Kopi dan Susu. Saat sendiri, mereka memiliki ciri khas mereka masing-masing. Kopi, cenderung pahit sedikit getir dan susu cenderung manis. Saat mereka berkolaborasi, rasa baru terbentuk dari percampuran kedua ciri khas mereka. Reyhan Malik Narendra, seorang direktur muda, yang mewarisi perusahaan Ayahnya, bersifat kaku, tidak banyak bicara, terlebih terhadap perempuan. Sabrina Eka Maharani, seorang jobseeker yang sudah dua tahun berjuang mencari pekerjaan demi menutup mulut tetangga yang menggunjing 'percuma kuliah tinggi-tinggi kalau nggak kerja' Takdir Tuhan menuntun Sabrina masuk ke perusahaan Reyhan, mantan kekasihnya saat di bangku SMA yang paling menyebalkan! Bagai kopi susu, kolaborasi mereka diperlukan saat perusahaan yang dipimpin oleh Reyhan menghadapi suatu masalah besar yang mengancam hidup mati-nya perusahaan Bagaimana cara mereka menekan ego masing-masing dan bekerja sama untuk menyelamatkan perusahaan ?
Lihat lebih banyak"Kuliah sih iya tinggi, S2, tapi nganggur juga," Sabrina memutar bola matanya kesal mendengar ucapan salah satu tetangganya yang tengah berkumpul di salah satu teras rumah Apalagi kalau bukan bergunjing?
Jika norma dan etika tidak ada di dunia ini, mungkin sekantung plastik berisi sayuran dan bumbu dapur yang ia tenteng sudah terlempar ke kerumunan tetangganya itu.
Sabrina menghela nafas. Ia menendang kerikil jalanan. Apa yang salah dengan tidak bekerja? Aku tuh nggak santai-santai aja kok! Aku cari kerja juga! Nggak tahu kan mereka sudah berapa amplop cokelat yang habis untuk paket dokumen lamaran kerjaku? Nggak tahu kan mereka sudah berapa lowongan perusahaan yang aku daftar? Nggak tahu 'kan mereka betapa percaya dirinya aku daftar ke perusahaan yang bahkan belum buka lowongan kerja?
Sabrina beringsut. Kadang ingin rasanya ia pindah saja dari rumah ini. Lingkungan sekitar sungguh toxic. Persaingan dimana-mana. Kekurangan selalu dicari. Seperti saat ini, Sabrina menjadi satu-satunya perempuan muda dilingkungan rumahnya yang memiliki gelar Magister. Ya! Sabrina menghabiskan waktunya untuk mendapatkan gelar S2 di bidang manajemen. Akibatnya, menonjolnya pendidikan Sabrina membuat beberapa ibu-ibu yang anaknya kalah saing mengorek kekurangannya agar anak mereka tidak terlihat kalah.
Sesampainya dirumah, Sabrina melempar plastik belanjaannya ke atas meja dapur. Bunda yang tengah mengupas bawang tahu kenapa putri sulungnya itu tampak kesal sepulang dari warung.
"Bu Fenti lagi?" Tebak Bunda saat melihat putrinya kembali ke rumah dengan wajah kusut.
Sabrina mendengus kesal. "Ibu itu kalau nggak menggunjing nggak hidup kayanya ya, Bun," sebalnya. “Semakin hari, dia semakin berani menggunjing di depanku, Bun. Aku ‘tuh salah apa, sih sama dia? Perasaan aku nggak pernah berbuat salah sama keluarga dia,” sebalnya.
"Bu Fenti memang begitu. Kamu 'kan tahu sendiri anaknya perempuan juga. Jadi kaya bersaing sama kamu," hibur Bunda.
"Ya tapi untuk apa lho membahas soal aku sama tetangga-tetangga lain? Dia mau cari kubu? Mau cari tetangga yang pemikirannya dangkal kayak dia? Apa keuntungannya buat dia dengan menggunjing seperti itu? Bunda tahu nggak sih, kalau yang dia gunjingin nggak cuma perkara aku S2? Dia juga membahas perkara aku belum kerja. Belum lagi topik panas seputar aku belum nikah, Bunda! Kenapa sih di sini umur dua puluh sembilan belum nikah jadi masalah? Kan biaya nikahku juga bukan dia yang nanggung?!" Sabrina mencak-mencak.
Bunda tertawa melihat kemarahan putri sulungnya itu. "Namanya juga tetangga, Sayang. Pasti ada yang suka sama kita, ada juga yang nggak suka. Kalau soal pekerjaan, Bunda percaya kamu sudah berusaha untuk mencari. Bunda saksi mata kamu ngirim banyak sekali Curriculum Vitae ke semua lowongan pekerjaan. Kalau soal menikah, itu pilihan kamu. Tapi, menurut Bunda, ada baiknya kamu tanyain ke Dewa kapan mau nikahin kamu. Kalian pacaran sudah lama lho. Umur Dewa juga sudah masuk usia matang, kamu juga. Bunda kadang heran juga apa yang kalian cari lagi, kok menunda nikah," ujar Bunda.
Sabrina menghela nafas. Dewa adalah kekasihnya. Sudah enam tahun mereka menjalin kasih. Tapi sepertinya, pernikahan belum menjadi prioritas mereka berdua. Dewa masih fokus pada perusahaan startupnya di bidang pengembangan game online. Sedangkan Sabrina, seperti diketahui, dia berusaha mendapatkan pekerjaan agar Bu Fenti, tetangga julidnya itu bisa berhenti menggunjingi dirinya. Dia lelah setiap kali bertemu Bu Fenti, Bu Fenti selalu membahas topik yang sama, pengangguran dan melajang di usia dua puluh sembilan tahun.
Pernah suatu kali, Sabrina mendengar Bu Fenti menyindirnya yang baru diantar pulang dari menonton film di bioskop oleh Dewa. Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Menurut Sabrina, tidak masalah ia pulang di waktu itu karena Bunda dan Ayah pun mengetahuinya. Berbeda dengan penilaian Bu Fenti. Ia menganggap Sabrina ‘nakal’ karena pulang larut malam. Ia sempat mendengar samar mulut jahat Bu Fenti berucap,"pacaran sampai malam. Lama-lama sampai pagi, tuh. Nikah aja halal, yang dicari yang haram,"
Jika mengingat ucapan Bu Fenti, Sabrina sangat kesal. Dipikir-pikir, untuk apa dia berbicara seperti itu sementara Lola, anak perempuan semata wayangnya juga melalukan hal yang sama. Bahkan Lola sering pulang di waktu lewat tengah malam! Dulu, pada saat Sabrina tengah bergadang hingga larut mengerjakan tesisnya, dari jendela kamarnya, Sabrina sering memergoki Lola berjingkat masuk ke dalam rumah.
Tidak jauh berbeda dengan Bunda yang terkesan santai dan tidak mengambil pusing dengan tingkah menyebalkan Bu Fenti, Dewa pun hanya tertawa saat Sabrina mengadu. Dewa! Ini bukan hal yang lucu untuk ditertawakan! Kita sedang menghadapi ibu-ibu Toxic menyebalkan!
"Sayang, Bunda nggak maksa kamu buat nikah kalau kamu memang belum mau,” ujar Bunda sambil mengelus rambut Sabrina. “Cuma ya itu.. Resikonya akan ada Bu Fenti lain yang mungkin akan ikut bersuara karena kamu sendiri tahu seperti apa lingkungan kita. Bunda cuma berpesan, baik-baik sama Dewa, jangan macam-macam biar Bu Fenti nggak semakin gencar cari-cari kesalahanmu," pesan Bunda.
Sabrina cemberut. Harusnya Bu Fenti yang memperbaiki diri agar tidak suka ikut campur dalam urusan orang lain! Kenapa malah aku yang harus jaga sikap?!
"Terus gimana soal kerjaan? Udah ada panggilan interview?" Bunda mengalihkan pembicaraan mereka sambil melirik setumpuk amplop cokelat perjuangan Sabrina merayu perusahaan agar mau menerimanya bergabung sebagai bagian dari mereka.
Sabrina menggeleng. "Nggak ada. Nggak punya jalur ordal sih," ia senewen.
"Ordal?" Bunda mengeryitkan dahinya mendengar istilang Ordal. "Apa itu Ordal?"
"Orang dalam!" Ketus Sabrina.
Bunda tertawa terbahak-bahak mendengar kepanjangan dari Ordal. Ya memang tidak bisa dipungkiri. Dalam dunia kerja, kekuatan orang dalam alias orang yang bekerja diperusahaan yang diituju, tidak bisa diremehkan. Besar kemungkinan apabila orang dalam tersebut merekomendasikan pelamar kerja --Bahkan jika orang dalam tersebut mempunyai posisi yang cukup strategis diperusahaan—pelamar kerja memiliki peluang diterima lebih besar dibanding pelamar yang tidak memiliki kenalan orang dalam. Tentu saja tidak semua perusahaan seperti itu. Tetap ada perusahaan yang merekrut karyawannya secara adil tanpa mempertimbangkan rekomendasi orang dalam.
"Bukan masalah orang dalam sayang," Bunda menyentil dahi Sabrina tidak setuju. "Ini masalah rejeki. Rejeki, jodoh, maut, itu semua ditentukan sama Tuhan. Rejeki kamu bukan di perusahaan-perusahaan itu, jadi kamu jangan kecewa. Mau kamu punya kekuatan seribu orang dalam pun kalau rejekimu bukan disitu, nggak akan diterima juga," Bunda menasehati Sabrina dengan lembut.
"Tapi Bunda, nanti Bu Fenti-" Sabrina menyela.
"Nggak usah kamu pikirin pendapat Bu Fenti. Kamu ‘kan anak Bunda, bukan anak Bu Fenti. Bunda tidak pernah menuntut kamu untuk cepat mendapatkan pekerjaan karena prinsip Bunda itu tadi, rejeki, maut, jodoh ditentukan oleh Tuhan. Bunda cuma bisa berdoa supaya kamu cepat dikasih rejeki dan juga..berjodoh sama Dewa secepatnya ya," tandas Bunda. "Kamu berusaha sebisa kamu, sesuai kapasitas kamu, lalu serahkan sama Tuhan," Bunda menepuk puncak kepala Sabrina lembut lalu kembali melanjutkan kegiatannya untuk menyiapkan sarapan.
Sabrina menarik nafas dalam-dalam. Semakin hari, dadanya terasa sesak mengingat hubungannya dengan Dewa yang terasa semakin jauh. Beberapa kali Sabrina menghubungi Dewa namun tak ada balasan. Dewa seperti berada di tengah hutan tanpa sinyal. Menghampiri Dewa di rumahnya? Selintas ia terpikir itu. Namun ia kembali urung karena seminggu terakhir ia harus bekerja overtime untuk persiapan audit sebentar lagi.- Dewa akhir-akhir ini lebih banyak di kantor, Sabrina. Pulangnya juga malam Sabrina menghela nafas kasar membaca pesan balasan dari Ibunya Dewa. Kejelasan soal Dewa belum terlihat. “Sabrina,” Sabrina menoleh saat ia Reyhan sudah berdiri di depan mejanya. “Iya, Pak?” Sabrina be
Awang melirik Sabrina dari sudut matanya. Sabrina hanya bersandar lesu dengan pandangan kosong ke depan. Ia belum berbicara lagi sejak keluar dari kantor Dewa. "Sab,” panggil Awang pelan. Sabrina tidak menjawab. Pikirannya masih melayang pada Dewa yang tidak bisa ia temui. Kalut dan pikiran negatif tanpa jawaban pasti memenuhi kepalanya. Awang menghela nafas. Ia merasa sedih saat melihat Sabrina seperti ini. Ia kemudian menepikan mobilnya di halaman parkir sebuah minimarket. Barulah Sabrina tersadar dari lamunanya. “Wang, ada apa?” Sabrina tampak bingung. “Cokelat atau vanilla?” bukannya menjawab, Awang malah memberinya dua pilihan. Alis Sabrina mengkerut. “Cokelat?” ia menjawab bingung. Tanpa menjelaskan apa maskud dua pilihan itu, Awa
“Sab! Sab!” Sabrina tersentak mendengar panggilan Awang. Sabrina, Awang, dan Erika tengah berkumpul di kantin, menikmati makan siang di jam istirahat mereka. “Kamu dari kemarin melamun. Kenapa, sih?” Awang terlihat khawatir. “Iya. Kamu lesu banget hari ini,” sambung Erika. Sabrina tersenyum kecil. “Nggak apa-apa,” jawabnya. Awang tidak begitu saja percaya. Ia kenal Sabrina. Wanita muda itu adalah wanita yang ceria. Diam dan melamun, sudah pasti bukan Sabrina. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. “Soal pacar kamu itu, ya?” tebak Awang. Sabrina memandang Awang. Ia kemudian menggeleng dengan hela nafas berat. Sabrina tidak pintar berbohong. Ekspresinya selalu menjelaskan apa yang sedang ia pikirkan. “Aku ambilin jus jeruk ya? Biar pikiranmu seger!” tawar Erika sambil beranjak.
Sabrina memandangi ponselnya. Dewa masih tidak membalasnya. Ia telah mencoba menghubungi ponselnya namun nada sambung tak terjawab. Tak tahan menghadapi ketidakpastian ini, Sabrina berniat untuk datang ke tempat Dewa di jam istirahat nanti. “Ehm!” Sabrina terkejut dan ponselnya terjatuh. Ia tidak menyadari jika Reyhan sudah berdiri di hadapannya. “Ba-bapak!” Sabrina langsung berdiri. “Ada apa, Pak?” tanya Sabrina gelagapan. Reyhan melotot. “Kamu nih kerja yang fokus!! Saya sudah berdiri lama disini dan kamu malah asyik sama ponsel kamu! Kamu mau saya pecat?!” lagi, kebiasaan Reyhan adalah mengancam. Sabrina mulai kebal dengan ancaman Reyhan. Dia sudah merasakan kehilangan dirinya dan jiwa sombong Sabrina selalu berkata ‘pecat aku dan kamu pasti kelabakan’. Tapi bukan berarti kemudian Sabrina menyepelekan pekerjaannya. “Maaf, Pak,” Sabrina meringis malu.
“Sabrina, bangun, Nak!” Di tengah mimpi indahnya –ia dan Dewa bertemu walau dalam mimpi—suara Bunda menyadarkannya pada kenyataan bahwa hingga pagi ini pun Dewa tidak membalas satupun pesannya. Masih setengah sadar, Sabrina menarik nafas dalam dan berat, mulai bertanya-tanya ada apa sebenarnya dengan Dewa? Sesibuk apa dirinya hingga tak sanggup membalas satupun dari sekian banyak spam pesan yang dikirimkan. Seperti bukan Dewa yang ia kenal. Dewa adalah tipe fast response. Ketika dia mulai slow response hingga berhari-hari, tentu meninggalkan tanda tanya besar. Ada apa? -Kabari aku kalau kamu nggak sibuk ya, Sayang Penuh harap kali ini akan dibalas, Sabrina kembali meninggalkan sebuah pesan lalu keluar menghampiri Ibundanya yang memanggilnya dari dapur. “Kenapa, Bun?” tanya Sabrina sambil menggaruk rambutnya yang gatal. Sesakali ia menguap karena
Reyhan dan Sabrina turun bersamaan dari mobilnya di lobby hotel. Disinilah mereka berdua akan bertemu dengan pesaing mereka, Nirmaan Group. Terakhir kali mereka bersaing pada proyek pembangunan hotel di Lombok. Barilga adalah pemenangnya. Sekali lagi mereka akan dihadapkan pada persaingan mendapatkan proyek pembangunan hotel bintang lima di pusat kota. “Lihat, ini gara-gara kamu lelet, kita jadi terlambat. Awas saja jika kita kehilangan proyek ini! Nggak segan-segan Saya pecat kamu!” Omel Reyhan. Sabrina hanya bisa mendumel dalam hati menanggapinya. “Pak!” terdengar sapaan di Lobby. Rupanya tidak hanya Sabrina yang datang. Beberapa perwakilan tim pun telah menunggu mereka. Ada Rohim dari tim marketing, ada Ika dari finance, dan ada Ramzi dari tim engineering. “Apa Nirmaan sudah sampa
“Bye semuanya!” Sabrina melambaikan tangan, berpisah dengan teman-teman kantornya. Makan malam –reuni mereka—telah usai dan waktu semakin larut. Esok mereka masih harus bekerja. Tinggallah Sabrina dan Awang yang masih duduk di kursi mereka. “Nggak pulang?” tanya Sabrina pada Awang. “Kamu kenapa nggak pulang?” Awang balas bertanya. “Ini mau,” jawab Sabrina menyunggingkan senyum singkat. Awang menatap Sabrina dalam. Ia tampak tidak bersemangat selama makan malam bersama. Ia masih ikut menimpali setiap obrolan, tetapi ekspresinya tidak lepas, seperti sesuatu menahannya. “Cowok kamu..nggak jadi dateng, ya?” hati-hati, Awang membuka topik pembicaraan. Sabrina terkekeh. “Sibuk,” jawabnya. Diam-diam ia mengintip layar ponselnya. Tetap tidak ada balasan dari Dewa. Rasanya sedih, bingung, dan kesal
Awang tergesa-gesa menaiki tangga menuju lantai sebelas setengah. Saat ia kembali dari pantry, ia mendengar berita soal kembalinya Sabrina kesini. Berita itu cukup menghebohkan hingga mereka menjeda pekerjaan demi membahas soal itu. Jantung Awang berdebar kencang. Ketidakpastian soal berita membuat Awang tidak tenang. Ia takut harapan yang sudah terpaku di hatinya pupus. Bagaimana jika Sabrina hanya sekedar mampir? Klak. Ia mendorong handle pintu. Tidak ada siapapun di dalam sana. Jantungnya terasa dingin. Ia menolak untuk kecewa. ‘Sabrina kembali?’ menjadi tagline berita siang ini. “Nggak ada, Ka!” Awang menghubungi Erika melalui ponselnya. “Kata Bina dia memang kerja disini lagi,” terang Erika. “Tapi dia nggak ada!” Awang tidak tenang. “..Baik
Sabrina dan Reyhan duduk berhadapan. Mereka saling pandang, Reyhan yang berharap Sabrina mau kembali untuk mengurusi pekerjaannya, dan Sabrina yang tidak yakin dengan apa yang ia dengar. “Kamu ngerjain aku, hah?!” Tuduh Sabrina keras. Ia menatap Reyhan tajam. “Kamu salah orang kalau itu tujuanmu!” “Nggak. Saya serius,” Reyhan membantah “Heh!” Sabrina memukul meja. Ia menunjuk wajah Reyhan. “Kamu bilang, aku nggak kompeten! Kamu jilat ludah kamu sendiri, hah?!” rasa marahnya merasa dipermainkan oleh Reyhan telah memuncak. “Satu bulan lalu, aku bekerja dengan sangat maksimal! Aku siapin semua berkas yang hilang itu demi nyelametin rapat yang kamu agendakan, tahu?!” Sabrina membentak. “Kamu membentak Saya?” Reyhan melotot. “Iya, kenapa?! Nggak terima?! Kamu ki
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen