangis. Teman-temannya hanya bisa menghibur Lia. Bertahun-tahun bekerja pada Pak Narendra yang ramah, Lia merasakan tekanan batin luar biasa saat bekerja dengan Reyhan.
Sabrina menarik nafas dalam-dalam. Semakin hari, dadanya terasa sesak mengingat hubungannya dengan Dewa yang terasa semakin jauh. Beberapa kali Sabrina menghubungi Dewa namun tak ada balasan. Dewa seperti berada di tengah hutan tanpa sinyal. Menghampiri Dewa di rumahnya? Selintas ia terpikir itu. Namun ia kembali urung karena seminggu terakhir ia harus bekerja overtime untuk persiapan audit sebentar lagi.- Dewa akhir-akhir ini lebih banyak di kantor, Sabrina. Pulangnya juga malam Sabrina menghela nafas kasar membaca pesan balasan dari Ibunya Dewa. Kejelasan soal Dewa belum terlihat. “Sabrina,” Sabrina menoleh saat ia Reyhan sudah berdiri di depan mejanya. “Iya, Pak?” Sabrina be
Awang melirik Sabrina dari sudut matanya. Sabrina hanya bersandar lesu dengan pandangan kosong ke depan. Ia belum berbicara lagi sejak keluar dari kantor Dewa. "Sab,” panggil Awang pelan. Sabrina tidak menjawab. Pikirannya masih melayang pada Dewa yang tidak bisa ia temui. Kalut dan pikiran negatif tanpa jawaban pasti memenuhi kepalanya. Awang menghela nafas. Ia merasa sedih saat melihat Sabrina seperti ini. Ia kemudian menepikan mobilnya di halaman parkir sebuah minimarket. Barulah Sabrina tersadar dari lamunanya. “Wang, ada apa?” Sabrina tampak bingung. “Cokelat atau vanilla?” bukannya menjawab, Awang malah memberinya dua pilihan. Alis Sabrina mengkerut. “Cokelat?” ia menjawab bingung. Tanpa menjelaskan apa maskud dua pilihan itu, Awa
“Sab! Sab!” Sabrina tersentak mendengar panggilan Awang. Sabrina, Awang, dan Erika tengah berkumpul di kantin, menikmati makan siang di jam istirahat mereka. “Kamu dari kemarin melamun. Kenapa, sih?” Awang terlihat khawatir. “Iya. Kamu lesu banget hari ini,” sambung Erika. Sabrina tersenyum kecil. “Nggak apa-apa,” jawabnya. Awang tidak begitu saja percaya. Ia kenal Sabrina. Wanita muda itu adalah wanita yang ceria. Diam dan melamun, sudah pasti bukan Sabrina. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. “Soal pacar kamu itu, ya?” tebak Awang. Sabrina memandang Awang. Ia kemudian menggeleng dengan hela nafas berat. Sabrina tidak pintar berbohong. Ekspresinya selalu menjelaskan apa yang sedang ia pikirkan. “Aku ambilin jus jeruk ya? Biar pikiranmu seger!” tawar Erika sambil beranjak.
Sabrina memandangi ponselnya. Dewa masih tidak membalasnya. Ia telah mencoba menghubungi ponselnya namun nada sambung tak terjawab. Tak tahan menghadapi ketidakpastian ini, Sabrina berniat untuk datang ke tempat Dewa di jam istirahat nanti. “Ehm!” Sabrina terkejut dan ponselnya terjatuh. Ia tidak menyadari jika Reyhan sudah berdiri di hadapannya. “Ba-bapak!” Sabrina langsung berdiri. “Ada apa, Pak?” tanya Sabrina gelagapan. Reyhan melotot. “Kamu nih kerja yang fokus!! Saya sudah berdiri lama disini dan kamu malah asyik sama ponsel kamu! Kamu mau saya pecat?!” lagi, kebiasaan Reyhan adalah mengancam. Sabrina mulai kebal dengan ancaman Reyhan. Dia sudah merasakan kehilangan dirinya dan jiwa sombong Sabrina selalu berkata ‘pecat aku dan kamu pasti kelabakan’. Tapi bukan berarti kemudian Sabrina menyepelekan pekerjaannya. “Maaf, Pak,” Sabrina meringis malu.
“Sabrina, bangun, Nak!” Di tengah mimpi indahnya –ia dan Dewa bertemu walau dalam mimpi—suara Bunda menyadarkannya pada kenyataan bahwa hingga pagi ini pun Dewa tidak membalas satupun pesannya. Masih setengah sadar, Sabrina menarik nafas dalam dan berat, mulai bertanya-tanya ada apa sebenarnya dengan Dewa? Sesibuk apa dirinya hingga tak sanggup membalas satupun dari sekian banyak spam pesan yang dikirimkan. Seperti bukan Dewa yang ia kenal. Dewa adalah tipe fast response. Ketika dia mulai slow response hingga berhari-hari, tentu meninggalkan tanda tanya besar. Ada apa? -Kabari aku kalau kamu nggak sibuk ya, Sayang Penuh harap kali ini akan dibalas, Sabrina kembali meninggalkan sebuah pesan lalu keluar menghampiri Ibundanya yang memanggilnya dari dapur. “Kenapa, Bun?” tanya Sabrina sambil menggaruk rambutnya yang gatal. Sesakali ia menguap karena
Reyhan dan Sabrina turun bersamaan dari mobilnya di lobby hotel. Disinilah mereka berdua akan bertemu dengan pesaing mereka, Nirmaan Group. Terakhir kali mereka bersaing pada proyek pembangunan hotel di Lombok. Barilga adalah pemenangnya. Sekali lagi mereka akan dihadapkan pada persaingan mendapatkan proyek pembangunan hotel bintang lima di pusat kota. “Lihat, ini gara-gara kamu lelet, kita jadi terlambat. Awas saja jika kita kehilangan proyek ini! Nggak segan-segan Saya pecat kamu!” Omel Reyhan. Sabrina hanya bisa mendumel dalam hati menanggapinya. “Pak!” terdengar sapaan di Lobby. Rupanya tidak hanya Sabrina yang datang. Beberapa perwakilan tim pun telah menunggu mereka. Ada Rohim dari tim marketing, ada Ika dari finance, dan ada Ramzi dari tim engineering. “Apa Nirmaan sudah sampa