Share

6. Teror

Hujan terus mengguyur sejak subuh tadi. Aku makin bergelung dalam selimut, enggan beranjak walau perut sudah keroncongan. Cuaca dingin agaknya membuat kasur terasa nyaman untuk beberapa waktu ke depan. Jam sudah menunjukkan pukul 06.00, sekali pun aku masih ingin tidur, tapi mata enggan terpejam lagi. Apalagi setelah alarm yang terus berdering tiap 5 menit sekali.

Tubuh terasa kaku, namun semalam aku tidur nyenyak, sehingga pagi ini terasa lebih segar. Mungkin karena pengaruh obat dari Pram. Atau mungkin juga karena ada Rangga yang menemani di sini. Sehingga aku tidak perlu takut kalau ada teror wanita kemarin. Selimut kusingkap, membiarkannya berantakan begitu saja, buru-buru keluar dari kamar karena ada hal yang ingin ku periksa, Rangga. Kejadian semalam bagai mimpi dan kenyataan yang berbanding lurus. Aku pikir, tidak akan menemukan Rangga di apartemen ku, karena rasanya bagai mimpi saja. Namun saat aku melihat ke sofa, rupanya Rangga masih ada di sana. Sedang menikmati kopi hitam dengan buku di tangan. Itu adalah salah satu novel koleksi milikku. Rak buku di belakang sofa memang salah satu tempat yang menarik tamu sejauh ini.

"Pagi," sapa nya begitu melihatku keluar.

"Udah bangun?"

"Udah dong. Kamu tuh yang mirip kerbau tidurnya. Ada gempa aja nggak dengar."

"Hah? Gempa? Serius? Jam berapa?" tanyaku antusias. Segera duduk di samping Rangga yang wajahnya sudah terlihat segar. Sepertinya dia sudah mencuci wajah, tapi ada lingkaran hitam di bawah matanya.

"Bercanda."

"Huu! Kirain betulan." aku memukul lengannya pelan. Menoleh ke jendela dengan langit yang masih sedikit gelap. "Hujan dari jam berapa?"

"Subuh tadi."

"Kamu bangun jam berapa?"

"Subuh."

"Pagi banget?"

"Iya, udah kebiasaan di rumah. Semua orang bangun subuh. Malah Nin itu jam 3 udah mandi, terus nyapu halaman. Atau jalan-jalan deket rumah."

"Wah, keren. Aku mana pernah bangun sepagi itu. Kalau kamu sendiri, tiap bangun subuh ngapain aja?"

"Ya salat. Kadang jamaah di rumah, kadang ke mesjid. Habis itu ya main handphone. Baca-baca twitter, atau Kaskus, kadang juga lihat i*******m."

"Oh."

Rangga tidak memalingkan pandangannya dari buku di tangan. Aku lantas beranjak dan segera mencuci muka, lalu menyiapkan sarapan.

"Kamu mau pulang jam berapa?" tanyaku sedikit menjerit karena posisi kami yang agak berjauhan.

"Nggak tau ini. Hujannya deras banget. Lagian udah kasih kabar ke rumah, aman. Atau kamu nggak suka gue di sini?" tanyanya melirikku tajam, diakhir menutup buku.

"Buruk sangka itu nggak baik, Rangga. Justru aku pengen kamu di sini dulu, temenin aku. Paling nggak sampai Mey datang, ya."

"Mey? Temen kamu yang kemarin itu?"

"Iya, kemungkinan dia mau nginap di sini, nemenin aku."

"Masih takut sama setan itu?"

Tidak langsung menjawab pertanyaannya, aku malah menarik nafas dalam.

"Ya sudah, gitu aja. Kamu pokoknya jangan sendirian dulu. Kalau misal Mey nggak bisa datang, biar gue antar ke rumahnya," sambung Rangga. Dia lantas duduk di kursi meja makan yang mejanya berantakan. "Ini kapan dibersihkan?" tanyanya.

"Mungkin sebentar lagi."

"Ya sudah. Buat sarapan dong. Lapar gue," titahnya dengan gaya bak pemilik rumah.

"Baik, juragan," sahutku diikuti tawa renyah Rangga, dan senyum tipis dariku.

Alhasil kami makan di meja depan tv. Untung tempat ini masih aman dari amukan makhluk itu. Beberapa tangkup roti bakar menjadi sarapan pagi kali ini. Hujan masih saja mengguyur dan terlihat sangat deras dari jendela. Gawaiku bergetar menampilkan sebuah pesan dari Mey.

[Ros, gue nggak bisa ke sana sekarang. Nanti, ya. Masih ada urusan nih. Lu nggak apa-apa, kan?]

"Siapa?"

"Mey. Katanya belum bisa datang."

"Oh, ya sudah. Tunggu saja." Sudah dua tumpuk roti bakar dilahap oleh Rangga. Bahkan susu hangat kini tinggal seperempat gelas. Sepertinya dia benar-benar kelaparan.

"Kalau kamu mau pulang, nggak apa-apa kok. Paling sebentar lagi orang yang beresin apartemen datang," tukasku saat melihat hujan perlahan mereda.

"Oke. Bener juga, nanti Mama bisa mikir macam-macam kalau gue kelamaan di sini."

"Memangnya kamu pamitnya gimana?"

"Nginap tempat temen. Cowok. Gila sih kalau bilang nginap di sini. Dipikir kita ngapa-ngapain nanti. Bisa digantung gue kalau pulang nanti."

Aku tertawa renyah, dan segera melahap gigitan terakhir roti bakar milikku.

"Wah, reda! Cepat banget, ya. Padahal tadi deras banget. Kirain bakal lama hujannya," gumam Rangga. Aku ikut menatap ke jendela, berpikir hal yang sama sepertinya. Sedikit aneh memang cuaca belakangan ini.

Rangga bersiap akan pulang ke rumahnya, tentu setelah memeriksa semua keadaan, dan dirasa aku sudah aman. Beberapa orang datang untuk membereskan kekacauan di apartemen ku. Itu salah satu alasan Rangga undur diri. Karena tidak mungkin dia berada di sini lebih lama lagi.

"Balik, ya. Bye." Kali ini aku kembali mengantarnya keluar. Siang hari tidak terlalu mengerikan bagiku. Apalagi Mey akan datang. Pekerja yang datang membereskan apartemen ku, masih sibuk dengan urusan mereka. Beberapa furniture yang memang rusak sedang diperbaiki. Itu salah satu fasilitas yang akan aku dapatkan di sini. Walau semua perabotan bukan milikku. Karena aku pun tidak memiliki cukup uang untuk membeli perabotan rumah.

"Mba, maaf, di kamar mandi ada orang, ya? Saya mau cek di dalam. Katanya kran air kecil?"

"Orang siapa? Teman bapak mungkin?" tanyaku balik. Beberapa hari lalu, aku memang mengeluhkan tekanan air yang kecil, dan ternyata baru akan diperbaiki sekarang.

"Enggak, Mba. Tim saya cuma mereka," tunjuk bapak paruh baya yang sepertinya ketua dari tim perbaikan apartemen. Aku menatap orang-orang tersebut sambil menghitung jumlah mereka.

"Tunggu, Pak. Perasaan tadi yang masuk ada empat orang? Ini cuma tiga."

"Empat? Kami cuma bertiga, Mba."

"Ah, yang betul. Tadi saya lihat empat orang masuk ke sini!" kataku ngotot.

Pria tersebut menoleh ke teman-temannya. Tanpa menanggapi perkataanku. "Ya sudah saya coba cek ke kamar mandi, ya. Mungkin cuma macet aja kuncinya."

Mereka menatapku aneh, namun tetap melanjutkan pekerjaan dengan sedikit terburu-buru. Pintu kamar mandi rupanya benar-benar bisa dibuka, membuat pria tadi garuk-garuk kepala dan aku makin berpikir yang tidak-tidak. Anehnya mereka tidak lagi membahas hal ini, seolah sengaja tidak mau memperpanjang masalah. Padahal aku sangat ingin tau pendapat mereka.

"Sudah semua, Mba. Kami undur diri. Nanti kalau ada apa-apa, bilang saja ke satpam. Permisi." Setelah beberapa jam berlalu, pekerjaan mereka selesai. Rupanya aku baru sadar kalau hujan benar-benar reda. Aku terlalu asyik dengan tulisanku sehingga melupakan sekitar. Setelah mereka pergi, suasana kembali hening. Hanya ada detak jarum jam sebagai pengusir sepi. Sebentar lagi akan petang, Mey belum juga muncul. Alhasil aku meraih gawai di meja kemudian mengirimkan pesan padanya.

Ternyata ada pesan lain dari Indi, yang belum kubuka sejak satu jam lalu.

[Ros, di mana? Gue mau ke apart lu, ya. Boleh, kan?]

Wah, kebetulan sekali.

[Oke. Ke sini aja. Buruan, ya.]

[Bentar, ya. Gue mau makan dulu. Lu mau nitip?]

Gagang pintu terdengar seperti hendak dibuka. Bukan pintu apartemen ku, melainkan pintu kamar mandi. Bahkan gerakan tersebut masih nampak jelas saat ini. Jadi itu bukan hanya suara saja. Aku segera beranjak, meletakkan gawai asal.

Dengan langkah perlahan, aku mulai mendekat ke kamar mandi. Seseorang dari dalam sana membuat rasa penasaranku kembali bergejolak. Mengapa di saat suasana sunyi, justru gangguan itu kembali? Mungkin mereka sengaja menungguku sendirian?

"Oh, sial! Aku harus pergi!" kataku yang akhirnya yakin kalau keadaan akan memburuk lagi jika terus berada di tempat ini. Tapi tiba-tiba petir menggelegar, dan hujan kembali turun. Aku yang sedang memakai cardigan, lantas kembali terpaku. Aneh memang, sangat aneh. seolah-olah aku tidak diijinkan pergi dari sini. Tanpa berpikir lebih lama, aku segera meraih hand bag, dan ponsel, lalu berlari ke arah pintu. Tapi pintu terkunci. Berkali-kali aku mencoba membukanya, sangat sulit. Seperti ada sesuatu yang menghalangi dari luar. Karena gagang pintu ini tidak bisa aku gerakkan sama sekali.

"Tolong! Tolong! Buka!" jeritku sambil terus memukul pintu. Aku juga berkali-kali menoleh ke belakang. Sunyi. Tapi justru rasanya sangat mencekam. Ketukan dari arah belakang terdengar samar, aku menghentikan pukulan di pintu, sambil memastikan pendengaran ku barusan.

Ah, bukan! Bukan ketukan! Tapi gemerutukan!

Gigi beradu seperti penyebab suara ini muncul. Aku sering mendengar dulu, saat mantan suamiku terlelap tidur. Katanya itu pengaruh makhluk gaib. Entahlah.

Namun gigi siapa? Aku sendirian di sini sekarang. Kembali memukul pintu dan terus meminta pertolongan, aku mulai lemas, dan sedikit frustrasi. Tapi embusan angin menggerakkan anak rambutku. Terlihat jelas sekali, seperti ada orang yang meniupnya dari belakang.

"Tolong!" Aku makin panik. Gagang pintu terus kugerakkan agar bisa terbuka. Aku pasrah, tapi masih berusaha bertahan sampai titik darah penghabisan. Lagi-lagi aku kembali menoleh, masih sunyi, tapi suasana di dalam sini sangat panas.

Sebuah jejak kaki terlihat di lantai. Sepasang kaki kotor sedang berjalan menuju ke arahku. Aku makin tersudut di pintu, pemilik sepasang kaki belum juga terlihat. Tapi saat aku melihat ke cermin yang memang ada di tembok, sosoknya terlihat. Wanita itu! Yah, wanita yang ada di lift tadi. Dia ada di sini!

"Pergi kamu! Pergi!"

Pintu terbuka secara tiba-tiba. Aku terkejut, dan mendorongnya pelan. Di luar tampak sosok anak kecil dengan kondisi mengenaskan. Tubuhnya hancur, darahnya ada di mana-mana, bahkan kedua bola matanya keluar dari tempatnya. Dia mengulurkan tangan pada wanita tersebut. Mungkin cerita Pram memang benar, anak ini meninggal di lift, dan sang ibu frustrasi sehingga bunuh diri.

Mereka saling menatap, seperti memendam rindu yang amat sangat. Sementara aku terpaku di tempatku berdiri. Aku berharap, mereka segera pergi setelah bertemu. Sambil perlahan berjalan menjauh. Tapi derit pintu yang tidak sengaja kugerakkan, menyita perhatian kedua insan tak kasat mata tersebut. Dengan gerakan mendadak dan bersamaan, mereka menoleh padaku. Tatapan tajam serta kosong membuat jantungku berdesir. Bukan seperti bertemu pujaan hati, tapi justru ingin mati. Leher anak di depanku bergerak, memutar menimbulkan suara tulang remuk. Sementara sang ibunda, membuat gemerutukan gigi yang makin intens saja kudengar.

Dengan susah payah, aku berusaha berjalan menjauh, dan kini aku berlari menyusuri koridor lantai 11. Sepi. Aku sangat kesal, kenapa saat aku ada di lorong ini selalu tidak pernah berpapasan dengan manusia. Bahkan sejak aku tinggal di sini. Seakan-akan jumlah penduduk nyata jauh lebih sedikit ketimbang penduduk tak kasat mata. Sambil berlari aku terus menjerit, berharap satu saja warga di lantai ini keluar dan aku bisa bersembunyi sementara di tempatnya. Tapi sampai ke pintu yang mengarah ke tangga darurat, tidak satu pun manusia yang muncul. Aku segera membuka pintu, dan menyusuri tangga menuju lantai bawah. Berkali-kali menengok ke atas, berharap mereka tidak mengikutiku. Tapi rupanya itu hanya angan belaka, karena sekarang suara langkah kaki yang berlari terdengar mendekat ke arahku, dan sumbernya dari atas. Tawa cekikikan anak kecil, membuatku yakin kalau mereka sudah dekat. Aku tergelincir, sampai-sampai jatuh terguling di barisan anak tangga di bawah. Terus menatap ke atas, bayangan di sana membuatku terus bergerak, bahkan aku lupa rasa sakit yang aku rasakan. Dengan langkah tertatih, aku terus turun tangga. Menangis adalah senjata terakhirku, jika aku sudah putus asa. Toh, tidak ada yang mendengar atau melihatku sekarang. Untuk apa malu?

Tiba-tiba kakiku dicengkeram erat, seseorang di bawah tangga menggantung sambil berpegangan pada kakiku. Aku meronta. Menendang dan berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari pegangan itu. Tapi dari arah belakang, sosok anak kecil tadi muncul dengan sangat cepat. Dia bahkan naik ke atas bahuku, dan terus menutup mataku hingga aku tidak bisa melihat sekeliling. Semua gelap, tapi aku masih berusaha melepaskan anak tadi. Aku hilang keseimbangan, dan lagi-lagi aku jatuh dari tangga. Tapi kali ini, aku tidak sanggup berdiri lagi. Hanya terus mengerjapkan mata, menatap sosok-sosok di sana mulai mendekat. Mengerubungiku dan semua akhirnya gelap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status