Share

4. Dia Polisi

~Siapapun dirimu, tatapanmu tak bisa mengalihkan pandanganku. Senyumanmu tak bisa menghilangkan debaran hatiku. Mungkinkah, aku mulai jatuh cinta pada Hamba-Mu~

                                  ♤♤♤

Petunjuk arah menuju pesantren ia buka. Tertera disana, letak lokasi dekat hutan rimba. 

Pagi-pagi sekali, ia ditugaskan ke sana untuk menggali informasi tentang pesantren benang biru. Ia ikuti semua arah sesuai peta yang dikasih Tuan Darwin. Dari masjid Ar-rahman,ia menyeberang jalan raya. Memang pagi hari suatu waktu yang tepat melakukan aktivitas dibandingkan siang hari. Bukan itu masalahnya. Ia kesulitan harus menggendong tas dipundak. Juga menenteng tas besar berisi uang jutaan. 

Selesai menyeberang, selanjutnya menunggu bus di halte. Meskipun masih pagi, bus sudah dipadati penumpang. Mau tak mau, Imaz harus ikhlas tidak mendapatkan tempat duduk alias berdiri. Ditambah lagi, pengamen gendut bawa gitar lagi penjual tahu kakek-kakek yang butuh kesabaran dengan ketuliannya.

"Mbah geser mbah kasihan yang lain." Seru penagih karcis. Seisi bus berdesakan. 

Imaz terpontang-panting berada di tengah mereka.

"Geser geser lu yang sedikit geser." Kakek membuat garis miring di jidatnya. Para penumpang lelah memerintah kakek.

"Selamat pagi wahai insani, semoga Allah mengilhami para penumpang duit untuk diberikan pada pengamen yang tampan seperti Ferry Maryadi." 

Pengamen mulai beraksi sebelum menyanyi dengan gitar kesayangannya, "yang nanti uangnya dibuat mahar untuk sang pujaan hati, yakni Nikita Willy. Bersama dengan saya mari kita bernyanyi dengan judul doremi."

Bau keringat membaur seisi bus. Mengaduk penciuman. Menyaring kerongkongan. Dan bereaksi memuntahkan angin. Sekitar setengah jam berlalu akhirnya Imaz bisa bernapas lega. 

Turun bus, ia menghirup udara sebanyak-banyaknya. Sesuai peta, setelah naik bus langkah selanjutnya masuk hutan rimba. Hutan yang dekat dengan bangunan tua. 

Memasuki hutan sebenarnya ketakutan paling dalam baginya. Sepi dan banyak binatang buas. Pohon-pohon menjulang tinggi. Dedaunan runtuh dari batangnya. Berserakan dimana-mana. 

Guk...guk...guk...

Anjing menggonggong. Mata Imaz memantau arah mana suara itu. Ternyata dari arah kirinya. Anjing berlari menghampirinya. 

Imaz berteriak sejadi-jadinya. Berlari sekeras mungkin menjauh darinya. Tak peduli ia harus jalan kearah mana yang penting terus berlari menghindarinya. Ketakutan dan kecerobohannya berbuah kecelakaan. Ia terjerembab dalam jurang yang curam. Anjing sudah tak bisa mengejarnya.

                                    ***

"Pemirsa..." reporter menayangkan berita dilokasi kejadian, "tepat di belakang saya, Mahasiswa Universitas Garuda mengadakan jumpa fans dengan tiga lulusan dengan fakultas yang berbeda. Fakultas kepolisian, kedokteran, dan teknik. Mereka adalah Robet, Rasya dan Saga."

Ketiga lulusan Universitas Garuda keluar dari mobil dengan tampilan yang keren. Memakai jas hitam, kemeja putih, celana hitam, dan kaca mata hitam. 

Mereka bersamaan melambaikan tangan menyapa fans. Di belakangnya para Bodyguard melakukan penjagaan agar para fans tidak berlaku keterlaluan terhadap idola. Wartawan meliput kejadian dengan mewawancarai mereka.

"Bagaimana perasaan kalian bertemu dengan para fans?" Reporter melayangkan mikrofon di depan mereka.

"Yang pasti, kami senang. Inilah hasil kami berjuang sesuai dengan cita-cita kami sejak kecil." Robet yang menjawab, lainnya hanya mengiyakan.

"Menurut Kapten Robet, kasus apa yang paling sulit untuk dipecahkan?"

"Kesadaran. Manusia sulit menahan ego ketika menghadapi masalah. Salah dan benar itu hal wajar bagi manusia. Untuk menyadarkan diri, masya Allah...tak diamalkan."

"Lalu, bagaimana dengan Dokter Saga, penyakit apa yang susah ditangani bagi Anda?" Reporter melayangkan mikrofon di depan Saga.

"Namanya penyakit, jangan diremehkan. Kita sebagai manusia tidak tau seberapa panjang umur kita. Jadi, penyakit yang susah saya tangani adalah pasien yang menyerah untuk sembuh."

"Wow, jawaban yang bijak. Bagaimana dengan Profesor Rasya, sejauh ini teknik apa yang pertama kali Anda ciptakan? Dan apa kesulitannya?" Reporter melayangkan mikrofon di depan Rasya.

"Sebenarnya saya belum menciptakan teknik yang banyak. Masih satu tapi sangat berguna. Masalah kesulitan, pasti ada. Menurut saya, kesulitan untuk menciptakan teknik adalah tidak percaya diri."

"Sebelum kalian kuliah di Universitas Garuda, kalian pernah mengemban pendidikan dimana?"

"Kami tidak di sekolah negeri, madrasah, atau sekolah favorit. Tapi kami mengemban ilmu di Pesantren Salaf Benang Biru." Kali ini, Rasya yang melontarkan jawaban.

"Pesantren Salaf adalah pendidikan kitab, tapi cita-cita kalian diluar pesantren. Apa visi misi pesantren tersebut?"

"Pesantren bukanlah tempat orang-orang nakal, bodoh, karena kurangnya pendidikan formal." 

Masalah pendapat, Robet juaranya.

"Mereka bisa melebihi anak negeri selagi usaha dan doa ditangguhkan. Banyak kitab-kitab yang menjelaskan kajian umum. Apalagi dalam Alquran. Maka dari itu, jangan meremehkan pesantren. Begitu juga anak santri jangan meremehkan anak formal. Semua itu sama saja. Semua tergantung niat. Seberapa besar niat kalian, itulah hasilnya."

Para fans tepuk tangan bergemuruh atas pendapat Robet yang sangat bijak.

"Terima kasih atas waktunya."

Ketiga lulusan berjalan masuk kampus diiringi bodyguard. Diwarnai para fans yang meminta tanda tangan, foto dan yang paling histeris para cewek ingin memegang tangan mereka tapi dihalau bodyguardnya.

"Baik pemirsa." 

Kembali pada Reporter, "karena terbatasnya tamu di dalam ruangan, kami hanya meliput di luar kampus. Saya Cindy Ratnasari di Universitas Garuda, kembali ke studio."

Acara telah terlaksana beberapa jam yang lalu. Akhir acara ditutup dengan antrian panjang para fans yang meminta tanda tangan. Beragam benda yang ditanda tangani. Ada yang kaos, gitar, tas, buku, poster dan lain-lain.

Tuntas sudah acaranya. 

Mereka makan siang di kantin kampus. Suasana kantin sepi, hanya mereka bertiga. Rasya mengambil tiga minuman kaleng dari kulkas mesin. Dimasuki uang, barangpun keluar. Sambil menarik kursi, Rasya meletakkan minuman kalengnya di atas meja.

"Rencana selanjutnya kalian apa?" Rasya sudah mulai membuka topik pembicaraan dan duduk.

"Tetap melaksanakan tugas masing-masing." Saga menyahut.

"Capek nggak sama tugasnya?"

"Bagaimana denganmu? Tugasmu tidak setiap hari, kapanpun yang kau mau bisa dilaksanakan. Kenapa sekarang kau meremehkan tugas kami?" Robet membalas pertanyaannya.

"Iya pak Polisi. Saya angkat tangan." 

Rasya bercanda. Ia mengangkat kedua tangannya.

"Tapi terima kasih kau sudah memberikan kami kaca mata hitam mesinnya."

"Yaiyalah." Rasya mulai berlagak sombong atas ucapan Robet, "kaca mata itu aku desain seperti ponsel untuk bisa main game, nonton film, atau bahkan telepon tanpa nomor tapi dengan menyebutkan nama sudah kenal."

"Terus bisa juga berfungsi sebagai alat ronsen. Ya, mudah-mudahan bisa membantu Saga memeriksa organ pasien tanpa menyentuh tapi dengan melihat."

"Fungsi polisi?" Robet bertanya.

"Ada lah. Fungsi bagi Polisi untuk mengetahui sidik jari yang menjurus pada kasus. Kasus apa yang pernah dilakukan si pelaku akan tertulis di tombol sidik jari."

Karena penasaran, Robet mengeluarkan kaca mata hitam dari kerah bajunya. Ia pakai dan ia tatap dalam-dalam wajah Rasya. Bercak warna merah terlukis ditangan kanannya. Disana juga ada pemberitahuannya. 

Suasana menjadi hening. Robet tertawa terpingkal-pingkal membaca pemberitahuannya.

"Kenapa?" Mereka penasaran.

"Wah, parah kau, Sya. Aku tak menyangka." 

Robet masih meneruskan tawanya.

"Ada apa sih?" Rasya merasa kesal.

"Menurut pemberitahuan, terdakwa Rasya pernah mencuri celana dalam warna pink milik tetangga." 

"Wah...bohong itu."

Pipi Rasya bersemu merah. Robet dan Saga tertawa selepas-lepasnya.

                                    ***

"Allah subhanallah ta'la...menciptakan manusia dengan berbagai rupa, sifat, kebahagiaan, dan derajat." Romo Kiyai Abdul Musthofa membuka pengajian kitab dengan berceramah di Aula Pesantren.

Pesantren Benang Biru yang diasuh oleh Romo K.H Abdul Musthofa didesain seperti kerajaan kuno. Selain bekal ilmu kitab, Pesantren Benang Biru juga dibekali ilmu bela diri. Pesantren ini terbilang magis karena Romo Kiyai sendiri bisa memberi jimat bagi penjahat yang ingin merebut pesantren beliau. 

Dengan memiliki keturunan sembilan wanita atau dijuluki waliyyah songo, beliau juga mengangkat tiga santri yang sukses menjadi anak tirinya. Mereka tak lain tak bukan adalah Robet, Rasya dan Saga. Mereka bertiga menjadi peran penting sebagai tameng pesantren Benang Biru. Dikarenakan darah daging Romo Kiyai wanita semua, banyak yang ingin menghancurkan pesantren beliau dan merebut tahta beliau.

"Perbedaan rupa, ada yang pesek, mancung, putih, kuning, hitam, kalau sifatnya ada yang egois, lembut, sopan, keras kepala. Selain berupa wujud, mereka juga dihadapkan masalah yang berbeda. Ada yang pacarnya balikan sama mantan."

Santri putra bersiul. Santri putri bersorak. Mereka meramaikan suasana. Tempatnya yang diberi batasan satir antara putra dan putri tak menghalau mereka untuk mengundang tawa.

"Tapi, kunci dari kebahagiaan dan derajat yang luhur adalah istiqomah, jamaah, dan khidmah seperti dalam syi'ir; miftahu fauzin warif'atin 'alal abadi, bil istiqomati wal jama'i wal khodami"

Seisi ruangan tepuk tangan bergemuruh. Meskipun Romo Kiyai sudah tua, suara tak lagi bermasalah.

"Jadi jika kalian ingin bahagia dan memiliki derajat yang luhur, lakukan sesuatu yang bermanfaat dengan istiqomah, jamaah juga istiqomah dan khidmah." Pesan terakhir Romo Kiyai menutup pengajian sore.

"Alfatihah..."

Para santri membaca Alfatihah dalam hati. Selesai. Romo Kiyai meninggalkan ruangan. Para santri menundukkan kepala. Sudah menjadi tradisi pesantren Benang Biru menghormati sekeluarga Romo Kiyai dengan menundukkan kepala.

Romo Kiyai pergi, dua khodam putra sebut saja namanya Bayu dan Cakra datang membawa kabar berita yang memberi suasana mereka menjadi penuh tanya.

"Ada apa?" Ketua pondok putra yang bernama Lubis siap untuk bertindak.

"Pak Lubis, di Taman Santri ada gadis berjilbab pingsan." Bayu menjelaskan tanpa napas.

"Kalau begitu, telpon Gus Saga agar gadis itu segera diperiksa dan ditindak lanjuti."

Santri putri saling berbisik ingin tau siapa gadis yang pingsan di Taman Santri.

Tindakan Bayu dan Cakra menelpon Saga sudah tuntas. Dalam beberapa menit, mereka datang membawa tiga prajurit. Mereka disambut hormat oleh para santri dengan tundukkan kepala. Mereka masih memakai jas hitam, kemeja putih, celana hitam, dan kaca mata hitam mesinnya. Bayu dan Cakra membawa mereka ke ruang tamu. Terpapar disana gadis berjilbab terbaring pingsan di atas sofa. 

Setelah beberapa menit sebelum mereka datang, santri putri yang membawanya dari Taman Santri. Bagi Rasya dan Saga gadis itu asing. Bukan bagi Robet. Ia tercengang bertemu kembali dengan gadis yang dilukis Ning Fiyyah. Ya, Imaz.

Penanganan pertama, Saga memeriksa Imaz melalui perantara mesin kaca matanya. Ia menekan tombol ronsen. Terlukis warna merah didalam otaknya. Menyambung pada mata, telinga dan tenggorokannya. Mesin juga memberi pemberitahuan warna merah berbahaya.

"Bagaimana?" Rasya sudah siap bertanya.

"Sepertinya didalam otak gadis ini terdapat mesin berbahaya." Saga menjawab.

"Sidik jari?" Sahut Robet.

Saga menekan tombol sidik jari dibagian ganggang kaca mata sebelah kiri. 

Mesin menjawab nihil. 

Saga menggelengkan kepala pada Robet. Ini menjadi kasus pertama Robet untuk menginterogasi Imaz setelah sadar. Tak ada apapun yang cedera. Saga memutuskan memberi pengawasan sementara yang lain boleh melakukan aktivitasnya kembali.

"Malam harinya tepat pukul sembilan, Imaz membuka matanya. Memancarkan penglihatan ke setiap sudut ruangan.

"Kau sudah sadar?" Saga menyalurkan pertanyaan untuk mengoneksi kesadarannya.

"Aku dimana?" Kesadarannya sudah terkoneksi.

"Selamat datang di Pesantren Benang Biru."

Imaz tertohok. Kejadian jatuh kedalam jurang membawanya masuk pada target utamanya. 

Knop pintu terbuka. 

Seorang laki-laki berbadan kekar, gagah dan berkarisma datang membawa wajah keseriusannya. Lagi dan lagi Imaz bertemu pria yang dilukis Ning Fiyyah.

"Kau lagi?" Imaz menunjuk Robet terkejut.

"Kenapa?" Robet menarik kursi, duduk dengan menyilangkan kakinya.

"Kita sudah tiga kali bertemu."

"Tiga? Ini baru dua. Jangan-jangan yang ketiga pertemuanmu dalam mimpi?"

Saga menyahut dengan tertawa lepas.

"Imaz..." belum sempat Robet melanjutkan pertanyaan, Imaz terkejut lagi, "darimana kau tau namaku?"

"Tidak perlu tau darimana aku tau namamu. Sekarang jawab semua pertanyaanku dengan jujur. Siapa kau sebenarnya? Apa tujuanmu datang kesini? Dan apa maksud jutaan uang yang ada dalam tas besarmu itu?"

"Ya sudah jelaslah." Imaz terpaksa berbohong. Jadi jawabannya terlihat berpikir, "aku disini ingin menyantri. Masalah uang, itu kiriman buat bekal disini."

"Sudah tidak ada yang lain? Tidak ada yang kau sembunyikan dari tubuhmu?"

"Ya tidaklah. Aku berada disini, cita-cita dari kecil. Karena sekarang Allah sudah memberi rezeki pada keluarga kami, alhamdulillah aku bisa disini."

"Lalu kenapa dalam petamu,denahnya salah. Harusnya kau dari masjid Ar-rahman tidak perlu menyeberang. Cukup jalan kaki, ada pertigaan kau belok kiri. Itu jalan utamanya."

"Darwin..." Imaz menggerutu.

"Eh, kenapa kau terus mewawancaraiku, kau tak perlu ikut campur urusanku." Imaz bertanya balik kali ini.

"Karena aku Polisi."

"Haaa???"

Habis sudah riwayat Imaz.

                                 ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status