Share

5. Apartemen

"Masuk, Ngga," ajakku begitu pintu terbuka. Rangga mengucapkan salam dengan pelan, walau tidak ada yang menjawab.

"Duduk dulu, anggap aja di rumah sendiri. Aku ganti baju dulu, ya."

Apartemen milikku berjenis alcove studio. Apartemen ini memiliki bentuk L dengan dua ruangan terpisah. Salah satu ruang di apartemen ini berukuran lebih kecil dan digunakan sebagai kamar, ruangan yang besar melingkupi dapur, ruang tamu dan kamar mandi, akan menjadi satu. Sehingga privasi ku terjaga hanya di kamar saja.

Setelah memakai seragam ala ala rumahan, meliputi kaus lengan pendek dan celana leging pendek, aku segera keluar dan menyiapkan makan malam kedua untuk kami. Karena ternyata aku juga lapar lagi.

Rangga kulihat sedang duduk di sofa, dengan pigura di tangannya. "Itu anak-anakku," jelas ku tanpa mendapatkan pertanyaan lebih dulu.

"Kamu udah nikah? Atau malah udah cerai?"

"Cerai. Aku pernah nikah dua kali, dan semua gagal." Lemari di dapur kubuka, menyiapkan beberapa bahan yang sudah ku beli sebelumnya.

"Wow. Terus anak-anak ikut bapaknya?"

"Enggak. Anak-anakku meninggal. Karena kecelakaan."

"Oh sorry." Rangga meletakkan pigura itu ke tempat semula. Ia kini berjalan menyusuri tiap sudut apartemen milikku. "Enak juga, ya. Tinggal di sini, pemandangannya bagus dari atas. Pasti ini spot kamu nulis, ya?" tanyanya menunjuk sisi ruangan yang kubuat sendiri dengan meja kecil dan bean bag berbentuk bulat. Tentu ada laptop di sana, dan itu sangat mudah ditebak oleh semua orang, kalau di sana lah tempatku menuangkan imajinasi dalam bentuk tulisan.

"Ih pinter," kataku masih sibuk dengan memasak.

"Sejak kapan kamu tinggal di sini?" Rangga kini mendekat dan duduk di kursi depan meja makan. Aku yang berada di sisi seberang terlihat seperti seorang chef yang sedang memasak untuk pelanggannya dengan life show.

"Baru setahun lebih lah. Sejak aku cerai sama mantan suami."

"Oh," sahut Rangga mengangguk-angguk. Masih memperhatikan ruangan ini. "Terus kamu bisa lihat setan sejak kapan?"

"Eum, kapan, ya?" aku mulai mencoba mengingat hal tersebut, menghentikan aktifitas ku sejenak. "Kalau tepatnya ga ingat, yang jelas sejak aku mulai nulis horor. Aku mulai sering lihat hal-hal itu. Bahkan kadang aku sering nggak bisa membedakan mana manusia, mana makhluk gaib."

"Serius? Masa nggak bisa dibedain? Bukannya setan itu serem, ya?"

"Kata siapa? Memangnya kamu pernah lihat?"

"Ya belum sih, itu di film-film? Kan serem. Makanya orang-orang takut, kamu juga tadi di lift."

"Hehe. Ya ada yang serem, ada juga yang biasa aja sih. Kalau serem sih udah jelas, ya. Tapi kadang yang aku lihat justru sama seperti kita. Bahkan sering aku ajak ngobrol. Sadar-sadar kalau orang-orang mulai melihatku aneh. Atau kalau aku bercermin."

"Bercermin?"

"Iya. Mereka nggak akan bisa bohong di cermin. Jadi walau bentuk mereka bagus di sini, penampilan asli mereka bakal terlihat di cermin. Itu yang tadi aku lihat tentang Fifi."

"Fifi nya Nin?"

"Iya. Dia terlihat di cermin, walau samar."

"Wah, bisa begitu, ya."

"Nah, makanannya sudah siap. Yuk, kita makan."

_______

Aku sudah menyiapkan mangkuk mangkuk kecil untuk lauk yang ku masak tadi. Ada salad dingin yang memang sudah kubuat kemarin, biasanya kujadikan stok camilan setiap hari. Tumis kangkung, nugget, lalu tumis udang lada hitam, ditambah kimchi kemasan. Entah kenapa aku memasak menu cukup banyak kali ini. Padahal biasanya aku hanya makan satu menu saja.

"Ini apa?"

"Kimchi."

"Wah, ala ala Korea makan malam kita kali ini, ya."

Suap demi suap masuk ke mulut dengan lahap. Diselingi dengan obrolan ringan serta saling menanyakan kehidupan masing-masing.

"Jadi kamu cerai karena anak-anak kamu meninggal?"

"Iya, mungkin memang semua salahku. Aku yang bikin mereka celaka, jadi aku pantas diperlakukan seperti ini."

"Tapi, kan, kamu nggak sengaja. Banyak loh, Ros, kecelakaan karena pengemudi melihat hal-hal gaib. Kaget, terus banting stir, dan itulah yang berbahaya."

"Tetap aja, kan, Rangga. Kalau aku yang menyebabkan kecelakaan itu. Seharusnya aku nggak usah ajak anak-anak pergi malam itu. Kalau pun aku harus pergi dari rumah, seharusnya aku pergi sendiri."

"Ros, pergi dari sebuah hubungan toxic itu juga bukan kesalahan. Kamu cuma pas sial aja, harus lewat sana dan ketemu setan itu."

"Hm, iya, aku memang sial. Atau pembawa sial?"

"Eh, nggak ada manusia pembawa sial. Yang ngomong begitu udah pasti sirik. Mirip kasus si Komo, tuh. Sukanya melimpahkan kesalahan ke orang lain. Tuh, kan, apa kata gue! Bener, kan, spekulasi gue tadi. Rangga gitu loh!" katanya sambil membetulkan rambut.

"Spekulasi? Tentang si Komo?"

"Iya dong."

"Astaga!" Aku menghabiskan makanan dengan lebih cepat. Obrolan kami makin dalam dan lama, sehingga makanan tidak lagi hangat.

Jeritan di koridor luar membuat kami segera menatap ke pintu. Ada seorang pria yang sedang menjerit di luar sana. Dia seperti ketakutan. Aku pun berdiri, segera menuju pintu. Rangga mengikuti ku, meninggalkan makanan yang belum habis sepenuhnya.

Saat pintu terbuka, tidak ada orang lain di luar. Aku bahkan sampai keluar pintu dan memeriksa sekitar. Koridor ini sangat sepi. Rangga ikut keluar dan sama bingungnya sepertiku.

"Aneh. Perasaan tadi ada orang minta tolong. Apa mungkin udah masuk, ya?" tanyanya terdengar masuk akal.

"Ya sudah, masuk yuk. Habiskan makanan kamu. Udah malam," ajakku.

"Jadi ceritanya ngusir?"

"Ya enggak ih!"

"Hahaha. Iya, tenang aja, Ros. Gue juga udah pengen pulang. Ngantuk," ujarnya.

Lauk yang tinggal sedikit segera Rangga makan. Dia terlihat lahap sekali. Entah lapar atau enak mungkin keduanya. Jam menunjukkan pukul 23.45 Rangga sudah memakai jaketnya dan segera berpamitan.

"Aku balik, ya, kamu nggak apa-apa, kan, aku tinggal?"

"Eum, nggak apa-apa. Terima kasih, ya. Kamu hati-hati di jalan. Udah malam. Jangan lewat jalan sepi. Takut ada begal."

"Siap." Aku mengantarnya sampai pintu. Dia lalu melambaikan tangan dan mengucapkan salam. Tidak segera menutup pintu, justru aku menunggu dia masuk ke lift. Rangga tidak lagi menoleh sampai akhirnya lift terbuka dan dia masuk ke sana. Sebelum pintu itu menutup, Rangga tersenyum padaku.

Cekikikan anak kecil membuat suasana bahagia yang masih kurasakan, lenyap begitu saja. Aku segera menoleh ke belakang, menatap koridor lantai 11 ini dengan tatapan waspada. Sepengetahuanku, di lantai ini tidak ada penghuni yang memiliki anak kecil. Bahkan sampai dua lantai di atasku.

Aku menekan tengkuk, lalu saat hendak masuk, pintu lift yang sebelah terbuka. Memang ada dua lift di gedung ini, hanya saja lift yang satu masih sedang perbaikan, sehingga selama sebulan terakhir hanya satu lift yang digunakan oleh kami. Penasaran, aku lantas menunggu siapa yang muncul dari sana. Sembari memastikan kalau lift tersebut sudah bisa digunakan kembali. Sebuah tangan keluar dari sana, sadar akan sesuatu yang aneh, aku segera masuk dan mengunci pintu. Tangan tadi, mirip seperti sosok yang kulihat tadi bersama Pram. Tangan yang sama dan aku yakin sosok yang sama.

Masih bergeming dari tempatku berdiri. Menunggu apakah dia benar-benar sosok wanita tadi atau bukan. Tiba-tiba ponsel di genggamanku berdering, dengan gugup segera ku geser layar sambil sesekali menatap ke pintu yang berada di belakangku.

"Ya halo?" tanyaku sambil berbisik.

"Rosi? Ini gue, Pram. Elu di mana?" tanya suara lantang di seberang.

"Hah? Kok tau nomor gue?"

"Gue tanya satpam. Gue lagi di pos satpam, elu belum balik, kan? nggak di apartemen sekarang?"

"Memangnya kenapa Pram?"

"Tadi gue ditelepon satpam, kalau di kamar gue ada keributan. Pas gue balik dan cek, ternyata kamar gue berantakan. Padahal nggak ada orang masuk setelah gue pergi tadi. Gue yakin kalau dia masuk ke kamar gue, dan tiba-tiba dia muncul. Gue dilempar ke tembok. Untung ada satpam yang nemuin gue! Sepertinya dia mau mencelakakan gue, dan takutnya dia juga melakukan hal yang sama ke elu, Ros. Untung aja sih, kalau elu belum balik. Jangan pulang dulu, bahaya! Soalnya ...."

Hening.

"Halo? Pram?" Saat aku menatap layar ponsel, rupanya benda pipih tersebut mati, kehabisan daya. "Oh, sial!"

Pintu diketuk dari luar. Pelan dengan ritme yang tidak biasa. Kalau manusia yang mengetuk, akan menimbulkan ritme yang cepat dan teratur. Sementara ini, tidak seperti orang-orang yang selama ini mengetuk pintu. Pelan bahkan terkesan sangat pelan, dan, jarak ketukan pertama ke ketukan kedua, cukup lama. Lalu biasanya, orang akan menekan bel, bukan mengetuk pintu.

Aku mendekat, berusaha tidak menimbulkan suara sedikitpun. Mengintip ke door viewer. Di sana tidak terlihat satu pun manusia. Bahkan koridor terlihat sepi seperti biasanya. Namun ketukan pintu kembali terdengar. Aku pun beralih ke key hole. Saat mengintip dari lubang pintu, aku melotot sambil menutup mulut. Pantas saja dia tidak terlihat dari door viewer, karena dia tidak berdiri. Melainkan duduk di lantai. Tangannya terus di angkat ke atas, dan mengetuk pelan. Sosok itu, sama seperti yang aku lihat bersama Pram, dan sosok yang sama seperti yang ada di lift tadi bersama Rangga. Tapi kenapa dia duduk di lantai. Tidak mendapat tanggapan dariku, dia berhenti mengetuk. Tapi kini pintu kamarku terdengar seperti sedang digaruk oleh kuku tajam.

Tiba-tiba dari lubang kunci, dia balik menatapku tajam. Seolah tau kalau sedang diperhatikan dari tempat tersebut. Ia menyeringai, tangannya berusaha menggapai handle pintu. Aku takut, namun masih bisa mengendalikan situasi. Karena yakin, kalau pintu sudah terkunci jadi dia tidak akan bisa masuk ke dalam. Walau sebenarnya logika ku berkata, tidak ada yang bisa menghalanginya masuk ke dalam sini. Dia adalah makhluk halus, bukan pencuri.

Gagang pintu bergerak lambat, kemudian sangat cepat. Sosok di luar sana tidak sabar untuk masuk ke dalam. Aku mundur, sampai-sampai jatuh terjungkal. Tombol kunci terdengar ditekan. Jantungku berdebar sangat cepat. Kini aku berusaha bergerak mundur. Berusaha menarik tubuhku agar bergerak menjauh dari pintu. Ketakutan ku makin memuncak. Cepat atau lambat dia pasti akan masuk. Beberapa kali ia salah menekan sandi masuk apartemen ku. Tapi sedetik kemudian, justru pintu ini dapat dibuka tanpa paksaan.

Tubuhku lemas, apalagi saat melihat sosok di luar yang kini terpampang jelas di depan mata. Dia masih mengesot di lantai, menyeringai lalu tertawa cekikikan. Aku benar-benar ketakutan. Wanita itu mulai bergerak, menyeret tubuhnya masuk ke dalam. Kupikir ada yang salah dengan kakinya, tapi rupanya aku salah. Karena kakinya baik-baik saja. Kini dia justru mulai berdiri dengan tegak. Wajahnya tertutup rambut yang panjang terurai. Tapi sorot matanya tajam dan menakutkan.

"Mau apa kamu? Pergi!" kataku dengan lirih.

"Aku mau ... Kamu," sahutnya dengan suara yang membuat bulu kudukku meremang.

"Pergi. Tolong," tukasku, lalu membalikkan badan, berjalan merangkak. Tubuhku terasa lemas, sehingga serasa sulit untuk berdiri bahkan berlari. Tanganku berusaha meraih kaki meja makan. Dengan kepayahan aku menarik tubuhku dengan mendekat ke meja.

Dia berjalan pelan mendekati ku, terdengar tetesan air yang cukup deras di lantai. Semua berasal dari tubuhnya yang sangat basah itu. Aku berhasil sampai di bawah meja. Berusaha duduk dan bersembunyi dengan tertutupi taplak meja yang menjuntai sampai setengah, walau tidak menutup seluruhnya, namun setidaknya aku tidak melihatnya dengan jelas sekarang.

Tiba-tiba suasana sekitar ku menjadi terang, dentuman keras membuatku menjerit ketakutan. Meja di atasku melayang, hancur terlempar ke tembok. "Tolong!" jeritku berusaha sekencang mungkin berteriak. Aku menutup mata dengan kedua telapak tangan, namun dari sela-sela ruas jari, dapat kulihat sosok itu mendekat dan terus mendekat. Aku kembali merangkak menjauh, tapi kakiku dicengkeram kuat, tubuhku ringan terlempar ke tembok.

Sakit. Sungguh menyakitkan, sampai-sampai aku tidak bisa mengeluh dan menangis lagi. Mulutku terasa asin dan lengket. Saat kuseka ternyata ada darah kental keluar dari mulutku.

"Astagfirulloh! Rosi!" Mataku samar melihat seseorang masuk ke dalam. Dari suara yang kudengar, dia sepertinya Rangga. Atau aku hanya berhalusinasi. Tapi sosok wanita tadi tidak ada di apartemenku lagi.

"Rosi! Ros! Kamu kenapa? Rosi?! Hei!" Pipiku ditepuk cukup keras, aku mengerjapkan mata. Berusaha melihat pria di hadapanku ini. Apakah benar dia Rangga atau aku sedang mengigau karena hantaman keras tadi.

"Rang ... Rangga?"

"Iya, gue. Kamu kenapa? Astaga. Kok berantakan gini? Ada pencuri? Hah? Kamu terluka? Astaga. Kita ke rumah sakit, ya?" kata Rangga cemas. Belum sempat aku menjawab, beberapa orang juga menyusul masuk ke dalam.

"Astaga, Ros!" Kini Pram yang masuk, tapi dia tidak sendiri. Dari seragam nya aku yakin dia satpam apartemen ini. "Elu siapa?" tanya Pram.

"Gue temen Rosi. Tolong. Ada pencuri masuk sepertinya. Rosi terluka," jelas Rangga. Aku menahan tangan Rangga lalu menggeleng.

"Bukan pencuri," kataku berusaha menjelaskan dengan tubuh masih lemah.

"Hah? Terus? Siapa?"

"Pasti setan perempuan tadi," tebak Pram, yakin. "Gue pikir elu nggak di apartemen. Kenapa nggak bilang dari gue telpon tadi, Ros. Untung elu nggak kenapa-kenapa." Pram mendekat dan memeriksa kondisiku.

"Setan perempuan?" tanya Rangga bingung.

"Iya. Karena kamar gue juga hampir sama seperti ini keadaannya. Satu lagi, pintu! Goresan pintu itu sama seperti pintu gue. Bekas cakaran! Sama persis!" tunjuk Pram ke pintu depan. Aku baru sadar kalau cakaran di pintu dari sosok wanita tadi meninggalkan bekas.

"Ros? Kamu nggak apa-apa, kan? Kita ke rumah sakit sekarang, ya. Gue pesenin taksi." Rangga masih memegangi tubuhku yang lemah, bersiap mengangkat ku pergi ke rumah sakit.

"Nggak usah, Rangga. Aku baik-baik aja. Kamu kok balik lagi?"

"Iya, handphone ku ketinggalan. Untung belum jauh, jadi aku bisa puter balik," jelasnya menatapku lekat-lekat.

"Kotak obat mana?" tanya Pram.

Aku menggeleng. Satpam apartemen memeriksa kondisi kamarku. Bahkan sampai ke jendela luar dan semua sudut ruangan. Memastikan sosok tadi benar-benar lenyap, atau mungkin aku dan Pram dianggap gila.

"Ya sudah. Gue ambil di kamar gue, kebetulan ada stok obat. Bisa buat mengurangi rasa sakit." Pram segera pergi.

"Maaf, mba Rosi, kerusakan hanya ada di ruangan ini saja. Saya sudah periksa dan tidak ada siapapun bahkan di kamar. Nanti saya suruh orang membersihkan apartemen anda. Semoga kejadian ini tidak terulang lagi. Saya permisi. Saya harus memeriksa tempat lain."

"Terima kasih, Pak."

"Aku pindahin ke sofa, ya." Rangga mengangkat tubuhku dengan mudahnya dan membaringkan ku di sofa.

"Makasih, ya."

Dia duduk di dekatku, menatapku iba. "Butuh sesuatu? Minum? Atau apa pun itu."

"Hm, iya, tolong ambilin minum, ya. Tenggorokanku kering."

"Oke. Sebentar."

Rangga kembali lagi dengan segelas air putih. Dia terus menatapku tanpa berkata apa pun lagi, bahkan keadaan di sekitar tak luput dari pengamatannya. Aku yakin dia tidak percaya perkataan Pram tadi. Dan aku pun tidak ingin menjelaskan secara terperinci, itu hak Rangga. Percaya atau tidak dengan penjelasan Pram. Karena aku pun akan mengatakan hal yang sama seperti Pram.

Pram kembali dengan sekotak obat. Dia hanya memberikan salep oles untuk luka lebam di tangan dan kakiku. Lalu obat untuk mengurangi rasa sakit.

"Sebaiknya elu jangan di sini dulu, Ros. Atau setidaknya elu jangan di sini sendirian. Ajak teman menginap saja biar lebih aman. Karena dia nggak akan bergerak agresif kalau ada orang lain di dekat kita," jelasnya sambil melirik ke Rangga. "Kalau gitu gue permisi dulu. Take care, Ros."

"Thanks, Pram."

Aku meneguk seluruh obat yang Pram rekomendasikan. Aku baru tau kalau ternyata Pram pernah bekerja sebagai apoteker. Jadi dia tau berbagai macam obat.

"Hand phone kamu di mana?"

"Oh iya itu hand phone nya," kata Rangga kemudian beranjak dan meraih benda pipih yang tergeletak di nakas dekat jendela. Ia kembali duduk di dekatku.

Kami saling membisu selama beberapa menit. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam.

"Rangga ...."

"Iya? Kenapa? Ada yang sakit?" tanyanya memeriksa wajah serta tangan dan kakiku.

"Bukan. Tapi, udah malam. Kamu nggak pulang?"

"Oh, jadi ngusir lagi?"

"Dasar baperan kamu!" kataku sambil mencubit pinggangnya.

"Hehe. Hm, gimana kalau gue nginap saja malam ini? Nggak tega rasanya ninggalin kamu sendirian dengan kondisi kamu yang seperti ini. Apalagi itu cowok tadi seakan nyuruh gue nginap sini."

Aku tersenyum tipis.

"Memangnya nggak apa-apa?"

"Loh, memangnya kenapa?"

"Aku nggak enak sama kamu. Kita bahkan baru kenal, tapi aku udah merepotkan kamu gini."

"Halah, dramatis banget sih. Gue itu asal ada bantal sama selimut, bisa tidur di mana aja, Ros. Lagian udah malam banget, pasti gerbang rumah udah dikunci Mama. Gue nggak bawa kunci rumah."

"Oh gitu. Hm, makasih, ya."

"Santai aja. Ya udah, sana tidur. Gue tidur sini aja."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status