Share

3. Imam Sepertiga Malam

~Ta'aruf antara kau dan aku berada dalam waktu sepertiga malam dengan berawal nawaitu berharap qobiltu~

                               ♤♤♤

Para Boyguard datang menjemput Imaz. Ia sudah bersiap-siap membawa tas perlengkapannya. Bisa bernapas lega karena sebentar lagi hempas dari Desa. Sayangnya tanpa Ibu dan Bapak. Dari ambang pintu, Imaz, Ibu dan Bapak berpelukan.

"Jaga baik-baik dirimu Imaz. Doakan Ibu dan Bapak selalu sehat. Supaya bisa menjengukmu. Kau tau kebahagiaan orang tua adalah melihat anaknya bahagia. Bukankah ini kebahagiaanmu berada di Pesantren?" Nasehat Ibu.

Air mata Imaz meleleh. Mereka larut tenggelam dalam air matanya. Ibu dan Bapak melepaskan pelukan.

"Sudah dramanya." Tuan Darwin menghentikan.

Ia melempar tas besar di hadapan Imaz, "ini ongkos untuk perjalananmu. Tapi ingat! Jangan pernah menghianatiku lagi. Kalau sampai kau menghianatiku lagi, orang tuamu taruhannya."

Imaz mengangguk ringan. Belum ikhlas untuk meninggalkan orang tuanya. Tangan lembut mereka terlepas. Saatnya Imaz pergi. Ia masuk mobil.  Mereka melambaikan tangan dengan penuh kerinduan. Mobil berjalan meninggalkan bayang-bayang mereka.

"Ya Allah...aku tidak pernah menginginkan harta duniawi. Biarpun rumahku kumuh, dijalanan atau dimanapun tempat tinggal itu, yang penting ada Ibu dan Bapak dalam hidupku." Bisikan hatinya terdalam.

Ia berharap Tuan Darwin tidak berbuat kejam terhadap mereka.

Tiba di laut, Imaz berganti transportasi. Ya. Desa yang ia tempati untuk menuju kota butuh mental untuk naik kapal apalagi kapal veri milik Tuan Darwin.

Sungguh ! Tuan Darwin memiliki segalanya tapi sayangnya tak menganggap Tuhannya. Imaz memasuki kapal veri. Besar dan sejuk untuk ditempati. Ia duduk di sebelah nahkoda sekadar menghirup udara segar.

Saat nanti kau sudah menikah, ketaatanmu tidak pada Ibu dan Bapak tapi pada suami.

Kata-kata itu tiba-tiba terngiang ditelinganya.

                              ***

Kota targetnya telah tercapai. Para Bodyguard meninggalkan Imaz di tepi laut. Mereka menghilang menembus cakrawala.

Hari sudah semakin sore.

Perbatasan antara Desa dan Kota memang berbeda. Ketika menyeberangi laut menuju Desa, pemandangan mereka hanya Nelayan-nelayan yang mencari ikan. Tapi terlihat disana seorang gadis sedang melukis sendirian. Memakai kursi roda. Imaz menghampiri gadis tersebut.

"Hay..." sapaan untuk gadis pelukis.

Dia menoleh dengan senyuman mengembang dipipi. Sangat cantik. Kecantikan yang khas. Matanya bening. Bibirnya tipis. Bulu matanya lentik. Hidungnya biasa saja. Tidak mancung dan tidak pesek. Kelebihannya lagi, ia memakai hijab sederhana tanpa motif ala-ala jaman sekarang.

"Kau melukis apa?" Imaz menengok papan lukisnya.

Seorang pria berpeci hitam duduk ditepi laut. Ia lihat di tepi laut benar-benar ada pria berpeci hitam. Ia pikir lukisan itu khayalan. Gadis pelukis hanya diam. Terfokuskan pada lukisannya.

"Dia siapa kamu? Kakakmu? Atau calon suamimu?" Tanya Imaz tiada henti-henti.

"Kau begitu penasaran." Gadis pelukis baru menunjukkan suaranya.

Begitu lembut selembut sutra. Sepertinya ia sangat penyabar menghadapi masalah.

Mata Imaz tiba-tiba menyala. Menunjukkan data identitas siapa gadis pelukis itu. Tertulis disana, namanya Alfiyyah Musthofa. Biasanya dipanggil Fiyyah. Dia putri Romo Kiyai Abdul Musthofa, pengasuh Pondok Pesantren Benang Biru. Disana juga ada sebuah pesan,

selamat sudah bertemu targetmu; By: Darwin.

Imaz mendengus kesal. Kapanpun dan dimanapun Imaz berada, Tuan Darwin bisa memantaunya. Sial.

"Kenapa diam?" Gadis pelukis membuncah lamunan Imaz.

"Mmm...namamu Fiyyahkan?"

Ia hanya berdehem. Masih fokus dengan lukisannya.

"Putri dari Romo Kiyai Abdul?"

Ia tetap berdehem.

"Senang bertemu denganmu, Ning Fiyyah."

"Aku juga senang. Hanya kau orang luar yang mau berkenalan denganku. Kau wanita yang sangat ramah, siapa namamu?"

"Imaz."

"Nama lengkap?"

"Tidak boleh."

"Kenapa?" Ning Fiyyah terheran.

Tangannya terhenti untuk melukis. Ia memandang Imaz penuh tanya.

"Kata Bapak, aku tidak punya akta kelahiran. Biarpun aku punya nama lengkap, Bapak tak merestui jika namaku disebarkan."

"Kenapa tidak buat akta kelahiran?"

"Mmmm...kami hanya rakyat jelata."

Imaz tersenyum meskipun dirasa itu pahit. Sudah miskin, ia dijadikan korban serta mata-mata untuk umat manusia yang sejalan dengannya. Cita-cita itu nyata. Tapi tujuannya terpaksa. Menaklukan Pesantren Benang Biru.

"Sebagai hadiah, kau duduklah di samping pria itu. Nanti kau ku lukis bersama senja."

"Sendirian bersama senja?" Imaz tampak sumringah.

"Sama pria itu. Maksudku, kalian berdua aku lukis. Dipemandangan senja. Ingat ya, tidak boleh bergerak."

Imaz mengangguk antara percaya atau tidak. Ia berjalan. Duduk berjauhan dengan pria itu.

Ning Fiyyah menepuk jidat. Imaz menoleh, Ning Fiyyah mengintruksi lebih dekat dengan pria itu.

Dengan polosnya, Imaz menjawab, "bukan muhrim."

Ning Fiyyah menepuk jidat lagi.

Ia menempelkan kedua tangan memohon. Terpaksa Imaz duduk berdekatan dengan pria itu. Imaz hanya diam seperti patung. Pria itu terheran-heran melihat Imaz duduk di sampingnya.

"Kau siapa?" Pria itu mulai bicara.

Imaz diam seperti patung.

"Maaf Mbak. Kau ini siapa?" Pria itu menegaskan. Imaz tetap saja seperti patung.

"Ingat Imaz. Kau harus jadi patung. Supaya hasil lukisan Ning Fiyyah bagus. Biarin pria ini ngomong terus." Dalam hati Imaz.

Matahari terbenam dari arah barat. Awan menunjukkan warna kemerah-merahannya.

Dalam hitungan kelima, senja akan menampakkan rupawannya. Ning Fiyyah menghitung jarinya.

Lima, Imaz dan pria itu konsisten jadi patung. Rupanya pria itu faham kedatangan Imaz.

Empat, mereka sudah tak tahan. Imaz mencoba melirik pria itu. Meskipun dari samping, ternyata pria itu masih terlihat tampan. Pasti pria itu calon suami Ning Fiyyah, pikir Imaz.

Tiga, berganti pria itu melirik Imaz. Hanya sekilas melihat wajahnya. Begitu lama melihat koper jelek disampingnya. Memperburuk pemandangan. Pikir pria itu.

Dua, mereka menghembuskan napas. Sudah tak sabar melihat senjanya.

Satu, senja menampakkan rupawannya dengan sempurna.

"Lihat senjanya sudah datang. Subhanallah..." Imaz berteriak girang menunjuk warna pemandangan senjanya.

Pria itu menatap Imaz dari samping. Aneh.

Ning Fiyyah menyulap tangannya menjadi karya lukisan yang menakjubkan. Gerak-gerik tangannya mengayun lembut menyulam persis di depannya. Bak sepasang kekasih berlibur di laut bersama senja.

Pergerakan tangan Imaz bukan perusak lukisan malah pemanis sebagai kekasih sungguhan. Senja perlahan menghilang. Artinya maghrib akan datang. Pria itu menjemput Ning Fiyyah mengajaknya pulang. Imaz mengikuti mereka.

"Maaf, aku tadi bergerak. Kau pasti marah. Sebab ini pertama kalinya aku melihat senja." Permohonan maaf Imaz.

"Bukan maaf. Malah itu pemanis sebagai kekasih sungguhan. Ini kenangan dariku. Kalian sungguh romantis." Ning Fiyyah menyerahkan hasil lukisannya.

Imaz menerimanya dan benar yang dikatakan Ning Fiyyah seolah-olah dari belakang Imaz dan pria itu sedang kasmaran.

"Jangan lebay. Itu hanya lukisan." Ucap pria itu tanpa memandang Imaz.

"Tapi..." belum sempat Imaz membalas ucapannya, pria itu mendorong kursi roda Ning Fiyyah. Mengajaknya pulang.

Azan maghrib berkumandang. Imaz berjalan kaki entah dimana. Perutnya mulai tidak bisa diajak kompromi.

Sebelum mencari makan, ia mencari masjid. Rupanya masjid tak sejauh yang ia bayangkan. Masjid Ar-rahman menanti kedatangannya. Sebagian orang sudah memposisikan diri membentuk saf.

Kran ia buka. Imaz membasuh muka.

Sudah satu bulan lebih, hujan tak kunjung turun. Namanya di kota, masih mudah untuk mencari air.

Salat maghrib sudah terlaksana beberapa menit yang lalu. Saatnya Imaz memberi kerukunan pada perutnya. Alias mencari makanan.

Sekitar satu meter dari masjid, ia menemukan warung soto. Ia memesan satu porsi nasi soto dengan es buah. Mantap untuk disantap. Namanya anak kampung, makan dipinggir jalan lebih istimewa dan natural. Orang-orang yang makan dari kelas sederhana, udaranya dihembuskan langsung oleh sang pencipta dan tak kalah menariknya pengamen jalanan yang bersedia menghibur pembeli. Itu yang ia rasakan dimasa-masa kesendiriannya.

Ia tiba-tiba rindu Ibu dan Bapak.

Dirasa sudah cukup, Imaz kembali lagi ke masjid. Duduk di serambi masjid memandang bintang bertebaran dilangit. Bertemankan angin kesunyian.

"Imaz, cepat cari pesantrennya." Suara muncul tiba-tiba di telinganya.

Ia terkejut serta ketakutan.

"Siapa kamu? Jangan bunuh aku. Apakah kau kuntilanak, pocong, suster ngesot atau genderuwo?" Imaz nyerocos takut.

Orang-orang sekitar melihatnya seperti orang gila. Berbicara sendiri.

Mereka berlari ketakutan melihat Imaz.

"Dasar bego! Aku Darwin. Kenapa kau malah santai-santai dimasjid. Lakukan tugasmu."

Mesin suara yang diciptakan Tuan Darwin sungguh hebat. Menyalur dalam telinga dan mata. Dia memang memiliki ruang khusus untuk pembuatan segala mesin. Ruang yang terdapat monitor besar dengan sistem CCTV yang memantau kerja Imaz. Kapanpun ia bisa mematikan sistemnya. Entah itu sistem mata, suara, atau telinga. Atau malah ketiga-tiganya. Seakan-akan Imaz dijadikan robot yang patuh pada Tuannya.

"Iya...iya...besok. aku kan capek. Perlu istirahat." Imaz menjawab setengah malas.

"Awas kalau kau melanggar, akan ku matikan semua sistemnya. Rasakan tidak punya mata, suara dan telinga."

"Baik baginda. Saya akan melaksanakan tugasmu." Ucap Imaz pura-pura patuh.

"Begitu sikap bawahan terhadap atasanmu."

"Iya...iya..."

"Ya sudah. Aku mau tidur. Selamat malam."

"Hanya satu yang Tuan Darwin tak bisa pantau. Hati. Sampai kapanpun yang tau hati manusia hanyalah Allah."

Senyum tipis ia tunjukkan pada bintang. Dan kata itu terbentang lebar dalam hatinya.

                                 ***

Sepertiga malam kali ini tak seperti sepertiga malam kemarin. Berjamaah dengan keluarga. Sekarang berjamaah dengan angin kesunyian.

Sepertiga malam di kota yang makin malam makin dingin. Tak seperti di desa makin panas. Imaz yang tertidur dibawah bedug masjid terbangun untuk mengambil wudhu. Membasuh muka, lalu masuk kedalam masjid. Mukenah tertata rapi di dalam almari serta Alquran di atasnya. Ia pakai mukenahnya. Sajadah dilampirkan.

Masjid ini terbilang unik. Satir perbatasan antara jamaah pria dan wanita membentuk vertikal bukan horizontal. Imaz menegakkan badan. Menata hati. Menatap khidmat dihadapan sang pencipta. Mengucap takbir sembari mengangkat kedua tangan sebahu dalam hati.

"Allah....akbar...." suara seorang pria dibalik satir. Hati Imaz berpaling pada sang pencipta. Pikirannya teralih pada suara pria tersebut. Rasa penasaran bergejolak. Rasa ketakutan tak bisa mengelak.

Ia membuka satir perlahan-lahan. Benar nyatanya. Seorang pria berpeci. Berbaju koko. Bersarung hitam sedang melaksanakan salat.

Ia sepenuhnya yakin pria itu sedang salat tahajud.

Imaz yang tadinya niat salat tahajud lillahi ta'la, Ia hapus dan diketik kembali niatnya menjadi ma'muman lillahi ta'la.

"Allahu akbar..."

Pria itu berganti rukuk. Imaz ikuti. Terus ia ikuti sampai pada tahiyat akhir dan berakhir dengan ucapan salam.

Imaz mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Alif...lam...mim...

Suara pria itu menegunkan hati Imaz.

Dzalikal kitabu laa royba fiih...

Nada dan irama mengayun merdu menelisik hembusan angin menerpa wajahnya. Membentuk lagu bayyati.

Hudallil muttaqin...

Suaranya terhenti. Satir yang di depan Imaz terombang-ambing terhembus angin.

Alquran yang dibaca pria itu ternyata sudah tua hingga menghasilkan beberapa mushaf. Mushaf yang dibaca terendus angin, melayang dan turun perlahan tepat di depan Imaz. Satir tetap pada hembusan angin.

Pria itu mengikuti arah mushaf Alqurannya. Matanya terpaku melihat Imaz memakai mukenah.

"Maaf, siapa Anda?" Pria itu bertanya.

Imaz kebingungan antara percaya atau tidak jika pria itu manusia.

Apalagi suasananya membuat bulu kuduk berdiri alias merinding. Perasaan itu tak bisa ia sembunyikan. Ia berlari ketakutan. Bersembunyi dibawah bedug.

Saking takutnya, mukenah dibiarkan menempel ditubuhnya. Imaz melihat dari balik jendela masjid, pria itu tampaknya mencari keberadaannya.

Ia berdiri di ambang pintu masjid. Suara hening. Hanya ada hembusan angin, pria itu berbalik arah.

Jelas sudah wajahnya.

Pria yang menjadi Imam sepertiga malam barusan, ternyata pria yang dilukis Ning Fiyyah.

Mereka bertemu kembali.

                                  ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status