Hujan terus mengguyur sejak subuh tadi. Aku makin bergelung dalam selimut, enggan beranjak walau perut sudah keroncongan. Cuaca dingin agaknya membuat kasur terasa nyaman untuk beberapa waktu ke depan. Jam sudah menunjukkan pukul 06.00, sekali pun aku masih ingin tidur, tapi mata enggan terpejam lagi. Apalagi setelah alarm yang terus berdering tiap 5 menit sekali.
Tubuh terasa kaku, namun semalam aku tidur nyenyak, sehingga pagi ini terasa lebih segar. Mungkin karena pengaruh obat dari Pram. Atau mungkin juga karena ada Rangga yang menemani di sini. Sehingga aku tidak perlu takut kalau ada teror wanita kemarin. Selimut kusingkap, membiarkannya berantakan begitu saja, buru-buru keluar dari kamar karena ada hal yang ingin ku periksa, Rangga. Kejadian semalam bagai mimpi dan kenyataan yang berbanding lurus. Aku pikir, tidak akan menemukan Rangga di apartemen ku, karena rasanya bagai mimpi saja. Namun saat aku melihat ke sofa, rupanya Rangga masih ada di sana. Sedang menikmati kopi hitam dengan buku di tangan. Itu adalah salah satu novel koleksi milikku. Rak buku di belakang sofa memang salah satu tempat yang menarik tamu sejauh ini.
"Pagi," sapa nya begitu melihatku keluar.
"Udah bangun?"
"Udah dong. Kamu tuh yang mirip kerbau tidurnya. Ada gempa aja nggak dengar."
"Hah? Gempa? Serius? Jam berapa?" tanyaku antusias. Segera duduk di samping Rangga yang wajahnya sudah terlihat segar. Sepertinya dia sudah mencuci wajah, tapi ada lingkaran hitam di bawah matanya.
"Bercanda."
"Huu! Kirain betulan." aku memukul lengannya pelan. Menoleh ke jendela dengan langit yang masih sedikit gelap. "Hujan dari jam berapa?"
"Subuh tadi."
"Kamu bangun jam berapa?"
"Subuh."
"Pagi banget?"
"Iya, udah kebiasaan di rumah. Semua orang bangun subuh. Malah Nin itu jam 3 udah mandi, terus nyapu halaman. Atau jalan-jalan deket rumah."
"Wah, keren. Aku mana pernah bangun sepagi itu. Kalau kamu sendiri, tiap bangun subuh ngapain aja?"
"Ya salat. Kadang jamaah di rumah, kadang ke mesjid. Habis itu ya main handphone. Baca-baca twitter, atau Kaskus, kadang juga lihat i*******m."
"Oh."
Rangga tidak memalingkan pandangannya dari buku di tangan. Aku lantas beranjak dan segera mencuci muka, lalu menyiapkan sarapan.
"Kamu mau pulang jam berapa?" tanyaku sedikit menjerit karena posisi kami yang agak berjauhan.
"Nggak tau ini. Hujannya deras banget. Lagian udah kasih kabar ke rumah, aman. Atau kamu nggak suka gue di sini?" tanyanya melirikku tajam, diakhir menutup buku.
"Buruk sangka itu nggak baik, Rangga. Justru aku pengen kamu di sini dulu, temenin aku. Paling nggak sampai Mey datang, ya."
"Mey? Temen kamu yang kemarin itu?"
"Iya, kemungkinan dia mau nginap di sini, nemenin aku."
"Masih takut sama setan itu?"
Tidak langsung menjawab pertanyaannya, aku malah menarik nafas dalam.
"Ya sudah, gitu aja. Kamu pokoknya jangan sendirian dulu. Kalau misal Mey nggak bisa datang, biar gue antar ke rumahnya," sambung Rangga. Dia lantas duduk di kursi meja makan yang mejanya berantakan. "Ini kapan dibersihkan?" tanyanya.
"Mungkin sebentar lagi."
"Ya sudah. Buat sarapan dong. Lapar gue," titahnya dengan gaya bak pemilik rumah.
"Baik, juragan," sahutku diikuti tawa renyah Rangga, dan senyum tipis dariku.
Alhasil kami makan di meja depan tv. Untung tempat ini masih aman dari amukan makhluk itu. Beberapa tangkup roti bakar menjadi sarapan pagi kali ini. Hujan masih saja mengguyur dan terlihat sangat deras dari jendela. Gawaiku bergetar menampilkan sebuah pesan dari Mey.
[Ros, gue nggak bisa ke sana sekarang. Nanti, ya. Masih ada urusan nih. Lu nggak apa-apa, kan?]
"Siapa?"
"Mey. Katanya belum bisa datang."
"Oh, ya sudah. Tunggu saja." Sudah dua tumpuk roti bakar dilahap oleh Rangga. Bahkan susu hangat kini tinggal seperempat gelas. Sepertinya dia benar-benar kelaparan.
"Kalau kamu mau pulang, nggak apa-apa kok. Paling sebentar lagi orang yang beresin apartemen datang," tukasku saat melihat hujan perlahan mereda.
"Oke. Bener juga, nanti Mama bisa mikir macam-macam kalau gue kelamaan di sini."
"Memangnya kamu pamitnya gimana?"
"Nginap tempat temen. Cowok. Gila sih kalau bilang nginap di sini. Dipikir kita ngapa-ngapain nanti. Bisa digantung gue kalau pulang nanti."
Aku tertawa renyah, dan segera melahap gigitan terakhir roti bakar milikku.
"Wah, reda! Cepat banget, ya. Padahal tadi deras banget. Kirain bakal lama hujannya," gumam Rangga. Aku ikut menatap ke jendela, berpikir hal yang sama sepertinya. Sedikit aneh memang cuaca belakangan ini.
Rangga bersiap akan pulang ke rumahnya, tentu setelah memeriksa semua keadaan, dan dirasa aku sudah aman. Beberapa orang datang untuk membereskan kekacauan di apartemen ku. Itu salah satu alasan Rangga undur diri. Karena tidak mungkin dia berada di sini lebih lama lagi.
"Balik, ya. Bye." Kali ini aku kembali mengantarnya keluar. Siang hari tidak terlalu mengerikan bagiku. Apalagi Mey akan datang. Pekerja yang datang membereskan apartemen ku, masih sibuk dengan urusan mereka. Beberapa furniture yang memang rusak sedang diperbaiki. Itu salah satu fasilitas yang akan aku dapatkan di sini. Walau semua perabotan bukan milikku. Karena aku pun tidak memiliki cukup uang untuk membeli perabotan rumah.
"Mba, maaf, di kamar mandi ada orang, ya? Saya mau cek di dalam. Katanya kran air kecil?"
"Orang siapa? Teman bapak mungkin?" tanyaku balik. Beberapa hari lalu, aku memang mengeluhkan tekanan air yang kecil, dan ternyata baru akan diperbaiki sekarang.
"Enggak, Mba. Tim saya cuma mereka," tunjuk bapak paruh baya yang sepertinya ketua dari tim perbaikan apartemen. Aku menatap orang-orang tersebut sambil menghitung jumlah mereka.
"Tunggu, Pak. Perasaan tadi yang masuk ada empat orang? Ini cuma tiga."
"Empat? Kami cuma bertiga, Mba."
"Ah, yang betul. Tadi saya lihat empat orang masuk ke sini!" kataku ngotot.
Pria tersebut menoleh ke teman-temannya. Tanpa menanggapi perkataanku. "Ya sudah saya coba cek ke kamar mandi, ya. Mungkin cuma macet aja kuncinya."
Mereka menatapku aneh, namun tetap melanjutkan pekerjaan dengan sedikit terburu-buru. Pintu kamar mandi rupanya benar-benar bisa dibuka, membuat pria tadi garuk-garuk kepala dan aku makin berpikir yang tidak-tidak. Anehnya mereka tidak lagi membahas hal ini, seolah sengaja tidak mau memperpanjang masalah. Padahal aku sangat ingin tau pendapat mereka.
"Sudah semua, Mba. Kami undur diri. Nanti kalau ada apa-apa, bilang saja ke satpam. Permisi." Setelah beberapa jam berlalu, pekerjaan mereka selesai. Rupanya aku baru sadar kalau hujan benar-benar reda. Aku terlalu asyik dengan tulisanku sehingga melupakan sekitar. Setelah mereka pergi, suasana kembali hening. Hanya ada detak jarum jam sebagai pengusir sepi. Sebentar lagi akan petang, Mey belum juga muncul. Alhasil aku meraih gawai di meja kemudian mengirimkan pesan padanya.
Ternyata ada pesan lain dari Indi, yang belum kubuka sejak satu jam lalu.
[Ros, di mana? Gue mau ke apart lu, ya. Boleh, kan?]
Wah, kebetulan sekali.
[Oke. Ke sini aja. Buruan, ya.]
[Bentar, ya. Gue mau makan dulu. Lu mau nitip?]
Gagang pintu terdengar seperti hendak dibuka. Bukan pintu apartemen ku, melainkan pintu kamar mandi. Bahkan gerakan tersebut masih nampak jelas saat ini. Jadi itu bukan hanya suara saja. Aku segera beranjak, meletakkan gawai asal.
Dengan langkah perlahan, aku mulai mendekat ke kamar mandi. Seseorang dari dalam sana membuat rasa penasaranku kembali bergejolak. Mengapa di saat suasana sunyi, justru gangguan itu kembali? Mungkin mereka sengaja menungguku sendirian?
"Oh, sial! Aku harus pergi!" kataku yang akhirnya yakin kalau keadaan akan memburuk lagi jika terus berada di tempat ini. Tapi tiba-tiba petir menggelegar, dan hujan kembali turun. Aku yang sedang memakai cardigan, lantas kembali terpaku. Aneh memang, sangat aneh. seolah-olah aku tidak diijinkan pergi dari sini. Tanpa berpikir lebih lama, aku segera meraih hand bag, dan ponsel, lalu berlari ke arah pintu. Tapi pintu terkunci. Berkali-kali aku mencoba membukanya, sangat sulit. Seperti ada sesuatu yang menghalangi dari luar. Karena gagang pintu ini tidak bisa aku gerakkan sama sekali.
"Tolong! Tolong! Buka!" jeritku sambil terus memukul pintu. Aku juga berkali-kali menoleh ke belakang. Sunyi. Tapi justru rasanya sangat mencekam. Ketukan dari arah belakang terdengar samar, aku menghentikan pukulan di pintu, sambil memastikan pendengaran ku barusan.
Ah, bukan! Bukan ketukan! Tapi gemerutukan!
Gigi beradu seperti penyebab suara ini muncul. Aku sering mendengar dulu, saat mantan suamiku terlelap tidur. Katanya itu pengaruh makhluk gaib. Entahlah.
Namun gigi siapa? Aku sendirian di sini sekarang. Kembali memukul pintu dan terus meminta pertolongan, aku mulai lemas, dan sedikit frustrasi. Tapi embusan angin menggerakkan anak rambutku. Terlihat jelas sekali, seperti ada orang yang meniupnya dari belakang.
"Tolong!" Aku makin panik. Gagang pintu terus kugerakkan agar bisa terbuka. Aku pasrah, tapi masih berusaha bertahan sampai titik darah penghabisan. Lagi-lagi aku kembali menoleh, masih sunyi, tapi suasana di dalam sini sangat panas.
Sebuah jejak kaki terlihat di lantai. Sepasang kaki kotor sedang berjalan menuju ke arahku. Aku makin tersudut di pintu, pemilik sepasang kaki belum juga terlihat. Tapi saat aku melihat ke cermin yang memang ada di tembok, sosoknya terlihat. Wanita itu! Yah, wanita yang ada di lift tadi. Dia ada di sini!
"Pergi kamu! Pergi!"
Pintu terbuka secara tiba-tiba. Aku terkejut, dan mendorongnya pelan. Di luar tampak sosok anak kecil dengan kondisi mengenaskan. Tubuhnya hancur, darahnya ada di mana-mana, bahkan kedua bola matanya keluar dari tempatnya. Dia mengulurkan tangan pada wanita tersebut. Mungkin cerita Pram memang benar, anak ini meninggal di lift, dan sang ibu frustrasi sehingga bunuh diri.
Mereka saling menatap, seperti memendam rindu yang amat sangat. Sementara aku terpaku di tempatku berdiri. Aku berharap, mereka segera pergi setelah bertemu. Sambil perlahan berjalan menjauh. Tapi derit pintu yang tidak sengaja kugerakkan, menyita perhatian kedua insan tak kasat mata tersebut. Dengan gerakan mendadak dan bersamaan, mereka menoleh padaku. Tatapan tajam serta kosong membuat jantungku berdesir. Bukan seperti bertemu pujaan hati, tapi justru ingin mati. Leher anak di depanku bergerak, memutar menimbulkan suara tulang remuk. Sementara sang ibunda, membuat gemerutukan gigi yang makin intens saja kudengar.
Dengan susah payah, aku berusaha berjalan menjauh, dan kini aku berlari menyusuri koridor lantai 11. Sepi. Aku sangat kesal, kenapa saat aku ada di lorong ini selalu tidak pernah berpapasan dengan manusia. Bahkan sejak aku tinggal di sini. Seakan-akan jumlah penduduk nyata jauh lebih sedikit ketimbang penduduk tak kasat mata. Sambil berlari aku terus menjerit, berharap satu saja warga di lantai ini keluar dan aku bisa bersembunyi sementara di tempatnya. Tapi sampai ke pintu yang mengarah ke tangga darurat, tidak satu pun manusia yang muncul. Aku segera membuka pintu, dan menyusuri tangga menuju lantai bawah. Berkali-kali menengok ke atas, berharap mereka tidak mengikutiku. Tapi rupanya itu hanya angan belaka, karena sekarang suara langkah kaki yang berlari terdengar mendekat ke arahku, dan sumbernya dari atas. Tawa cekikikan anak kecil, membuatku yakin kalau mereka sudah dekat. Aku tergelincir, sampai-sampai jatuh terguling di barisan anak tangga di bawah. Terus menatap ke atas, bayangan di sana membuatku terus bergerak, bahkan aku lupa rasa sakit yang aku rasakan. Dengan langkah tertatih, aku terus turun tangga. Menangis adalah senjata terakhirku, jika aku sudah putus asa. Toh, tidak ada yang mendengar atau melihatku sekarang. Untuk apa malu?
Tiba-tiba kakiku dicengkeram erat, seseorang di bawah tangga menggantung sambil berpegangan pada kakiku. Aku meronta. Menendang dan berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari pegangan itu. Tapi dari arah belakang, sosok anak kecil tadi muncul dengan sangat cepat. Dia bahkan naik ke atas bahuku, dan terus menutup mataku hingga aku tidak bisa melihat sekeliling. Semua gelap, tapi aku masih berusaha melepaskan anak tadi. Aku hilang keseimbangan, dan lagi-lagi aku jatuh dari tangga. Tapi kali ini, aku tidak sanggup berdiri lagi. Hanya terus mengerjapkan mata, menatap sosok-sosok di sana mulai mendekat. Mengerubungiku dan semua akhirnya gelap.
Pintu apartemen Rangga ku buka, namun dahiku langsung mengerut ketika melihat Nida berada di kursi meja makan, dengan Rangga yang berdiri di dekat kompor, sedang memegang puntung rokok di tangan kanan. Di belakangnya ada panci yang berisi air panas disertai dua cangkir yang sudah diberi bubuk kopi dan kantung teh bundar."Yang?" Rangga membetulkan posisi berdirinya, segera mematikan rokok yang masih menyala di meja dekat kompor. Dia lantas mendekat. "Aku tadi WA kamu loh, nelpon juga nggak di angkat. Niatnya mau tanya, aku jemput jam berapa ke rumah?" katanya dengan segala bentuk pernyataan dan pertanyaan sebelum aku melayangkan upaya ngambek melihat Nida di sini. "Terus juga kasih tau, kalau Nida di sini."Aku lantas membuka ponselku dan membuktikan kebenaran perkataan kekasihku. "Lupa aku silent. Tadi di jalan berisik, soalnya aku naik Gojek." Aku lantas meletakkan tas di ranjang. "Aku pengen mandi." Segera saja aku masuk ke kamar mandi
Rumah besar itu porak poranda seolah terkena gempa dahsyat. Kondisi Rizal sudah stabil, bahkan dia sudah berganti pakaian dan kini terbaring di kamarnya ditemani Nida yang selalu berada di sisinya."Terus nasib Gladis gimana, Bang?" tanya Indi. Sosok hitam yang menyerang kami sudah musnah karena Bang Cen, Datu, dan macan putih itu."Kita lihat saja besok."Malam semakin larut. Kami pun pulang ke rumah masing-masing. Sementara itu Nida tetap tinggal merawat Rizal.Mey pulang di antar Asep. Itu bukan hal aneh lagi bagi kami. Indi pun sudah di jemput Raja. Bang Cen memutuskan tinggal sebentar, untuk menyelesaikan sisa pekerjaannya. Entah apa lagi yang akan dia lakukan, tapi aku dan Rangga sudah lelah sekali. Kami pun pamit padanya."Mau pulang ke mana?" tanya Rangga."Eum, ke rumah aja ya. Nggak apa-apa, kan? Aku capek banget. Pengen langsung tidur.""Ya nggak apa-apa. Lagian dari sini memang lebih dekat ke rumah
"Yah Gladis itu bukan manusia. Saya sudah perhatikan lama. Ada yang aneh sama dia.""Jadi maksudnya dia itu apa, Bang?""Tubuhnya memang tubuh seorang manusia. Tapi jiwanya bukan dari pemilik tubuh itu. Bahkan kalau jiwanya keluar dari sana, saya yakin kalau jasadnya tidak sebagus apa yang kita lihat sekarang.""Jadi jiwa siapa yang masuk ke sana? Kok bisa gitu, ya?""Bisa, Neng. Bahkan saya rasa apa yang merasuki tubuh Gladis juga bukan dari kalangan manusia.""Mungkin nggak sih, kalau pemilik tubuh itu sebelumnya melakukan perjanjian dengan iblis, terus dia nggak bisa memberikan tumbal atau semacamnya, makanya jiwanya diambil, tubuhnya kosong terus diisi makhluk lain. Bisa nggak?" tanyaku."Sangat masuk akal, Neng.""Apa dia sedang mengincar Rizal untuk dijadikan tumbal?" tanya Rahma."Bukan. Bukan tumbal, justru sebagai makanan." Perkat
Pagi ini kami berangkat kantor lebih awal, karena semalam aku menginap di apartemen Rangga. Jaraknya yang dekat kantor membuat kami memiliki setidaknya 20 menit waktu luang sebelum jam kerja dimulai. Bahkan lift pun terasa lenggang saat kami memasukinya, karena hanya ada kami berdua. Untungnya tidak ada lagi sosok wanita yang biasa memasuki lift ini, atau mungkin belum waktunya dia muncul, ya. Tapi sepertinya Bang Cen telah membuat dia tersingkir dari gedung ini, karena aku tidak pernah melihatnya lagi dalam waktu yang cukup lama.Kemarin kami berdua tidak jadi mencari Rizal, karena dia memang tidak bisa ditemukan di berbagai tempat. Di rumahnya, tempat nongkrongnya, sampai ke rumah teman-temannya, Rizal tidak nampak juga. Akhirnya semalam kami akhir pencarian pukul 22.00, Nida pulang sendiri, dan aku bersama Rangga kembali ke apartemen.Pintu lift menutup, aku melingkarkan tangan ke lengan kekasihku. Dia menoleh dan tersenyum. "Kenapa?" t
"Eh, kalian udah denger belum? Gosip kalau Rizal deket sama Gladis?" tanya Mey berbisik saat kami makan siang. Sudah sekitar satu bulan Gladis bekerja di kantor kami, dan dia masih menjadi topik pembicaraan yang menarik. "Serius? Kok bisa? Nida gimana?" tanya Indi penasaran. "Nah itu! Mereka break! Dan sekarang Rizal deket sama Gladis. Yah, siapa sih yang nggak mau sama Rizal, kan? Dilihat-lihat ganteng juga itu anak," cetus Mey. "Ganteng mana sama gue?" tanya Asep menanggapi. "Elu ... Tapi dilihat dari ujung monas, pakai sedotan!" "Awas lu ya. Nggak gue anterin pulang lagi!" ancam Asep. "Cie. Udah saling antar jemput. Eh, lu nunggu di mana, Mey? Nggak takut?" tanya ku sengaja mencandai mereka. "Di rumah lah. Kan yang punya body guard, dia, bukan gue. Gue mah nggak takut." "Oh iya ya. Hati-hati, takut nanti ada drama mirip di sinet
"Siapa tuh?"Seorang wanita datang bersama pria berumur sekitar 40 tahunan. Memakai setelan mahal dan masuk ke ruangan Bos. Dari apa yang terlihat, sepertinya dia akan menjadi karyawan baru di kantor kami. Penampilannya terlihat seksi, dengan rok span hitam yang cukup pendek di atas lutut, kemeja putih ketat, menampilkan payudaranya yang terkesan tidak muat di dalam pakaian itu. Sepatu hak tinggi berwarna hitam, memang menjadi ciri khas seorang pekerja magang. Karena kemarin aku pun melakukan hal itu."Baru kayaknya deh. Njir, bohay banget!" kata Asep melotot sampai wanita itu menghilang di balik pintu."Wuu! Dasar mata playboy! Suka bener lihat yang montok-montok!" cetus Mey.Memang terlihat seksi dan mengundang banyak mata melihat, tapi aku merasa tidak menyukai aura yang dimiliki wanita tersebut. Entah mengapa. Terasa ada selubung gelap yang mengitarinya. Bahkan beberapa sosok mengerikan terus
Ini adalah hari pertama setelah cuti yang bisa terbilang panjang bagiku. Aku dan Rangga kembali ke kantor, memulai aktifitas kami seperti biasanya. Sejak kemarin aku memang tinggal di apartemen Rangga hingga hari ini. Namun nanti aku akan kembali pulang ke rumah, karena Iqbal sudah kembali dari luar kota. Bagaimana pun juga, dia bagai satpam Papa di rumah untuk mengawasi ku. Tapi kami berdua sama-sama saling mengawasi dan melindungi sebagai kakak adik. Sementara Bang Haikal justru terbang lebih jauh lagi ke London. Bisnisnya berkembang pesat. Kabarnya dia hendak membuka sekolah Indonesia di sana.Kami baru saja datang bersama-sama. Masuk lift yang penuh sesak, karena ini adalah jam masuk kantor, tentu banyak karyawan berdatangan. Aku dan Rangga menempati posisi tengah. Di belakang kami ada deretan karyawan dari lantai paling atas, di depan kami, campuran dari teman satu ruangan ku dan juga Rangga.Dari kejauhan, aku melihat seorang wanita
Papa akan kembali ke Korea pagi ini juga. Pekerjaannya di sana masih membutuhkan waktu, dan Mama juga masih ada di Korea. Bahkan Mama tidak tau kalau Papa kembali ke Indonesia kemarin. Hotel yang Papa pesan, hampir sama seperti hotel sebelumnya. Connecting room tersebut membuat kami berempat saling terhubung. Lee juga akan kembali ke Korea, karena urusannya sudah selesai. Kami akan naik pesawat untuk kembali ke Ibukota."Jadi Papa sama Mama lama lagi pulangnya?" tanyaku di tengah sarapan pagi kami."Iya, mungkin beberapa bulan lagi, baru kami bisa menetap lagi di sini. Kamu baik-baik saja, kan? Papa dengar dari Iqbal tentang pencuri di rumah kita. Papa yakin, tidak ada lagi kejadian seperti itu. Mereka hanya anak buah Woong saja.""Tapi Iqbal juga sekarang di luar pulau, Pa. Bang Haikal juga jauh. Jadi aku sendirian dong di rumah," kataku setengah protes."Hm? Bukannya ada Rangga sekarang? Papa lihat kalian makin lengket aja. Iya,
"Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanyaku begitu Lee mendekat. Rangga membantuku berdiri dan terus memegangi tangan karena kaki kananku sedikit nyeri."Apa itu sapaan di Indonesia untuk teman lama?" tanya Lee balik, sambil terkekeh. Rupanya dia sudah lancar menggunakan bahasa Indonesia, walau logat Korea nya masih terasa kental.Aku lantas tersenyum, mengulurkan tangan padanya. "Apa kabar, Lee?"Lee menyambut nya dengan tatapan mata dalam. "Lama tidak bertemu, kemampuan mu sedikit berkurang, Ines.""Oh, jadi mereka itu musuh mu? Buktinya jauh-jauh kau datang ke Indonesia hanya untuk menangkap mereka? Kasus apa kali ini?"Lee melirik ke Rangga yang sejak tadi hanya diam. "Dia ...?" tanyanya."Oh iya, perkenalkan, dia Rangga. Rangga ini Lee, temen aku di Korea. Dia polisi," kataku pada mereka berdua, bergantian."Rangga?" tanya Lee saat mereka be