Pak Mahendra menggenggam tanganku dan kami berjalan menuju tempat perhelatan yang berada di sisi lain hotel itu. Aku akhirnya mendengar langsung dari bibirnya jika dia akan menerima penghargaan tersebut.
Kami melangkah di atas karpet berwarna merah yang terbentang dari pintu masuk ruangan hingga ke panggung. Kilatan blitz kamera menyerbu kami sejak langkah pertama. Pastilah mereka para pemburu berita. Mendadak aku jadi grogi tetapi genggaman tangan Pak Mahendra yang semakin mengerat membantuku untuk tetap tersenyum menghadapi mereka.
Akhirnya kami pun duduk di barisan nomor tiga dari depan. Jantungku berdetak riuh mirip bedug yang ditabuh, melihat kemegahan dekorasi dan juga para tamu undangan yang penampilannya terlihat cetar. Untung saja aku sudah dimake-over hingga tak terlihat memalukan.
Pukul sembilan malam acara dibuka dengan hiburan dari grub band dan penyanyi ibukota yang diundang. Lalu acara penghargaan pun di mulai. Satu per s
"Kita pulang aja, Pak, eh, Mas. Kan Mas bisa gantian bawa mobilnya sama Pak Maman kalau dia capek," kilahku."Kamu mau kita kecelakaan? Aku juga sudah mengantuk. Besok aja. Kita libur, kan?"Dia kembali beralasan. Memang benar besok adalah hari Sabtu dan kami memang libur karena hari kerja hanya sampai Jumat saja."Tapi aku nggak bawa baju ganti, Mas. Masa malam ini tidur pakai baju ini, terus besok pagi pakai baju ini juga?""Ada paper bag di nakas. Itu baju ganti buat kamu. Dan ini, juga. Pasti kamu memerlukannya," katanya sambil mengulurkan paper bag yang diberi oleh Pak Maman tadi.Aku menerima paper bag di tangannya. Ketika kubuka isinya ternyata mukena dan juga sajadah dengan label harga yang membuatku mengernyitkan kening karena saking mahalnya. Aku baru ingat jika tadi belum sempat salat Isya karena berangkat sebelum azan.Aih, Bos, kamu ternyata seperhatian ini padaku!Kuraih
Dengan cepat aku membelakanginya karena malu telah kepergok memandangi laki-laki tampan itu. Namun tangannya menuntun tubuhku untuk berbalik."Kapan, sih, kamu akan sadar?" tanyanya, membuatku mengernyit heran."Sadar kenapa, Mas?" tanyaku, mencoba mencari penjelasan darinya."Aku sudah menunggu hampir tiga bulan, dan kamu masih saja menghindar," keluhnya."Aku nggak tahu apa maksud Mas. Kenapa harus berbelit-belit? Katakan saja, tiga bulan itu apanya?" pintaku.Laki-laki yang membuatku penasaran itu menggelengkan kepalanya. "Tak kusangka, kamu bahkan melupakannya. Apa memang aku tak berarti untukmu?"Aku benar-benar tak mengerti apa yang dia maksud. Tak ada bau alkohol di sini. Dia tidak mabuk tetapi omongannya melantur."Aku benar-benar nggak ngerti.""Jadi, apa kamu masih juga nggak ngerti, jika kubilang bahwa di hari ulang tahun pabrik, kamu bersamaku malam itu?"
"Sekarang katakan, Mas, kenapa Mas bilang ke orang-orang jika aku ini calon istrimu. Perasaan Mas belum pernah ngelamar aku?" tanyaku, mencoba mengalihkan pembicaraan."Memang kamu nggak mau jadi istriku?"Bukannya menjawab dia malah ganti bertanya padaku, membuatku jadi geregetan."Aku nggak mau ini hanya mimpi dan begitu terbangun, hanya ada kekecewaan di hati," ucapku."Kamu nggak mimpi. Ini nyata. Kamu mau aku mendatangi orang tuamu untuk melamar? Sekarang juga kamu minta, aku akan segera berangkat," ucapnya dengan wajah yang serius.Tiba-tiba dia bangun lalu memakai baju lengkap. Berdandan rapi bahkan menyemprotkan parfum segala. Dia berdiri di dekat ranjang dan tanpa kuduga dia menyanyikan sebuah lagu dari Hoobastank.Lagu itu setiap hari diputar di kantor. Membuatku curiga, mungkin dia yang menyuruh untuk memutarnya. Aku pun duduk di tepi ranjang untuk menyimak.I'm not a perfec
Pak Mahendra melepaskan rengkuhannya di tubuhku agar aku dapat mengangkat telepon itu. "Dari siapa?" tanyanya."Dari ibuku.""Angkat aja! Loudspeaker-in! Aku pengen dengar suara calon mertuaku," sahutnya.Kugeser tanda hijau di layar lalu telepon pun tersambung dengan perempuan di seberang sana. Suara Ibu sambungku yang cempreng terdengar melengking, membuatku merasa malu pada calon suamiku itu."Hei, Nara. Eta beneran maneh anu aya di tipi keur peuting?" Ibu sambungku langsung bertanya begitu menjawab sapaan salamku.(Hei, Nara. Itu beneran kamu yang ada di televisi tadi malam?)"Kok Mbu nyaho, sih?"(Kok ibu tahu, sih?)"Tadina sugan teh lain maneh. Sugan aya Kinara Ailani anu lain. Pas maneh nyaritakeun hobi, urang yakin eta maneh. Saha deui atuh anu resep nangkring di na tangkal kersen jeung beuki ngupil?"(Tadinya kukira bukan kamu. Mungkin ada Kinara Ailani ya
Ternyata Pak Mahendra hanya menggodaku. Dia langsung masuk ke kamar mandi begitu melihatku salah tingkah. Tak lama dia keluar lagi dari sana dan berganti baju di balik lemari.Setelahnya dia mengajakku turun dan mengantarku ke musala kecil yang ada di dekat saung kecil. "Masih ada waktu buat salat Magrib," ucapnya lalu berbalik meninggalkanku.Saat aku keluar dari musala, laki-laki yang suka jahil itu tengah memindahkan berbagai macam hidangan dari lemari makan ke meja. Katanya itu masakan Mbok Nah, pembantunya yang tidak tinggal di situ.Usai makan malam dia mengantarkanku pulang ke kontrakan. Ternyata tadi itu rumahnya. Dia memang tinggal sendiri di sana, hanya ditemani satpam dan supir.Kedua orang tuanya tinggal di daerah Cibubur, Jakarta. Kami akan ke sana besok pagi-pagi sekali agar tidak kena macet di jalan. Karenanya dia memintaku untuk cepat-cepat tidur.Aku segera mandi karena tadi
Senin pagi itu aku berangkat kerja seperti biasanya. Saat memasuki kantor, terdengar kasak-kusuk begitu aku lewat. Pastilah para Lambe Turah sedang membicarakanku. Pasti gara-gara wawancara dengan wartawan yang disiarkan di televisi itu.Pak Mahendra berpesan agar menjawab seperlunya jika ditanya. Jika tidak, cukup diam saja. Maka, dengan sedikit grogi, aku pun melangkah menuju meja kerja."Hei, Upik Abu! Kamu pakai pelet apa buat memikat Pak Mahendra?" Di depanku telah menghadang seorang perempuan dengan setelan jas dan rok mini merahnya. Dia menyilangkan tangannya di depan dada, berdiri menghalangi jalanku. Dia Winda, assisten HRD. Perempuan itu memang terkenal paling gencar mendekati Pak Mahendra, tetapi laki-laki itu tak pernah menanggapi."Maaf, Mbak, saya nggak memakai pelet apa-apa seperti yang Mbak tuduhkan. Pak Mahendra memang sudah sejak lama menyukai saya," sahutku."Jangan munafik kamu. Nggak mungk
Hari lamaran pun tiba. Tetangga satu kampung heboh melihat arak-arakan mobil yang datang. Rombongan Pak Mahendra dan juga kerabatnya telah tiba di rumah.Tak tanggung-tanggung, mereka juga membawa sepuluh ekor sapi sebagai mahar. Sapi-sapi itu diangkut menggunakan dua buah truk. Padahal Ibu hanya meminta sepasang sapi tetapi mereka memberinya lima kali lipat.Ibu pun kembali pingsan karena syok. Dan kejadian dulu pun terulang. Ibu hanya bisa siuman setelah Pak Mahendra mengibas-ngibaskan segepok lembaran uang berwarna merah ke dekat hidungnya.Ealah ... dasar Ratu Drama!Kejadian itu membuat heboh keluarga Pak Mahendra. Mereka berbisik-bisik membicarakan Ibu. Namun yang menjadi bahan pembicaraan melenggang dengan tenang dengan wajah tanpa dosa.Acara lamaran pun berlangsung dengan lancar. Jamuan pun dikeluarkan. Berbagai macam hidangan yang dipesan oleh calon suamiku dari sebuah katering terkenal itu pun
Malam itu, terjadilah apa yang memang seharusnya terjadi. Aku dan Mas Mahendra melayari lautan luas, menyusuri lekuk-lekuk dan semenanjung. Kami terus berlabuh hingga berulang kali, hingga usai dalam satu tarikan napas yang panjang disertai senyuman puas.Semula aku takut jika akan terasa sakit seperti waktu itu. Namun, laki-laki yang tadi pagi menghalalkanku itu begitu pintar mengalihkan rasa takut dan membuatku merasa nyaman.Dia memperlakukanku dengan lembut, lalu perlahan-lahan membawa diri ini terbang ke atas awan. Semua mengalir begitu saja, aku terbuai hingga tak menyadari tiba-tiba saja dia sudah memegang kendali atas tubuhku.Butir-butir peluh membasahi kening, wajah, dan juga rambutnya usai pergumulan kami. Aku masih terengah saat dia memeluk dan mencium keningku. "Terima kasih," lirihnya sambil menutupi tubuh kami dengan selimut. Aku tersenyum dan membenamkan wajah di dada bidangnya yang berbulu tipis. Aku