~Aku yang berjuang matian-matian mendapatkan hatinya justru orang lain yang pantas bersanding dengannya. Aku hanya tempat persinggahanmu berbagi komitmen namun ternyata sekedar momen~
***
Masih melanjutkan perjalanan cinta Arman dan Irma. Pulang sekolah, Arman sudah didapati orang tuanya yang sedang rebahan di ruang tamu beralaskan tikar. Rumahnya memang sangat sederhana. Syukurnya, tidak kontrakan ataupun kos-kosan. Rumah itu jerih payah orang tuanya dari penjualan gado-gadonya. Murahan. Tidak berlantai keramik. Hanya tanah yang masih subur. Tidak memiliki jendela karena uangnya tak cukup. Bahkan kamar mandi saja tidak ada atap dan pintunya. Untungnya saja, di desa yang ia tempati tak mengenal konten dewasa sebab mereka kurang update dengan yang namanya handphone~Kau tutupi tatapanmu. Ku tutupi perkataanku. Tapi, ku buka sandiwara untuk menjalankan pertemuanku. Sanggupkah kau merasakan getaran cinta yang hebat tanpa melihat? Sanggupkah aku menjalankannya tanpa berkata? Itulah definisi kelemahan pria dan wanita. ***Pak Jack dan Imaz saling menatap terpaku. Mereka benar-benar melupakan kalau ayah Robet pernah bertemu dengannya di ruang persidangan. Seketika itu, raut mukanya berubah. Ia berpura-pura canggung dengan Imaz."Iya pak. Saya tidak menyangka bakal ketemu bapak disini," katanya dengan ramah."Oh begitu." Ayah Robet manggut-manggut, "bapak masih ada keturunan dengan Kiyai Hasan Besari?""Tidak pak. Saya cuma ingin berziarah saja." Mereka tida
~Ada sentuhan tapi tak ada rupa. Ada perhatian tapi tak ada perkataan. Segitunya aku mengharapkan kehadiran cinta yang ada di hatimu~ ***Mereka berduyun-duyun turun dari mobil. Ayah memapah Robet sampai masuk ke dalam. Melihatnya dari belakang, Imaz tak tega. Sampai kapan ia harus menderita tanpa bisa melihat kehadiran orang-orang yang disekitarnya. Harapan sembuh harus mendapatkan donor darah golongan AB. Sementara, dirinyalah yang memiliki golongan itu. Dalam keadaan ia menjadi orang lain.Keluar dari bagasi, Imaz mengendap-endap masuk ke dalam. Bak perampok yang gila harta dan ingin mencapai target pada pengusaha kaya raya itu. Mereka sibuk mengurus Robet yang diantarkan ke kamarnya. Belum sempat ia naik tangga, ora
~Kehadiranmu mungkin buatku merasa tenang. Tapi, kehadiranku justru buatmu merasa aman~ ***Gawat! Imaz berdecak dalam hati. Kalau sampai ibu Robet mengecek satu persatu yang ada di kamar, bisa-bisa mati kutu!"Memangnya aneh bagaimana Bet?" Ibunya butuh penjelasan. Justru ibunya berpikir yang aneh malah Robet. Semenjak dia kehilangan penglihatannya, merasakan hal-hal berbau mistis. Jangan-jangan Robet berubah menjadi indigo?"Tadi ada getaran bumi. Barusan ibu ngetuk pintu, tapi ada juga yang membangunkanku," kata Robet dengan jelas.Imaz terkejut, menganga."Masak sih, Bet? Ibu tidak merasakan apa-apa. Ya kan yah?" Ibunya melempar pertanyaan pada ayah.
~Rindu itu berat. Nanti kamu gak akan kuat. Kalau salah sasaran, awas nanti tersesat~ ***Pagi hari itu, menjadi pagi yang sudah tidak ada lagi infus. Tidak ada lagi makan bubur. Tidak ada lagi oksigen. Tidak ada lagi bau obat. Yang ada koper. Udara segar. Dan Irma masih dalam genggamannya. Bersama dengan ayah Arman, mereka keluar dari kamar. Disambut pihak polisi yang siap mengikat kedua tangannya dengan borgol. Ayah Arman langsung menatapnya nanar."Pak, apakah tidak bisa mereka tinggal sebentar di rumahku. Sampai benar-benar pulih?" Ayah Arman memohon di hadapan mereka.Mereka saling menatap. Salah satu menghela napas dan menjawab, "maaf pak, kami tidak bisa. Sesuai kebijakan, jika tersangka sudah d
~Satu-satunya dia yang aku cinta juga satu-satunya dia yang telah buat aku terluka. Definisi yang mahrom berasa halal~ ***"Siapa yang lagi rindu?" Robet mengelak.Imaz mengetik, "sudahlah Gus, kalau kau rindu bilang saja.""Hey, kenapa kau tiba-tiba bangun?"Imaz mengetik, "heran saja Gus. Kenapa kau sempat-sempatnya salat tahajud?"Robet tersenyum, "karena waktu inilah yang bisa membuat aku tenang ketika berdialog dengan Allah."Imaz yang tengah duduk di belakangnya tertegun mendengarnya. Apa yang ia katakan sama dengan apa yang Imaz pikirkan. Sepertiga malam adalah waktu terbaik untuk menangkan hati dan leluasa
~Masa lalu adalah masa indah. Masa sekarang adalah masa iddah. Harapan masa depanku adalah berawal iddah menjadi mawaddah. Aku hanya ingin sakinah bersamamu~ ***Imaz mengetik, "nasi bungkus itu tadi buat aku kan?"Robet terpekur. Ia telah meninggalkan nasi bungkusnya di mobil."Haduh! Aku lupa Cha. Nasinya ketinggalan di mobil. Maafkan aku. Kau benar-benar lapar?"Imaz mencari sesuatu di youtube. Kemudian ia tekan play. Seketika itu, suara bayi menangis dengan volume paling tinggi dari youtube, membuat Robet terperanjat."Hey, kenapa kau menyalakan alarm?" Dengan muka masam. Imaz menahan senyum.Imaz mematikan youtube-nya. Ia menget
~Hati pernah menyimpan rasa cinta. Hati juga pernah tergores luka. Kedua rasa yang tak bisa dilupakan begitu saja~ ***Air mata Imaz meleleh. Ia tak kuasa melihat seseorang yang ia cintai, mengatakan kalau dirinya secepat itu mendapat pengganti.Robet terus memanggil cemas. Tak biasanya Icha diam begitu saja ketika diajak berbicara. Telinga terngiang-ngiang suaranya, imaz pun berlari ke kamar mandi. Membuka kran air. Agar ia tak mendengar Imaz memanggilnya.Ia larut dalam tangisannya."Icha? Kok diam?"Robet makin panik. Ia mendengar suara kran dari kamar mandi tiba-tiba. Ia berpikir dan yakin kalau Icha berada di kamar mandi siapa lagi kalau yang ada di kamar
~Air mata meleleh kala melihat kau menghilang dariku. Darahku mendidih kala melihat kau terluka bukan karena aku. Menangislah! Karena Allah tak pernah melarang itu~ ***"Abah, mau jodohkan Robet dengan siapa?" Gus Fatih penasaran."Siapa lagi kalau dengan Hilda?" Kata romo kiyai Usman dengan yakin.Robet sudah menduga. Siapa lagi kalau bukan Hilda? Irma juga di penjara bersama Arman. Bahkan, ayahnya tidak memedulikan keadaannya.Ning Fiyyah yang mendengar itu, tak ada harapan lagi untuk memenuhi amanah romo kiyai mempertemukan cinta Robet dan Imaz."Wah, sepertinya cocok. Kapan bah mereka taarufan?" Timpal Gus Fatih."Hilda sekarang semester delapan. Doakan